Politik Kanonisasi Sastra dalam Sastra Indonesia

Posted: 18/08/2010 in Esei


oleh Saut Situmorang

Dalam sebuah tulisan di Media Indonesia Minggu beberapa waktu yang lalu yang, konon, dimaksudkannya sebagai “tanggapan” atas esei saya tentang relasi antara karya sastra dan politik ekstra-literer sastra, seorang Hudan Hidayat membuat sebuah klaim bahwa sebenarnya tidak ada hubungan pengaruh-mempengaruhi antara “keberhasilan” sebuah karya sastra dengan faktor-faktor ekstra-literer di luar teks karya dimaksud. Bagi Hudan, hanya ada satu hal saja yang menentukan baik-tidaknya, berhasil-tidaknya, sebuah karya sastra, yaitu apa yang dinamakannya sebagai “substansi” sastra karya itu sendiri. Ironisnya, Hudan sendiri kayaknya tidak menganggap “substansi” sastra yang dijagokannya itu cukup penting nilainya ternyata sehingga dia lupa untuk menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksudkannya dengan istilah tersebut kepada pembaca tulisannya itu. Atau apa dia mungkin memang tidak mengerti apa yang sedang dibicarakannya makanya tak mampu untuk menjelaskannya?

Dalam dunia sastra Indonesia para pengarang berbakat alam seperti Hudan Hidayat sangat yakin bahwa apa yang mereka sebut sebagai “substansi” sastra, yang sifatnya universal, bebas-nilai (apolitis), dan abadi, itu memang ada dan merupakan satu-satunya faktor penentu baik-tidaknya, berhasil-tidaknya, sebuah karya sastra menjadi sebuah karya sastra. Contoh yang paling sering saya alami adalah menerima pernyataan “Buktikanlah dengan karya!” setiap kali saya berusaha mendongeng tentang pentingnya menyadari politik sastra yang mempengaruhi sastra di manapun terutama di Indonesia, seolah-olah apa saja karya yang mereka produksi memang secara otomatis sudah sangat penting nilainya bagi sejarah sastra. Ada sementara dari para pengarang romantik ini memakai istilah lain untuk maksud yang sama, yaitu “sublim”. Sebuah puisi yang menjadi, misalnya, adalah sebuah puisi yang “sublim”, kata mereka. Tapi, lagi-lagi, para pengarang bakat alam yang romantik ini selalu lupa untuk mengelaborasi arti dari istilah pseudo-filosofis tersebut, atau paling tidak menunjukkan contoh karya-karya sastra mana yang “sublim” itu dan kenapa karya-karya itu “sublim”.

Bagi para pengarang yang tidak berbakat alam – jumlah mereka sangat sedikit di Indonesia – istilah “kanon sastra” tentu bukan merupakan sebuah istilah eksotis-filosofis kayak “substansi” sastra atau sastra “sublim”. Kanon adalah sekelompok karya yang, minimal, selalu ada dalam kurikulum pengajaran sastra di sekolah dan perguruan tinggi. Sebuah karya yang bisa masuk jadi anggota kanon sastra tentu saja akan terangkat reputasi sastranya, dan pengarangnya, dalam hierarki kelas “kedahsyatan” artistik dalam sejarah sastra. Dan bisa dipastikan akan terus menerus dicetak-ulang sekaligus dibahas-ulang dalam skripsi, tesis dan disertasi.

Tentu saja semua pengarang ingin semua karyanya bisa masuk dalam kanon sastra, paling tidak sebuah bukunya. Tapi kenyataannya cuma segelintir saja pengarang yang bernasib mujur begini. Ketidakmujuran nasib banyak pengarang dalam peristiwa kanonisasi sastra inilah yang menimbulkan pertanyaan: Kok karya S Takdir Alisjahbana bisa masuk kanon sementara cerita silat Kho Ping Hoo nggak? Kenapa puisi Goenawan Mohamad, bukan Saut Situmorang? Masak cerpen Seno Gumira Ajidarma masuk tapi cerpen Hudan Hidayat kagak? Apakah karena cerpen Seno punya “substansi” sementara cerpen Hudan cuma begitu-begitu aja? Puisi Goenawan Mohamad “sublim” tapi Saut Situmorang cuma bermain-main dengan intertekstualitas dan tidak tertarik pada “kedalaman” simbolisme pasemon puitis? Apa sebenarnya yang menjadi “kriteria” dalam seleksi kanon (canon formation)? Apakah “substansi” sastra atau “sublimitas” sastra seperti yang diyakini Hudan Hidayat dan para pengarang bakat alam lainnya itu? Apakah estetika satu-satunya standar dalam menilai mutu karya? Kalau benar, lantas apakah “estetika” itu? Adakah karya sastra yang an sich benar-benar “dahsyat” dan “universal”? Apakah karya sastra itu memang otonom, bebas nilai, tidak tergantung pada hal-hal di luar dirinya untuk menentukan baik-buruk mutunya? Atau ada hal-hal lain di luar teks karya – mulai dari komentar para “pengamat” sampai ekspose di media massa atas sosok sang pengarang – yang menjadi faktor dominan dalam terpilih-tidaknya sebuah karya sastra menjadi anggota kanon sastra?

Pertanyaan-pertanyaan cerewet seperti ini sudah waktunya diumumkan dalam dunia sastra kontemporer Indonesia karena kondisi sastra Indonesia saat ini sudah mencapai titik dekadensi yang mengkhawatirkan. Absennya tradisi kritik sastra yang kuat dan mapan seperti dalam sastra-sastra nasional di peradaban Barat telah mengakibatkan apa yang saya sebut sebagai “anarkisme interpretasi dan evaluasi” merajalela dalam sastra Indonesia di mana orang-orang yang sama sekali tidak memiliki kualifikasi atau latar belakang pendidikan akademis ilmu sastra merasa tidak ada persoalan sama sekali untuk mempublikasikan komentar-komentar mereka yang mereka klaim sendiri sebagai “kritik sastra”, walau komentar-komentar mereka tersebut tidak memiliki prosedur interpretasi dan evaluasi yang menjadi ciri-khas kritik sastra di mana-mana. Akses media-massa cetak seperti koran nasional terbitan Jakarta yang relatif mudah membuat komentar-komentar para pseudo-kritikus ini mendominasi lalulintas “opini publik” tentang sastra dan berakibat terjadinya distorsi-arti tentang apa itu sebenarnya yang dimaksud dengan “kritik(us) sastra”. Akibatnya terjadilah penciptaan kanon sastra dalam sastra kontemporer Indonesia yang sama sekali tidak merefleksikan realitas sebenarnya dari apa yang kita kenal sebagai sastra Indonesia itu, seperti pada kasus “sastra koran” yang merupakan hasil dari pemuatan sajak dan cerpen di koran-koran hanya melalui seleksi seorang redaktur rubrik “Sastra” yang nota bene cuma seorang wartawan biasa dari koran-koran tersebut. Nama dari rubrik koran (-koran) tersebut, biasanya “Sastra” atau “Seni” atau “Budaya”, dianggap sudah sah sebagai jaminan bahwa tulisan-tulisan yang dimuat di situ adalah memang karya sastra, atau minimal punya nilai sastra.

***

Istilah “kanon”, atau “canon” dalam bahasa Inggrisnya, berasal dari kata bahasa Junani Kuno, yaitu kanon, yang berarti sebuah “buluh” atau sebuah “tongkat” yang dipakai sebagai alat pengukur. Istilah ini di kemudian hari memiliki makna tambahan yaitu “peraturan” atau “hukum” dan makna ini yang akhirnya menjadi makna utamanya dalam bahasa-bahasa modern Eropa. Dalam konteks kritik sastra, istilah “kanon” menjadi sebuah istilah penting setelah dipakai di abad 4 M dalam merujuk ke daftar teks atau pengarang, khususnya buku-buku yang akhirnya menjadi kitab suci agama Kristen yaitu Alkitab atau Bibel dan para theolog awal agama tersebut. Di sini istilah “kanon” memiliki arti sebagai sebuah prinsip seleksi atas pengarang-pengarang tertentu mana atau teks-teks tertentu mana yang dianggap lebih pantas untuk dilestarikan dibanding yang lainnya. Teks-teks dan pengarang-pengarang yang gagal masuk kanon Bibel tersebut (disebut “apokrifa” dalam tradisi Kristen) tidak berhasil karena alasan dogma: para pemimpin agama Kristen awal harus memutuskan “ajaran-ajaran” mana yang harus diajarkan kepada para pengikutnya. Para pembuat kanon Bibel di awal berkembangnya agama Kristen ini tidak begitu peduli dengan “keindahan” teks-teks yang mereka pilih atau sifat universalitasnya. Yang paling penting bagi mereka adalah bahwa teks-teks tersebut “sesuai” dengan standar komunitas mereka, atau dengan “peraturan/hukum” mereka. Tujuan utama mereka lebih kepada memisahkan mana yang ortodoks dan mana yang bidah.

Dalam konteks sastra banyak kritikus sastra di luar Indonesia yakin bahwa seleksi atas karya-karya sastra untuk “kanonisasi” – yaitu karya-karya yang disebut sebagai karya “klasik” itu – terjadi sama seperti pada kanon Bibel. Para kritikus ini yakin bahwa di balik pretensi “objektivitas” penilaian mutu karya terdapat sebuah agenda politik terselubung, yaitu eksklusi atas banyak kelompok dari representasi dalam kanon sastra. Sebuah contoh yang paling sering disebutkan adalah fakta lebih sedikitnya jumlah sastrawan (jenis kelamin) perempuan dalam kanon sastra. Atau begitu sedikitnya jumlah pengarang non-Eropa (bukan kulit putih) dalam kanon sastra berbahasa Inggris, misalnya. Pertanyaan-pertanyaan yang selalu diajukan adalah apakah karya para sastrawan yang tidak masuk kanon sastra ini – sastrawan perempuan dan sastrawan bukan kulit putih – memang lebih rendah mutunya dibanding karya-karya kanon? Bagaimana menentukan tinggi-rendahnya “mutu” sastra? Apa itu “mutu” sastra?

***

Di sastra Indonesia persoalan “mutu” sebuah karya sastra selalu dikaitkan dengan sifat “universalitas” yang dianggap dimiliki oleh sebuah karya yang “bermutu”. Sebuah karya yang dianggap “bermutu” tinggi pasti juga akan “universal” pengakuan atas “mutu” yang dimilikinya itu. Perbedaan konteks budaya dianggap tidak berlaku atas sebuah karya yang “bermutu”. “Mutu” sebuah karya berbanding lurus dengan “universalitas” pengakuan atasnya, demikianlah keyakinan para sastrawan semacam Hudan Hidayat, misalnya. “Mutu” itu sendiri sangat diyakini sudah inheren dimiliki oleh setiap karya sastra yang dianggap “berhasil”. Inilah sebenarnya yang dimaksudkan oleh para pengarang bakat alam yang romantik itu sebagai “substansi” atau “sublimitas” karya sastra.

Seperti yang sudah saya singgung di atas, kalau memang benar bahwa “substansi” sastra itu ada dan keberadaannya tidak dipengaruhi sama sekali oleh faktor-faktor dari luar teks sastra, maka bagaimana, misalnya, menjelaskan tentang “kegagalan” para sastrawan dunia seperti Maxim Gorky, Vladimir Mayakovsky, James Joyce, DH Lawrence, Virginia Woolf, Ezra Pound, Bertolt Brecht, George Orwell, Paul Eluard, Jorge Luis Borges… sampai Pramoedya Ananta Toer untuk “memenangkan” Hadiah Nobel Sastra, hadiah sastra paling bergengsi di planet ini? Apakah “substansi” karya sastra mereka lebih buruk “sublimitas”nya dibanding para sastrawan pemenang Nobel Sastra? Atau seperti yang pernah dipertanyakan oleh sastrawan Eksistensialis Prancis, Jean-Paul Sartre, waktu menolak menerima Hadiah Nobel Sastra 1964 yang “dimenangkan”nya: Dari semua pemenang Hadiah Nobel Sastra asal Uni Soviet, kenapa sastrawan yang menentang Partai Komunis Uni Soviet yang lebih banyak mendapat Hadiah Nobel Sastra? (Kasus Sartre sendiri unik. Sebenarnya yang seharusnya mendapat Hadiah Nobel Sastra untuk tahun 1964 itu adalah penyair Komunis asal Chile, Pablo Neruda. Tapi “status” Neruda sebagai anggota Komite Sentral Partai Komunis Chile dan bahwa Neruda pada tahun 1953 dianugrahi Hadiah Stalin untuk puisinya telah membuat badan intelijen Amerika Serikat CIA panas-dingin dan melalui lembaga “kebudayaan” yang dibentuknya pada 1950 dalam Perang Dingin melawan Uni Soviet, yaitu “Congress for Cultural Freedom”, telah berhasil mempengaruhi Panitia Nobel untuk tidak memilih Neruda tahun 1964 itu. Ironisnya, Sartre yang “dimenangkan” Panitia Nobel justru menolak menerima Nobelnya! (lihat: Who Paid the Piper? The CIA and the Cultural Cold War (Granta Books, 2000) karya Frances Stonor Saunders)

Di dunia ini intelektual manakah yang belum pernah mengenal penyair Inggris bernama William Shakespeare? Walaupun belum tentu pernah membaca karya aslinya, tapi setiap orang yang menganggap dirinya berbudaya pasti akan mengaku pernah mendengar nama sastrawan yang hidup di paroh kedua abad 16 Inggris ini. Justru di sinilah persoalannya. Karya-karya Shakespeare tidak dibaca luas tapi keuniversalan namanya fenomenal. Mungkin Shakespeare adalah contoh dari sastra yang punya “substansi” dan “sublim” itu. Tapi benarkah karya-karya Shakespeare yang terbaik sekalipun memang secara “estetika” sempurna tidak bercacat? Munculnya apa yang dikenal sebagai Teori Sastra Pascakolonial sebagai akibat terbitnya buku Orientalisme (1978) karya pengarang kelahiran Palestina, Edward Said, telah menyebabkan terjadinya “pembacaan-ulang” atas para sastrawan kanon Barat termasuk Shakespeare. Dan hasilnya: Shakespeare ternyata adalah seorang sastrawan rasis dalam karya-karyanya yang tokoh-tokohnya berkulit berwarna, seperti The Merchant of Venice (1596), Othello (1604), dan The Tempest (1611).

Hal yang sama terjadi juga atas Joseph Conrad, yang dianggap salah seorang novelis terbesar Inggris. Karya-karya bekas pelaut kelahiran Polandia ini banyak mengambil setting cerita di negeri-negeri yang pernah dia singgahi seperti Afrika, Indonesia dan Amerika Latin. Sebuah novel pendeknya yang dianggap salah satu novel terdahsyat dalam bahasa Inggris yaitu Heart of Darkness (1902) yang bersetting di pedalaman Afrika di tepi Sungai Kongo dicaci-maki dengan keras oleh novelis besar Afrika, Chinua Achebe, sebagai sebuah novel jelek karena sangat rasisnya dalam menggambarkan orang-orang Afrika. Beberapa novel lain Conrad seperti Almayer’s Folly (1895) dan Lord Jim (1900) mengambil latar cerita di Kalimantan dan Jawa periode kolonialisme Belanda. Tentu akan menarik sekali untuk mengetahui bagaimana reaksi pembaca kontemporer Indonesia asal Kalimantan dan Jawa dalam menanggapi penggambaran orang-orang lokal kedua daerah tersebut dalam kedua novel Conrad itu.

Di Indonesia sendiri kita juga memiliki banyak contoh dari terjadinya apa yang saya sebut sebagai politik kanonisasi sastra ini. Seperti nama William Shakespeare di dunia internasional, di Indonesia siapakah intelektual kita yang tidak pernah mendengar nama Pramoedya Ananta Toer! Bagi mereka yang serius membaca karya sastra Indonesia akan mengerti bahwa dari keseluruhan fiksi yang pernah ditulis dan dipublikasikan oleh Pram (ataupun oleh para novelis Indonesia lainnya) maka seri-novel yang dihasilkannya selama menjalani hukuman-tanpa-pengadilan rejim Orde Baru di Pulau Buru yang terkenal dengan nama Tetralogi Buru itu (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) merupakan karya terbaik Pram dan karya terbaik dalam sejarah sastra Indonesia. Justru karena Tetralogi Buru inilah nama Pram berkali-kali masuk dalam nominasi pemenang Hadiah Nobel Sastra. Tapi apa yang terjadi dengan seri-novel ini di Indonesia sendiri? Kita semua tahu karena sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Tetralogi Buru dilarang di Indonesia! Selama rejim militer Suharto berkuasa, siapa saja yang ketahuan memiliki satu saja dari keempat novel Pram ini maka pasti akan ditangkap dan dimasukkan penjara sebagai seorang subversif. Setelah rejim Suharto jatuh dan tidak berkuasa lagi, publikasi dan pemilikan atas Tetralogi Buru tidak lagi mengakibatkan penangkapan dan pemenjaraan tapi larangan atasnya tetap berlaku. Larangan yang masih terus berjalan itu adalah larangan untuk mempelajarinya secara formal di sekolah dan perguruan tinggi. Kalau kita tanya apa yang membuat Tetralogi Buru harus dilarang padahal keempat novel itu merupakan sebuah gugatan kritis seorang sastrawan Indonesia atas (sejarah) kolonialisme Belanda di Indonesia, maka jawaban klise yang terus menerus didaur-ulang/direproduksi oleh penguasa Republik ini adalah bahwa pengarangnya seorang Komunis. Kalau kita tanya lagi apa bukti Pram itu seorang Komunis, maka jawabannya… tidak ada jawaban! (Kita, misalnya, masih belum bertanya soal apa sebenarnya salah Komunis dalam sejarah Indonesia! Atau, apa sebenarnya Komunis itu sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengannya dilarang di negeri komunal dan gotong royong ini.) Dari Kasus Pram ini kita bisa melihat betapa eksistensi sebuah teks sastra sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar teks baik dalam publikasi maupun resepsi atasnya.

Contoh lain adalah reputasi majalah sastra Horison selama masih dengan sangat aktif dieditori oleh HB Jassin, tokoh legendaris yang dianggap sebagai Paus Sastra Indonesia itu. Bagi para sastrawan Indonesia yang masih waras otaknya pada periode yang saya maksudkan (terutama pada tahun 1970an), apalagi yang baru mulai menulis sastra, dimuatnya karya di Horison adalah setara dengan memenangkan Hadiah Nobel Sastra bagi sastrawan dunia. Sebuah pencapaian “artistik/estetik” yang paling tinggi! Sebuah pengakuan legitimasi gelar kesastrawanan! Makanya pemberian gelar mentereng “Paus Sastra Indonesia” tadi kepada Jassin! Selera HB Jassin menentukan bermutu-tidaknya karya sastra Indonesia pada zamannya. Bisa dikatakan HB Jassin bukan cuma “Paus Sastra Indonesia” tapi justru Sastra Indonesia itu sendiri! Tak ada “sastra(wan)” Indonesia di luar HB Jassin! Hanya mereka yang menulis novel pop, cerpen pop dan lirik lagu pop saja yang tidak peduli pada keangkeran nama Horison dan HB Jassinnya.

Makanya hanya karya-karya apolitis yang eksperimental secara formal/bentuk (walau isinya biasa-biasa saja malah cenderung konservatif) yang menjadi kanon sastra Indonesia, seperti fiksi Danarto, Putu Wijaya dan Budi Darma atau puisi Sutardji Calzoum Bachri. Karena eksperimentasi dalam bentuk merupakan “estetika” kaum humanis universal, kaum Manikebuis, yang direpresentasikan oleh sosok Jassin ini. Karena dunia teater Indonesia sangat dipengaruhi sastra Indonesia, maka efek Jassinisne ini juga merebak ke teater Indonesia dan jadi kanon teater pulalah para sastrawan Horison seperti Putu Wijaya dan Arifin C Noor.

***

Di sastra Indonesia kita bisa melihat peristiwa pembentukan kanon sastra ini dengan sangat jelas, bahkan bisa dikatakan sejak “lahirnya” apa yang kita kenal sebagai “Sastra Indonesia” itu ― sebuah sastra nasional yang memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa ekspresinya ― di awal abad 20 lalu sampai sekarang, sastra Indonesia adalah sebuah sastra nasional yang sangat didominasi oleh apa yang saya sebut sebagai “politik kanonisasi sastra”.

Institusi formal sastra pertama yang melakukan politik kanonisasi sastra adalah Balai Pustaka. “Bahasa” merupakan isu utama yang dijadikan “Kantor Bacaan Rakyat” yang didirikan pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1908 ini sebagai alasan untuk mengkategorikan sebagai “bacaan liar” karya-karya yang tidak diterbitkannya! Yaitu karya-karya fiksi yang ditulis dalam apa yang disebut oleh para pejabat Balai Pustaka sendiri sebagai bahasa “Melayu Rendah”, yang kebanyakan dikarang para pengarang Indo dan Cina-Peranakan dan yang dipublikasikan di koran-koran berbahasa Melayu sebagai cerita bersambung. “Bacaan liar” ini tidak diakui sebagai karya sastra “tinggi/serius” karena bahasanya dianggap tidak memenuhi standar institusi kolonial tersebut, yang pada waktu itu sedang gencar mempromosikan bahasa Melayu Riau sebagai bahasa Melayu “tinggi”.

Isu kedua berhubungan dengan “isi” karya-karya “bacaan liar” tersebut. Banyak dari karya-karya dalam bahasa “Melayu Rendah” ini, seperti genre “Fiksi Nyai-Tuan” misalnya, diklasifikasikan sebagai “kurang pantas” atau “murahan” karena menceritakan hubungan “Nyai-Tuan”, yaitu hubungan seksual di luar nikah, makanya dianggap “cabul”. Yang lebih parah lagi, dalam pandangan Balai Pustaka, beberapa karya fiksi “Nyai-Tuan” tersebut memiliki tokoh laki-laki Eropa yang jahat atau unsur-unsur teks lain yang dianggap “sensitif”, walau kritik atas realitas kolonialisme itu sendiri absen sama sekali.

Efek dari politik kanonisasi sastra Balai Pustaka ini bisa kita lihat pada anggapan umum sampai saat ini dalam dunia sastra Indonesia bahwa “Angkatan Balai Pustaka” merupakan “angkatan pertama” dalam sejarah sastra Indonesia dan “Fiksi Balai Pustaka” pun (seperti Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, dan Layar Terkembang) dianggap karya-karya kanon klasik sastra Indonesia sementara karya-karya “bacaan liar” nyaris tak dikenal sama sekali sampai beberapa tahun terakhir ini.

Politik kanonisasi sastra dalam bentuk “menghilangkan dengan sengaja” karya-karya sastra yang pernah ditulis dan dipublikasikan dalam sastra Indonesia seperti yang dilakukan institusi kolonial bernama Balai Pustaka di atas terjadi dengan sangat memprihatinkan sejak terjadinya peristiwa G-30-S pada tahun 1965. Sangat memprihatinkan karena dilakukan bukan oleh sebuah lembaga asing yang menjajah Indonesia tapi oleh para sastrawan Indonesia sendiri!

Ideologi estetika “Politik sebagai Panglima” selalu dituduhkan oleh para sastrawan Manikebu/Horison sebagai ideologi kesenian khas sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra, tapi dalam prakteknya terutama setelah berkuasanya rejim pemerintahan diktator militer Jendral Suharto yang menyebut dirinya “Orde Baru” itu ternyata dilakukan juga oleh para sastrawan Manikebu/Horison, bahkan lebih intens lagi. Contoh klasik adalah esei HB Jassin berjudul “Bangkitnya Satu Generasi” yang merupakan semacam penjelasan editorial atas penerbitan buku Angkatan 66 karya Jassin sendiri itu, sebuah buku yang ingin membuktikan bahwa sebuah angkatan terbaru sastra Indonesia telah lahir di sekitar peristiwa lahirnya rejim politik baru bernama “Orde Baru” yang menggantikan rejim pemerintahan Sukarno yang sekarang disebut sebagai “Orde Lama” itu. Lahirnya “Angkatan 66” tersebut oleh Jassin disetarakan latar-belakang kondisi “sosial-politiknya” dengan kelahiran “Angkatan 45”, yang juga merupakan ciptaan Jassin sendiri. Dalam eseinya tersebut terlihat betapa politisnya Jassin dalam poin-poin yang diklaimnya menjadi ciri-khas angkatan terbarunya itu dan dalam seleksi who’s who para sastrawan Angkatan 66 yang diproklamasikannya itu. Jassin misalnya menyatakan bahwa:

Kini, dalam tahun 1966, di Indonesia terjadi suatu peristiwa yang penting. Peristiwa yang melahirkan angkatan yang menyebut dirinya Angkatan 66. Ialah pendobrakan terhadap kebobrokan yang disebabkan oleh penyelewengan negara besar-besaran, penyelewengan yang membawa ke jurang kehancuran total. Sebagaimana Chairil Anwar berontak terhadap penjajahan Jepang dalam tahun 1943 dengan “Aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang”, kitapun menyaksikan satu ledakan pemberontakan dari penyair, pengarang dan cendekiawan, yang telah sekian lama dijajah jiwanya dengan slogan-slogan yang tidak wajar dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Tokoh-tokohnya ada pula, tokoh-tokoh yang menjadi matang dalam pergolakan.

Kalau kita baca baik-baik kutipan dari esei Jassin di atas maka akan terlihat ada beberapa persoalan besar dalam klaim-klaim sejarah yang dibuatnya sebagai pembenaran untuk menerima keberadaan “Angkatan 66”-nya itu.

Pertama tentu saja diksi yang dipakainya secara hiperbolis seperti “pendobrakan terhadap kebobrokan”, “penyelewengan negara besar-besaran”, “jurang kehancuran total”, “pemberontakan dari penyair, pengarang dan cendekiawan”, “sekian lama dijajah jiwanya”, dan “slogan-slogan yang tidak wajar dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa”. Bukankah Jassin konon sedang berbicara tentang “dunia sastra” dalam eseinya itu tapi frase-frase yang dipakainya sama sekali tidak merefleksikan apa yang kita kenal sebagai dunia sastra itu kecuali pada anak-kalimat yang menyinggung nama Chairil Anwar dan kutipan sajaknya yang terkenal. Karena Jassin memang menulis tentang “sastra Indonesia” di eseinya tersebut maka kita bisa bertanya: apakah “sastrawan” yang melakukan “penyelewengan negara besar-besaran” itu? Penyelewengan bagaimana yang mereka lakukan? Siapa sastrawan yang melakukannya? Sayangnya dalam eseinya itu Jassin sama sekali tidak mampu untuk menyebutkan penyelewengan negara kayak apa yang dilakukan sastrawan, dan siapa nama-nama yang melakukannya.

Apa yang secara tersurat dinyatakan oleh Jassin adalah bahwa “terdapat beberapa kumpulan sajak yang menarik perhatian selama demonstrasi-demonstrasi terhadap pemerintah dan selama usaha-usaha untuk mengembalikan revolusi ke dalam rel Pancasila”.

Dari kedua kutipan di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa apa yang sebenarnya dilawan oleh “Angkatan 66”-nya itu tidak bisa lain adalah “pemerintah” yang melakukan “penyelewengan negara besar-besaran”, karena hanya pemerintahlah yang bisa melakukan hal ini, rakyat mana mungkin! Apa dalam sejarah manusia pernah terjadi rakyat melakukan “penyelewengan negara besar-besaran” atau membuat “slogan-slogan yang tidak wajar dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa”!

Kalau pemerintahlah yang sebenarnya melakukan “penyelewengan negara besar-besaran” itu, lantas kenapa para sastrawan yang menjadi anggota organisasi seni bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra harus dikambing-hitamkan dalam peristiwa “penyelewengan negara besar-besaran” tersebut? Apa para sastrawan Lekra itu adalah juga bagian dari pemerintah yang berkuasa? Inilah persoalan kedua dari pernyataan Jassin yang saya kutip di atas. Jassin tidak bisa membuktikan dalam eseinya itu kalau para sastrawan Lekra itu memang merupakan bagian dari pemerintah yang sedang berkuasa!

Apa yang kita ketahui sekarang adalah bahwa pada periode paruh pertama tahun 1960an terjadi “konflik ideologi berkesenian” antara dua kelompok sastrawan Indonesia. Kedua ideologi estetika tersebut adalah ideologi seni yang percaya bahwa seni/sastra itu bersifat historis, sosial dan kontekstual terhadap lingkungan dari mana dia lahir yang direpresentasikan oleh Lekra dan ideologi seni yang percaya bahwa seni/sastra itu sebaliknya justru a-historis, a-sosial dan universal yang direpresentasikan para sastrawan yang menandatangani maupun yang tidak ikut menandatangani tapi menyetujui Manifes Kebudayaan. Secara singkat bisa kita katakan bahwa yang terjadi adalah konflik berkesenian antara Marxisme Lekra versus Liberalisme Manifes Kebudayaan. Dan HB Jassin adalah salah seorang penandatangan Manifes Kebudayaan yang diumumkan pada Oktober 1963 itu.

Tapi “bahasa” esei HB Jassin yang berjudul “Bangkitnya Satu Generasi” itu sama sekali tidak menunjukkan fakta historis ini! Jassin justru menggambarkan seolah-olah “Angkatan 66”-nya itu sama seperti “Angkatan 45” (diwakili nama “Chairil Anwar” dalam eseinya itu) memberontak terhadap Kekuasaan Asing “yang tidak wajar dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa” yang telah sekian lama menjajah jiwa Indonesia! Apakah “tidak wajar dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa” kutipan dari isi “Mukaddimah” Lekra dari tahun 1950 di bawah ini:

Lekra bekerdja chusus dilapangan kebudajaan, dan untuk masa ini terutama dilapangan kesenian dan ilmu. Lekra menghimpun tenaga dan kegiatan seniman-seniman, sardjana-sardjana, pekerdja-pekerdja kebudajaan lainnja. Lekra membantah pendapat bahwa kesenian dan ilmu bisa terlepas dari masjarakat. Lekra mengadjak pekerdja-pekerdja kebudajaan untuk dengan sadar mengabdikan daja-tjipta, bakat serta keahlian mereka guna kemadjuan Indonesia, kemerdekaan Indonesia, pembaruan Indonesia.

[….]

Lekra mengandjurkan untuk mempeladjari dan memahami pertentangan-pertentangan jang berlaku di dalam masjarakat maupun di dalam hati manusia, mempeladjari dan memahami gerak perkembangannja serta hari depannja. Lekra mengandjurkan pemahaman jang tepat atas kenjataan-kenjataan di dalam perkembangan jang madju, dan mengandjurkan hal itu, baik untuk tjara-kerdja dilapangan ilmu, maupun untuk pentjiptaan dilapangan kesenian. Dilapangan kesenian Lekra mendorong inisiatif, mendorong keberanian kreatif, dan Lekra menjetudjui setiap bentuk, gaja dsb., selama ia setia kepada kebenaran dan selama ia mengusahakan keindahan artistik jang setinggi-tingginja.

Saya sengaja mengutip “kredo kesenian” Lekra di atas dengan cukup panjang untuk menunjukkan bahwa dalam berkesenian Lekra pun sangat mementingkan “keberanian kreatif” dalam “setiap bentuk, gaja dsb.” selama “setia kepada kebenaran dan selama… mengusahakan keindahan artistik jang setinggi-tingginja”, disamping “pertentangan-pertentangan jang berlaku di dalam masjarakat”! Jadi tidak seperti propaganda kaum Manifes Kebudayaan selama ini yang menyatakan tanpa henti kalau Lekra itu cuma berkesenian menurut garis Partai Komunis Indonesia belaka.

Dalam sebuah studinya yang sangat bagus tentang Lekra, kritikus sastra Indonesia asal Australia Keith Foulcher menelusuri tradisi penulisan anti-Kiri dalam sastra Indonesia ini ke seseorang yang, menurutnya, bersama dengan HB Jassin merupakan pengaruh sangat penting dalam pembentukan pemikiran tentang apa itu sastra Indonesia, yaitu A Teeuw. Keberadaan Teeuw sebagai pengajar di Universitas Indonesia di awal tahun 1950an (yang kemudian menghasilkan sebuah buku berjudul Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru yang diterbitkan pada tahun 1952) dan bukunya yang berjudul Modern Indonesian Literature, yang pertama kali diterbitkan tahun 1967 dan kemudian diterbitkan-ulang dalam bentuk yang diperluas pada tahun 1979, merupakan salah satu faktor penting dalam politik kanonisasi sastra Indonesia seperti yang kita kenal sekarang. Konsepsi tentang “humanisme universal” sebagai sebuah prinsip kreatif dan kritik dimana “kebudayaan” dianggap bersifat universal dan seni dan sastra diyakini sebagai a-historis dan a-sosial dan dimana perkembangan budaya dan sastra Indonesia akan terjadi seperti, dan harus dipahami dalam kerangka pemikiran, budaya Eropa modern yang diproklamasikan para seniman Gelanggang dalam Surat Kepercayaan Gelanggang mereka pada Oktober 1950 merupakan konsep dasar dari politik kanonisasi sastra Indonesia ini. Manifes Kebudayaan hanyalah reinkarnasi mutakhirnya di kalangan sastrawan yang lebih muda yang disebut Jassin sebagai “Angkatan 66” itu.

Politik kanonisasi sastra yang oleh Keith Foulcher disebut sebagai “Mazhab Teeuw-Jassin” itu adalah sebuah “humanisme universal” yang menolak menerima tipe karya sastra yang pemahaman atasnya harus dilakukan dalam sebuah kerangka pemahaman historis dan politis. Dalam tradisi pemikiran seperti ini, karya sastra yang dihasilkan para sastrawan Kiri Indonesia tidak akan pernah dianggap sebagai subjek studi sastra yang serius. Makanya absenlah narasi tentangnya, dan contoh-contoh karyanya, dalam sejarah sastra Indonesia modern pasca-G-30-S/1965.

Fakta dari “politik menghilangkan dengan sengaja sebagian dari sejarah dan produk sastra Indonesia” ini bisa kita lihat misalnya dalam buku-buku sastra yang diterbitkan sejak mulai berkuasanya rejim Orde Baru di Indonesia, baik dalam antologi-antologi karya yang dianggap “penting” seperti Djakarta Dalam Puisi Indonesia, Laut Biru Langit Biru, dan Tonggak, maupun dalam buku-buku (baik kumpulan esei-lepas maupun studi khusus) yang khusus membicarakan tentang sastra Indonesia modern seperti Puisi Indonesia Modern, Sejumlah Masalah Sastra, dan Hamba-hamba Kebudayaan.

Maka absenlah sastra kita, atau sangat minimlah sastra kita dari karya-karya yang tidak peduli pada eksperimen bentuk, karya-karya yang mementingkan isi, karya-karya yang “terlibat” dengan persoalan sosial-politik masyarakatnya.

Maka tidak kenallah kebanyakan kita akan karya-karya para pengarang Lekra, para pengarang yang berbeda “estetika”, berbeda “ideologi” sastra dari para pengarang Horison, para pengarang Manikebuis itu.

Maka rendahlah penilaian kita atas karya-karya yang Lekrais, karya-karya yang mementingkan isi ketimbang eksperimen bentuk, karya-karya yang “terlibat” dengan persoalan kontemporer masyarakatnya, karya-karya yang realis.

Selama rejim militer Orde Baru Suharto berkuasa, berpolitik adalah kata haram dalam segala kegiatan masyarakat, termasuk dalam kegiatan sastra kita. Seni haram berpolitik karena akan mengingatkan pada periode Polemik Lekra-Manikebu. Karena “politik bukan lagi panglima kehidupan” termasuk kehidupan sastra, maka a-politik sekarang menjadi panglima. Dalam konteks teks sastra, bermain-main dengan eksperimen bentuk merupakan perwujudan paling ideal dari konsep seni apolitis ini. Ketimbang melakukan “seni untuk kehidupan” maka sastrawan Indonesia yang menjadi sastrawan Horison, yang menjadi kanon sastra, memilih ideologi berkesenian “seni untuk seni”, art for art’s sakel’art pour l’art. Dalam kata lain, “Estetisisme adalah Panglima”. Cirinya: Sastra (seni) adalah yang paling adiluhung nilainya di antara semua produk manusia karena otonom mandiri dan tidak mempunyai relevansi (moral dan praktikal) dan referensi di luar dirinya sendiri. Kesempurnaan bentuk adalah segalanya.

Fetishisme atau pemberhalaan pada (eksperimen) bentuk inilah yang menyebabkan Dami N Toda dengan sangat terkenal membaptis Sutardji Calzoum Bachri sebagai setara dengan Chairil Anwar dalam kebesarannya, yaitu dengan membuat pernyataan metaforis “kalau Chairil adalah mata kanan, maka Sutardji adalah mata kiri puisi Indonesia”. (Saut Situmorang mungkin cuma jerawat puisi Indonesia!) Makanya dianggap tidak sedahsyat “eksperimen bentuk” puisi-mantra Sutardji-lah pencapaian epik Rendra dalam Blues untuk Bonnie yang dipublikasikannya dalam periode yang sama dengan sajak-sajak Sutardji!

Inilah “tradisi” kritik sastra Indonesia selama rejim militer Orde Baru Suharto berkuasa. Selama rejim sastra apolitis Horison Manikebu berkuasa. Inilah zaman keemasan ideologi estetisisme dalam sejarah sastra Indonesia. Inilah ideologi politik kanonisasi sastra Indonesia.

Dan efeknya masih terus dengan kuat mencengkram isi kepala para sastrawan Indonesia sampai sekarang ini! Buktinya adalah keyakinan para sastrawan bakat alam kita seperti Hudan Hidayat seperti yang saya singgung di awal esei saya ini: bahwa sastra itu otonom, bebas nilai, hanya tergantung pada “substansi”nya saja untuk menjadi baik atau buruk, dan universal. Seperti yang sudah saya buktikan di atas, politik kanonisasi sastra kita selama berkuasanya rejim sastra Horison Manikebu tidak seobjektif, senetral seperti yang disiratkan ideologi estetisisme Hudan Hidayat di atas. Politik seleksi sangat mempengaruhi diakui-tidaknya sebuah karya sastra sebagai karya yang berhasil atau bermutu. Sosok HB Jassin sebagai standar selera utama rejim sastra Horison Manikebu telah mengakibatkan hilangnya pluralitas “estetika” dan mendominasinya sastra non-realis dalam sastra kontemporer kita.

Makanya mendominasilah saat ini apa yang oleh media massa disebut sebagai “Sastrawangi”. Sastra yang ditulis oleh perempuan-perempuan muda yang konon juga cantik menurut media massa tersebut dan yang cuma bicara tentang apa-apa saja yang dilakukan oleh para perempuan muda yang konon juga cantik menurut media massa. Seksualitas, konon, adalah isu yang paling menghantui kepala-kepala jelita para perempuan muda urban Indonesia, para perempuan muda yang konon berpendidikan tinggi dan mandiri secara ekonomi. Seksualitas dalam prosa para Sastrawangi ini bahkan diklaim merupakan aksi pembebasan dari penindasan yang dialami perempuan Indonesia yang terkutuk hidup dalam masyarakat patriarkal bernama Indonesia. Tubuh adalah Jalan Keselamatan Perempuan Indonesia, menurut para Sastrawangi ini. Makanya berseTubuh melululah mereka dalam prosa mereka! BerseTubuh adalah Pembebasan! Perempuan adalah sama di mana-mana, universal, teriak mereka. Karena itulah seksualitas yang mungkin memang persoalan perempuan muda di kota-kota besar merupakan juga persoalan perempuan (muda dan tua) di mana-mana termasuk di desa-desa. Tubuh, seksualitas dan perempuan adalah satu bagi para Sastrawangi ini. Seperti teks sastra para Estetis, para Horison Manikebuis, dan para bakat alam Hudanis maka bagi para Sastrawangi tidak ada hal lain di luar Tritunggal Tubuh-Seksualitas-Perempuan. Tidak ada persoalan kemiskinan, tidak ada persoalan pendidikan yang rendah, tidak ada persoalan jumlah anggota keluarga yang terlalu besar, bahkan tidak ada persoalan tubuh yang jelek gembrot berjerawat bagi para Sastrawangi yang konon cantik menurut media-massa ini.

Non-realisme prosa para Sastrawangi ini dapat kita lihat dari betapa sempitnya dunia “perempuan” diartikan dalam teks mereka. Betapa sunyinya teks mereka dari para perempuan yang tiap hari kita temui di pasar ikan sayur mayur becek berlumpur, di toko-toko kelas bawah, di pabrik-pabrik, di rumah-rumah gedongan kelas menengah ke atas, di sekolah-sekolah menengah di kota-kota kecil dan pedesaan. Siapakah yang paling “perempuan” antara para Sastrawangi dan para perempuan (muda dan tua) yang menjadi tetangga rumah kita (the women next door) ?

Apolitisme prosa para Sastrawangi ini, ironisnya, justru dianggap sangat politis oleh para sastrawan laki-laki tua Horison Manikebuis! Para apolitis tua, para Patriark inilah yang pertama-tama mengklaim betapa “sadar politik gender” para Sastrawangi tersebut! Cuma karena para Sastrawangi ini berani buka-bukaan dalam prosa mereka, juga dengan pakaian mereka!

Makanya tidak dianggap “artistik” atau “bermutu” atau “dahsyat” karya sastra para perempuan muda lain, yang mungkin bahkan jauh lebih “cantik” dan muda dibanding kaum Sastrawangi tersebut, yang menolak untuk buka-bukaan dalam fiksi mereka, dengan pakaian mereka, yang memilih untuk menulis tentang kehidupan Islami misalnya. Pernahkah kita membaca ada “kritikus” sastra membahas fiksi para pengarang perempuan Forum Lingkar Pena yang berjilbab itu? Begitu jelekkah fiksi mereka? Kenapa jelek? Apa ukuran yang dipakai untuk menjelekkannya?

Kalau fiksi para perempuan muda Forum Lingkar Pena diukur dengan standar buka-bukaan Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu tentu saja jelek amat hasil karya kelompok Forum Lingkar Pena itu. Tapi bagaimana kalau sebaliknya? Bagaimana kalau standar “estetika” Forum Lingkar Pena yang jadi kriteria penilaian prosa Ayu dan Djenar dkk? Apakah lucu membayangkan Ayu Utami dan Djenar memakai jilbab? Kok bisa lucu? Apa yang menyebabkan timbulnya rasa lucu yang lebih bersifat mengejek jilbab itu? Apakah jilbab bukan simbol “perempuan” dibanding bunga Kantong Semar yang bernama laki-laki itu atau Rafflesia yang bau itu?

Internalisasi ideologi “seni untuk seni”, seni yang apolitis, seni Horison Manikebuis, seni Humanisme Universal, telah begitu kuat dalam diri mayoritas sastrawan dan pembaca sastra kontemporer Indonesia. Makanya terasa wajarlah, normallah ideologi tersebut bagi kita. Seniman tidak perlu berpolitik, tapi berkaryalah! Seolah-olah berkarya itupun bukan sebuah sikap politik. Tak ada faktor di luar teks sastra yang mempengaruhi baik-buruknya mutu teks tersebut, celoteh Hudan Hidayat. Tapi, pada saat yang sama misalnya, dia dengan sengaja menciptakan “polemik” di antara sesama kenalannya penulis di sebuah koran nasional terbitan Jakarta setiap kali dia menerbitkan buku baru, cuma agar publik sastra tahu penerbitan prosa terbarunya itu. Cuma biar dia “dibicarakan” dan dibaca publik sastra Indonesia di luar Jakarta sekitarnya. Cuma biar mudah-mudahan bisa masuk prosanya dalam kanon sastra Indonesia.

Politik sastra yang dilakukan Hudan Hidayat ini juga dilakukan oleh koran Kompas dengan seri-antologi Cerpen Pilihan Kompas dan kelompok Teater Utan Kayu (TUK). Penerbitan tahunan seri-antologi Kompas tersebut telah berhasil membentuk opini publik sastra yang positif atasnya. Saat ini seri-antologi tersebut sudah berhasil masuk dalam kanon cerpen Indonesia dan para cerpenisnya pun sudah dianggap cerpenis “bermutu” Indonesia. Dua faktor yang paling mempengaruhi interpretasi dan resepsi atas seri-antologi tersebut adalah pertama, reputasi Kompas sendiri sebagai koran nasional yang paling besar oplahnya dan paling banyak dibaca kaum intelektual kota besar kita. Faktor jurnalistiknya sebagai koran kaum intelektual nasional tidak bisa tidak diperhitungkan. Kedua adalah strategi pemakaian (kritik) Kata Pengantar dan Kata Penutup yang rata-rata ditulis oleh nama-nama yang dianggap “otoritas” sastra Indonesia. Keberadaan Kata Pengantar dan Kata Penutup oleh para otoritas sastra tersebut telah mempengaruhi bagaimana pembacanya harus membaca seri-antologi itu. “Kesastraan” (literariness) dari seri-antologi itu terjamin sudah oleh keberadaan tulisan para otoritas sastra tersebut.

***

TUK atau Teater Utan Kayu adalah satu-satunya kelompok “Teater” di sastra kontemporer kita yang paling serius berambisi untuk mendominasi dunia sastra kita. Bukanlah sebuah kebetulan belaka bahwa embrio kelompok Teater yang tidak pernah mementaskan produksi teater ini lahir setelah memudarnya zaman keemasan majalah Horison (dan Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta), setelah pecahnya Kelompok Horison Manikebuis antara Kelompok Goenawan Mohamad dan Mochtar Lubis dkk. Kita tentu masih ingat bahwa Kelompok Goenawan Mohamad sempat menerbitkan satu edisi majalah Horison versi mereka sebelum akhirnya memulai penerbitan majalah Kalam yang kemudian menjadi ikon TUK itu.

“Kemenangan” dan publikasi novel Saman “karya” konon salah seorang anggota TUK yaitu Ayu Utami merupakan peristiwa bersejarah pertama dalam politik sastra TUK. “Kemenangan” naskah “fragmen” novel ini sendiri di sayembara roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 1998 masih bisa dipersoalkan “kebenaran”nya. Lalu, manipulasi komentar Pramoedya Ananta Toer di sampul belakang novel yang diterbitkan itu, yang menjadi seolah-olah memuji tinggi novel tersebut. Terakhir, “kemenangan” Ayu Utami – “karena karyanya dianggap meluaskan batas penulisan dalam masyarakatnya” seperti tertulis di halaman belakang novel keduanya Larung – atas Prince Claus Award di Belanda pada tahun 2000, padahal terjemahan bahasa Belanda (atau bahasa lainnya) novel satu-satunya yang pernah ditulisnya saat itu, Saman, belum ada sehingga sangat masuk akal kalau menimbulkan pertanyaan bagaimana para juri Prince Claus Award “tahu” tentang kehebatan novel tersebut. Siapakah yang menjadi “narasumber” kehebatan novel tersebut? Kalau komentar pengarang sekaliber Pram saja tidak malu-malu mereka manipulasi di dalam negeri sendiri, bagaimana di luar negeri sana lagi?!

Politik sastra TUK makin dipercanggih dengan berhasilnya TUK “memindahkan” festival (lebih tepat disebut “expo sastra kolonial”!) bernama Winternachten di Den Haag, Belanda ke Indonesia yang akhirnya diganti namanya menjadi “Utan Kayu International Literary Biennale”.

Promosi tentang “internasionalisme” acara baca-sastra mereka ini ternyata ampuh dalam mempesona kebanyakan sastrawan muda Indonesia yang, bisa dipahami, berambisi besar untuk cepat-cepat go international. Seandainya saja para pengarang muda kita ini tidak begitu buta akan peta sastra internasional kontemporer yang sebenarnya, tentu mereka tidak akan begitu saja terpedaya dengan klaim “internasional” pada nama acara sastra TUK ini dan sadar bahwa yang “internasional” hanyalah nama dan asal pesertanya saja. Di luar itu, tak ada yang “internasional” di acara Utan Kayu International Literary Biennale tersebut.

Seperti pada kasus Cerpen Pilihan Kompas, Biennale Sastra TUK pun akhirnya dianggap menjadi jalan menuju kanon sastra Indonesia. Seperti yang dengan penuh percaya diri pernah diungkapkan Direkturnya, Sitok Srengenge, bahwa sastrawan Indonesia baru dianggap sebagai sastrawan Indonesia setelah diundang dalam acara sastra TUK semacam Biennalenya yang “internasional” itu. Kita memang dianggap sangat kampungan pergaulan kita oleh Sitok Srengenge sampai legitimasi kita sebagai sastrawan Indonesia pun harus berijasah “TUK” dulu baru sah diakui mereka.

Politik sastra TUK tidak berhenti hanya pada penyelenggaraan Biennale Sastra yang merupakan legitimasi kesastraan sastrawan Indonesia (bagi para sastrawan “internasional”nya itu tentu saja, dan terutama bagi sastrawan lokal yang diundang) seperti yang dinyatakan Sitok Srengenge di atas tapi juga meluas ke penguasaan media massa yang punya posisi penting dalam percaturan sastra kontemporer kita. Kompas pun akhirnya berhasil dirangkul melalui Hasif Amini yang menggantikan Sutardji Calzoum Bachri sebagai redaktur rubrik puisinya. Kita tentu saja bisa bertanya: Kok Hasif Amini? Apa kredensial orang ini tentang puisi padahal dia tidak dikenal sebagai penyair atau sastrawan malah? Seperti Sutardji, dia bukan wartawan Kompas, tapi “diundang” dari luar. Fakta inilah yang membuat kita berhak mempertanyakan alasan pemilihan Hasif Amini yang orang TUK itu dibanding orang lain, dan fakta bahwa reputasi jurnalistik Kompas akan sangat mempengaruhi resepsi pembaca atas puisi yang dimuat tiap Minggu, seperti pada kasus cerpen Kompas.

Politik kanonisasi sastra TUK memiliki dua wajah. Di dalam Indonesia, TUK berusaha membentuk jaringan ideologis dimana pusat pengaruh legitimasi identitas kesastrawanan pengarang Indonesia ada di tangannya, disadari atau tidak oleh sastrawan yang terjaring di dalamnya. Biennale Sastra TUK, posisi Hasif Amini di Kompas Minggu sampai keterlibatan TUK dalam seleksi siapa sastrawan lokal yang pantas ikut acara Ubud Writers and Readers Festival di Ubud, Bali, merupakan prakteknya.

Sementara ke luar Indonesia, TUK berusaha menciptakan identitas-diri sebagai satu-satunya institusi (sastra) yang paling representatif mewakili sastra(wan) Indonesia, demi berbagai maksud dan tujuan. Pembentukan jaringan pengaruh atau politik kanonisasi sastra di dalam Indonesia tadi sangat penting artinya bagi strategi “hubungan internasional” TUK ini.

Sekarang timbul pertanyaan: Kenapa TUK harus melakukan semua ini? Apakah demi tujuan luhur untuk (di dalam Indonesia) mengangkat mutu dan (di luar Indonesia) derajat sastra(wan) Indonesia? Sejarah yang akan membuktikan saya benar atau salah.

***

Pada umumnya politik kanonisasi sastra diyakini lebih banyak dipengaruhi oleh politik kekuasaan demi kepentingan ideologis, politik dan nilai-nilai ketimbang sekedar karena kedahsyatan artistik karya. Pada saat yang sama politik kanonisasi sastra juga membuktikan betapa naifnya, betapa ahistorisnya, betapa tidak membuminya, para sastrawan yang masih yakin bahwa teks sastra adalah segalanya, bahwa tidak ada apa-apa di luar teks sastra, apalagi yang bisa mempengaruhi eksistensinya, bahwa “substansi” sastra adalah ukuran mutu karya sastra karena “substansi” sastra adalah “estetika” sastra yang “sublim”, sastra yang menjadi itu.

Marilah kita mulai belajar dewasa dalam bersastra.

Jogja, Oktober 2007-2009

Daftar Bacaan

  1. E Ulrich Kratz (ed.), Sumber Terpilih: Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, Jakarta 2000
  2. Frank Lentricchia dan Thomas McLaughlin (ed.), Critical Terms for Literary Studies, Chicago dan London 1990
  3. Katrin Bandel, Sastra, Perempuan, Seks, Yogyakarta 2006
  4. Keith Foulcher, Social Commitment In Literature And The Arts: The Indonesian “Institute Of People’s Culture” 1950-1965, Monash University, Clayton, Victoria 1986
  5. MH Abrams, A Glossary Of Literary Terms, Eight Edition, Boston 2005
  6. Saut Situmorang, Politik Sastra, Yogyakarta 2009
Comments
  1. […] Saut sebelum ‘terjerat’ kasus buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh [dengan Katrin, istrinya] telah sebelumnya dikenal di dunia sastra Indonesia karena memiliki kepedulian yang tinggi terhadap arah laju sastra Indonesia yang menunjukkan gejala kepada kokohnya oligarki sastra lingkar Goenawan Mohamad (cf. Suyitno), kini kian tak bisa menghindar dari kapitalisme (cf. Sapardi Djoko Damono, Saut Situmorang), tampak jelasnya budaya feodalisme dalam sastra Indonesia (cf. Rusli Marzuki Saria via Leon Agusta), adanya politik sastra [dan indorsmen nilai kebudayaan] yang berjejaring dengan komunitas Eropa (cf. Katrin Bandel), dan ajegnya politik kanonisasi di dalam dunia sastra Indonesia (cf. Saut Situmorang). […]

  2. […] dong politik sastra saut situmorang atau kekerasan budaya pasca 1965 wijaya […]

Leave a comment