Archive for 19/12/2010

TIRAI

Posted: 19/12/2010 in Cerpen

cerpen Saut Situmorang

Peristiwa itu terjadi begitu cepat. Seekor kucing tiba-tiba saja muncul dari seberang jalan dan berlari melintas. Aku gugup dan berusaha menekan pedal rem kuat-kuat. Akibatnya sepeda motorku ‘slip’ dan menggelincir tak terkendali ke tepi jalan.

Aku lihat banyak orang berlarian ke tempat di mana badanku terkapar. Mereka lalu berkerumun di sekitarku. Segera saja lalulintas di jalan itu macet. Suara-suara klakson mobil dan sepeda motor begitu ramai, tapi tak membuat kerumunan orang di sekitarku jadi bubar. Malah semakin banyak orang yang datang berkerumun di situ.

Tak berapa lama terdengar sirene ambulance. Sebuah mobil ambulance berhenti tak berapa jauh dari tempat badanku terkapar. Orang-orang yang berkerumun itu mulai menjauh tatkala dari dalam ambulance keluar seorang polisi dan dua laki-laki berpakaian putih-putih. Kedua laki-laki itu membawa sebuah tandu yang juga berwarna putih. Mereka berjalan ke tempat di mana badanku terkapar.

Begitu melihat posisi badanku yang terjepit sepeda motor dengan darah berceceran di sekitarnya itu, nampak ada perubahan di wajah ketiga orang itu. Terutama kedua laki-laki yang berpakaian putih-putih itu. Kayaknya mereka agak ngeri melihat apa yang ada di hadapan mereka saat itu. Polisi itu lalu mengangkat sepeda motor yang menimpa badanku. Terdengar beberapa jeritan kecil dari tepi jalan saat sepeda motor itu diangkat. Kepalaku berdarah dan darah itu begitu banyak hingga membentuk sebuah genangan kecil di dekatnya. Helmku tak nampak, mungkin tercampak waktu sepeda motor itu tergelincir tadi. Juga tak ada bangkai kucing di situ. Hanya pecahan kaca bertaburan sampai ke tepi jalan.

Salah seorang laki-laki berpakaian putih-putih itu jongkok dan meraba tangan kananku, sementara si polisi sibuk berkomunikasi via walky-talkynya. Kemudian dia bangkit dan membisikkan sesuatu kepada polisi itu. Tak lama kemudian datang tiga orang polisi bersepeda motor dan setelah berbicara sebentar dengan polisi pertama tadi, dua di antaranya mulai mengatur jalannya lalulintas yang sempat macet itu. Kedua laki-laki berpakaian putih-putih itu dibantu seorang polisi mulai mengangkat badanku ke tandu dan menggotongnya ke ambulance. Lalu sambil memperdengarkan suara sirenenya yang meraung-raung panjang ambulance itu bergerak meninggalkan tempat itu.

Mereka menempatkan badanku di sebuah ruangan yang bertuliskan ‘EMERGENCY’ di atas pintunya. Laki-laki berpakaian putih-putih yang meraba tanganku tadi nampak mulai sibuk. Dia berganti-ganti memberi perintah kepada beberapa laki-laki dan perempuan yang juga berpakaian putih-putih yang ada di ruangan itu. Lalu dia mulai menekan-nekan dadaku dengan kedua telapak tangannya. Dia berbuat begitu sampai keringat bercucuran dari dahinya. Semuanya kelihatan tegang. Hanya si polisi yang terdengar masih tetap berwalky-talky di luar. Aku tak tahu berapa lama laki-laki berpakaian putih-putih itu menekan-nekan dadaku sebelum dia menghentikannya. Kembali dia menghapus keringat di dahinya. Kemudian dia berjalan ke arah pintu, membukanya dan menatap polisi yang juga sedang melihat padanya. Dia menarik napas sebentar sebelum menggelengkan kepalanya.

Mereka meninggalkan badanku dalam ruangan bertuliskan ‘EMERGENCY’ ini dengan sehelai kain putih menutupi seluruh badanku. Aku masih sempat tadi melihat perban yang membalut kepalaku sebelum ditutupi kain putih itu. Terlihat cukup jelas noda darah di situ.

Entah berapa lama tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan muncullah si laki-laki berpakaian putih-putih tadi. Lalu si polisi dan beberapa orang lain. Aku mengenali beberapa orang lain itu. Terutama seorang perempuan tua di antara mereka. Perempuan tua itu adalah ibuku. Dia kelihatannya sedang menangis, dan begitu kain putih itu dibuka, tangisnya pun menjadi-jadi. Bahkan dia setengah menjerit. Begitu pula beberapa orang lain yang adalah adik-adik kandungku itu.

Aku heran sekali. Mengapa mereka menangis seperti itu? Terutama ibuku. Oh, betapa senangnya aku melihat perempuan tua yang sangat kusayangi itu. Aku panggil dia. Tapi, dia tak menjawab. Menoleh pun tidak. Aku ulangi lagi memanggilnya. Tapi sama saja. Aku jadi tambah heran. Aku coba menyentuh tangannya yang sedang mengusap-usap wajahku. Kembali tak ada reaksinya. Dia tidak menggubrisku! Aku coba memanggil nama adik-adikku sambil mengguncang pundak mereka. Mereka juga tak menggubrisku dan tetap menangis keras-keras. Aku benar-benar penasaran jadinya. Aku benar-benar tak tahu mengapa mereka tak menggubrisku. Apakah mereka tak melihat aku? Apakah mereka semua sudah tuli hingga tak mendengar panggilanku? Aku benar-benar tak mengerti sikap mereka itu.

Laki-laki berpakaian putih-putih itu mendekati ibuku dan mencoba menghiburnya. Kulihat dia mengatakan sesuatu pada ibuku. Ibuku mulai menghentikan tangisnya walau masih terlihat punggungnya bergerak-gerak perlahan tanda dia berusaha menahan keluarnya tangisannya. Ibuku lalu mengusap airmatanya dengan ujung selendangnya. Adik-adikku pun berhenti menangis. Kini mereka semua memandangi wajahku dengan pandangan kasihan. Ya, mungkin mereka merasa kasihan melihat wajahku yang rusak itu. Tapi aku masih tak tahu mengapa mereka tadi menangis begitu aneh dan malah sampai tak menggubris tegoranku. Ini sungguh aneh. Apa mungkin karena mereka begitu sedih melihat keadaan badanku yang rusak itu hingga tak sadar kalau aku sedang memanggili mereka tadi? Ya, mungkin saja. Mereka memang pantas bersikap seperti itu karena wajahku benar-benar amat menyedihkan keadaannya.

Setelah tak ada lagi terdengar tangisan di ruangan itu, si laki-laki berpakaian putih-putih melihat pada si polisi dan memberikan isyarat dengan menganggukkan kepalanya. Si polisi lalu keluar dari ruangan itu.

Ibuku mencium wajahku sebelum laki-laki berpakaian putih-putih itu menutupnya kembali dengan kain putih. Airmata masih terus mengalir di wajah ibu. Selendangnya pun sudah basah. Sekarang ibu mengusap airmatanya dengan saputangan yang tadi diberikan oleh salah seorang adikku. Tak lama kemudian si polisi tadi muncul dengan dua orang lain yang berpakaian putih-putih. Mereka langsung berjalan ke arah di mana badanku sedang dibaringkan. Lalu kedua laki-laki berpakaian putih-putih itu mendorong bed tempat badanku terbaring ke luar ruangan. Di luar sudah menunggu ambulance yang membawa badanku kemari tadi. Aku lihat ibuku mulai menangis lagi. Dia masuk ke dalam ambulance dan duduk dekat bed tempat badanku berada. Begitu pula adik-adikku dan si polisi. Kembali terdengar suara raungan sirene waktu ambulance mulai bergerak keluar rumah sakit.

Ternyata di rumah sudah banyak orang berkumpul. Mereka sepertinya sedang menunggu kedatangan ambulance itu. Begitu ambulance tiba, tiba-tiba pula terdengar suara-suara tangisan dari dalam rumah. Ibu dan adik-adikku pun mulai lagi menangis keras-keras. Aku benar-benar tak mengerti. Apa yang terjadi pada mereka hingga terus-menerus menangis? Kalau cuma karena melihat keadaanku yang rusak, mengapa sampai begitu berlebih-lebihan tangisan mereka? Dan orang-orang yang berada di rumah, apa pula sebabnya mereka menangis? Mereka kan belum melihat badanku yang rusak? Aku benar-benar tak tahu apa jawabannya. Aku hanya diam saja memandangi mereka yang bersikap aneh itu. Aku tak mau lagi mencoba menegur ibuku, adik-adikku, atau siapapun di tempat ini. Aku yakin tak satu pun dari mereka akan menggubrisku. Mereka benar-benar membingungkanku.

Aku tiba-tiba melihat sesuatu yang aneh di samping rumah. Sebuah peti, tapi bentuknya agak panjang. Peti panjang itu kelihatan cantik, apalagi dengan adanya kain hitam yang membalutnya. Di salah satu ujungnya terdapat sebuah tanda besar. Tanda itu berwarna putih. Aku tak tahu tanda apa itu dan untuk apa peti panjang itu. Tanda itu juga nampak cantik di peti panjang itu. Aku suka melihat tanda aneh itu.

Aku tak mau masuk ke dalam rumah. Aku tak suka melihat keadaan di situ. Aku tahu mereka pasti sedang menangis di dekat badanku yang rusak itu seperti yang dilakukan ibu dan adik-adikku di ruangan yang di atas pintunya ada tulisan ‘EMERGENCY’ tadi. Mereka hanya akan menambah kebingunganku saja nanti.

Aku tak tahu berapa lama aku berdiri dekat peti panjang itu ketika datang empat laki-laki ke arahku. Aku gembira melihat kedatangan mereka. Aku yakin mereka pasti melihatku dan ingin berbincang-bincang denganku. Begitu mereka sudah dekat aku langsung menyapa mereka. Tapi, tak satu pun dari mereka membalas sapaanku. Aku ulangi lagi, kali ini sengaja kusapa mereka keras-keras. Tapi tetap saja tak ada balasan mereka. Malah mereka melewatiku dan berjalan menuju peti panjang itu. Lalu mereka mengangkatnya dan membawanya ke dalam rumah. Aku penasaran sekali melihat kesombongan mereka itu. Aku coba menahan kemarahanku dan kuikuti mereka dari belakang. Aku ingin tahu apa yang akan mereka lakukan dengan peti panjang itu.

Peti panjang itu sudah terbuka tutupnya dan terletak dekat badanku yang dibaringkan di tengah-tengah ruang tamu. Aku lihat kain penutup wajahku pun terbuka dan nampaklah wajahku yang penuh perban itu. Ibuku duduk dekat kepalaku. Airmata nampak di wajahnya yang agak bengkak itu. Begitu juga adik-adikku. Mereka terus-menerus memandangi wajahku yang sangat pucat itu. Seluruh ruang tamu penuh dengan orang-orang dengan wajah yang juga nampak berduka

Keempat laki-laki tadi mengangkat badanku dan memasukkannya ke dalam peti panjang itu. Lalu mereka mengangkat penutup peti ke atasnya. Setelah itu mulailah mereka memaku tepinya. Aku kaget sekali. Mengapa mereka masukkan badanku ke peti panjang itu lalu memakunya? Hendak mereka apakan badanku itu? Kembali kudengar suara-suara tangisan waktu keempat laki-laki itu mengangkat peti panjang berisi badanku keluar rumah. Aku buru-buru mengikuti mereka sampai mereka memasukkan peti panjang itu ke dalam ambulance yang masih menunggu di jalan depan rumah. Orang-orang di dalam rumah pun ikut keluar. Mereka kemudian masuk ke dalam beberapa mobil yang berbaris di depan rumah. Setelah semua mobil itu penuh, ambulance mulai bergerak meninggalkan depan rumahku, diikuti mobil-mobil itu, entah menuju ke mana.

Banyak sekali rumah-rumah kecil aneh di tempat ke mana badanku dibawa ini. Semuanya bersemen dan mempunyai tanda aneh seperti tanda di peti panjang berisi badanku itu. Keempat laki-laki tadi membawa peti panjang itu ke satu sudut di mana aku lihat terdapat satu lobang besar yang baru digali. Melihat lobang besar itu, aku tiba-tiba jadi gelisah. Aku berusaha menduga apa tujuan mereka membawa badanku kemari. Peti panjang itu mereka letakkan dekat bibir lobang besar itu sekarang.

Orang-orang dari rumahku tadi berkumpul di sekeliling lobang besar itu. Ibu dan adik-adikku berdiri dekat bagian kepala peti panjang itu. Lalu seorang laki-laki tua berpakaian hitam-hitam yang berdiri di sisi peti mulai bicara dan membaca sebuah buku kecil di tangannya. Lalu mereka semua mulai bernyanyi! Makin bingung aku melihat tingkah-laku orang-orang ini. Tadi menangis, sekarang mereka menyanyi! Bahkan ibuku pun ikut-ikutan menyanyi sambil sesekali mengusap airmata yang tak henti mengalir di wajahnya! Absurd!

Tapi aku justru makin gelisah dibuatnya. Aku berusaha menduga-duga apa arti dari semuanya ini tapi aku tetap tak mengerti. Entah berapa lama kemudian tiba-tiba keempat laki-laki tadi muncul dari kerumunan orang-orang di sekeliling lobang besar itu, mendekati peti, lalu memasukkan peti panjang yang berisi badanku itu dengan tali ke dalam lobang. Lalu laki-laki tua berpakaian hitam-hitam itu, ibuku, adik-adikku, dan yang lainnya mulai menjatuhkan gumpalan-gumpalan tanah ke dalam lobang itu!

Aku menjerit keras! Aku mencoba menahan mereka untuk tidak melanjutkan perbuatan mereka itu tapi tak ada yang menghiraukanku dan mereka terus memasukkan tanah ke dalam lobang itu! Aku berlari mendekati ibuku yang menangis di dekat lobang yang sudah mulai tertutup tanah itu. Sambil menggoncang-goncangkan badannya kuminta dia melarang orang-orang menimbuni lobang tempat badanku berada. Tapi, kembali usahaku sia-sia. Ibuku masih tetap tak menghiraukanku…

Aku menangis sedih. Aku menangis sedih dekat gundukan tanah berisi badanku ini. Aku masih terus menangis walau kini tinggal aku sendiri di tempat sunyi ini. Aku tak mengerti mengapa mereka lakukan semua ini.


Medan, April 1988- Jogja, Oktober 2005

(In Memoriam: Ibuku)

KOTBAH HARI MINGGU

Posted: 19/12/2010 in Cerpen

cerpen Saut Situmorang

 

Hari Minggu pagi. Tak ada mendung di langit, matahari bulat penuh kemerah-merahan seperti telor matasapi tergantung di ranting pohon jambu di depan rumah. Tiga ekor burung kutilang ribut di pucuk ranting jambu yang tinggi, sementara di bawahnya di tanah ayam-ayam kampung berebutan makan jagung. Terdengar suara anak menangis dari dalam rumah.

“Pagi yang indah,” kata Pak Pendeta sambil meminum kopi yang masih mengepulkan uap panas di atas meja. Dia baru saja bangun. Cuci muka dulu, lalu dia duduk menghadapai kopi panasnya. Sudah jadi kebiasaannya begitu. Bangun pagi, cuci muka, lalu minum kopi. Tanpa baju, hanya pakai sarung. Sudah jadi kebiasaan istrinya pula untuk bangun pagi, cuci muka, masak air, dan membuat kopi untuk dia, suaminya. Tentu saja dia pakai baju dan sarung.

“Pagi yang indah,” kata Pak Pendeta sambil meminum kopi yang masih mengepulkan uap panas di atas meja, di depannya. Suara tangisan anak tadi masih terus terdengar. Berasal dari kamar mandi di belakang rumah. Kadang-kadang terdengar juga suara perempuan, istri Pak Pendeta, sedang membujuk-bujuk anak yang menangis itu. Pak Pendeta baru tiga tahun kawin. Punya anak satu, laki-laki. Dan di rumah ini tidak ada orang lain yang tinggal bersama mereka kecuali mereka bertiga saja. Itulah sebabnya suara anak yang menangis di kamar mandi itu adalah suara anaknya dan yang sedang membujuk-bujuk anaknya yang menangis di kamar mandi itu adalah istrinya yang baru tiga tahun dikawininya.

“Pagi yang indah,” kata Pak Pendeta sambil meletakkan gelas kopinya yang sudah kosong ke meja di depannya. Meja itu terbuat dari kayu jati dan diberi taplak Ulos Batak. Sekarang matahari sudah agak tinggi dan anaknya sudah selesai mandi dan Pak Pendeta bangkit dan pergi ke kamar mandi. Seekor lalat terbang mengitari permukaan gelas kopi yang sudah kosong itu, hanya di dasarnya nampak sisa kopi, dan terus terbang mengitarinya selama beberapa detik sebelum akhirnya hinggap di tepi mulut gelas kopi yang sudah kosong di atas meja kayu jati bertaplak Ulos Batak itu.

Di kamar istri Pak Pendeta sedang sibuk membantu anaknya berpakaian. Mereka hendak ke gereja dan mereka masih punya banyak waktu untuk berpakaian. Dia sendiri belum mandi, hanya cuci muka dulu lalu masak air dan membuat kopi untuk suaminya, Pak Pendeta. Sudah jadi kebiasaannya juga, dia baru mandi setelah anak laki-lakinya yang menangis di kamar mandi tadi dan suaminya selesai mandi. Sekarang dia, istri Pak Pendeta, sedang sibuk membantu anaknya berpakaian di kamar anaknya itu.

Pak Pendeta sudah selesai mandi. Wajahnya berseri-seri, rambutnya agak basah, dan dia cuma memakai sarung saja keluar dari kamar mandi. Dia melihat pada gelas kopi kosong yang ada lalat merayapi dalamnya untuk minum sisa kopi di dasar gelas di atas meja kayu jati bertaplak Ulos Batak itu. Dia tersenyum. Pagi yang indah, gumamnya sambil masuk ke kamarnya. Hari ini adalah hari pertamanya memberikan kotbah setelah kepindahannya ke kota ini.

Giliran istrinya sekarang mandi. Anak laki-lakinya sudah selesai berpakaian dan tidak menangis lagi. Dia duduk di ruang tamu menunggu orangtuanya siap berangkat ke gereja.

Tak berapa lama kemudian mereka bertiga sudah berada dalam mobil. Pak Pendeta mengenakan pakaian barunya yang tadi malam disetrika rapi oleh istrinya. Sepatunya tersemir mengkilat. Rambutnya yang dipangkas pendek tersisir rapi ke samping. Dia nampak gagah. Dia tersenyum. Hari ini adalah hari pertamanya memberikan kotbah setelah kepindahannya ke kota ini. Istrinya juga berpakaian rapi. Wajahnya juga berseri-seri. Dia nampak jauh lebih muda dan sangat cantik. Anak laki-laki mereka merasa bangga sekali melihat kedua orangtuanya itu.

Pak Pendeta merasa beruntung sekali karena gereja barunya tempat dia sekarang bekerja menyediakan satu mobil untuk dipakainya. Mobil itu tidak baru, tapi karena dirawat baik oleh pemakai sebelumnya, yaitu pendeta lama yang digantikannya, jadi nampak seperti baru dibeli saja. Memang mobil itu sebenarnya baru dibeli oleh gereja untuk dipakai pendeta lama tadi. Jadi bisa dibilang mobil itu mobil baru juga. Pak Pendeta merasa beruntung sekali karena gereja barunya tempat dia sekarang bekerja menyediakan satu mobil untuk dipakainya jadi dia tak perlu repot-repot lagi memikirkan untuk membeli kendaraan untuk dipakainya sehari-hari. Tentu saja dia tahu menyetir mobil. Ayahnya almarhum adalah bekas pendeta dan sama seperti dia sekarang juga disediakan mobil untuk dipakai sehari-hari oleh gereja tempatnya bekerja. Waktu itulah dia belajar nyetir dan setelah bisa nyetir dia sering menyupiri ayahnya ke tempatnya kerja. Mengingat itu semua Pak Pendeta tersenyum lebar dan menoleh pada anak laki-lakinya.

Karena hari ini hari Minggu jalanan nampak lengang. Tak banyak kendaraan lalu lalang seperti waktu hari-hari kerja. Kayaknya orang merasa malas keluar rumah dan memilih nonton tv saja di rumah bersama keluarga. Mungkin juga karena berpikir kalau keluar rumah pasti keluar uang maka lebih baik menghabiskan liburan sehari di rumah saja. Tapi sudah beberapa kali Pak Pendeta melihat anak-anak muda ke gereja. Mereka berjalan di trotoar jalan dan nampak kitab suci Injil serta buku nyanyian di tangan mereka. Kebanyakan mereka anak-anak yang masih sangat muda usianya. Pak Pendeta gembira sekali melihat ini semua. Mulutnya terus menerus menyunggingkan senyuman lebar. Wajahnya berseri-seri. Tiba-tiba dibayangkannya bagaimana nanti meriahnya sambutan orang di gereja terhadap dirinya, pendeta baru mereka. Mereka akan dengan tekun mendengar kotbahnya. Dan setelah selesai acara kebaktian mereka akan datang menyalaminya sambil mengucapkan selamat datang. Mungkin juga bakal ada semacam acara selamat datang yang khusus untuknya. Bukankah dia juga mendapatkan hal yang sama waktu keberangkatannya dulu dari gerejanya yang lama? Pagi yang indah, gumamnya dan tersenyum-senyum. Di jalan nampak anak-anak berusia sangat muda berjalan ke gereja dan nampak kitab suci Injil serta buku nyanyian di tangan mereka. Pak Pendeta jadi ingin cepat-cepat sampai ke gereja barunya. Dia sudah tak sabar untuk melihat domba-dombanya. Dia sudah tak sabar untuk memberi makan domba-dombanya…

Waktu itulah kecelakaan itu terjadi. Tiba-tiba saja seorang pengendara sepeda motor muncul dari belakang dan menyalipnya. Untunglah dia seorang pengemudi yang berpengalaman. Walaupun kaget setengah mati dia masih dapat menguasai dirinya dan berhasil merem mobilnya meski tetap saja mereka terdorong cukup keras ke depan. Istrinya menjerit dan nampak pucat. Untunglah saat itu tak ada kendaraan lain di belakang mereka. Sulit dibayangkan apa yang bakal terjadi kalau ada satu atau tiga kendaraan lain membuntuti mereka waktu dia merem mobilnya dengan tiba-tiba tadi. Tapi sebentar kemudian perhatiannya sudah beralih ke arah muka. Rupanya sepeda motor tadi mengalami kecelakaan. Satu mobil sedan tiba-tiba muncul di persimpangan jalan dan meskipun mobil itu berjalan pelan kecelakaan tak terhindarkan lagi. Si pengendara sepeda motor terlempar dari sepeda motornya dan terbanting dengan keras ke aspal jalan dan sepeda motornya sendiri terseret sampai ke pinggir jalan. Mobil sedan yang tiba-tiba muncul di persimpangan jalan tadi melarikan diri dengan kecepatan tinggi. Di depannya sekarang di jalan berserakan kaca bercampur darah dan si pengendara sepeda motor tergeletak tak bergerak dan sepeda motornya hancur dan berlepotan darah. Istri Pak Pendeta pucat wajahnya. Anak laki-laki mereka diam tak berani bertanya apa-apa. Di tengah jalan berserakan kaca bercampur darah dan di tengah-tengah genangan darah si pengendara sepeda motor tergeletak tak bergerak.

Suara klakson mobil di belakangnya menyadarkan Pak Pendeta dan mobil mereka mulai bergerak pelan-pelan ke depan…


Hari Minggu pagi. Tak ada mendung di langit dan matahari bulat penuh kemerah-merahan seperti telor matasapi tergantung di atas jalan dan di tengah jalan berserakan kaca bercampur darah dan di tengah-tengah genangan darah si pengendara sepeda motor tergeletak tak bergerak. Di trotoar jalan nampak anak-anak berusia sangat muda berjalan ke gereja dan nampak kitab suci Injil serta buku nyanyian di tangan mereka.

Wellington 1993

PETI MATI

Posted: 19/12/2010 in Cerpen

cerpen Saut Situmorang

Aku sedang tidur lelap waktu tiba-tiba suara bel pintu mengagetkanku. Pukimak! makiku, terseok-seok jalan ke pintu. Dengan kepala masih setengah tidur aku buka kunci pintu dan ternyata tak ada orang! Aku keluar dan tetap tak ada orang di situ. Bangsat! Setan alas begu ganjang mana pula ini yang berani mengganggu tidurku pagi-pagi begini!

Tapi, apa itu? Di atas tanah di bawah tangga rumah nampak sesuatu seperti sebuah papan besar tergeletak. Aku segera turun. Belum lagi tiga anak tangga aku turuni, rasa heran mulai timbul padaku. Benda yang mirip papan lebar yang aku lihat tadi ternyata bagian penutup sebuah peti mayat yang masih baru yang tergeletak tepat di atas tanah di ujung tangga rumahku. Bah!

Setan mana pula ini yang berani main gila denganku sepagi ini!

Aku lihat tak ada orang di sekitar situ. Di jalan kecil depan rumah juga begitu. Untuk beberapa saat aku cuma berdiri termangu. Ngantukku sudah lenyap. Marahku menguap, jadi kehampaan rasa heran yang mustahil bisa kau bayangkan. Setelah beberapa waktu berlalu aku dekati dan perhatikan baik-baik peti itu dan memang terdapat satu sticker berisi nama dan alamatku di bagian penutupnya…

SAUT SITUMORANG
24 VOLTAIRE ST
KARORI
WELLINGTON
NEW ZEALAND

Hanya itu. Tak ada nama si pengirim, atau keterangan lainnya. Peti mati ini memang untukku!

Aku coba mengingat-ingat tapi aku yakin tak pernah aku pesan peti mati untukku. Untuk apa aku pesan peti mati walau ia mengkilat dan berukiran bagus begini? Pasti ada orang yang main-main denganku! April Fool’s Day? Tapi hari ini bukan bulan April. Hari ini… ah, baru aku ingat, hari ini 29 Juni, hari ulangtahunku! Pasti ada kawan yang main gila denganku. Diancuk!

Peti mayat ini cukup cantik. Kayunya kayu hitam yang kuat dan dipernis mengkilat. Peti mayat ini juga dihiasi dengan kain putih berenda seperti renda-renda kain jendela. Mengingatkanku pada peti mayat orang-orang kaya yang punya selera. Peti mayat ini pasti mahal harganya.

Walau begitu ini absurd! Hanya film-film Luis Bunuel yang penuh kejadian surrealis macam begini. Setahuku, aku tak punya kawan segila Bunuel. Justru akulah yang selalu mereka bandingkan dengan si Spanyol eksentrik itu! Ini sudah keterlaluan. Ini sudah melanggar hak asasiku. Tak bisa aku terima ini. Ini sudah lebih daripada sekedar black comedy. Ini penghinaan. Fucking shit!

Karena peti mati ini memang dialamatkan kepadaku tak mungkin aku membiarkannya tergeletak terus begitu saja di halaman rumah. Para tetangga bakal heboh dan polisi pasti akan datang untuk mengecek. Bisa berabe ini. Aku tak mau jadi objek ketawaan tetangga dan polisi dan mungkin juga negeri yang kecil ini. Di sini hal-hal sepele seperti kucing yang tak bisa turun pohon saja masuk Siaran Berita Nasional, apalagi berita sensasional seperti peti mati yang tiba-tiba muncul di depan rumahku ini! Aku tak mau masuk televisi karena alasan ini!

Ternyata peti mayat ini tidak begitu berat. Perlahan-lahan aku berhasil memundaknya naik ke rumah. Aku letakkan ia di ruang tengah. Dari celah gorden jendela aku intip keluar kalau-kalau ada orang yang kebetulan melihat. Syukurlah tak ada. Di sini hal-hal kecil juga bisa tiba-tiba jadi persoalan besar. Kalau ada orang misalnya melihatku memasukkan peti mayat ke dalam rumah, dia bisa berpikir yang bukan-bukan. Mungkin dikiranya aku baru membunuh seseorang dan ingin menutupi pembunuhan itu dengan cara menanam korbanku diam-diam. Di bukit di belakang rumah, atau juga di basement di bawah rumah. Lalu dia menelpon polisi dan tak tahulah aku bagaimana menjelaskan kepada polisi tentang keberadaan peti keparat ini. Yang pasti, polisi akan memeriksa semua sudut rumahku dan mencatat segala informasi tentang diriku dan akan terus mengawasiku dari waktu ke waktu. Dengan segala kecemasan ini di kepala, cepat-cepat kututup kembali pintu rumah.

Heran, aku kok tiba-tiba merasa sedih. Rasa sedih ini timbul setelah kembali aku mengamati peti mati di hadapanku ini. Walau memang sangat cantik, seperti namanya, peti ini adalah simbol kematian. Betapa berlawanan rupa peti ini dengan kenyataan yang ia wakilkan. Kematian selalu membuatku sedih. Tak ada yang lebih sedih daripada kehilangan seseorang karena mati. Kematian sangat menyedihkan karena tak adanya kemungkinan untuk bertemu lagi. Juga karena tak adanya kepastian ke mana kematian membawa yang mati pergi. Kematian adalah kehilangan total. Yang mati membusuk dilahapi berjuta ulat menjijikkan sampai yang tinggal cuma debu. Kematian adalah perusak nomor satu!

Tiba-tiba aku mulai menangis. Semua orang yang kukasihi yang sudah mati terbayang kembali. Tubuh mereka yang rusak yang hancur di perut bumi sangat menyakitkan hati. Aku benci mati! Aku tak mau mati! Peti keparat ini telah mengingatkanku pada mati yang sudah lama kucoba lupai.

Bangsat! Terkutuklah kau yang mengirim peti mati ini ke sini!

Seluruh badanku tiba-tiba gemetar dengan amarah. Kudekati peti mayat di hadapanku ini. Kuludahi ia seperti orang gila. Kumaki-maki dan kuterjang dengan jijik. Kuangkat tutupnya yang…

Oh! Kulihat tubuhku terbaring pucat di dalam peti mati itu!!!

Wellington 1995
Auckland 1998


Indonesia-Inggris

Posted: 19/12/2010 in Esei

oleh Saut Situmorang

 

Di sebuah koran daerah, dalam kolom bertajuk “Gaya Hidup”, saya membaca sebuah laporan menarik tentang pemakaian bahasa Indonesia terkini yang penuh didekorasi kata-kata bahasa Inggris. Menarik karena saya baru tahu setelah membaca laporan tersebut betapa parahnya sudah gejala gado-gado Indonesia-Inggris ini dalam pemakaian bahasa Indonesia sehari-hari terutama di kota-kota besar Indonesia. Tapi saya juga merasa geli membaca contoh-contoh bahasa Indonesia-Inggris yang disebutkan dalam laporan tersebut. Berikut ini saya kutipkan dua contohnya:


“Suatu pagi di sebuah ruang kuliah salah satu perguruan tinggi negeri . . . terdengar suara perempuan asyik menjelaskan materi kuliah. Di tengah kuliah ia bertanya, ’Oke, sudah mengerti semua? Atau ada yang get lost?’ Ketika tak ada yang menjawab, dosen cantik ini melanjutkan kuliahnya. Berarti tak ada mahasiswanya yang ‘tersesat’ alias get lost. Maksudnya tentu saja bukan tersesat dalam rimba tak bertuan, tapi tidak mengerti penjelasan materi kuliahnya. Nada (20), sebut saja begitu, salah seorang mahasiswanya berbisik, ’Bu dosen ini kalau ngajar memang begitu. Penuh istilah bahasa Inggris. Tapi enak, kesannya keren abis . . . .’”

Apa yang membuat saya jadi geli membaca laporan di atas justru adalah terjemahan yang dilakukan wartawan laporan tersebut yang seolah-olah membantu pembaca untuk mengerti arti/maksud istilah “get lost” yang dipakai dosen cantik tadi tapi malah memperparah kesalahkaprahan makna. Tidak ada dalam bahasa Inggris istilah “get lost” untuk menyatakan “tidak mengerti” atau “tidak paham” apalagi dalam konteks peristiwa yang dilaporkan di atas. Kata yang biasanya dipakai adalah kata sederhana “understand”, bukan “get lost”. Jadi, dalam sebuah suasana berbahasa Inggris yang baik dan benar, dosen cantik tadi mestinya bertanya, ”Oke, sudah mengerti semua? Atau ada yang still don’t understand?” kalau memang bahasa gado-gado ini masih akan dipakai. Atau, kalau memang mau gaul berbahasa Inggris, dia bisa bilang, ”Ok, do you all get it?” Tidak pernah kata “get” akan disandingkan dengan kata “lost” untuk menanyakan apakah sebuah informasi, sebuah pernyataan, apalagi sebuah materi kuliah sudah dipahami atau tidak. Istilah “get lost” yang dipakai dosen tersebut adalah sama sekali tidak benar alias salah karena arti sebenarnya bukan “tidak mengerti” tapi justru memang “tersesat” arah seperti yang disebutkan wartawannya! Dan lebih parah lagi, istilah “get lost” juga biasanya dipakai (secara “gaul”!) untuk memaki seseorang yang kita anggap menjengkelkan seperti pada ekspresi, “Get lost!”!

Contoh berikutnya adalah pemakaian bahasa Indonesia-Inggris di kalangan remaja:

“Di sebuah mal . . . serombongan pelajar sebuah sekolah menengah umum . . . berhenti sejenak di depan sebuah toilet. Salah seorang meninggalkan rombongan. Remaja putri tersebut pamit, ‘Aku pipis dulu ya . . .’ Seorang temannya berteriak, ‘As soon as possible ya. Filmnya udah mau main nih.’ Rupanya rombongan pelajar ini akan menonton film di bioskop yang terletak di seberang mereka.”

Pada contoh ini kembali kita melihat kesalahkaprahan idiomatik dilakukan begitu wajar sehingga terkesan memang tidak salah alias tepat pemakaian frase “as soon as possible” yang arti bahasa Indonesianya memang bisa jadi “cepeten ya”. Untuk konteks peristiwa kedua ini (“pipis”), kata yang tepat dipakai sebenarnya adalah “quick” atau “hurry”, bukan “as soon as possible”. Jadi kalimatnya mestinya, “Be quick ya” atau “Hurry up lah” seperti dalam bahasa Melayu Malaysia. Ketidakpahaman atas fungsi “as soon as” dalam contoh ini mirip dengan kesalahkaprahan atas fungsi “get” pada contoh pertama di atas.

Persoalannya sekarang adalah kenapa gejala pemakaian frase Inggris yang salah-kaprah macam ini bisa terjadi dan menjadi euforia di kalangan orang-orang kota besar di Indonesia, yaitu kalangan yang ironisnya adalah yang berpendidikan menengah sampai perguruan tinggi, kelompok yang dianggap terpelajar dan intelektual? Apakah isu (melorotnya) nasionalisme berbahasa bisa dijadikan faktor penyebabnya, atau hanya sekedar biar terkesan keren abis (atau “biar salah asal gaya”) seperti yang diklaim banyak pemakainya?

Alif Danya Munsyi, salah seorang alter ego Remy Sylado, seorang komentator Indonesia-Inggris yang paling vokal dalam tulisan-tulisannya seperti yang dikumpulkan dalam bukunya Bahasa Menunjukkan Bangsa (2005), saking terlalu bersemangatnya melancarkan kritiknya, telah melupakan dua hal penting dalam tulisan-tulisannya tersebut. Pertama, saking terlalu banyaknya dia memakai kata-kata “baru” yang tidak pernah dijelaskannya berasal dari bahasa apa, dari bahasa daerah atau dari bahasa asing seperti Arab dan Sanskerta, sehingga membingungkan paling tidak saya sebagai pembacanya, Munsyi mbeling ini justru telah melakukan apa yang dia dengan gencar lawan sebagai “penyakit menular” dalam bahasa Indonesia kontemporer dengan idiosinkrasi pilihan-katanya. Kalau orang lain kena virus nginggris, dia sendiri teridap penyakit sinonimisme, terlalu obsesif dengan padanan-kata non-baku yang centang-perenang. (Apa mungkin ada relasi psikologis antara sinonimismenya ini dengan obsesinya dengan pseudonym!)

Kedua, rasisme terhadap bahasa Inggris. Kenapa rupanya kalau bahasa Indonesia memperkaya kosa-katanya dari kosa-kata bahasa Inggris ketimbang dari bahasa daerah atau Sanskerta? Kenapa harus dianggap sebagai “seperti keranjang sampah kata-kata bahasa Inggris”? (Bahasa Inggris sendiri dan rata-rata bahasa di Eropa terlalu banyak “meminjam” dari bahasa “asing” Junani dan Latin tapi malah membuatnya berkembang pesat!) Bukankah justru karena hegemoni bahasa Inggris secara global maka akan lebih mudah bagi pemakai bahasa Indonesia untuk mengerti kata-kata “pinjaman” dari bahasa Inggris daripada kalau “meminjam” dari bahasa daerah tertentu yang saya yakin akan lebih asing bagi pemakai bahasa Indonesia yang tidak terbiasa dengan bahasa daerah tersebut? Dan Sanskerta? Untuk apa bernostalgia dengan bahasa asing yang sudah lama mati ini! Yang menjadi persoalan dalam gejala bahasa Indonesia-Inggris bukanlah keberadaan Inggris dalam tubuh bahasa Indonesia tapi ke-bukan-inggrisan “bahasa Inggris”-nya. Bahasa Indonesia-Inggris bukanlah sebuah pidjinisasi atau blasteranisasi seperti Singaporean-English (Singlish) atau Jamaican-English (seperti “Inglan Is a Bitch”-nya penyair reggae Linton Kwesi Johnson) yang merupakan gejala “the empire writes back” yang cerdas dan politis tapi sebaliknya merupakan peristiwa “bagai rusa masuk kampung” karena habitat hidupnya di hutan tropis sudah sangat menyusut. Kalau hibriditas pada pidjinisasi merupakan resistensi identitas dalam arena survival of the fittest hukum rimba pascakolonial, maka Indonesia-Inggris hanyalah sekedar lanjutan dari internalisasi inlanderisasi doang. Window shopping disangka bener-bener shopping! Tapi mengusulkan untuk mempadankan kata-kata Inggris ke dalam lafaz Indonesia adalah sama seperti memaksakan pemakaian dubbing ketimbang subtitle untuk film-film asing yang diputar di Indonesia. Demi alasan “nasionalisme bahasa”, disamping telah merampas hak penonton untuk mengalami nuansa bahasa percakapan bahasa asing yang dipakai film asing yang sedang ditonton, dubbing justru telah membuat film tersebut kehilangan unsur paling pentingnya sebagai “film asing” yaitu bahasanya yang asing itu!

Pemakaian kata-kata atau frase atau istilah bahasa Inggris dalam konteks wacana akademis-spesialis, Kritik Sastra misalnya, adalah sebuah gejala yang bisa diterima. Terminologi akademis tersebut bisa membantu pembaca/pendengar untuk memperjelas topik yang sedang dibicarakan, terutama karena makna spesialisnya (bukan idioskrinkratis!) sudah dipahami bersama oleh penulis/pembicara dan pembaca/pendengar. Pemakaian terminologi akademis-spesialis juga akan memberi nuansa tekstual kepada isi tulisan atau pembicaraan.

Membuat peraturan-peraturan yang idiosinkratik atas bahasa berdasarkan klaim-klaim yang juga idiosinkratik adalah sebuah sikap yang tidak memandang bahasa, sebuah produk budaya, sebagai sebuah organisme hidup. Seolah-olah bahasa tidak punya konteks ekstra-linguistik. Padahal perkembangan sebuah bahasa lebih banyak ditentukan oleh kondisi pemakaiannya ketimbang oleh ketepatan-ketepatan gramatikal belaka. Pengetahuan seseorang yang mengklaim dirinya “munsyi” atas etimologi satu-dua kata pun tak ada artinya dibanding frekuensi pemakaian satu-dua kata tersebut di masyarakat penggunanya. Dalam konteks bahasa Indonesia-Inggris yang salah kaprah seperti pada kedua contoh di awal esei saya ini, bukan peristiwa nginggris-nya yang mesti diejek-ejek dengan sikap patronising tapi bagaimana kesalahkaprahan itu bisa dikoreksi, terutama lewat media massa yang memang paling potensial untuk merealisasikannya. Karena alasannya sederhana saja: Kalau kita menginginkan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar, sudah pantas kalau kita juga berbahasa Indonesia-Inggris yang baik dan benar. Idiosinkrasi centang-perenang dalam berbahasa (apapun, termasuk tulisan) memang memualkan.

Oleh: Saut Situmorang

Adalah studi terkenal dari Indonesianis asal Universitas Cornell, Amerika Serikat, Ben(edict) Anderson tentang nasionalisme yang membuat kita sadar bahwa konsep “nasionalisme” bukanlah lahir begitu saja dari langit biru di atas kepala, tapi merupakan sebuah realitas yang diciptakan oleh imajinasi di dalam kepala – sesuatu yang dibayangkan, sebuah konstruk kultural. Atau dalam definisi Hugh Seton-Watson yang dikutip Anderson dalam bukunya Imagined Communities dimaksud: “. . . [Sebuah] bangsa eksis ketika sejumlah penting anggota sebuah komunitas menganggap diri mereka membentuk sebuah bangsa, atau berlaku seakan-akan mereka membentuk sebuah bangsa” [italic saya]. Mengikuti anjuran Anderson, kita bisa menerjemahkan “menganggap diri mereka” sebagai “membayangkan diri mereka” pada kutipan di atas.

Apa yang tentu saja masih bisa dipertanyakan lagi tentang definisi “bangsa” sebagai “sebuah komunitas politik yang dibayangkan” itu adalah soal “siapakah” yang melakukan kegiatan “membayangkan” tersebut? Anderson menyatakan bahwa bangsa itu dibayangkan sebagai sebuah “komunitas” karena, “tidak persoalan kemungkinan adanya ketidaksetaraan dan eksploitasi yang aktual di dalamnya, bangsa selalu dipercayai merupakan sebuah persaudaraan yang mendalam dan horisontal”. Dari pernyataan tersebut bukankah tersirat atau terbayangkan adanya sebuah kelompok tertentu yang menganggap dirinya mempunyai hak karena, mungkin, merasa bertanggungjawab, berkewajiban untuk mewakili, menjadi penyambung lidah kelompok-kelompok lain dalam komunitas tersebut? Kelompok yang mendominasi ini – bisa disebabkan oleh faktor-faktor seperti garis keturunan, kelas sosial, dan tingkat pendidikan – percaya, disadari atau tidak, bahwa merekalah yang pantas untuk merepresentasikan kelompok-kelompok lain dalam komunitas dimaksud. Tentu saja rasa percaya mereka ini masih juga bisa dipertanyakan lagi kenetralannya: tidak mungkinkah ada kepentingan politik tertentu yang menjadi alasan dari timbulnya rasa percaya mereka itu? Tidak mungkinkah pula kepentingan politik tersebut berbeda dari kepentingan politik kelompok-kelompok lain dalam komunitas yang mereka representasikan sebagai “bangsa” tersebut?

Antologi pertanyaan semacam ini, saya yakin, cukup relevan dilontarkan dalam konteks pembentukan sebuah wacana (discourse) yang implikasinya menyangkut kepentingan beragam kelompok sosial seperti “bangsa” atau “nasionalisme” itu. Saya akan mengambil sebuah contoh dari dunia budaya pop kita.

Kita tentu masih ingat sebuah iklan Extra Joss di televisi sewaktu berlangsungnya Piala Dunia Sepakbola di Jepang/Korea beberapa tahun lalu. Iklan tersebut dimulai dengan sebuah shot seorang laki-laki muda Indonesia berpakaian seragam sepakbola di sebuah lapangan kosong yang kemudian memandang close up ke kamera dan bertanya, “Kapan sepakbola Indonesia ikut Piala Dunia?” Adegan berikutnya terjadi di ruang ganti pakaian dimana laki-laki muda tadi hendak mengambil minuman kaleng dari sebuah mesin minuman. Jendela kaca mesin minuman tersebut tiba-tiba berubah menjadi sebuah layar (televisi?) dan di situ muncul seorang pemain bola terkenal dari Italia, Del Fiero, yang menggapai ke arah laki-laki Indonesia tadi untuk masuk ke dalamnya. Laki-laki Indonesia itu masuk ke dalam layar tersebut. Kita kemudian menyaksikan betapa laki-laki Indonesia itu dipermainkan sebelum akhirnya dipantati keluar layar oleh Del Fiero. Del Fiero lalu mengucapkan sesuatu yang terjemahannya dalam subtitle di layar televisi kita berbunyi, “Jangan putus asa”. Apa yang muncul dalam kepala saya sehabis menonton iklan Extra Joss tersebut adalah pertanyaan-pertanyaan seperti: Untuk penonton mana iklan itu dibuat? Siapa yang membuat iklan tersebut? Siapa pemilik Extra Joss yang diiklankan itu? Kalau jawaban atas ketiga pertanyaan ini adalah “orang Indonesia”, maka saya berkesimpulan sudah terjadi sesuatu pada pandangan orang Indonesia atas dirinya sendiri. Representasi “Indonesia” yang dibuat orang Indonesia untuk konsumsi orang Indonesia seperti pada iklan Extra Joss itu adalah sebuah sadomasokhisme nasionalisme, karena para konsumennya pun ternyata tidak merasa “terhina” melihat dirinya dipermainkan pemain asing dalam sebuah permainan sepakbola, dipantati keluar dari permainan dan dinasehati untuk tidak putus asa!

Dalam iklan Extra Joss tersebut saya melihat sebuah isu lama tapi yang masih tetap hangat didebatkan ditawarkan kepada penontonnya, yaitu isu “kita” dan “mereka”, “Timur” dan “Barat”, atau apa yang saya sebut sebagai Lokalitas dan Globalitas dalam esei saya ini. “Kita” ketinggalan jauh dalam hal persepakbolaan dibanding “mereka”, makanya sudah pantas kalau “kita” dipermainkan “mereka”. Dari sini bisa juga ditarik sebuah kesimpulan, walau sangat umum, bahwa yang “global” itu lebih baik dibanding yang “lokal”.

Tentu saja pendapat bahwa yang “global” itu lebih baik dibanding yang “lokal” tidak selalu mendominasi di Indonesia. Dalam pergaulan sehari-hari, kita akan menemukan justru yang sebaliknyalah yang sering terjadi, yaitu yang “lokal” dianggap jauh lebih baik daripada yang “global”, “Timur” lebih bernilai positif dibanding “Barat”.

Dalam sejarah pemikiran kebudayaan kita, perdebatan penting tentang isu “globalitas” dan “lokalitas”, tentang “Barat” dan “Timur”, pernah terjadi di tahun 1930an, 1960an, dan 1980an, yaitu apa yang kita kenal sekarang sebagai Polemik Kebudayaan, Polemik Lekra/Manikebu (Prahara Budaya?!), dan Perdebatan Sastra Kontekstual. Saya melihat terdapat sebuah benang merah pemikiran yang menghubungkan ketiga peristiwa penting tersebut yaitu bagaimana “sekelompok elite intelektual” berusaha “membayangkan” apa yang mereka representasikan sebagai “Indonesia” itu sebagai sebuah realitas yang sesungguhnya, paling tidak sebuah realitas yang paling ideal.

***

Adalah Sutan Takdir Alisjahbana yang merupakan pemikir lokal pertama yang melontarkan isu “globalitas” dan “lokalitas”, dalam konteks sebuah usaha “membayangkan Indonesia”, lewat sebuah esei kontroversial yang dipublikasikannya di majalah yang didirikan dan dipimpinnya Pujangga Baru pada 1935. Dalam esei berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang akhirnya menimbulkan apa yang oleh Achdiat K Mihardja disebut sebagai “Polemik Kebudayaan” tersebut (yang melibatkan tokoh-tokoh penting saat itu: Sanusi Pane, Dr Poerbatjaraka, Dr Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr M Amir, dan Ki Hajar Dewantara), Sutan Takdir memajukan tesisnya bahwa sejarah sesuatu yang bernama “Indonesia” itu harus dibedakan atas dua zaman, yaitu zaman “Indonesia” kontemporer abad duapuluh – yang dikarakterisasikannya sebagai “ketika lahir suatu generasi yang baru di lingkungan Nusantara ini, yang dengan insyaf hendak menempuh suatu jalan yang baru bagi bangsa dan negerinya”– dan zaman sebelum itu, zaman hingga penutup abad sembilanbelas, “zaman prae-Indonesia, zaman jahilliah keindonesiaan, yang hanya mengenal sejarah Oost Indische Compagnie, sejarah Mataram, sejarah Aceh, sejarah Banjarmasin dan lain-lain”.

Kita bisa membayangkan “ahistorisme” pasti akan dituduhkan atas pemahaman sejarah yang terkesan patah-patah macam begini. Tapi apa yang lebih memperparah “ahistorisme” Sutan Takdir di mata lawan-lawan polemiknya adalah pernyataan tegasnya bahwa:

“Ramuan untuk masyarakat dan kebudayaan Indonesia di masa yang akan datang harus kita cahari sesuai dengan keperluan kemajuan masyarakat Indonesia yang sempurna. Tali persatuan dari bangsa kita teristimewa sekali berdasarkan atas kepentingan bersama itu ialah sama-sama mencari alat dan berdaya upaya, agar masyarakat kepulauan Nusantara yang berabad-abad statisch, mati ini menjadi dynamisch, menjadi hidup. Sebabnya hanya suatu masyarakat yang dynamisch yang dapat berlomba-lomba di lautan dunia yang luas.

Maka telah sepatutnya pula alat untuk menimbulkan masyarakat yang dynamisch yang teristimewa sekali kita cahari di negeri yang dynamisch pula susunan masyarakatnya. Bangsa kita perlu alat-alat yang menjadikan negeri-negeri yang berkuasa di dunia yang dewasa ini mencapai kebudayaannya yang tinggi seperti sekarang: Eropah, Amerika, Jepang. Demikian saya berkeyakinan, bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang terjadi sekarang ini akan terdapat sebagian besar elementen Barat, elementen yang dynamisch. Hal itu bukan suatu kehinaan bagi sesuatu bangsa. Bangsa kita pun bukan baru sekali ini mengambil dari luar: kebudayaan Hindu, kebudayaan Arab.

Dan sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat.”

“Timur” statis makanya mati dan “Barat” dinamis makanya hidup, maka sudah waktunya kita berkiblat ke “Barat” untuk menghidupkan kembali “Timur” yang sudah mati itu, demikianlah kira-kira Sutan Takdir “membayangkan” komunitas “Indonesia” yang dilihatnya “sedang terjadi sekarang ini” itu. Polarisasi “Timur dan Barat” seperti ini akan kita temukan dengan kadar yang lebih kuat lagi pada pandangan lawan-lawan polemik Sutan Takdir, terutama Sanusi Pane dan Dr Sutomo. Tapi bedanya, mereka terutama kedua yang terakhir ini justru memandang “Barat” sebagai yang negatif makanya mesti dihindarkan, demi kemurnian “Timur” yang adiluhung itu.

Sanusi Pane dalam “Persatuan Indonesia”, tulisan tanggapannya atas esei polemis Sutan Takdir tersebut, menyatakan, dengan tidak kalah tegasnya pula, bahwa:

“Barat. . .mengutamakan jasmani, sehingga lupa akan jiwa. Akalnya dipakainya menaklukkan tenaga alam. Ia bersifat Faust, ahli pengetahuan (Goethe), yang mengorbankan jiwanya, asal menguasai jasmani.

Timur mementingkan rohani, sehingga lupa akan jasmani. Akalnya dipakainya mencari jalan mempersatukan dirinya dengan alam. Ia bersifat Arjuna yang bertapa di Indrakila.”

Walaupun Sanusi Pane beranggapan bahwa sesuatu yang ideal adalah “menyatukan Faust dengan Arjuna, memesrakan materialisme, intellectualisme, dan individualisme dengan spiritualisme, perasaan dan collectivisme”, kita masih bisa merasakan justru sifat idealisme-utopis yang mustahil untuk diwujudkan dari konsep penyatuan Faust/Arjuna itulah yang membuat dia akhirnya masih percaya bahwa “Timur, lebih baik” karena “materialisme, intellectualisme dan individualisme” – yang merupakan dasar berkembangnya budaya Barat tapi yang juga menimbulkan ketidakadilan (“ada orang yang kebanyakan dan ada yang kelaparan”) – boleh dikatakan tidak diperlukan. “Manusia merasa dirinya satu dengan dunia sekelilingnya,” demikianlah alasan Sanusi Pane dalam memilih “Timur” ketimbang “Barat”.

Cara memandang “Timur” secara mistik begini terefleksi juga pada isi beberapa prasaran dalam Kongres Permusyawaratan Perguruan Indonesia yang berlangsung di Solo pada tahun yang sama, yang membuahkan kritik yang bahkan jauh lebih keras lagi dari Sutan Takdir. Kritik Sutan Takdir yang diberi judul “Semboyan yang Tegas” itu ditujukan pada apa yang dilihatnya sebagai kecenderungan sikap “anti-intellectualisme, anti-individualisme, anti-egoisme, anti-materialisme” – atau anti-Barat secara umum karena isme-isme inilah yang dianggap sebagai dasar-dasar budaya Barat oleh kalangan elite intelektual kita saat itu, seperti juga sekarang – pada pidato sejumlah besar pembicara pada Kongres tersebut. Ki Hajar Dewantara misalnya menyatakan bahwa kecerdasan pikiran dan ilmu pengetahuan berpengaruh kuat atas tumbuhnya egoisme dan materialisme, sementara mengasah intelek 8 jam di sekolah menimbulkan intelektualisme yang memisahkan sekolah dari hidup keluarga hingga “sia-sialah usaha pendidikan budi pekerti dan budi khalayak di ruang keluarga itu”! Dr Sutomo mencela sistem pendidikan kolonial karena “terutama mementingkan kecerdasan akal”! Dr Wediodiningrat malah mengecam habis-habisan “kecerdasan otak cara sekarang” yang dikatakannya menciptakan “perasaan pertempuran antara ‘aku’ yang satu dengan ‘aku’ yang lain”. Untuk mencegah terjadinya “kekacauan bagi dunia” maka dianjurkannya “peleburan perasaan ‘aku’” tersebut. Bagi Sutan Takdir, sikap anti atas isme-isme di atas merupakan sikap yang mengada-ada, tidak relevan, karena mengesankan seolah-olah isme-isme tersebut sudah mapan, sudah mentradisi makanya mulai menjadi negatif pengaruhnya di negeri kepulauan ini, padahal:

“Kalau kita timbang benar-benar, soal bangsa kita bukannya soal intellectualisme, bukanlah soal egoisme, bukan pula soal materialisme. Kalau kita analyseeren masyarakat kita dan sebab-sebabnya kalah bangsa kita dengan perlombaan bangsa-bangsa di dunia, maka nyatalah kepada kita bahwa menjadi
statischnya, menjadi matinya, tiada berjiwanya masyarakat bangsa kita ialah karena berabad-abad itu kurang memakai otaknya, kurang egoisme (yang saya maksudi bahagiannya yang sehat), kurang materialisme.”

Sambil sekaligus membantah Sanusi Pane, Sutan Takdir percaya bahwa “sesungguhnya soal bangsa kita yang sebenar-benarnya soal kekurangan intellect, soal kurang hidupnya individu, soal terlampau pemurahnya (kurang egoismenya) tiap-tiap orang, soal kurang giatnya orang mengumpulkan harta dunia”. Sutan Takdir mengunci kritiknya itu dengan sebuah serangan balik yang telak dalam bentuk sebuah isu baru yang sekali lagi dialah yang pertama melontarkannya untuk diperdebatkan di kalangan intelektual kita: “Dan sesungguhnya masyarakat bangsa kita telah mulai dynamisch dalam dua tiga puluh tahun yang akhir ini. Sebabnya ialah pendidikan Barat yang diejekkan intellectualistisch, individualistisch, egoistisch, dan materialistisch itu”.

***

Peristiwa “membayangkan” apa itu kolektivitas bernama “Indonesia” tentu saja sudah pernah terjadi sebelum Polemik Kebudayaan seperti yang bisa kita saksikan pada didirikannya lembaga penerbitan kolonial Belanda Balai Pustaka dengan konsep sastra Melayu Tinggi-nya itu. Atau pada pertemuan para intelektual muda kolonial yang menghasilkan Sumpah Pemuda yang terkenal itu pada 28 Oktober 1928. Tapi baru pada peristiwa Polemik Kebudayaan terlihat dengan jelas untuk pertama kalinya polarisasi konseptual antara globalitas dan lokalitas di kalangan kaum intelektual Indonesia dalam “membayangkan Indonesia”.

Terlepas dari setuju-tidaknya kita atas pandangan Sutan Takdir Alisjahbana dan lawan-lawan polemiknya tentang apa itu “Barat” dan “Timur”, apa yang menarik adalah bahwa polemik tersebut terjadi di kalangan mereka yang rata-rata memperoleh “pendidikan Barat”, sampai ke tingkat perguruan tinggi malah. Mereka adalah alumni pertama dari sistem pendidikan Barat dalam sejarah perkembangan intelektual kita. Tapi satu hal yang sangat mengherankan: walau bagaimanapun kerasnya (bahasa) kedua pihak membela diri sambil menyerang lawan polemik, tidak satu pun dari mereka pernah dengan kritis membicarakan kondisi masyarakat mereka saat itu, yaitu kolonialisme Belanda itu sendiri!

Perdebatan tentang “Barat” dan “Timur”, tentang yang “Universal” dan yang “Kontekstual”, tentang yang “Global” dan yang “Lokal” di sebuah masyarakat seperti Indonesia tidak bisa melupakan satu hal yang umum dimiliki oleh negeri-negeri Dunia Ketiga seperti Indonesia, yaitu kondisi pascakolonialnya, pascakolonialitasnya. Dunia Ketiga adalah dunia (bekas) jajahan Barat, yaitu Eropa Barat dan Amerika Serikat. Membicarakan segala sesuatu tentang Dunia Ketiga tidak akan memuaskan tanpa juga mempertimbangkan efek-efek kultural dari penjajahan, yang rata-rata berumur panjang itu. Dalam eseinya yang pertama, “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru”, yang jadi pemicu terjadinya perdebatan intelektual penting pertama dalam sejarah pemikiran modern Indonesia itu, Sutan Takdir Alisjahbana sebenarnya sudah menyinggung soal-soal yang saat ini dikenal sebagai isu-isu penting masyarakat pascakolonial, seperti mimikri dan hibriditas identitas, tapi satu hal pokok yang justru menjadi sebab dari kondisi pascakolonial tersebut anehnya luput dari pembicaraannya, yaitu realitas kolonialisme yang sedang dialami “Indonesia” yang sedang dibayangkan itu. Membaca kumpulan tulisan mereka dalam buku Polemik Kebudayaan yang disusun oleh Achdiat K Mihardja itu, tidak ada tertinggal kesan pada kita bahwa mereka itu sebenarnya hidup sebagai manusia terjajah di negerinya sendiri, padahal beberapa di antara mereka, menurut buku-buku sejarah, sangat terlibat dengan gerakan melawan penjajahan Belanda di negeri ini. Bangsa adalah sebuah masyarakat yang dikhayalkan, “imagined community”, yang berfungsi sebagai sebuah kekuatan resistensi terhadap kekuasaan hegemonik kolonialisme yang mendominasi masyarakat dimaksud, menurut Ben Anderson. Bukankah sesuatu yang ironis bahwa “kekuasaan hegemonik kolonialisme” itu sendiri sampai “terlupakan” dalam sebuah perdebatan di mana konsep “apa itu Indonesia” merupakan isu yang paling penting. Elitisme sekelompok terpelajar dari keluarga bangsawan atau kelas sosial tinggi justru terkesan sangat kuat mewarnai pandangan mereka walau mereka memakai kosakata yang menyebut-nyebut “bangsa”, “masyarakat”, dan “rakyat” malah.

***

Ada sebuah anekdot terkenal tentang seorang tokoh yang dianggap sebagai representasi dari segala sesuatu yang secara esensialis merupakan nilai keadiluhungan budaya Timur, Mahatma Gandhi. Dalam kunjungannya ke Inggris untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar India Kedua pada 1931, Gandhi mendapat sebuah pertanyaan yang dilontarkan seorang wartawan setibanya di kota London: “Mr Gandhi, what do you think of Western civilization?” Jawaban Gandhi berikut ini membuat anekdot tersebut menjadi begitu terkenal, “I think it would be a very good idea”.

Cerita anekdot semacam ini telah menciptakan sebuah mitos “anti-Barat” pada diri Gandhi, apalagi kalau dihubungkan dengan konsep-konsep “anti-materialis”nya seperti swadesi, ahimsa, dan satyagraha, tapi di sisi lain melupakan identitas biografisnya sebagai seorang subjek pascakolonial par excellent.

Seperti diuraikan Robert Young dalam bukunya yang sangat bagus tentang pascakolonialisme, Postcolonialism: An Historical Introduction, warisan dari kritik Gandhi atas modernitas, dan atas pemakaian ide-ide Barat secara derivatif tanpa kritis, masih merupakan kekuatan besar dalam pemikiran beberapa pemikir kontemporer India seperti Partha Chatterjee, tanpa melihat paradoks betapa Gandhi mencapai semuanya itu sebagian besar melalui sintesis eklektik dari pemikiran para pemikir counter-culture Barat. Konsep hidup-mandiri swadesi, misalnya, banyak dipengaruhi oleh bacaannya atas pemikiran sosialisme utopia Barat dan teori ekonomi John Ruskin. Bahkan dari ideologi perjuangan nasionalis Irlandia, Sinn Féin, dan gerakan suffragette perempuan Inggris. Henry David Thoreau, Tolstoy, dan Edward Carpenter adalah pemikir-pemikir Barat lain yang sangat besar pengaruhnya pada pembentukan pemikiran “ke-Timur-an” yang diklaim sebagai “asli” ciptaan Gandhi. Seperti yang disimpulkan Young, sekaligus sebagai respons terhadap pemikir pascakolonial Amerika Serikat asal India, Gayatri C Spivak, “Gandhi adalah bukti hidup bahwa kaum subaltern bisa, dan bahkan sudah, bicara”.

Kondisi pascakolonial macam inilah yang gagal disadari oleh lawan-lawan polemik Sutan Takdir yang masih sibuk dengan romantisme “esensialisme” budaya “Timur” atau “lokal” yang mereka anggap masih utuh seperti sebelum terjadinya kolonialisme. Sementara pada Sutan Takdir “kesadaran” akan kondisi pascakolonial itu tidak benar-benar berdasarkan pemahaman akan hibriditas identitas subjek pascakolonial itu sendiri, seperti pada pemikir Aljazair asal Martinique, Frantz Fanon, atau Minke dalam Tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer, tapi lebih kepada usaha untuk “mensejajarkan diri” dengan “Barat” yang sedang mendominasi tersebut. Atau dalam istilah Asrul Sani dkk lebih dari satu dekade kemudian: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri”. “Kesejajaran status dengan Barat” (Belanda); makanya mesti dicapai lewat pendidikan Barat – seakan-akan pendidikan Barat memang jaminan untuk itu, seakan-akan tidak ada politik alternatif lain di luar politik pendidikan yang bisa juga memungkinkan terjadinya kondisi kesetaraan tersebut. Makanya juga tidak terdapat pembicaraan yang kritis atas (politik) kolonialisme yang sedang dihadapi. Kesalahkaprahan Sutan Takdir ini kita lihat diulang lagi akhir-akhir ini dengan munculnya ide untuk membentuk apa yang disebut sebagai “Pusat Kebudayaan Indonesia” di luar Indonesia, hanya sebagai kenaifan untuk ikut-ikutan dalam sebuah perlombaan imperialisme kebudayaan ketimbang benar-benar demi kepentingan kebudayaan itu sendiri.

***

Pascakolonialitas masyarakat Dunia Ketiga, dalam konteks pembicaraan globalitas dan lokalitas dalam identitasnya, mungkin bisa dijelaskan secara umum seperti berikut ini.

Ekspansi kapitalisme-awal Barat berjalan mulus setelah terjadi dan menjadi kokohnya kolonialisme Barat di Asia, Afrika, dan benua Amerika. Sementara itu, untuk bisa hidup langgeng happily ever after, kolonialisme memerlukan terjadinya proses regenerasi, seperti organisme hidup lainnya. Khas watak kapitalisme, ideologi ongkos-produksi minimum dengan keuntungan sebesar-besarnya membuat para kapitalis-kolonialis memanfaatkan sumber daya manusia, setelah mengeruk sumber daya alam, negeri jajahan masing-masing. “Pendidikan kaum tertindas” pun dimulai, dengan mendirikan “sekolah rakyat” walau terbatas hanya untuk “para priyayi” – untuk menyediakan lapangan kerja yang lebih murah ketimbang mendatangkan pekerja dari negeri asal kaum kolonial itu sendiri. Alasan untuk memilih hanya kelompok “para priyayi” karena mereka ini memang yang paling banyak berkepentingan, sebagai kelas sosial yang berkuasa (sebelum dan bahkan sesudah terjadinya kolonialisme), untuk/atas terciptanya sebuah “kolaborasi penjajah-terjajah”, lewat pendidikan dan pekerjaan. Kolaborasi inilah yang akhirnya melahirkan “kaum elite koloni”. Mereka ini jugalah yang kelak di kemudian hari bermetamorfosis menjadi “the founding fathers” itu, seperti presiden atau perdana menteri pertama negeri-negeri koloni yang berhasil memperoleh “kemerdekaan”nya. Karena asalnya memang metamorfosis “kolaborasi penjajah-terjajah”, para “the founding fathers” negeri-negeri bekas koloni adalah subjek hibrid pascakolonial, fisiknya Bumiputra tapi “selera”nya Eropa Barat atau Amerika Serikat. Black skin, white masks, kata Fanon.


Ironisnya, justru setelah “merdeka” dan untuk “mengisi” kemerdekaan tersebut, menjadi pakem kebijaksanaan administrasi negara dan politik luar negeri setiap negeri pascakolonial untuk harus menggarisbesarkan orientasi eksistensinya ke kiblat Eropa Barat atau Amerika Serikat, kekuasaan yang pernah lama bercokol jadi hegemoni dominan di masing-masing negeri bekas koloni, yang telah berubah menjadi kekuatan hegemonik neo-kolonialisme politik, ekonomi dan budaya itu. Terutama lewat apa yang secara eufemistik disebut sebagai “globalisasi” ekonomi itu. Karena diciptakan di bumi budaya Barat, mau tak mau istilah “globalisasi ekonomi” tentu sarat dengan kandungan ideologi budaya Barat. Politik ekonomi tidak mungkin tidak memiliki politik budaya. Akhirnya, “pendidikan kaum tertindas” ternyata cuma awal dari “globalisasi” nilai-nilai budaya kaum kolonial belaka. Inilah paradoks dari “nasionalisme” hibriditas identitas subjek pascakolonial itu. La Trahison des Clercs?

Fat Tourist Rickshaw (Banksy)

Fat Tourist Rickshaw (Banksy)