oleh Agus Khaidir*
Polemik mengenai buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh ternyata belum selesai. Sempat sebentar mereda riuh-rendah karnaval opini menyoal “tersangkutnya” nama Denny Januar Adil (JA) ke dalam buku itu, yang oleh para pengeritik dianggap sungguh tak pantas berada di sana, polemik berkembang ke arah yang sama sekali tak diduga.
Dua pengeritik buku tersebut, yakni Iwan Soekri Munaf dan Saut Situmorang, diseret ke ranah hukum. Mereka dilaporkan oleh Fatin Hamama atas tudingan melakukan pencemaran nama baik. Iwan Soekri dilaporkan karena menyebut Fatin “penipu”, sedangkan Saut lantaran menambahinya dengan kata “bajingan”. Baik “penipu” maupun “bajingan”, sebenarnya, tidak pernah dilontarkan secara langsung kepada Fatin. Melainkan ditulis sebagai komentar dalam “diskusi” di laman sosial Facebook. Bukan cuma pasal karet pencemaran nama baik, kata “penipu” dan “bajingan” juga dikaitpautkan dengan Pasal 27 ayat (1) dan (3) dalam UU ITE yang serba absurd itu.
Perkembangan mencengangkan ini mencuatkan satu tanda tanya besar. Sudah begitu gawatkah polemik berlangsung sehingga polisi perlu dibawa-bawa untuk turut campur tangan dalam menyelesaikan masalah sastra?
Sejak awal arah polemik ini sudah sangat jelas. Sama sekali tidak ada ideologi besar yang dipertaruhkan seperti halnya Lekra versus Manikebu. Persoalannya sederhana belaka. Yakni sekadar Deny JA. Mengapa namanya bisa disejajarkan dengan ke 32 sastrawan lain? Apakah satu buku puisi esainya sudah cukup layak untuk menggugurkan pengaruh Umbu Landu Paranggi atau Seno Gumira Ajidarma, misalnya? Sehebat apakah puisi-puisi esai Denny JA itu menghadirkan pengaruh hingga dapat memapas eksistensi para cerpenis legendaris macam Umar Kayam atau Hamsad Rangkuti?
Para pengeritik bukan asal melontar kritik. Sebaliknya mereka terlebih dahulu melakukan telaah-telaah mendalam terhadap puisi-puisi Denny JA. Dan hasilnya, menggunakan pisau teori apapun puisi dibedah, tetap saja tak ditemukan keistimewaannya. Tidak ada kedalaman makna lewat kecanggihan berbahasa seperti pada puisi-puisi Afrizal Malna. Tidak ada kejutan-kejutan yang menyenangkan dalam bingkai kesederhanaan rangkaian kata seperti pada puisi-puisi Joko Pinurbo. Puisi-puisi esai itu dinilai tak lebih dari sekumpulan kalimat yang diindah-indahkan, persis puisi remaja pecinta kelas teri yang dituliskan di lembaran buku diary. Bedanya, tentu saja, puisi-puisi Denny JA tersebut memiliki catatan kaki.
Maka para pengeritik pun mencurigai adanya konspirasi antara Denny JA dengan tim juri yang berjumlah delapan orang itu. Plus Fatin Hamama sebagai telangkai dan panglima talam, yakni “agen” yang menghubungkan konsultan politik itu dengan dunia sastra. Dan di antara para pengeritik, Iwan dan Saut memang terbilang yang paling keras bersuara. Terutama Saut. Penyair berambut gimbal ini menyebut buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh ini tiada lebih dari sekadar proyek sampah untuk menuntaskan hasrat megalomaniak seorang Denny JA.
Penyeretan Iwan dan Saut ke hadapan polisi membuat substansi pokok polemik ini jadi terjungkirbalikkan. Dari awalnya bersifat edukatif dan relatif intelek menjadi tindak kriminal kelas dua. Pelapor secara dramatis membesar-besarkan “efek samping”, yakni letup emosi pengeritik.
Sampai di sini, kecurigaan awal justru bertambah besar. Fatin Hamama, setidaknya dari sejumlah literatur dan pemberitaan, disebut sebagai penyair. Ia menulis dan membaca puisi dan lumayan sering hadir dalam festival sastra maupun pertemuan-pertemuan sastrawan. Jika curriculum vitae-nya ini tak keliru, tentunya Fatin paham bahwa polemik dalam sastra tidak melulu berisi debat yang bersopan-sopan dengan kalimat-kalimat serba manis atau penuh metafor. Sering pula yang justru muncul adalah perang tohokan bernada sarkastis.
Dari masa yang paling lampau, tersebutlah polemik antara dua tokoh besar (dan memang sebenar-benarnya berpengaruh) dalam sastra di negeri terkasih ini, Chairil Anwar dan HB Jassin. Begitu getol dan sengit mereka berpolemik, konon Jassin pernah memukul Chairil Anwar. Tapi, toh, mereka tetap berkawan karib.
Di era polemik Lekra–Manikebu, Pramoedya Ananta Toer dan Mochtar Lubis adalah musuh besar. Pemikiran, prinsip, dan ideologi mereka berseberangan satu sama lain. Tak terhitung banyaknya tulisan Pramoedya yang menghantam dan menyudutkan Mochtar Lubis, demikian sebaliknya. Namun hal ini tidak lantas membuat mereka saling benci secara pribadi. Seperti disebut politisi Panda Nababan dalam artikelnya saat masih menjadi wartawan Sinar Harapan, saat ia berkesempatan mengunjungi Pramoedya di Pulau Buru, orang pertama yang ditanyakan Pramoedya kabarnya adalah Mochtar Lubis. Begitu juga Mochtar Lubis, saat mengetahui Panda akan ke Pulau Buru, ia menitipkan beberapa pak rokok kesukaan Pramoedya.
Saut Situmorang sendiri bertahun-tahun “berperang” dengan Goenawan Mohamad. Ia membentuk boemipoetra untuk melawan hagemoni elitis Komunitas Utan Kayu. Ia pun menyerang semua orang yang “dekat” dengan Goenawan. Mulai dari Hasif Amini, Nirwan Dewanto, Ayu Utami, sampai Sitok Srengenge. Namun bertahun-tahun “perang” -yang kadang-kadang menjurus brutal- ini berlangsung tanpa melibatkan polisi di dalamnya.
Belum lama juga pecah polemik lain terkait pemilihan buku sastra terbaik dalam Khatulistiwa Literary Award. Polemik melibatkan banyak orang, dengan lima pemain utamanya Linda Christanty, Richard Oh, Damhuri Muhamad, Leila S Chudori, dan AS Laksana. Seperti juga Saut kontra Goenawan, polemik berkesudahan tanpa kehadiran polisi. Padahal aksi saling serang dalam polemik sengit ini juga melesatkan kata-kata yang jauh lebih tajam dan lebih kejam dari sekadar kata ‘penipu’ dan ‘bajingan’.
Fatin barangkali memahami hal ini. Tapi mungkin ia harus memaklumi Denny JA yang tidak mengerti. Dan mereka berdua agaknya sangat tahu bahwa polisi memang awam sastra dan akan memandang dan memperlakukan perkara ini serupa pengaduan pencemaran nama baik lainnya.
Di luar perkara yang menggelikan sekaligus menyesakkan ini, kiranya kita patut bersyukur Jokowi tidak mengangkat Denny JA jadi Menteri Pendidikan. Sebab jika demikian, bukan tak mungkin pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, selain tentu saja puisi-puisi esainya, akan ada bab khusus yang membahas tentang peran polisi dalam sastra. Dan kesimpulan dari bab ini adalah dilarang berpolemik karena hal itu bisa membawamu ke balik jeruji penjara.***
Dimuat Harian Analisa Medan
Minggu, 2 November 2014
Halaman 7
Catatan Kaki Penulis:
Dua baris pertama pada paragraf terakhir dalam tulisan yang dipampangkan di blog ini telah saya modifikasi sedemikian rupa, berbeda dengan tulisan versi awal yang dimuat di Analisa. Perubahan semata-mata untuk pertimbangan kebaruan. Tulisan ini dikirimkan ke redaksi Analisa sebelum Presiden RI Joko Widodo mengumumkan susunan kabinetnya.
Dalam versi awal saya menuliskan: “Di luar perkara yang menggelikan sekaligus menyesakkan ini, kiranya satu harapan layak diapungkan pada presiden kita yang baru. Semoga Jokowi tidak mengangkat Denny JA jadi Menteri Pendidikan.”
Saya ubah menjadi “Di luar perkara yang menggelikan sekaligus menyesakkan ini, kiranya kita patut bersyukur Jokowi tidak mengangkat Denny JA jadi Menteri Pendidikan.”
* Agus Khaidir, bukan penyair puisi-esei, tinggal di Medan
Sumber: http://aguskhaidir.wordpress.com/2014/11/02/peran-polisi-dalam-sastra-indonesia/