Archive for the ‘Esei’ Category

Oleh: Saut Situmorang

Makin kasihan awak liat orang ini dan makin gak ngerti kok bisa dia jadi Profesor di sebuah universitas Australia ternama!

Membandingkan karya Fiksi dengan Sejarah kembali dilakukan dengan gak ada persoalan sama sekali, seolah isi fiksi tersebut adalah memang sejarah, bukan karang-karangan kayak yang dimaksudkan istilah “fiksi” itu sendiri.

Nyai Ontosoroh adalah tokoh fiksi maka kisah hidupnya terkesan kayak sebuah realisme magis: seorang perempuan biasa yang berubah jadi seorang perempuan luar biasa cumak kerna jadi gundik seorang Belanda! Tak ada ironi sama sekali pada Ariel Heryanto yang konon pembela kaum tertindas itu terutama kaum minoritas tertindas. Betapa dahsyatnya bahwa seorang perempuan biasa Jawa yang dijajah Belanda bisa bermetamorfosa jadi seorang Nyai Ontosoroh kerna perkawinannya dengan orang Belanda yang membelinya dari bapaknya sendiri. Penjajahan Belanda dan Laki-laki Belanda telah membuat seorang perempuan lokal terjajah jadi seseorang yang perempuan Belanda pada waktu itupun gak ada yang bisa menandinginya! Habis gelap terbitlah terang!!!

Ketidakkritisan Ariel Heryanto dalam menganalisis sosok Nyai Ontosoroh (padahal kolom tempat tulisannya itu dimuat bernama “Analisis Budaya”!) akhirnya cumak membuat dia mengulang-ulang, mereproduksi klise tentang Nyai Ontosoroh padahal katanya novel Bumi Manusia itu adalah kritik pascakolonial! Adakah digambarkan bagaimana Nyai Ontosoroh bisa jadi Nyai Ontosoroh? Bukankah dia sudah jadi Nyai Ontosoroh waktu kita membaca novel tersebut? Kita harus menerima begitu saja dongeng narator novel bahwa Nyai Ontosoroh itu adalah perempuan biasa yang dulu bernama Sanikem yang dijual bapaknya sendiri ke seorang laki-laki Belanda yang kemudian mengawininya lalu berubah kerna dididik oleh suami Belandanya itu! Di mana kritik pascakolonialnya itu?

Yang membuat aku kasihan pada Ariel Heryanto adalah klise kolonial Belanda yang masih direpoduksinya di tulisannya tersebut. Yaitu klise tentang apa yang Belanda sebut sebagai masa “Bersiap” di Indonesia. Istilah “bersiap” adalah istilah Belanda, bikinan Belanda dan punya arti yang cumak menguntungkan kepentingan kolonial Belanda. Istilah “bersiap” adalah cara bagaimana Belanda membaca dan menafsir sejarah kolonialismenya di Indonesia! Yaitu sebuah usaha Revisi Sejarah Kolonialismenya tersebut! Kok bisa seorang Ariel Heryanto yang konon Orang Indonesia itu masih terus menerus mereproduksi diskursus kolonial (colonial discourse) Belanda tentang apa yang terjadi di Indonesia di tahun 1940an setelah Indonesia dengan resmi mengumumkan kemerdekaannya ke dunia itu?! Dengan nada mengejek, Ariel Heryanto bahkan bilang: Kemerdekaan RI buru-buru diproklamasikan di depan mikrofon!

Dia bahkan bilang: Jepang kalah Perang Dunia II tahun 1945. Belanda sebagai penguasa terdahulu belum siap kembali menggantikan Jepang! Ariel Heryanto ternyata mengharapkan kembalinya Belanda penguasa terdahulu itu walau Kemerdekaan Indonesia sudah diproklamasikan “di depan mikrofon”!

Makanya dia bersorak: Belanda mulai berubah! Perdana Menteri dan Raja Belanda sudah minta maaf!
Tapi minta maaf atas apa, Ariel?! Kok gak kau sebutkan bahwa mereka minta maaf cumak untuk “kekerasan extrim” (extreme violence) yang dilakukan tentara Belanda waktu mereka berusaha menjajah kembali Indonesia, sebagai penguasa terdahulu, di tahun 1940an itu. Bagaimana dengan kekerasan yang tidak extrim? Bagaimana pulak dengan kolonialisme Belanda selama ratusan tahun itu sendiri plus kekerasan yang dilakukannya mulai dari Banda, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, sampai Bali?

Tapi tentu saja bagi Ariel Heryanto kolonialisme Belanda dan kekerasan kolonialnya ini tidak relevan. Karena tidak dilakukan oleh kaum Pri atas kaum Non-Pri. Lagi pulak kolonialisme yang terus menerus dinista bangsa Indonesia itu kan melahirkan jugak RA Kartini dan… Nyai Ontosoroh!

Oleh: Saut Situmorang

Pramoedya Ananta Toer (Pram) dalam sebuah eseinya yang berjudul “The Book That Killed Colonialism” yang terbit di The New York Times Magazine 18 April 1999 – juga jadi kata pengantar terjemahan bahasa Inggris novel Max Havelaar terbitan NYRB Classics (2019) – mengklaim bahwa Max Havelaar adalah buku yang membunuh kolonialisme. Tulis Pram:

“Buku tersebut menceritakan pengalaman-pengalaman seorang Max Havelaar, seorang pejabat kolonial Belanda di Jawa. Havelaar menyaksikan – dan kemudian memberontak terhadap – sistem tanam paksa yang dibebankan atas para petani Indonesia oleh Pemerintah Belanda.

[…]

Rasa peduli atas akibat kebijakan-kebijakan kolonial atas rakyat Indonesia menandai karier Dekker, yang awalnya bersekolah untuk jadi pendeta.

[…]

Penerbitan “Max Havelaar” pada 1859 [sic] sangat menggemparkan. Sama seperti “Uncle Tom’s Cabin” memberikan amunisi bagi gerakan abolisionis budak di Amerika, “Max Havelaar” menjadi senjata bagi gerakan liberal yang sedang berkembang di Belanda, yang berjuang untuk menciptakan reformasi di Indonesia. Dengan bantuan “Max Havelaar”, gerakan liberal tersebut berhasil memalukan Pemerintah Belanda hingga menciptakan sebuah kebijakan baru yang dikenal sebagai kebijakan etis, yang tujuan utamanya adalah mempromosikan irigasi, migrasi antar-pulau dan pendidikan di Hindia Belanda.”

Yang dijadikan Pram sebagai bukti sejarah bahwa Max Havelaar adalah buku pembunuh kolonialisme adalah dihentikannya kebijakan Cultuurstelsel (sistem tanam paksa) dan digantikan dengan Politik Etis yang salah satu dari programnya adalah diizinkannya pribumi untuk memperoleh pendidikan kolonial, walau hanya pribumi bangsawan yang mendapat hak istimewa ini.

Bagi Pram, faktor “pendidikan” merupakan hal paling penting dan positif dari kebijakan Politik Etis Belanda. Karena “perluasan kesempatan pendidikan mengembalikan kepada bangsa terjajah di dunia sebuah hak mereka yang telah secara paksa dihilangkan oleh kolonialisme Barat – hak untuk menentukan sendiri masa depan mereka.” Walaupun “bangsa terjajah” yang dia maksud hanya “sejumlah kecil orang Indonesia, terutama anak-anak dari penguasa tradisional.”

Kita lihat ada kontradiksi di sini. Novel Max Havelaar pada dasarnya menggambarkan bagaimana korupnya para penguasa pribumi Hindia Belanda di zaman kolonialisme Belanda tapi ketika kebijakan Politik Etis Belanda (yang konon merupakan akibat dari penerbitan Max Havelaar) dalam hal pendidikan justru hanya menguntungkan anak-anak penguasa pribumi malah diklaim Pram sebagai “mengembalikan kepada bangsa terjajah sebuah hak mereka yang telah secara paksa dihilangkan oleh kolonialisme Barat – hak untuk menentukan sendiri masa depan mereka.” Apakah bagi Pram para penguasa pribumi dan anak-anaknya itu sama menderitanya sebagai subjek penjajahan dengan jutaan rakyat biasa? Kalau memang sama lantas kenapa novel Max Havelaar yang menggambarkan bagaimana jahatnya para penguasa pribumi itu malah diklaimnya sebagai “buku yang membunuh kolonialisme”?!

Kontradiksi seperti ini sangat dominan mewarnai klaim terkenal Pram di atas. Klaim asersif Pram yang sangat terkenal dan sering dikutip tersebut terkesan naif dan ahistoris. Karena menyiratkan bahwa Politik Etis adalah memang sangat baik bagi pribumi yang terjajah, tanpa ada konsekuensi historis apapun kecuali “kemerdekaan” bagi Indonesia.

Efek dari klaim Pram tersebut bahkan sampai membuat sebuah organisasi di Indonesia yang mengklaim dirinya sebagai “sebuah inisiatif jurnalisme yang ingin melayani publik dengan mengangkat suara-suara dipinggirkan, komunitas-komunitas yang diabaikan, dan isu-isu mendasar yang disisihkan” memakai nama “Multatuli” sebagai namanya yaitu Project Multatuli. Klimaks ironis dari efek dari pernyataan Pram tersebut adalah berdirinya sebuah komunitas literasi yang fokus utama aktivitasnya adalah membaca dan mengkaji novel Max Havelaar serta berdirinya Museum Multatuli sebagai “museum anti-kolonial pertama di Indonesia”, keduanya di Lebak yang merupakan setting utama tempat terjadinya peristiwa dalam novel Max Havelaar.

Pram lupa atau mungkin tidak tahu bahwa secara ekonomi kebijakan Cultuurstelsel digantikan oleh kebijakan yang memungkinkan dimulainya kapitalisme perkebunan swasta, seperti di Deli, Sumatera Utara, walau Pram sendiri secara tidak sengaja dengan ironis sudah menyentuh isu tersebut waktu menyatakan seperti yang saya kutip di awal esei ini bahwa “dengan bantuan “Max Havelaar”, gerakan liberal … berhasil memalukan Pemerintah Belanda hingga menciptakan sebuah kebijakan baru yang dikenal sebagai kebijakan etis.”  

Partai Liberal di Belanda adalah partai yang sangat keras mengkritik kebijakan Sistem Tanam Paksa Cultuurstelsel di Hindia Belanda di paroh kedua abad 19. Mereka berhasil memaksa pemerintah Belanda menghentikan kebijakan Sistem Tanam Paksa tersebut dan menggantikannya dengan Undang-Undang Agraria pada tahun 1870. Undang-Undang Agraria 1870 ini pada dasarnya menyebabkan terjadinya liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda. Sistem ekonomi Tanam Paksa di mana campur tangan pemerintah begitu dominan akhirnya digantikan oleh sistem ekonomi pasar bebas laissez-faire di mana kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta. Deregulasi yang disebabkan oleh Undang-Undang Agraria 1870 ini akhirnya memungkinkan munculnya perusahaan-perusahaan perkebunan swasta yang diizinkan menyewa lahan-lahan yang luas dengan jangka waktu paling lama 75 tahun untuk ditanami karet, teh, kopi, kelapa sawit, tebu dan tembakau. Cultuurstelsel akhirnya digantikan dengan kapitalisme laissez-faire yang efek negatifnya secara ekonomi dan ekologi jauh lebih parah serta munculnya perbudakan buruh yang disebut Kuli Kontrak seperti yang terjadi di perkebunan tembakau dan karet di Deli, Sumatera Utara.

Lahirnya kebijakan Politik Etis sebagai reaksi atas efek negatif dari kebijakan ekonomi liberal Undang-Undang Agraria 1870 tidak serta merta mengakhiri kebijakan ekonomi pasar bebas ini. Bahkan bisa dikatakan cuma sebagai kebijakan kosmetik agar wajah bengis ekonomi pasar bebas liberal ini bisa dikurangi keburukannya hingga nampak lebih humanis.

Conrad Theodor van Deventer adalah salah seorang tokoh liberal yang sangat berpengaruh atas terciptanya kebijakan Politik Etis di Hindia Belanda. Anggota parlemen dari partai Demokratik Liberal ini menulis sebuah esei berjudul “Een eereschuld” atau Hutang-Budi di jurnal De Gids pada tahun 1899 yang menyatakan bahwa Belanda harus membayar Hutang Budi kepada penduduk pribumi Hindia Belanda karena telah mengeruk kekayaan Hindia Belanda. Van Deventer menekankan pentingnya menaikkan kesejahteraan penduduk pribumi, desentralisasi pemerintahan, dan mempekerjakan lebih banyak lagi pribumi di jabatan-jabatan penting pemerintahan. Ide-ide Van Deventer inilah yang kemudian menjadi apa yang dikenal sebagai Politik Etis itu. Tiga hal penting yang menjadi inti dari kebijakan Politik Etis yang diresmikan pada 17 September 1901 adalah irigasi, transmigrasi dan pendidikan.

Kita lihat betapa tidak sesederhana klaim Pram proses kelahiran kebijakan Politik Etis di Hindia Belanda. Kalaupun mau memasukkan pengaruh novel Max Havelaar atasnya maka pengaruh tersebut tidaklah sedominan seperti yang dikesankan oleh pernyataan Pram di eseinya tersebut. Pengaruh tersebut ada hanya karena kaum Liberal di Belanda memakainya sebagai alat untuk menyerang kebijakan pemerintah Belanda yang disebut sebagai Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa itu dan menggantikannya dengan kebijakan kapitalisme liberal pasar bebas laissez-faire. Dan seperti yang telah dibuktikan sejarah, begitu kebijakan kapitalisme liberal pasar bebas laissez-faire tersebut berhasil mereka realisasikan maka kolonialisme Belanda pun memulai sebuah tahapan baru yang justru lebih beringas ketimbang di era Cultuurstelsel. Dan ironisnya, giliran kaum Konservatif akhirnya yang menggantikan kaum Liberal dalam memanfaatkan novel Max Havelaar untuk propaganda kebijakan politik mereka setelah mereka tidak berkuasa lagi di Belanda! Dan dalam propaganda kedua partai terbesar di Belanda ini, istilah “demi kepentingan orang-orang pribumi”merupakan slogan yang terus menerus dipakai. Max Havelaar dengan isinya yang menggambarkan penderitaan orang-orang pribumi karena kebijakan Cultuurstelsel tentu saja jadi alat propaganda yang tak bisa dilewatkan.

Bukan akhir dari kolonialisme yang diakibatkan oleh penerbitan novel Max Havelaar seperti yang diyakini Pram tapi justru awal dari kolonialisme yang sebenarnya. Maksudnya: Kalau sebelumnya kolonialisme Belanda itu hanya berupa penjajahan fisik semata tapi setelah munculnya Politik Etis yang salah satu program utamanya adalah pengadaan sekolah-sekolah bagi penduduk pribumi maka penjajahan sekarang juga meliputi hal-hal non fisik seperti pemikiran, selera, moralitas, melalui pendidikan kolonial yang diberikan ke kaum elite bangsa yang mereka jajah. Bagi Van Deventer sendiri, kebijakan Politik Etis bertujuan untuk menciptakan elite pribumi yang kebaratan yang merasa berhutang kepada Belanda atas kemakmuran dan kebudayaan tinggi yang dimilikinya. Atau dalam konteks kolonialisme Inggris di India, seperti yang dinyatakan Lord Macaulay, presiden Dewan Pendidikan Kolonial India, dalam  ‘Memo tentang Pendidikan India’ pada tahun 1835:

“Kita sekarang harus berusaha sebaik-baiknya membentuk sebuah kelas yang akan menjadi penerjemah antara kita dan jutaan yang kita perintah; sebuah kelas dari manusia-manusia yang berdarah dan berwarna India tapi Inggris dalam hal selera, opini, moral dan intelek.”

Hibriditas adalah sebuah konsep dalam teori pascakolonial yang dipopulerkan oleh Homi K. Bhabha dalam bukunya The Location of Culture (1994). Hibriditas merujuk ke penciptaan bentuk-bentuk transkultural baru dalam sebuah zona kontak hasil dari kolonialisme yang oleh Bhabha disebut sebagai Ruang Ketiga (third space). Hibriditas terjadi dalam berbagai bentuk: linguistik, budaya, politik, ras, dan lain-lain. Pendidikan kolonial seperti yang dihasilkan oleh Politik Etis Belanda merupakan salah satu zona kontak atau ruang ketiga yang menghasilkan sebuah bentuk transkultural baru yang bersifat hibrid itu yaitu elite terdidik pribumi.

Hibriditas adalah persilangan antara dua ras, tanaman atau budaya yang berbeda. Sebuah hibrid adalah sesuatu yang merupakan hasil dari peristiwa percampuran. Hibriditas sendiri bukanlah sebuah fenomena baru dalam sejarah tapi merupakan sebuah ciri dari semua peradaban. Peradaban kuno dan modern telah meminjam ide, filsafat dan ilmu pengetahuan asing baik melalui perdagangan maupun penaklukan perang dan menghasilkan kebudayaan dan masyarakat hibrid. Kebudayaan Indonesia adalah salah satu contoh dari budaya hibrid yang terjadi dari persilangan budaya India, Cina, Arab dan Eropa dengan budaya-budaya lokal nusantara selama ribuan tahun.

Penggambaran sangat baik tentang proses terjadinya hibriditas ini justru dilakukan Pram sendiri dalam sosok tokoh Minke di novelnya Bumi Manusia. Minke adalah contoh subjek hibrid pascakolonial yang terlahir akibat pendidikan kolonial. Subjek hibrid pascakolonial yang “black skin, white masks” menurut Franz Fanon itu, atau yang “almost the same but not white” kata Homi Bhabha.

Politik Etis Belanda itu sendiri tidak berhasil menghasilkan apa yang semula diharapkan sebagai tujuan pentingnya terutama dalam bidang pendidikan. Berbeda dari Myanmar di bawah kolonialisme Inggris dan Filipina di bawah kekuasaan Spanyol dan Amerika Serikat, Hindia Belanda sangat miskin sekolah dan tingkat melek hurufnya sangat rendah. Hanya terdapat 1500 sekolah dasar di seluruh Hindia Belanda pada tahun 1900 untuk jumlah penduduk yang lebih daripada 36 juta jiwa. Di akhir tahun 1930an hanya terdapat segelintir tamatan sekolah menengah atas dan tingkat melek huruf sedikit di atas 6 persen. Dan pemerintah Belanda menerapkan sistem segregasi dalam semua jenjang sekolah. Menurut Adrian Vickers dalam bukunya A History of Modern Indonesia (2013) , pendidikan Barat baru terbuka untuk penduduk pribumi di awal abad duapuluh. Pada 1900 sejumlah 1500 pribumi terdaftar di sekolah-sekolah Eropa dan 13000 orang Eropa. Sekitar tahun 1928 hampir 75000 pribumi menyelesaikan pendidikan dasar Barat dan sekitar 6500 tamat sekolah menengah, jumlah yang sangat kecil dibandingkan jumlah keseluruhan penduduk Hindia Belanda.

Persoalan utama yang menghambat berhasilnya Politik Etis adalah anggaran pendidikan yang dialokasikan tidak pernah memadai dan krisis finansial akibat Depresi ekonomi global di tahun 1930an akhirnya menjadi lonceng kematian dari kebijakan the white man’s burden pemerintah kolonial Belanda tersebut.

Bagaimana dengan hasil program pendidikan dari kebijakan Politik Etis itu sendiri? Apakah memang seperti yang diklaim Pram bahwa segelintir “pribumi yang berpendidikan Belanda itu mendorong lahirnya gerakan emansipasi dan pembebasan yang akhirnya menghasilkan revolusi besar-besaran di tahun 1940an”?

Politik Etis menghasilkan kaum terdidik awal pribumi yang kongres kedua mereka pada tahun 1928 yang sangat terkenal itu menghasilkan Sumpah Pemuda tapi yang hanya bicara tentang “tanah air, bangsa, dan bahasa” dan tidak ada tentang sebuah negara bernama “Indonesia” yang kelak akan menggantikan negara kolonial Hindia Belanda! Begitu juga dengan perdebatan sangat terkenal di kalangan kaum elite intelektual pribumi awal ini yang disebut sebagai Polemik Kebudayaan di tahun 1930an tidak membicarakan tentang keinginan untuk memiliki sebuah negara baru yang merdeka dari Belanda. Mereka justru sibuk membicarakan apa keunikan dan kehebatan Barat dan Timur yang kedua kelompok masing-masing dukung! Mereka bahkan tidak pernah sekalipun membicarakan kondisi keterjajajahan mereka seolah mereka itu bukan sedang hidup dalam kolonialisme Belanda! (Saya sudah membicarakan hal ini dengan panjang lebar dalam esei saya “Globalitas dan Lokalitas dalam ‘Membayangkan Indonesia’: Sebuah Kritik Pascakolonial”.) Bukankah bahkan pada Augustus 1945 pun Sukarno dan Hatta yang merupakan generasi awal dari kaum elite terdidik kolonial hasil dari Politik Etis itu harus diculik oleh kaum pemuda dan diancam dengan todongan senjata api agar membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia karena keduanya menolak dengan alasan bahwa pemerintah kolonial Jepang telah menjanjikan kemerdekaan Indonesia akan diberikan pada bulan September 1945! Pemberontakan nasionalis berskala nasional pun bukan kaum elite berpendidikan Belanda yang lakukan tapi oleh kaum buruh dan petani di bawah pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1926-1927.

Klaim Pram atas sangat dominannya pengaruh program pendidkan Politik Etis Belanda atas terjadinya gerakan revolusi kemerdekaan yang akhirnya menghasilkan sebuah negara merdeka baru Republik Indonesia telah melupakan banyak peristiwa sejarah besar yang sangat menentukan proses dekolonisasi Hindia Belanda. Salah satunya adalah terjadinya Perang Dunia Kedua dan kolonialisme Jepang atas Hindia Belanda setelah pemerintah kolonial Belanda lari meninggalkannya! Kolonialisme Jepang dan militerisasi penduduk pribumi serta pelarangan segala hal yang berbau Belanda — termasuk pemakaian bahasa Belanda yang memungkinkan makin populernya bahasa Melayu Pasar yang kelak menjadi Bahasa Nasional Indonesia itu – adalah faktor yang lebih dominan ketimbang sekadar pendidikan borjuis kolonial segelintir kaum priyayi pribumi itu. Revolusi di tahun 1940an adalah revolusi fisik bersenjata, bukan revolusi STOVIA dan hal ini mungkin terjadi setelah kaum pribumi dilatih dan dijadikan pasukan militer Jepang yang kita kenal sebagai PETA (Pembela Tanah Air) itu. Terdapat 69 batalion anggota PETA di Jawa (sekitar 37000 pasukan) dan Sumatera (sekitar 20000 pasukan) pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Tidak seperti Belanda, Jepang memfasilitasi politisasi pribumi sampai ke tingkat desa. Jepang mendidik, melatih dan mempersenjatai banyak pemuda pribumi dan memberikan suara kepada para pemimpin nasionalis. Melalui penghancuran rezim kolonial Belanda dan fasilitasi atas nasionalisme Indonesia, pendudukan Jepang menciptakan kondisi bagi proklamasi kemerdekaan Indonesia beberapa hari setelah Jepang menyerah.

Kalau memang benar seperti propaganda kaum Liberal Belanda bahwa salah satu tujuan dari kebijakan hutang budi Politik Etis adalah membangun kesadaran nasionalisme pribumi Hindia Belanda, kenapa Belanda dengan agresif dan kekerasan militer ingin kembali menjajah Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya sebagai sebuah negara baru di tahun 1945 itu? Belanda bahkan baru 4 tahun kemudian yaitu pada 27 Desember 1949 dan setelah melalui perang bersenjata yang memakan begitu banyak korban materi dan jiwa bersedia mengakui “kedaulatan” Indonesia. Belanda sendiri baru mengakui tanggal kemerdekan Indonesia, 17 Agustus 1945, pada 16 Agustus 2005, sehari sebelum peringatan 60 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia!

Esei Pram “The Book That Killed Colonialism” itu sendiri pada dasarnya tidak membahas novel Max Havelaar secara tekstual tapi hanya bercerita secara umum tentang sejarah hubungan antara rempah dan kolonialisme.

Apa benar Max Havelaar adalah buku yang membunuh kolonialisme? Lebih penting lagi: Apa Max Havelaar memang sebuah novel yang anti kolonialisme?

Max Havelaar adalah sebuah teks yang merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai diskursus kolonial (colonial discourse). Istilah “diskursus kolonial” diperkenalkan oleh Edward Said dalam bukunya yang terkenal Orientalism (1978). Istilah ini dipinjamnya dari konsep “discourse” dari pemikir Prancis Michel Foucault dalam bukunya The Archaeology of Knowledge (1969) yaitu sebuah sistem pemikiran, pengetahuan, atau komunikasi yang mengkonstruksi pengalaman. Sebuah sistem pernyataan di mana dunia bisa diketahui. Sebuah sistem yang dipakai kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat untuk menciptakan medan kebenaran dengan memaksakan pengetahuan, disiplin dan nilai tertentu atas kelompok-kelompok yang didominasi. Sebagai sebuah formasi sosial, sistem ini bekerja menciptakan realitas bukan saja bagi objek-objek yang direpresentasikannya tapi juga bagi subjek-subjek yang membentuk komunitas yang jadi sandarannya. Sistem pemikiran yang terdiri dari ide, sikap, aksi, keyakinan, dan praktek yang secara sistematis mengkonstruksi subjek dan dunia yang mereka bicarakan. Fungsi discourse adalah pemberi ligitimasi atas kuasa masyarakat untuk mengkonstruksi kebenaran kontemporer, merawatnya, dan menentukan relasi kuasa di antara kebenaran yang dikonstruksi tersebut;  discourse adalah medium komunikasi di mana relasi kuasa memproduksi laki-laki dan perempuan yang bisa bicara. Bagi Said, diskursus kolonial adalah jalinan rumit dari tanda dan praktek yang mengatur eksistensi dan reproduksi sosial dalam relasi kolonial. Filologi, leksikografi, sejarah, biologi, teori politik dan ekonomi, novel dan puisi lirik termasuk bagian dari apa yang disebut Said sebagai diskursus kolonial Orientalis itu.

Diskursus kolonial adalah sebuah sistem pernyataan yang bisa dibuat tentang koloni dan bangsa-bangsa kolonial, tentang kuasa kolonial dan relasi antara keduanya. Sebuah sistem pengetahuan dan keyakinan tentang dunia di mana kolonisasi terjadi. Merupakan aturan-aturan inklusi dan eksklusi yang beroperasi dengan asumsi tentang superioritas budaya, sejarah, bahasa, seni, struktur politik dan konvensi sosial penjajah serta keyakinan tentang kebutuhan kaum terjajah untuk diangkat melalui persentuhan kolonial. Diskursus kolonial merepresentasikan kaum terjajah sebagai “primitif” dan kaum penjajah sebagai “beradab”.

Coba kita perhatikan bahasa dan diksi yang dipakai dalam pidato Max Havelaar di awal kedatangannya di Lebak di bawah ini:  

“[…]

Terimalah salam takzim saya.

Ketika Gubernur Jenderal memerintahkan saya untuk datang ke tuan-tuan menjadi Asisten Residen di daerah ini, hati saya gembira. Tuan-tuan sekalian tahu saya belum pernah menginjakkan kaki di Banten Kidul; karena itu saya mencari informasi mengenai daerah tuan-tuan, dan saya lihat banyak hal baik di Banten Kidul. Rakyat tuan-tuan memiliki sawah-sawah di lembah-lembah, dan ada pula sawahsawah di gunung-gunung. Dan tuan-tuan ingin hidup damai, dan tidak ingin hidup di daerah-daerah yang dihuni orang lain. Ya, saya tahu banyak hal baik di Banten Kidul.

Tapi bukan karena itu saja hati saya gembira, sebab di tempat lain pun saya akan bisa menemukan banyak hal baik.

Tapi saya lihat bahwa rakyat tuantuan miskin, dan itulah yang menggembirakan jiwa saya.

Karena saya tahu bahwa Allah cinta orang miskin, dan bahwa Dia melimpahkan kekayaan kepada orang yang hendak diujiNya; tetapi kepada orang miskin diutusNya orang menyampaikan firmanNya agar mereka bangkit dari tengah-tengah penderitaan mereka.

Bukankah Dia memberikan hujan saat rumput akan layu, dan embun di mangkuk bunga yang haus?

Dan bukankah sebuah tugas mulia untuk dikirim mencari mereka yang lelah, yang ketinggalan sesudah selesai bekerja dan jatuh kecapaian di jalan, karena lututnya tak kuat lagi untuk berjalan ke tempat menerima upah? Tidakkah saya akan gembira mengulurkan tangan kepada orang yang jatuh ke dalam parit, dan memberi tongkat kepada orang yang mendaki gunung?

Tidakkah hati saya akan melonjak gembira ketika melihat bahwa saya terpilih di antara yang banyak untuk mengubah ratapan menjadi doa dan tangis menjadi rasa syukur?

Ya, saya sangat gembira berada di Banten Kidul.

Saya katakan kepada perempuan yang berbagi derita dan kebahagian bersama saya:

“Berbahagialah karena Allah telah memberikan karuniaNya kepada anak kita! Dia telah mengutusku ke satu tempat di mana ada pekerjaan yang harus dilakukan, dan Dia anggap aku pantas untuk berada di sana sebelum panen tiba. Kita bersukacita bukan karena memotong padi; kita bersukacita karena memotong padi yang kita tanam sendiri. Dan jiwa manusia bergembira bukan karena upah, tapi karena kerja yang membuatnya menerima upah.” Dan saya katakan kepada perempuan itu: “Allah telah memberikan kita anak; dan akan datang waktunya anak itu akan berkata: ‘Tahukah kalian bahwa aku adalah anaknya?’ dan akan ada orang yang akan menyapa anak itu dengan cinta, yang akan meletakkan tangannya di kepalanya dan berkata: ‘Mari makanlah bersama kami, dan tinggallah di rumah kami, dan ambillah bagianmu dari harta milik kami, karena kami mengenal bapakmu.’”

 Karena, tuan-tuan sekalian, banyak yang harus dikerjakan di Lebak

 Katakan kepada saya, bukankah si pekerja miskin? Bukankah padi menguning sering kali untuk mereka yang tidak menanamnya? Bukankah banyak kesalahan di negeri tuan? Bukankah jumlah anak kalian sedikit?

[…]  

Tak adakah kesedihan kalau berjalan dari sini ke pantai selatan, melihat gunung-gunung yang kering tak berair, atau dataran di mana kerbau tidak pernah meluku?

Ya, ya, jiwa kita bersedih karena semua ini; makanya kita berterimakasih kepada Allah, karena Dia telah memberikan kita kekuatan untuk bekerja di sini.

[…]

Saya dikirim ke sini sebagai kawan kalian, saudara tua kalian. Tidakkah kita harus memperingatkan saudara kita yang lebih muda kalau kita melihat harimau di jalan?

Kepala-kepala negeri Lebak, kita sering melakukan kesalahan dan daerah kita miskin, karena kita banyak melakukan kesalahan.

Di Cikande, Bolang dan Krawang dan daerah-daerah sekitar Batavia banyak tinggal orang-orang yang lahir di daerah kita, dan yang meninggalkan daerah kita.

Mengapa mereka mencari kerja jauh dari tempat mereka menguburkan orang tua mereka? Mengapa mereka meninggalkan kampung tempat mereka disunat? Mengapa mereka lebih suka mencari kesejukan pohon yang tumbuh di sana daripada keteduhan hutan-hutan kita?

Bahkan di barat laut sana, di seberang laut, banyak anak kita yang meninggalkan Lebak dan mengembara di daerah-daerah asing membawa keris, kelewang dan senapan. Dan mereka mati menyedihkan karena pemerintah memiliki kekuatan untuk mengalahkan para pemberontak itu.  

[…]

Tuan-tuan kepala negeri Lebak! Kita semua bekerja untuk Raja Belanda. Tapi dia yang adil dan menginginkan kita melaksanakan tugas kita berada jauh dari sini. Tigapuluh kali beribu-ribu jiwa, bahkan lebih, ada di bawah kuasanya tapi dia tidak bisa berada di dekat semua yang tergantung padanya.

Gubernur Jenderal di Buitenzorg [Bogor] adalah seorang yang adil dan menginginkan setiap orang melaksanakan tugas mereka; tapi walaupun dia sangat berkuasa, memerintah semua otoritas di kota-kota dan para tetua di desa-desa dan berkuasa mengirimkan tentara di darat dan kapal di laut, tapi sama seperti raja, dia tidak bisa melihat di mana ketidakadilan telah terjadi karena jauh darinya.

Tuan-tuan kepala negeri Lebak, siapakah yang akan menjalankan keadilan di Banten Kidul?

[…]

Saya ingin punya hubungan yang baik dengan kalian dan karenanya meminta kalian untuk menganggap saya sebagai kawan. Setiap orang yang bersalah bisa mengharapkan hukuman yang ringan dari saya karena saya sering juga berbuat salah, asal hanya kesalahan atau kelalaian biasa. Hanya waktu kelalaian jadi kebiasaaan, baru saya akan menentangnya. Tapi kesalahan yang lebih parah—tirani dan penindasan, hal demikian tidak akan terjadi….

Baiklah, tuan-tuan kepala negeri Banten Kidul! marilah kita bersukacita bahwa daerah kita miskin sekali. Ada tugas mulia di hadapan kita….”

Banyak contoh lain dalam Max Havelaar di mana kaum pribumi dan budayanya direpresentasikan sebagai segala sesuatu yang negatif dan berlawanan dari Barat, sesuatu Yang Lain, the Other, hingga harus diselamatkan oleh Barat melalui kolonialisme. Panggambaran sang Penjajah sebagai Utusan Tuhan/Allah untuk menyelamatkan Yang Dijajah dari dirinya sendiri merupakan ciri khas novel Max Havelaar yang membedakannya dari mayoritas novel kolonial lain.

Disamping sikapnya yang paternalistik dan orientalis terhadap kaum pribumi, Max Havelaar juga menentang aksi perlawanan pribumi atas kolonialisme Belanda. Hal ini bisa kita lihat dalam pengalamannya di Natal, Sumatera Utara dan di Ambon (di mana dia dengan susah payah berhasil meredam semangat perlawanan kaum pribumi Ambon terhadap pemerintah kolonial Belanda dan merasa jengkel kepada pemerintah kolonial Belanda yang sedikit sekali memberikan bantuan kepadanya!). Max Havelaar bahkan menyatakan tak mengerti kenapa Jenderal Van Damme (nama samaran untuk Gubernur Pesisir Barat Sumatra yang berkedudukan di Padang, Andreas Victor Michiels) tidak menaklukkan Sumatera Utara dan Aceh padahal mudah sekali untuk membuat alasan-alasan untuk penaklukan tersebut walaupun dalam Traktat London 1824 dengan Inggris ada dinyatakan larangan untuk aksi seperti itu. “Mencuri sebuah provinsi selalu lebih mudah daripada mencuri sebuah penggilingan,” kata Max Havelaar.

Siapakah Max Havelaar/Multatuli/ Eduard Douwes Dekker sebenarnya? Apakah sosok mitos yang begitu lama dipropagandakan dan direproduksi terus menerus di Indonesia itu yaitu seorang tokoh kolonial pembela pribumi tertindas Hindia Belanda dan seorang anti kolonialisme? Atau seperti dalam kata-kata Pram: Seorang pejabat kolonial Belanda di Jawa [yang] menyaksikan – dan kemudian memberontak terhadap – sistem tanam paksa yang dibebankan atas para petani Indonesia oleh Pemerintah Belanda?

Dekonstruksi atas mitos tentang Max Havelaar/Multatuli/ Eduard Douwes Dekker ini dilakukan dengan baik oleh seorang penulis Indo bernama Rob Nieuwenhuys dalam bukunya Mirror of the Indies: A History of Dutch Colonial Literature (1982) dan terutama dalam Mitos dari Lebak (2019). Dengan memakai dokumen-dokumen sejarah dari saat keberadaan Max Havelaar/Multatuli/ Eduard Douwes Dekker di Lebak, Rob Nieuwenhuys berhasil membuktikan betapa semua kisah heroik tentang sepak terjang Max Havelaar/Multatuli/ Eduard Douwes Dekker selama bertugas sebagai Asisten Residen di Lebak hanyalah dongeng kosong semata.

Beberapa fakta sejarah berikut saya ambil dari kedua buku Rob Nieuwenhuys di atas yang harus dibaca luas di Indonesia itu.

Eduard Douwes Dekker membuat pengaduan kepada residen Brest van Kempen bahwa bupati di daerah pemerintahannya, yaitu Raden Adipati Karta Natanagara, telah menyalahgunakan kekuasaan dengan melakukan pemerasan. Dia meminta agar bupati Lebak ini diperiksa. Waktu residen yang adalah atasannya itu meminta bukti-bukti atas pengaduannya itu, Douwes Dekker menolak memberikannya dan cuma berkata bahwa dia akan bertanggung jawab atas pengaduannya tersebut. Tentu saja jawaban Douwes Dekker ini tidak bisa diterima atasannya itu yang akhirnya melaporkan aduannya itu ke pejabat yang lebih tinggi otoritasnya. Kita tahu hasilnya adalah aduan Douwes Dekker tersebut membuat dia dicopot jabatannya sebagai Asisten Residen Lebak.

Douwes Dekker sendiri tidak dipecat tapi mengundurkan diri padahal ditawari pekerjaan baru yang sama sebagai Asisten Residen di Ngawi, Jawa Timur.  

Douwes Dekker tidak memahami budaya dan masyarakat Banten tapi begitu menjunjung norma dan nilai Eropa dan menjadikannya sebagai standar ukuran. Seperti terlihat pada pidatonya pada penyambutan kedatangannya di Lebak, sikap Douwes Dekker sangat paternalistik dan orientalis terhadap para bupati dan orang-orang pribumi lainnya.

Pembayaran upeti dan kerja bakti oleh penduduk untuk kepala-kepala adat dalam masyarakat Jawa adalah hal yang biasa. Macam dan jumlahnya berbeda-beda sesuai dengan tempatnya, lebih-lebih tergantung pada keadaan-keadaan yang khusus. Bahkan pemerintah Hindia Belanda telah menetapkannya dalam peraturan-peraturan. Dari sini bisa kita lihat betapa Douwes Dekker telah tidak menghiraukan dan tidak toleran terhadap tradisi lokal yang bahkan telah diakui resmi oleh pemerintahan tempat dia bekerja itu dan memfitnah bupati Lebak yang merupakan kepala adat lokal tersebut sebagai telah melakukan pemerasan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Multatuli/ Eduard Douwes Dekker tidak pernah mengkritik kolonialisme Belanda tapi justru mendukungnya makanya dia berkali-kali bekerja untuk pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Kalau dia memang benar anti kolonialisme, dia pasti akan menolak untuk bekerja bagi kepentingan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda. Dia bukan saja tidak menolak tapi bahkan menjadi salah satu pejabat pemerintah kolonial Belanda tersebut sebagai Asisten Residen!

Alasan utama Multatuli menulis novel Max Havelaar adalah rasa sakit hati yang mendalam karena telah dicopot dari jabatannya sebagai Asisten Residen Lebak yang berarti telah menutup kemungkinan bagi dirinya untuk naik ke kelas sosial tertinggi dalam masyarakat kolonial Hindia Belanda. Begitu parahnya rasa sakit hatinya itu hingga dia dikatakan menyelesaikan penulisan novelnya itu hanya dalam kurang dari tiga minggu!

Waktu pemerintah kolonial Hindia Belanda mengetahui rencana penerbitan novel yang didesas-desuskan akan menggemparkan itu, mereka menghubungi Multatuli dan memintanya untuk tidak menerbitkannya. Multatuli menyatakan bersedia untuk tidak menerbitkan novelnya asal dia diberikan jabatan pemerintahan yang baru yaitu posisi Residen lalu anggota Dewan Hindia Belanda, ditambah uang dalam jumlah yang besar dan medali penghargaan atas jasa-jasanya. (Dalam suratnya bertanggal 20 November 1859 kepada istrinya Tine, Multatuli/ Eduard Douwes Dekker menulis: “Aku telah memikirkannya, dan aku mau menerima usulan Rochussen [Menteri Urusan Koloni] tapi aku punya beberapa persyaratan: 1. Posisi residen, terutama di Passaruang biar bisa membayar hutang-hutangku (daerah ini menghasilkan persenan yang tinggi kepada residennya dari keuntungan pertaniannya); 2. Restorasi atas masa tugasku sebelumnya, untuk dihitung waktu pensiun; 3. Pembayaran uang muka yang besar, dan medali Orde Singa Belanda.  Aku tak mau secara terbuka mengumumkan syarat-syarat ini tapi menunggu apa yang akan dilakukannya.”) Tentu saja persyaratan yang gila-gilaan ini ditolak mentah-mentah oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ini kembali membuktikan bahwa Multatuli menulis Max Havelaar bukan untuk melawan ketidakadilan yang terjadi pada orang-orang pribumi Hindia Belanda tapi sebagai protes atas ketidakadilan yang dianggapnya telah dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda kepada dirinya!  

Max Havelaar bukanlah sebuah protes terhadap pemerintah kolonial yang aksi-aksinya sudah kelewatan batas tapi justru sebuah protes terhadap pemerintah kolonial yang dianggap kurang keras dalam menerapkan kebijakan-kebijakannya. Yang dikritik dengan keras adalah lemahnya sikap pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap jajahannya!

Bagi Multatuli, pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak menerapkan nilai-nilai dan norma-norma Belanda yang adiluhung seperti keadilan dan semangat humanitarian tapi justru lembek terhadap orang-orang pribumi dan membiarkan nilai-nilai pribumi yang dianggapnya negatif itu mempengaruhi nilai-nilai dan norma-norma pencerahan Belanda tersebut. Orang-orang pribumi harus diselamatkan dari nilai dan norma mereka yang korup oleh atasan mereka yang bijaksana yaitu para pejabat pemerintah kolonial Hindia Belanda, dalam kasus Lebak adalah Multatuli sendiri.

Max Havelaar memperjuangkan reformasi sistem kolonialisme Belanda di Hindia Belanda, bukan penghapusan kolonialisme itu sendiri. Karena di bagian akhir novel tersebut Multatuli mengklaim bahwa tokoh bernama Max Havelaar adalah dirinya sendiri sementara Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker maka bisa dikatakan pula bahwa memperjuangkan reformasi sistem kolonialisme Belanda di Hindia Belanda adalah segalanya bagi Multatuli/Eduard Douwes Dekker tapi bukan penghapusannya!

Jangankan membunuh kolonialisme, penyebab langsung lahirnya Politik Etis pun bukan. Max Havelaar bukan satu-satunya buku yang “mengkritik” kebijakan kolonial Belanda di Hindia Belanda di abad 19. Sebelum terbitnya Max Havelaar, kritik atas kebijakan Cultuurstelsel sudah ramai di negeri Belanda. Seperti yang disebutkan Pram sendiri, kaum liberal Belanda sangat gencar melakukan kritik tersebut dan Max Havelaar hanyalah salah satu alat yang dengan lihai mereka manfaatkan. Kaum liberal Belanda inilah sebenarnya yang membuat Max Havelaar jadi seolah-olah buku yang menentang kolonialisme Belanda. Dan ironisnya, setelah tujuan mereka tercapai, justru musuh mereka yaitu kaum konservatif Belanda yang kemudian memakai Max Havelaar untuk menyerang kaum liberal yang sedang berkuasa di Belanda di akhir abad 19!

Kalau benar Max Havelaar adalah buku yang membunuh kolonialisme dan membela kaum pribumi yang tertindas akibat kolonialisme tersebut, bukankah sesuatu yang sangat mengherankan dan sangat ironis bahwa novel tersebut justru jadi semacam bacaan wajib bagi para calon pegawai pemerintahan kolonial di Hindia Belanda, ketimbang dilarang dibaca atau diterbitkan! Bukankah luar biasa juga bahwa buku anti kolonial yang membunuh kolonialisme itu bahkan masuk dalam kurikulum sekolah-sekolah kolonial Belanda! Betapa humanis dan anti kolonialnya kolonialisme Belanda itu!

Bukan cuma Pram yang memuji Max Havelaar setinggi langit, kritikus sastra LEKRA Bakri Siregar pun tidak ketinggalan dengan nyanyian puja pujinya. Dalam bukunya Sedjarah Sastera Indonesia Modern (1964) Bakri Siregar menulis bahwa “dengan pedas Multatuli menuduh kolonialisme dan orang-orang Belanda sebagai yang bertanggung jawab atas penghisapan ekonomi dan penindasan politik zaman cultuurstelsel (tanaman paksa)”. Saya benar-benar takjub. Entah novel Max Havelaar versi mana yang dibaca kedua tokoh besar LEKRA ini!

Sangat ironis betapa kedua tokoh “seni untuk rakyat” ini justru tidak pernah menyebut apalagi membicarakan beberapa novel yang mengungkapkan buruknya kondisi kerja dan kehidupan para kuli pribumi di perkebunan-perkebunan tembakau dan karet kolonial di Deli, Sumatera Utara yang disebut sebagai “penjara luar ruang” (outdoor prison) itu. Novel-novel karya pasangan suami isteri Hungaria-Belanda, Ladislao Szekely dan Madelon Szekely-Lulofs, seperti Tropic Fever: The Adventures of a Planter in Sumatra, Rubber, dan Coolie diterbitkan dalam bahasa Hungaria, Belanda dan Inggris di tahun 1930an dan merupakan pengalaman hidup langsung keduanya di perkebunan-perkebunan Deli tersebut. Novel-novel inilah yang pantas untuk disebut sebagai buku-buku yang membela kaum pribumi yang tertindas dan anti kolonialisme!

Daftar Bacaan:

Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia (2013)

Bakri Siregar, Sedjarah Sastera Indonesia Modern (1964)

Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, Helen Tiffin, Post-Colonial Studies: The Key Concepts (3rd Edition, 2013)

Darren C. Zook, Searching for Max Havelaar: Multatuli, Colonial History, and the Confusion of Empire (2006)

Edward Said, Orientalism (1978)

Homi Bhabha, The Location of Culture (1994)

John McLeod, Beginning Postcolonialism (2nd Edition, 2010)

M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1200 (4th Edition, 2008)

Multatuli, Max Havelaar; or, the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company (Terjemahan Baron Alphonse Nahuÿs, 1868)

Pramoedya Ananta Toer, The Book That Killed Colonialism (New York Times Magazine, 18 April 1999)

Rob Nieuwenhuys, Mirror of the Indies: A History of Dutch Colonial Literature (1982)

Rob Nieuwenhuys, Mitos dari Lebak: Telaah Kritis Peran Revolusioner Multatuli (2019)

Saut Situmorang, Politik Sastra (2009)

Syed Hussein Alatas, The Myth of the Lazy Native (1977)

Oleh: Saut Situmorang

Belum pernah ada film asing yang menimbulkan lalulintas komentar dan caci maki pro-dan-kontra seintens film Korea Parasite (2019) di media sosial Indonesia. Mayoritas memuji-muji karya terakhir sutradara Bong Joon-ho ini setinggi langit setelah Parasite berhasil memenangkan 4 Kategori penghargaan dalam Oscar 2020, setelah tahun sebelumnya dianugerahi penghargaan paling bergengsi dalam dunia film Palme d’Or Cannes 2019.

Isu utama yang jadi topik hangat segala komentar dan caci maki itu adalah judul dari film itu sendiri. Siapakah yang dimaksud sebagai “parasit” dalam film tersebut? Dan bingkai “teoritis” yang dipakai untuk menjawab pertanyaan ini, percaya atau tidak, adalah pandangan kaum Kiri tentang kapitalisme, terutama “Marxisme”. Media sosial Indonesia tiba-tiba berubah menjadi forum Kritik Film Marxis di mana semua yang ikut ambil bagian menjadi Pakar Marxisme dan isme sosialis lainnya!

Komentar-komentar seperti “Parasite merupakan contoh bagus kritik terhadap kapitalisme”, “Bong Joon-ho ngomongin ketimpangan kelas”, “Emang kita baunya beda, cuy. Dan justru masalah “bau” ini nunjukin yang sangat jelas kelss menengah atas tuh ngehe [sic]”, “Bong memaparkan realitas yang kejam dan kemudian merevolusi cara pandang yang didominasi kelas penguasa”, “Parasit di fiom Bong bukan orang miskin. Parasitnya justru kaum kaya yang ongkang-ongkang. Kaum miskin justru digambarkan cerdik. Mereka memanfaatkan kebodohan orang kaya untuk bertahan hidup [sic]”, “Dalam Parasite kaum miskin ini digambarkan cerdik tapi sial, orang kaya digambarkan arogan dan tolol, gampang ditipu oleh penampilan”, membuat saya heran apa mereka ini memang menonton film berjudul Parasite (2019) karya sutradara Korea Bong Joon-ho?!

Bahkan resensi film ini di media online mainstream pun tidak lepas dari bau Marxis-marxisan seperti di media sosial.  

Windu Jusuf dalam IndoProgress, 14 Juli 2019, mendongeng panjang lebar tentang “bau” dan “parfum” tapi lupa menganalisis jalan cerita film yang konon sedang dia bicarakan. Dia menulis “Film yang diganjar Palme d’Or di Cannes 2019 itu mempertentangkan kelas apak dan kelas wangi; kelompok manusia yang tinggal di rumah semi-basement dan bunker, serta kelompok lainnya yang hidup di dalam bangunan megah nan steril; keluarga majikan dan keluarga pesuruh.” Tapi tak sekalipun dia menunjukkan di mana dalam film “pertentangan kelas” yang diklaimnya itu. Dia justru seperti yang saya katakan di atas terlalu asyik bercerita tentang “bau” dan “parfum”.

Adegan penikaman Tuan Park oleh Ki-taek ditafsirnya sebagai “Solidaritas kelas memang bisa muncul dari hal-hal tak terduga dan terwujud dalam perilaku yang tak selalu nampak politis. Bela rasa sesama kaum jelata di Parasite terjalin berkat bau yang katanya mirip lobak basi itu.” Tapi dia tidak menyebutkan bagaimana liciknya Keluarga Kim dalam usaha mereka mengenyahkan pembantu rumah tangga asli Keluarga Park yaitu Moon-gwang yang merupakan istri dari Geun-sae yang tiba-tiba muncul di acara pesta ulang tahun anak Keluarga Park di mana penikaman tersebut terjadi. Kemunculan mendadak suami Moon-gwang itu sendiri adalah untuk menghabisi Keluarga Kim yang telah mencelakai istrinya sebelumnya di ruang bawah tanah rumah Keluarga Park! Sebuah solidaritas kelas?!

Klimaks dari fetishisme atas Parasite ini adalah film tersebut “akan ditayangkan di saluran tvN Movies di paket Nomat Transvision, Sabtu 15 Februari 2020” menurut CNN Indonesia, 13/02/2020! Belum pernah ada film Indonesia yang langsung ditayangkan stasiun televisi lokal seperti ini dalam sejarah perfilman di negeri ini!

***

Ada tiga keluarga yang jadi tokoh utama cerita dalam Parasite dan dua orang tokoh minor. Ketiga keluarga tersebut adalah Keluarga Kim yaitu ayah Ki-taek, ibu Chung-sook, putri Ki-jung dan putra Ki-woo, Keluarga Park (ayah Dong-ik, ibu Yeon-gyo, putri Da-hye, dan putra  Da-song) dan Keluarga Pembantu Keluarga Park (istri Moon-gwang dan suaminya Geun-sae). Kedua tokoh minor adalah Min-hyuk teman Ki-woo dan Yoon supir Keluarga Park.

Sebagian besar plot cerita berlangsung di rumah Keluarga Park dengan beberapa adegan terjadi di apartemen semi ruang bawah tanah Keluarga Kim.

Siapakah sebenarnya yang dimaksud sebagai “parasit” dalam film tersebut?

Menurut kamus Merriam-Webster Online, parasit adalah:

“1: a person who exploits the hospitality of the rich and earns welcome by flattery

2: an organism living in, with, or on another organism in parasitism”.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online memberikan definisi:

“parasit/pa·ra·sit/ n 1 benalu; pasilan; 2 organisme yang hidup dan mengisap makanan dari organisme lain yang ditempelinya; 3 ki orang yang hidupnya menjadi beban (membebani) orang lain”.

Menurut Encyclopaedia Britannica, parasitisme adalah “relationship between two species of plants or animals in which one benefits at the expense of the other, sometimes without killing the host organism” sementara menurut Wikipedia “In evolutionary biology, parasitism is a symbiotic relationship between species, where one organism, the parasite, lives on or in another organism, the host, causing it some harm, and is adapted structurally to this way of life.”

Seorang pengamat film Korea Selatan Seo Hee Im menulis tentang film Parasite di Los Angeles Review of Books, 18 September 2019:

“The parasites in question are a family of four who insinuate their way into an affluent family’s mansion as English tutor, art therapist, driver, and housekeeper, a scheme that requires ousting those already in the positions. Bong not only has the family variously crawling, slithering, and scuttling around on all fours or on stomachs; three of the family members — Ki-taek (Song Kang-ho), Ki-woo (Choi Woo-shik), and Ki-jung (Park So-dam) — share the first syllable of their names with Gisaengchung, or parasite in Korean.” 

Bahkan ketiga nama tokoh Keluarga Kim yang miskin itu yaitu Ki-taek, Ki-woo, dan Ki-jung memiliki silabel-pertama yang sama dengan kata “Gisaengchung” alias parasit dalam bahasa Korea!

Sekarang mari kita perhatikan bagaimana tingkah laku Keluarga Kim digambarkan dalam film itu sendiri.

Sejak dari adegan pertama di apartemen Keluarga Kim kita ditunjukkan kelakuan parasit Keluarga Kim yang mencuri-pakai koneksi internet tetangganya dan bagaimana mereka berusaha memaksa agar pesanan kotak kardus pizza yang mereka kerjakan dibayar penuh walau “satu dari empat” kardus tersebut rusak tak dapat dipakai.

Puncak dari aksi parasit mereka ini adalah ketika mereka sekeluarga berhasil dengan segala tipu daya menjadi tutor bahasa Inggris, therapis seni, supir dan pembantu rumah tangga Keluarga Park.

Bahkan Ki-woo menghianati sahabatnya sendiri Min-hyuk yang telah memberinya pekerjaan sebagai tutor bahasa Inggris yang berpesan agar dia menjaga Da-hye selama Min-hyuk sekolah di luar negeri. Min-hyuk jatuh hati pada Da-hye dan bermaksud akan mulai dating dengannya setelah Da-hye tamat sekolah menengah. Min-hyuk memilih Ki-woo untuk menggantikannya sebagai tutor bahasa Inggris Da-hye karena dia mempercayai sahabatnya itu dibanding kawan-kawan kuliahnya yang juga naksir Da-hye. Tanpa sepengetahuan Keluarga Park tapi diketahui oleh keluarganya sendiri, dan mereka restui tentu saja, Ki-woo memacari Da-hye putri Keluarga Park yang masih di bawah umur itu!

Sikap Yeon-gyo, ibu Keluarga Park, waktu pertama kali menerima Ki-woo sebagai tutor bahasa Inggris putrinya pun tidak angkuh atau tinggi hati layaknya stereotipe ibu rumah tangga keluarga kaya raya. Setelah Ki-woo “lulus tes” hari pertama memberikan tutor kepada Da-hye di bawah pengawasan langsung Yeon-gyo, Yeon-gyo malah menaikkan upahnya lebih tinggi daripada yang diberikan kepada tutor sebelumnya Min-hyuk. (Soal kenaikan upah ini, bukan Ki-woo saja yang mengalaminya tapi kemudian juga dialami Ki-taek untuk kerja lembur dan Ki-jung untuk datang ke pesta ulangtahun Da-song di bagian akhir film) Bahkan sikap ramah tamah Yeon-gyo kepada Ki-woo itu ditunjukkan dengan menyatakan kepada Ki-woo untuk meminta apa saja yang dibutuhkannya kepada Moon-gwang pembantu rumah tangga Park!

Betapa kontras sikap ibu rumah tangga Keluarga Park yang kaya raya ini dengan sikap ibu Ki-woo sendiri di awal film waktu sahabatnya Min-hyuk datang berkunjung ke apartemen mereka. Sebelum masuk ke dalam apartemen Keluarga Kim, Min-hyuk malah sempat mengusir seorang pemabuk yang ingin kencing di dekat jendela apartemen mereka. Min-hyuk membawa sebuah hadiah kepada Ki-woo yaitu sebuah karya seni dari batu alam yang disebut suseok (scholar’s rock) buatan kakeknya yang diyakini bisa membawa kekayaan material kepada pemiliknya. Tapi apa reaksi ibu Ki-woo? Ketimbang mengucapkan terima kasih, dia malah menyelutuk bahwa (membawa) makanan jauh lebih baik! Ironisnya lagi, kedatangan Min-hyuk ke apartemen Keluarga Kim itu justru ingin memberikan pekerjaan kepada Ki-woo yang pengangguran!

Yang mengherankan adalah klaim bahwa Keluarga Park yang kaya raya itulah yang “parasit” karena mereka memberikan pekerjaan kepada Keluarga Kim yang miskin! Bahkan ada yang menyatakan bahwa Keluarga Park hidupnya cuma “ongkang-ongkang kaki” saja! Ajaib betul ada keluarga yang kerjanya cuma ongkang-ongkang kaki saja tapi bisa kaya raya! Padahal jelas ditunjukkan dalam film bahwa Dong-ik kepala Keluarga Park bekerja dan Ki-taek menyupirinya ke kantor!

Kalau memang benar bahwa Parasite adalah sebuah “kritik atas kapitalisme”, seperti yang diklaim kebanyakan komentator Indonesia baik di media sosial maupun media online, mengapa tidak pernah sekalipun kapitalisme itu dinampakkan sosoknya? Mengapa kemiskinan Keluarga Kim tidak dijelaskan penyebabnya? Justru apa yang kita lihat digambarkan dengan sangat baik dan detil adalah betapa tidak bermoral dan tidak beretikanya Orang Miskin itu hingga mereka akan melakukan apa saja cuma demi untuk mengubah kondisi hidupnya, untuk menaikkan status kelas sosialnya!

Bagaimana mungkin sebuah film yang dengan sangat detil menggambarkan betapa licik dan jahatnya sebuah Keluarga Miskin dalam usahanya untuk bisa bekerja di rumah sebuah Keluarga Kaya –sementara si Keluarga Kaya yang jadi korban kelicikan dan kejahatan tersebut digambarkan lugu dan “baik” dan tidak pernah sekalipun dijelaskan bagaimana mereka bisa jadi begitu kaya raya– tidak bisa disebut sebagai film yang Menghina Orang Miskin dan Kemiskinan?! Saya bahkan diserang dengan sengit di media sosial karena berani menyatakan hal tersebut! Mungkin saya, seperti Keluarga Kim dalam film, telah “melampai batas” dari apa yang mesti dikatakan dan tidak boleh dikatakan tentang film tersebut!

Apakah mereka yang menganggap film Parasite bukan film yang Menghina Orang Miskin dan Kemiskinan menonton film yang berbeda tapi berjudul sama?!

Dari awal sampai akhir film, Orang Miskin digambarkan sebagai Parasit, bukan cuma sekadar parasit yang merugikan tapi yang juga membunuh sesama Orang Miskin demi bisa hidup! Malah Orang Kaya pun jadi korban pembunuhan Orang Miskin cuma karena Orang Kaya itu terlalu jujur dengan penciumannya atas Bau tubuh si Orang Miskin. Padahal, ironisnya, Orang Kaya itu dianggap “orang baik” oleh si Orang Miskin! Kalau film ini dianggap cuma sebuah Satire Sosial maka inilah satire sosial bikinan kaum Borjuis yang paling buruk dalam sejarah film!

Tentang “realitas Korea” atau Hell Chosun yang diklaim direpresentasikan dalam film, seorang penulis Korea lain Hahna Yoon menulis begini di The Guardian, 5 Februari 2020:

“South Korea’s millennials are some of the most educated in the world – with 70% aged 24 to 35 having some form of tertiary education. (In real life, could Ki-woo have scored so poorly on the exam that he was not accepted into any university whatsoever? Unlikely.) Bong is praised for highlighting Hell Chosun – a term to describe the socioeconomic conditions

that make it a nightmare to get a job even after receiving a degree but, ironically, this term barely applies to the Kims. Without degrees, it is more likely they would look for work in a sector with a huge labour shortage – such as factory production … or housework.”

Seandainyapun kedua anak Keluarga Kim (Ki-woo dan Ki- jeong) tidak memiliki gelar sarjana, sebenarnya bisa saja mereka mencari pekerjaan di sektor yang masih sangat membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar, seperti di pabrik atau pembantu rumah.

Jadi masalahnya bukan ketidakadaan pekerjaan tapi kemalasan. Kemalasan yang diperparah dengan kerakusan. Sudah malas mencari pekerjaan yang sesuai dan tersedia, mereka juga rakus ingin memiliki kemewahan hidup seperti pada keluarga berada, dalam hal ini Keluarga Park yang kaya raya.

Bong Joon-ho bermain dengan stereotipe kelas-pekerja tapi dia gagal menganalisis sistem yang menciptakan Keluarga Kaya dan Keluarga Miskin dalam filmnya itu. Alih-alih jadi kritik atas kapitalisme, Parasite malah jadi peringatan atas bahaya kalau mempercayai kelas pekerja!

Ketimbang membela Orang Miskin, film Parasite justru mendikte mereka. Orang Miskin jadi miskin karena mereka malas dan secara moral tidak bisa dipercaya. Orang Miskin cuma jadi objek rasa kasihan atau lelucon yang menghibur. Sederhananya: Orang Kaya dan Orang Miskin tidak mungkin berintegrasi, tidak mungkin berubah walau dengan kekerasan sekalipun. Keduanya dikutuk untuk menjadi Orang Kaya dan Orang Miskin. Kalau “batas kelas” ini dilewati maka hanya kekerasan dan pembunuhan yang akan terjadi seperti yang dengan sangat detil digambarkan dalam film tapi realitas kelas sosial itu sendiri, keberadaan Orang Kaya dan Orang Miskin, tidak akan berubah.  

Satu hal yang mengherankan tentang reaksi atas film Parasite adalah waktu film tersebut memenangkan Palme d’Or di Cannes 2019 perbincangan tentangnya di media sosial Indonesia bisa dikatakan nyaris tidak ada sama sekali, tapi begitu film tersebut memenangkan 4 kategori penghargaan Oscar tiba-tiba saja media sosial Indonesia penuh dengan perbincangan atasnya yang rata-rata merupakan puja-puji setinggi langit yang belum pernah diterima film manapun sebelumnya. Pertanyaannya sekarang: Apakah publik penonton film Indonesia begitu terbius oleh segala pencitraan glamour Oscar di media massa hingga memenangkan penghargaan di Oscar dianggap segalanya dan mengharamkan kritik atasnya apalagi kalau yang menang itu adalah sebuah film “Asia”?!

Saya akan menjawab tulisan Ariel Heryanto yang muncul di The Conversation, 28 Januari 2022 di bawah. Jawaban-jawaban saya akan langsung saya tuliskan di bawah paragraf-paragraf tulisannya tersebut.

=========

Kapan Siap Menghadapi “Bersiap”?: Mendalami Polemik Periode Kekerasan Pasca-Proklamasi Indonesia

Oleh: Ariel Heryanto

Gara-gara seorang sarjana Indonesia dilaporkan polisi di Belanda, publik Indonesia menengok kembali kekerasan pasca Proklamasi 1945 yang jarang dibahas.

Saut Situmorang (SS):

Publik Indonesia mana yang dimaksud?! Sepengetahuan saya, cumak segelintir kecil Orang Indonesia yang mau repot-repot membicarakannya yaitu beberapa sejarawan Indonesia dan Orang Indonesia Diaspora yang pro Belanda kayak si Ariel Heryanto sendiri. Publik Indonesia di Indonesia secara umum tidak ada yang membicarakannya, peduli pun tidak!

=========  

Kontroversi “Bersiap” dipicu oleh sebuah tulisan di Belanda dengan judul provokatif Hapus Istilah Bersiap, karena Rasis. Penulisnya Bonnie Triyana, satu dari empat kurator sebuah pameran tentang Revolusi Indonesia di Rijkmuseum, Amsterdam, Belanda. Di alinea kedua tertulis tim kurator pameran telah memutuskan tidak akan menggunakan istilah “Bersiap”.

SS:

Kontroversi itu HANYA terjadi di Belanda! Persoalannya adalah (tapi tidak dijelaskan oleh Ariel Heryanto!) bahwa istilah “Bersiap” itu merupakan istilah ciptaan Belanda yang maknanya sangat tendensius membela kepentingan kolonial Belanda dalam periode 1945-1949. Indonesia TIDAK mengenal istilah tersebut! Yang kita kenal adalah istilah “perang kemerdekaan” atau “perang revolusi”. Saya jadi bertanya-tanya kenapa Ariel Heryanto TIDAK menjelaskan arti sebenarnya dari istilah bikinan Belanda itu!

=========

Untuk memahami duduk persoalan ini secara jernih, kita perlu bebas dari perangkap dikotomi Belanda/Indonesia yang berpuluh tahun menjerat diskusi publik tentang kolonialisme Hindia Belanda.

SS:

Pernyataan lucu dan ahistoris ini! Kenapa kita perlu bebas dari perangkap dikotomi Belanda/Indonesia sementara isunya adalah Sejarah Kolonialisme Belanda di Indonesia?! Apakah bagi Ariel Heryanto fakta penjajahan yang berusia ratusan tahun itu TIDAK penting sama sekali?! Penjajahan Belanda itu bisa begitu saja dikesampingkan untuk “memahami duduk persoalan secara jernih”?! Secara jernih bagi dan untuk siapa?!

=========  

“Bersiap” sering dipahami secara sempit sebagai kekerasan “antikolonial” pasca-proklamasi oleh warga terjajah terhadap orang Belanda atau warga lain yang dianggap sekutunya. Sejumlah kesaksian, misalnya jurnalis Indonesia Kwee Thiam Tjing dalam bukunya Indonesia dalem Api dan Bara, juga beberapa saksi-mata yang berkisah secara lisan kepada saya memberikan gambaran lebih luas.

SS:

Kenapa dibilang “secara sempit”?! Apa periode yang disebut Belanda sebagai “Bersiap” itu BUKAN periode di mana Belanda masuk kembali ke Indonesia yang sudah memproklamasikan kemerdekaannya itu untuk menjajahnya kembali?! Hello, Ariel! Jadi bagi Ariel Heryanto Perang Melawan Kembalinya Belanda itu BUKAN perang anti-kolonal!

=========  

Pelaku, korban dan motivasinya beraneka macam. Ada faktor politik, ada dendam rasial, ada kekerasan seksual, ada berbagai penjarahan harta tanpa muatan politik atau rasisme tapi kelas sosial.

SS:

Karena Ariel Heryanto MENOLAK mempertimbangkan latarbelakang Kolonialisme Belanda sebagai Konteks maka cuma kayak di ataslah yang mampu dia katakan! Intinya: Bagi Ariel Heryanto, apa yang disebutnya sebagai “kekerasan” itu adalah disebabkan oleh semua hal KECUALI penjajahan Belanda! Orang Indonesia memang udah dari sononya sukak bikin kekerasan baik politik, rasial dan seksual!

=========  

Banyak pihak meyakini keturunan Indo (Eropa-Indonesia) menjadi korban utama, walau ada kemungkinan korban orang Indonesia justru lebih besar.

Bonnie menolak istilah “Bersiap” karena menurutnya istilah itu “selalu menampilkan pelaku kekerasan semata hanya orang Indonesia yang dipersepsikan biadab”.

Selalu? Beberapa orang heran dengan tuduhan itu. Sayang, Bonnie tidak memberikan satu pun contoh atas tuduhan berat ini.

SS:

Lha, Ariel Hertanto sendiri kok gak ngasih satu pun contoh untuk membantah apa yang dikatakan si Bonnie Triyana di atas! Bantah jugak dong dengan bukti bahwa itu salah!

=========  

Kontroversi “Bersiap” meledak, bukan semata-mata karena sebuah artikel opini atau pameran tahun ini. Sumber masalahnya: sudah beberapa dekade peristiwa itu tak masuk dalam wacana resmi sejarah nasional di Belanda maupun di Indonesia. Ia hanya dibahas dengan pedih oleh beberapa warga pinggiran yang tersebar di berbagai kawasan dunia. Baru belakangan bertambah kaum muda yang mulai tahu.

SS:

Kenapa peristiwa “Bersiap” yang adalah diskursus kolonial bikinan Belanda itu harus masuk dalam wacana resmi sejarah nasional Indonesia?! Kenapa perspektif kolonial Belanda tentang aksi kolonialnya di Indonesia harus jadi wacana resmi Sejarah Nasional Indonesia?! Kembali dia tidak mampu menjelaskannya.

=========  

Hingga kini, hal yang menonjol dalam debat mutakhir adalah dikotomi Indonesia lawan Belanda. Seakan-akan ada dua kubu yang secara mutlak bertolak belakang, masing-masing seragam bersatu-padu di kubunya.

SS:

Memang begitulah Sejarah Kolonialisme itu di mana-mana, Mister Ariel! Cobak tunjukkan apa ada yang tidak demikian!

=========  

Untung, tidak semua warga di Belanda maupun Indonesia termakan pandangan hitam-putih demikian. Namun seperti biasa, suara yang paling ekstrem dalam sebuah kontroversi terdengar paling nyaring di ruang publik.

SS:

Seperti biasa, kembali dia gagal menunjukkan bukti.

=========  

Tidak Hitam Putih

Masyarakat Belanda maupun Indonesia tidak seragam menanggapi “Bersiap”. Buktinya Rijkmuseum dijepit dua tuduhan hukum yang bertolak-belakang. Ia digugat Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda bila tetap menggunakan istilah “Bersiap”. Sebelumnya museum itu (selain Bonnie) diancam akan digugat oleh Federatie Indische Nederlanders (FIN) atau Federasi Indo Belanda bila tidak menggunakan istilah yang sama.

SS:

Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) itu BUKAN masyarakat Indonesia, Ariel! Fokus, bro, fokus, ckckck…

=========  

Para penggugat dan tergugat sama-sama warga Belanda. Tapi tak satu pun di antara mereka mewakili masyarakat Belanda secara umum.

Maka aneh jika ada tuduhan bahwa istilah “Bersiap” dimaknai secara tunggal di sana dan “selalu menampilkan pelaku kekerasan semata hanya orang Indonesia yang dipersepsikan biadab”.

SS:

Makna istilah “Bersiap” itu bagi Belanda kan memang “tunggal di sana” dan “selalu menampilkan pelaku kekerasan semata hanya orang Indonesia yang dipersepsikan biadab”! Liat aja isi artikel-artikel di media massa Belanda yang menulis tentang hal tersebut. Dan kenapa kembali Ariel tidak menunjukkan bukti yang sebaliknya?! KUKB adalah suara sangat minoritas di Belanda dan merekalah yang pertama kali secara serius dan aktif menyuarakan penolakan atas pemakaian istilah “Bersiap” di Belanda hingga mereka berhasil menuntut pemerintah Belanda atas kejahatan perang yang dilakukan Belanda di Indonesia dalam periode yang disebut “Bersiap” tersebut! Kemenangan para Korban Indonesia atas kejahatan perang Belanda di Rawa Gede dan Sulawesi Selatan adalah hasil kerja KUKB!

=========  

Seandainya masyarakat Belanda masa kini secara umum serasis yang dibayangkan dalam debat itu, mungkin tak akan ada pameran tentang revolusi Indonesia di sana tahun ini. Tidak ada orang Indonesia diundang jadi anggota tim kuratornya. Tak ada debat tentang “Bersiap” yang sekarang marak.

SS:

Ngakak awak baca kenaifan diskursus ini! Emangnya pameran tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk bersuara tentang periode “Bersiap” ya?! Emangnya pameran itu inisiatif Indonesia ya?! Lantas kenapa begitu salah seorang dari kedua kurator Indonesianya menulis memprotes tentang pemakaian istilah “Bersiap” dalam pameran tersebut reaksinya di Belanda begitu norak?! Bahkan direktur museum dan salah seorang kurator Belanda tidak mendukung isi tulisan Bonnie Triyana tersebut dan menyebutnya d media sebagai “pendapat pribadi Bonnie Triyana”! Bukankah debat tentang “Bersiap” itu marak setelah tulisan Bonnie Triyana itu muncul di sebuah media di Belanda?! Hello, anybody home?!

=========  

Tuduhan bahwa Indonesia menyangkal “Bersiap” sama sesatnya dengan tuduhan Belanda menyangkal kejahatan kolonialisme Belanda. Sudah beberapa tahun orang Indonesia membahas topik Bersiap, walau topik itu diabaikan dalam wacana kenegaraan resmi. Bahkan majalah historia yang dipimpin Bonnie sendiri ikut menggunakan istilah itu.

SS:

Kok kembali gak ditunjukkan bukti bahwa “sudah beberapa tahun orang Indonesia membahas topik Bersiap”?! Majalah Historia ikut menggunakan istilah tersebut apa dengan pengertian kayak yang Bonnie Triyana tuliskan di artikelnya yang menimbulkan reaksi norak kaum kolonial itu atau dengan pengertian lain? Profesor kok ke gini nulis ya, ckckck…

=========  

Kejahatan tentara Belanda (di bawah komandan pasukan Belanda Raymond Westerling yang terkenal dengan Pembantaian Westerling (1946-1947) di Sulawesi Selatan) semasa Revolusi Indonesia dibongkar habis-habisan dalam film De Oost, produksi Belanda sendiri.

SS:

Trus kenapa?! Bukankah udah memang wajar dan udah waktunya bagi Orang Belanda untuk mulai mendekonstruksi sejarah kolonialisme mereka kayak yang terus menerus dipropagandakan pemerintah mereka itu baik di sekolah-sekolah maupun media massa? Film ini BUKAN suara mayoritas Orang Belanda apalagi suara pemerintah Belanda makanya film ini diserang habis-habisan termasuk oleh putri Westerling yang membuat klaim bahwa film tersebut adalah produksi Indonesia!

=========  

Wacana resmi sejarah nasional disusun dengan kerangka dikotomis penjajah/terjajah, kawan/lawan, baik/jahat. Nyaris tak ada ruang di antara atau di luar dua kubu yang dipertentangkan secara mutlak-mutlakan itu. Pemikiran resmi itu berkembang-biak dalam kehidupan sosial sehari-hari dalam berbagai bentuk, dari pidato, poster, film, sampai komik dan lawakan.

SS:

Bagi Ariel Heryanto, sejarah kolonialsme itu adalah abu-abu makanya pihak penjajah tidak bersalah seratus persen. Orang Indonesia dijajah Belanda beratus tahun adalah kerna kesalahan Orang Indonesia jugak, bukan cumak kesalahan Belanda, walau yang beruntung dari penjajahan tersebut cumak Belanda!

=========  

Warga Keturunan Jadi Korban Lagi

Dalam debat “Bersiap” yang terkurung sangkar dikotomi Belanda/Indonesia, identitas Indo secara global sekali lagi menjadi korban, setelah mereka jadi korban pada tahun 1940-1950an. Identitas Indo ini merujuk pada orang keturunan campuran Eropa dan Indonesia.

SS:

Mestinya kan Ariel Heryanto jelaskan di sini kenapa. Kenapa orang Indo-Belanda jadi korban? Bagaimana posisi dan status sosial, ekonomi, politik kaum Indo ini selama penjajahan Belanda? Apa mereka menganggap diri mereka bagian dari Indonesia atau Belanda? Bukankah hal-hal elementer tentang latarbelakang historis kaum Indo kayak gini harus dibicarakan kalok kita memang serius mau menciptakan wacana sejarah yang jernih? Dari awal tulisannya Ariel Heryanto kan cumak menuduh Orang Indonesia doang, malah cenderung memfitnah! Sangat hitam-putih walo pretensinya sejarah itu harus dimaknai secara abu-abu!

=========  

Sosok dan suara mereka tersisih karena tak mudah masuk dari salah satu kubu Belanda/Indonesia dalam perdebatan.

Di Belanda, mereka bukan Indonesia. Tapi mereka dianggap “kurang Belanda” karena “tercemar” unsur “Indonesia”. Sedangkan di Indonesia, mereka di-Belanda-kan dan diposisikan di kubu musuh, karena tidak sepenuhnya “pribumi”. Dikotomi Belanda/Indonesia masih dipelihara sebagian warga di kedua negara yang punya sejarah panjang memuliakan fiksi “kemurnian” etnis atau ras.

SS:

Di zaman Hindia Belanda, bagaimana status para Indo itu dalam hierarki sosial masyarakat kolonial? Yang memposisikan mereka sebagai “tidak sepenuhnya pribumi” itu Orang Indonesia ato diri mereka sendiri?! Indonesia punya sejarah panjang “memuliakan fiksi “kemurnian” etnis atau ras”?! Mana contohnya?! Keberadaan Orang India, Cina dan Arab dan kebudayaan mereka yang sudah beratus tahun itu di Indonesia apakah contoh dari “sejarah panjang memuliakan fiksi “kemurnian” etnis atau ras” itu?! Apakah genosida rasial pertama yang terjadi di Indonesia pada tahun 1740 di Batavia dilakukan Orang Indonesia? Apa pernah terjadi genosida rasial sebelumnya di Indonesia? Bagaimana, Ariel?

=========  

Gara-gara “Bersiap”, ribuan warga Indo berusaha menyelamatkan diri dengan mengungsi ke berbagai kawasan dunia.

SS:

Kalok Belanda tidak berusaha untuk kembali menjajah Indonesia dan didukung oleh mayoritas kaum Indo itu apa eksodus ini akan terjadi? Hello, Ariel!

=========  

Banyak yang menetap di tanah air sendiri (Indonesia), entah karena memilih atau tertinggal.

Mereka yang mengungsi merasa terasing di tempat yang baru, termasuk Belanda. Di sebagian negara, hingga hari ini mereka membuat perkumpulan sambil bernostalgia tentang Tempo Doeloe. Tempoe Doelole merujuk pada istilah populer yang biasa digunakan berbagai perkumpulan untuk merujuk sebuah masa di Hindia Belanda sebelum dinamakan Indonesia.

SS:

Nostalgia kaum kolonial atas negeri yang pernah mereka jajah. Orientalisme kaum penjajah yang udah jadi pecundang. Dan tragisnya, hal ini dianggap penting bagi seorang Intelektual Indonesia!

=========  

Yang di Belanda tidak hanya berkumpul untuk nostalgia. Mereka aktif terlibat dalam masalah politik setempat, misalnya aktif di FIN

Agaknya hanya warga Indo di Indonesia yang tidak terhimpun secara organisasi formal. Mereka berbeda tidak hanya dari warga Indo di benua lain. Mereka juga berbeda dari komunitas Peranakan Tionghoa, Arab dan India di tanah air, maupun negara tetangga yang terhimpun dalam berbagai organisasi dan tampil publik merayakan warisan leluhurnya.

Sebelum pandemi, saya mewawancarai sejumlah warga Indo di Jawa sebagai bagian dari sebuah riset yang terhambat pandemi. Kesan awal saya, trauma dari masa “Bersiap” masih berat bagi mereka. Seakan-akan mereka rela membiarkan identitas dan sejarah leluhurnya punah dan membiarkan generasi mudanya tak tahu-menahu.

SS:

Bagaimana dengan trauma Orang Indonesia atas penjajahan Belanda yang beratus tahun itu, Ariel? Saya kehilangan kampung nenek moyang saya di Tanah Batak kerna Belanda kimaknya itu membakarnya dan melarangnya untuk dihuni kembali kerna penghuni kampung membantu Sisingamangaraja XII melawan Belanda. Kenapa kau tidak tertarik untuk menulis tentang ini, Ariel? Kenapa kau tidak wawancarai para Korban Westerling di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, Ariel? Masih banyak loh mereka yang masih hidup dibanding para Indo pujaan hati kau itu!

=========  

Pertanyaan Untuk Generasi Muda

Masa depan adalah milik generasi muda dari semua latar belakang etnis. Untuk memahami masa depan, mereka layak memahami masa kini. Untuk memahami masa kini, mereka perlu memahami masa lampau.

Mereka bebas bertanya: setelah berpuluh tahun dibicarakan tanpa mendapat banyak perhatian publik, mengapa baru sekarang “Bersiap” mendadak ribut diperdebatkan. Mengapa masih cenderung diperdebatkan dengan kerangka dikotomi yang hitam putih ala abad lalu? Jawabnya tak perlu ditunggu dari generasi tua semacam saya.

SS:

Saran saya bagi generasi muda Indonesia: Pelajarilah sejarah dengan benar, dengan jujur, bukan kerna ingin dapat dana dari luar Indonesia dan demi karier akademik yang biasa-biasa aja pencapaiannya. Jangan lupa baca buku-buku Teori Pascakolonial dan Dekolonial biar gak norak kayak para “intelektual” Dunia Ketiga yang numpang hidup di Barat tapi purak-purak gak tau apa yang terjadi atas kaum Aboriginal Australia, apa yang terjadi atas kaum imigran Dunia Ketiga di Belanda tapi sok bicara tentang nasib kaum minoritas!

Catatan:

Tulisan Ariel Heryanto bisa dibaca di https://theconversation.com/kapan-siap-menghadapi-bersiap-mendalami-polemik-periode-kekerasan-pasca-proklamasi-indonesia-175836

Cerpen Koran Indonesia

Posted: 07/06/2021 in Esei

Oleh: Saut Situmorang

          Anggaplah “cerpen koran Indonesia” itu ada. Yaitu cerpen-cerpen berbahasa Indonesia yang muncul di koran-koran edisi Minggu di seluruh Indonesia, yang panjangnya berkisar antara 6-8 halaman kuarto (spasi ganda), dan yang bercerita tentang “peristiwa aktual”, atau tentang “realitas koran”, dari kehidupan sehari-hari di Indonesia. Bukankah biasanya tiga hal di ataslah yang dijadikan alasan bagi relevannya pemakaian istilah “cerpen koran” dalam perbincangan tentang sastra (cerpen) kontemporer Indonesia? 

          Anggaplah juga ketiga karakteristik teks di atas memang merupakan representasi sosok sub-genre sastra “cerpen koran Indonesia”. Lantas, semua cerpen yang berbahasa Indonesia juga, yang muncul di koran-koran edisi Minggu di Indonesia juga, yang panjangnya antara 6-8 halaman kuarto (spasi ganda) juga, tapi tidak mengangkat cerita “peristiwa aktual” atau “realitas koran” kehidupan sehari-hari di Indonesia, apakah cerpen-cerpen seperti ini juga termasuk “sastra (cerpen) koran”? Kalau tidak, karena tidak semua kriteria karakteristik teks seperti saya sebutkan di awal esei ini terdapat padanya, misalnya, maka ke dalam kategori sub-genre cerpen apa cerpen-cerpen jenis terakhir itu mesti dimasukkan? Lalu apakah sebenarnya “cerpen koran Indonesia” itu? Apakah “cerpen koran Indonesia” itu, dalam arti sebuah sub-genre spesifik dari bentuk fiksi bernama cerpen,  memang benar-benar ada, seperti yang luas diyakini dalam dunia sastra kontemporer Indonesia?

          Seperti kebiasaan khas dalam budaya pop, dunia sastra modern Indonesia juga tidak luput dari euforia keterpesonaan pembuatan dan pemakaian istilah-istilah baru tapi yang terkesan jauh lebih asal-asalan, tidak bertanggung jawab, dibanding yang biasa terjadi di dunia budaya pop. Dalam budaya pop sebuah istilah baru memiliki rujukan objek yang jelas yang membedakannya dari objek-objek istilah lain. Ambil contoh “sinetron”. Penonton awam yang tidak mengerti bahwa sinetron itu adalah akronim dari “sinema elektronik” bisa membedakan sebuah sinetron dari sebuah film lepas. Pembagian naratif plot sinetron dalam episode merupakan ciri khas utama yang membedakannya dari film “bioskop”, misalnya. Dan ceritanya biasanya pasti tentang “kehidupan tragis orang-orang kaya raya yang tidak bahagia”. Tapi bagaimana dengan istilah “cerpen koran Indonesia”? Apakah memang terdapat karakteristik teks yang unik pada karya-karya yang disebut sebagai “cerpen koran Indonesia” yang segera akan membedakannya dari “cerpen bukan-koran Indonesia”, misalnya? Apakah ketiga faktor yang saya sebutkan di awal esei ini memang benar-benar sudah bisa menjelaskan apa itu yang dimaksud dengan “cerpen koran Indonesia”, kalau makhluk ini memang ada? Sayang, saya belum mendapatkan jawaban yang memuaskan dari para “kritikus” sastra Indonesia yang merayakan keberadaan apa yang mereka sebut sebagai “cerpen koran Indonesia” itu dalam tulisan-tulisan mereka, di koran-koran Indonesia, tentu saja.

          Problemalitas pengertian istilah seperti “cerpen koran Indonesia”, misalnya, kayaknya tidak dianggap terlalu penting untuk dibicarakan oleh para “pengamat/pemerhati/kritikus” sastra Indonesia. Ada terkesan semacam kemalasan untuk berusaha menerang-jelaskan maksud dari istilah-istilah yang kerap kali dipakai, padahal kejelasan definisi merupakan sebuah syarat awal bagi terjadinya pembicaraan yang kritis dan bertanggung jawab. Malah saya melihat ada kecenderungan akhir-akhir ini di kalangan penulis artikel tentang sastra di koran-koran Indonesia untuk saling berlomba menciptakan istilah-istilah “aneh” yang hanya menunjukkan betapa penulisnya ingin sekali dianggap “berisi” walau isi tulisan dan judulnya biasanya tidak punya relasi tekstual seperti yang diharapkan, mirip gejala “sajak-sajak gelap” di puisi kontemporer Indonesia. Ambisi besar untuk menulis ala kaum pascastrukturalis di Eropa dan Amerika Serikat ini ternyata hanya sebuah fenomena epigonisme Afrizalian lokal belaka!

          Yang pasti adalah bahwa istilah “cerpen koran Indonesia” selalu merujuk ke cerpen-cerpen yang memang dipublikasikan di koran-koran, khususnya edisi hari Minggu, di seluruh Indonesia. Medium tempat cerpen dipublikasikan merupakan faktor utama dalam pemberian istilah “cerpen koran” dimaksud. Tapi lantas kenapa cerpen-cerpen yang muncul di koran mesti disebut sebagai “cerpen koran”, yang secara konotatif seolah-olah ingin dibedakan dari cerpen-cerpen yang tidak muncul di koran? Apakah memang ada nilai khusus tertentu yang ingin dibuktikan dengan pemberian kategori pembeda seperti ini, sebuah “estetika koran” misalnya?

          Anggaplah apa yang disebut sebagai “realitas koran”, walaupun istilah ini sendiri masih juga sangat problematis pengertiannya, merupakan unsur tematis yang khas mewarnai “cerpen koran Indonesia”. Apakah cerpen-cerpen yang tidak muncul di koran Indonesia tidak memiliki tema-tema cerita yang juga diangkat dari “realitas koran” atau “peristiwa aktual” kehidupan sosial sehari-hari di Indonesia? Seandainya pun tema “realitas koran” adalah sah juga untuk diceritakan dalam cerpen-cerpen yang tidak muncul dalam koran Indonesia, dalam hal apakah terdapat keunikan yang khas hingga “cerpen koran Indonesia” memang bisa dibedakan sebagai sebuah sub-genre yang otonom dan istimewa? Juga, bukankah ukuran panjang-pendek sebuah cerpen yang 6-8 halaman kuarto (spasi ganda) itu merupakan ciri umum cerpen-cerpen Indonesia yang muncul di majalah, buku dan Internet, jadi bukan hak prerogatif “cerpen koran Indonesia”?

          Antologi pertanyaan seperti yang saya susun ini, saya pikir, sangat penting dilakukan kalau kita ingin bicara serius dan kritis tentang pemakaian istilah “cerpen koran Indonesia” bagi cerpen-cerpen yang muncul di koran-koran di Indonesia. Kejelasan makna definisi mesti diciptakan agar pembicaraan tidak berkesan tergantung pada kata hati masing-masing pembicara saja sedangkan isi pembicaraan sudah mengelantur ke sana ke mari. Pembicaraan atas cerpen Indonesia, bahkan cerpen yang muncul di koran sekalipun, adalah pembicaraan yang bersifat kritik sastra dan sebuah kritik sastra mesti dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah yang ilmiah dan universal. Kejelasan pengertian definisi sebuah istilah yang dipakai, seperti “cerpen koran Indonesia”, merupakan syarat awal yang utama agar pembicaraan bisa menukik ke dalam isu topikal yang dibicarakan dan menghasilkan solusi-solusi kritis yang selanjutnya bisa dikembangkan kepada persoalan-persoalan relevan lainnya hingga sebuah kritik sastra Indonesia tidak menjadi sebuah kemustahilan, sebuah mimpi di siang bolong.

***

          Dalam seri dua tulisan bersambung yang memiliki dua judul berbeda walau konon topik pembicaraannya satu, yaitu tentang “cerpen koran Indonesia” (Republika, 6 dan 13 Oktober 2002), Binhad Nurrohmad berusaha untuk “menggapai puncak kanon cerpen koran Indonesia” melalui usaha “menemukan generasi terbaru cerpen koran Indonesia”, tanpa terlebih dahulu menyatakan kepada kita apa sebenarnya yang dia maksudkan dengan “cerpen koran Indonesia” itu. Padahal kedua tulisannya itu “dimaksudkan untuk membuka (mengawali) diskusi (kecil) tentang fenomena cerpen koran (dalam pertumbuhan cerpen Indonesia)”, seperti yang dinyatakan dua catatan kecil dari Redaksi Sastra Republika pada kedua tulisannya tersebut. 

          Pada tulisan pertamanya, Binhad Nurrohmad bercerita panjang tentang “cerpen” tapi tidak tentang apa itu “cerpen koran Indonesia”, yang merupakan isu pokok dari kedua tulisannya itu. Apakah telah terjadi sebuah peristiwa amnesia tekstual dalam usaha penulisnya untuk “menggapai puncak kanon cerpen koran Indonesia”? Saya sebagai pembaca yang tertarik ingin tahu apa itu “cerpen koran Indonesia” dan cerpenis-cerpenis mana yang sudah “menggapai puncak kanon cerpen koran Indonesia” tidak menemukan pemuasan rasa tertarik saya itu setelah selesai membaca tulisannya. Keingintahuan saya atas apa yang sudah “dicapai” para cerpenis-yang-absen-dalam-tulisannya itu hingga mereka dikatakan sebagai “puncak kanon cerpen koran Indonesia” juga tidak mengalami satori-teks atau tekstasi oleh aktivitas pembacaan yang saya lakukan atas tulisan Binhad Nurrohmad tersebut. Mungkin minggu depan pada “bagian kedua dari dua tulisan”nya itu, harapan saya dalam hati, karena di akhir cerita panjangnya tentang “cerpen koran Indonesia” tersebut dia mulai menyinggung point entry/entry point (?!) dari diskusi tentang “fenomena cerpen koran dalam pertumbuhan cerpen Indonesia”, yaitu buku kumpulan cerpen Pembisik (Penerbit Republika, 2002) “yang kini sudah beredar di toko-toko buku seperti Gunung Agung dan Gramedia” itu.

          Dalam “bagian terakhir (kedua) dari dua tulisan” Binhad Nurrohmad tentang “fenomena cerpen koran dalam pertumbuhan cerpen Indonesia” saya segera mengerti bahwa apa yang dimaksudkan Binhad tentang “cerpen koran Indonesia” itu dianggapnya sudah saya mengerti dan dia tidak perlu lagi repot-repot untuk menjelaskannya dalam kedua tulisannya itu. Dia punya sesuatu yang jauh lebih penting untuk dibicarakan, yaitu tentang “generasi terbaru cerpen koran” Indonesia. Dan para cerpenis yang dianggap Binhad merupakan “generasi terbaru cerpen(is) koran” Indonesia ini adalah “kanon tersendiri” setelah “generasi lama seangkatan Umar Kayam… Budi Darma… Danarto… Seno Gumira Ajidarma”. Mereka disebut “kanon tersendiri” karena, menurut Binhad, mereka telah “melakoni praktik literer yang menempuh jalan lain, bahkan gigih ingin menyempal dari tradisi generasi cerpenis sebelumnya”. Sementara untuk pengertian definisi istilah “kanon sastra” itu sendiri Binhad “meminjam” pendapat seorang Dekonstruksionis Yale, Harold Bloom, yaitu bahwa “kanon sastra membuat kita terasing di tengah lingkungannya sendiri, atau sebaliknya, membuat kita kerasan dan intim di tengah keterasingan”.

          Apa yang saya mengerti dari antologi kutipan pernyataan Binhad Nurrohmad di atas adalah bahwa dia telah “menemukan generasi terbaru cerpen koran” Indonesia, tapi tidak menjelaskan apa maksudnya dengan istilah “cerpen koran” itu sendiri, dan “generasi terbaru cerpen koran” ini adalah “kanon tersendiri”, kanon terbaru dalam sejarah “cerpen koran Indonesia”. Dan mereka menjadi “kanon tersendiri” karena telah “membuat kita terasing di tengah lingkungannya sendiri, atau sebaliknya, membuat kita kerasan dan intim di tengah keterasingan” yang kita alami waktu bertemu muka dengan “generasi terbaru cerpen koran” Indonesia ini.

          Menurut Binhad Nurrohmad ada dua mainstream atau “tradisi cerpen (koran)” dari sub-genre cerpen Indonesia yang dia sebut sebagai “cerpen koran Indonesia” itu, yaitu tradisi “cerpen koran” Republika dan Kompas yang sosial-realis (dengan Seno Gumira Ajidarma, Joni Ariadinata dan Agus Noor sebagai “tokoh-tokoh atau tonggak-tonggak”nya) dan tradisi Media Indonesia dan Koran Tempo yang “alternatif” dalam “keliaran gagasan naratif” dan “segi penceritaan dan eksplorasi bahasa” cerpen-cerpen korannya (Hudan Hidayat dan Puthut EA adalah “generasi terbaru”nya di sini).

          Pertanyaan-pertanyaan yang timbul di kepala saya setelah membaca pernyataan Binhad Nurrohmad di atas adalah apakah “cerpen koran Indonesia” itu adalah cerpen-cerpen yang hanya muncul di “Republika, Kompas, Media Indonesia dan Koran Tempo” saja, karena keempatnya merupakan “medium utama dan representasi pertumbuhan cerpen Indonesia mutakhir dan (yang bahkan telah) melahirkan sebuah tradisi cerpen tersendiri”, katanya? Atas dasar apakah Binhad membuat kesimpulan bahwa di luar keempat koran Jakarta ini tidak ada apa-apa yang bisa dikatakan sebagai “medium utama dan representasi pertumbuhan cerpen Indonesia mutakhir”? Kalau memang keempat koran Jakarta ini telah “melahirkan sebuah tradisi cerpen tersendiri”, sebuah gaya penulisan yang mungkin bisa disebut sebagai sebuah “gerakan sastra”, di manakah saya bisa membaca karya-karya representatif yang pasti hebat-hebat itu? Dan apakah dengan pencantuman nama-nama pengarang tertentu sebagai representasi dari dua “mainstream” dalam “tradisi cerpen tersendiri” yang dilahirkan keempat koran terbitan Jakarta itu berarti bahwa “gaya penulisan” seperti yang dilakukan “generasi terbaru” tersebut yang mendominasi, yang merupakan ciri khas “gaya penulisan” para cerpenis lain di keempat koran tersebut?

          Begitu panjangnya antologi pertanyaan yang bisa dilontarkan kepada Binhad Nurrohmad karena dia lebih banyak membuat pernyataan-pernyataan asersif yang konklusif ketimbang menjelaskan persoalan. Kesimpulan-kesimpulan umum yang banyak sekali dibuatnya dalam kedua tulisannya itu telah membuat Binhad terjebak dalam labirin permainan istilah yang telah, paling tidak, membuatnya membicarakan “cerpen” secara umum padahal yang menjadi isu tulisannya adalah “cerpen koran” Indonesia. Dia juga tidak mampu membuktikan apa yang diklaimnya sebagai ciri-khas dari kedua gaya penulisan (estetika) dari dua “tradisi cerpen koran” yang direpresentasikan keempat koran Jakarta tersebut. Dan pemakaian istilah “kanon sastra” dalam kedua tulisannya itu, walau dia berpretensi mengerti apa maksud istilah tersebut dalam karya kritik seorang Harold Bloom, begitu tidak bertanggung jawab dan sama sekali tidak mampu dijelaskannya dengan contoh-contoh dari dunia “cerpen koran Indonesia” yang ingin dibaptisnya ada itu.

          Menurut kritikus sastra Amerika MH Abrams, istilah canon dalam dunia sastra selalu merujuk kepada pengertian: para pengarang yang karya-karyanya, melalui konsensus kumulatif dari kritikus-kritikus dan pakar-pakar penting, dan juga melalui pengaruh karya-karya tersebut yang luas dan nyata pada para pengarang sesudah mereka, memang diakui secara umum sebagai pengarang-pengarang “major”, pengarang-pengarang utama, serta yang sudah pasti akan selalu dibicarakan oleh para kritikus dan sejarawan sastra dan paling sering ikut dalam antologi-antologi dan mata kuliah penting seperti “Karya Besar Dunia”, “Sastrawan Utama Indonesia” atau yang semacamnya itu. Bisa dilihat bahwa ada dua hal penting yang mendasari kenapa seorang sastrawan itu disebut sebagai “kanon sastra”, yaitu pengakuan dari para “kritikus” dan “pakar” sastra melalui studi-studi yang disebut “kritik sastra” dan pengaruhnya atas karya-karya para sastrawan sesudahnya. Dari nama-nama cerpenis yang disebutkan oleh Binhad Nurrohmad sebagai “puncak kanon cerpen koran Indonesia” dan “generasi terbaru cerpen koran” itu, apakah kedua “pengakuan” ini memang sudah ada? Karya-karya “kritik sastra” manakah dan pengaruh atas sastrawan-sastrawan manakah yang bisa membuktikan asersinya bahwa nama-nama yang dikatakannya mewakili “mainstream” keempat koran Jakarta itu memang merupakan “kanon sastra” bahkan dalam apa yang disebut sebagai “cerpen koran Indonesia” itu?

          Kegenitan untuk menjadi seseorang yang “menemukan generasi terbaru”, sebuah angkatan penulis terbaru, dalam dunia kang-ouw sastra kontemporer Indonesia tanpa disertai dengan pembuktian yang bisa dipertanggungjawabkan kayaknya sudah menjadi kebiasaan dalam “pseudo-kritik-sastra” Indonesia. Saya katakan “pseudo-kritik-sastra” Indonesia karena banyak sekali penulis Indonesia ingin menjadi “kritikus sastra” tanpa melakukan apa-apa, kecuali membuat antologi-antologi pernyataan asersif yang konklusif tapi dangkal. Dan ketakmampuan untuk melakukan “kritik sastra” ini diusahakan untuk ditutup-tutupi dengan permainan istilah yang diharapkan bisa menimbulkan kesan “kecerdasan berbahasa” atau “keluasan bacaan” pada para pembacanya. Kecerdasan atau keluasaan bacaan yang superfisial dianggap lebih heboh ketimbang sebuah kesederhanaan pehamaman yang mendalam. Ini memang merupakan ciri umum tulisan tentang sastra yang muncul di koran-koran Indonesia. Mungkinkah ini disebabkan oleh keyakinan besar di kalangan sastrawan Indonesia bahwa sastra modern Indonesia itu identik dengan “sastra koran Indonesia” hingga isinya pun tak lebih dari sekedar “realitas koran” yang merupakan ideologi medium tempatnya disosialisasikan, aktual tapi sekali dibaca mati?

Oleh: Saut Situmorang

Polisi Siber atau yang lebih tepat disebut sebagai Polisi Internet adalah salah satu bentuk dari konsep yang disebut sebagai Pengawasan Massal (mass surveilance) yaitu sebuah aksi pengawasan atas penduduk yang biasanya dilakukan oleh negara walau pihak swasta pun seperti korporasi bisa juga melakukannya baik dengan bekerjasama dengan negara ataupun untuk kepentingannya sendiri. Biasanya alasan yang diberikan untuk aksi pengawasan massal ini mulai dari pencegahan terjadinya kejahatan, kerusuhan sosial, terorisme sampai keamanan nasional.

Tentu saja ada kritik atas pengadaan pengawasan massal oleh negara ini. Kritik atasnya terpusat pada isu pelanggaran hak-hak privasi (privacy rights) dan pembatasan kebebasan dan hak-hak sipil dan politik warganegara.  

Kalau kita telusuri sejarahnya maka konsep pengawasan massal adalah perwujudan dari ide tentang panopticon yang dicetuskan filsuf Inggris Jeremy Bentham di abad 18. Panopticon adalah sebuah tipe bangunan penjara dan sistem pengawasan di mana seorang penjaga penjara mengawasi para narapidana dalam sebuah penjara tanpa para narapidana tersebut menyadari bahwa mereka sedang diawasi. Karena para narapidana tersebut tidak bisa memastikan apa mereka sedang diawasi atau tidak maka mereka akan bersikap seolah mereka sedang diawasi sepanjang waktu. Akhirnya mereka akan berhati-hati dengan kelakuan mereka; mereka sendiri mengawasi kelakuan mereka sendiri sebagai akibatnya. Bentuk bangunan penjara panopticon itu bundar dengan ruang pengawasan berada di tengahnya. Dari ruang inilah para narapidana diawasi.

Konsep panopticon ini menjadi terkenal setelah pemikir Prancis Michel Foucault memakainya sebagai metafor atas masyarakat disiplin modern dalam bukunya Discipline and Punish yang terbit pada tahun 1975. Konsep “masyarakat disiplin” (disciplinary society) adalah istilah Foucault yang menurutnya muncul di abad 18 Eropa di mana disiplin menjadi teknik untuk mengatur kehidupan yang kompleks dengan tujuan untuk menciptakan kepatuhan dan kegunaan bagi sistem. Terciptanya masyarakat yang patuh dan berguna adalah tujuan utama dari konsep “masyarakat disiplin”.

Bagi Foucault, masyarakat disiplin menggantikan masyarakat raja pra-modern dan panopticon sendiri bukanlah sebuah bangunan fisik tapi merupakan sebuah mekanisme kekuasaan dan diagram teknologi politik.

Pada tahun 1990 pemikir Prancis lain bernama Gilles Deleuze menulis sebuah esei yang sangat berpengaruh berjudul Postscript on the Societies of Control di mana dia menyatakan bahwa masyarakat disiplin seperti yang diungkapkan Foucault telah digantikan oleh masyarakat baru yaitu masyarakat kontrol (society of control). Eseinya ini mengakibatkan munculnya bidang studi baru yang disebut Surveillance Studies.

Dalam masyarakat disiplin, individu bergerak dari sebuah lingkungan tertutup ke lingkungan tertutup lainnya: keluarga, sekolah, barak, pabrik. Sekarang masyarakat kontrol yang beroperasi dengan komputer menggantikan masyarakat disiplin.

Bahasa angka dari kontrol tercipta dari code yang mengizinkan atau tidak mengizinkan akses ke informasi. Masyarakat kontrol diatur dengan code. Code merupakan sistem penangkapan (systems of capture) yang fleksibel, tidak seperti lingkungan tertutup pada masyarakat disiplin. Bisa dengan cepat dan mudah direkonfigurasi untuk mengatur akses ke jaringan (networks). Kita tidak lagi berurusan dengan massa/individu. Individu telah menjadi “dividual”, sampel, data, pasar atau “bank”, demikian tulis Deleuze.

Dalam masyarakat kontrol kita diizinkan untuk melakukan apapun. Karena tidak lagi terkungkung dalam lingkungan tertutup seperti sekolah atau pabrik, kita bisa bersekolah secara online atau kerja dari rumah, misalnya. Semua ini nampak seperti kebebasan. Menyenangkan memang kerja dari rumah tapi sekarang kita juga diharapkan untuk terus siap bekerja kapan saja walau tidak di kantor. Walau terbebas dari kungkungan lingkungan kerja yang tertutup tapi tanggung jawab atas pekerjaan membebani keseluruhan waktu kita. Walau kebebasan kita seolah bertambah tapi kontrol atas aktivitas kita pun bertambah besar. Segala aktivitas kita diikuti dan dikodifikasi, diterjemahkan dalam pola-pola yang bisa diterima ataupun tidak. Ketimbang diawasi oleh panopticon, sekarang kita diawasi oleh matrix terpadu dari algoritma pengumpul informasi.

Dalam konteks inilah kebutuhan atas polisi internet muncul.  

Polisi internet adalah istilah umum untuk polisi dan institusi-institusi pemerintah lain yang bertugas untuk mengawasi internet. Fungsi utamanya untuk memerangi kejahatan siber (cybercrime) dan sensor serta propaganda. Walaupun biasanya diklaim bertujuan untuk menjaga keamanan nasional dari kejahatan siber atau aksi terorisme, polisi internet juga selalu berfungsi untuk membungkam kritik dan oposisi atas pemerintah.

Seperti dalam kasus Indonesia, polisi internet yang konon diciptakan karena pemerintah menyadari adanya kelemahan mendasar pada UU ITE dan bermaksud untuk mengurangi efek negatif undang-undang tersebut tapi kenyataannya keberadaan polisi internet justru menjadi alat kontrol negara atas aktivitas warganegara di internet. Sudah banyak terjadi kasus di mana kritik atas negara begitu cepat direspon dengan pembungkaman oleh polisi internet baik melalui peringatan maupun penahanan langsung. Ironis kerna justru dengan UU ITE, polisi baru bisa melakukan penyidikan, bukan peringatan apalagi penahanan, setelah polisi menerima laporan tertulis dari anggota masyarakat yang merasa dirugikan, bukan dari laporan pemerintah! Yang lebih parah lagi, polisi internet Indonesia yang menyebut dirinya polisi siber itu malah membuat pengumuman publik bahwa siapa saja anggota masyarakat yang melaporkan apa yang mereka kategorikan sebagai “dugaan tindak pidana di media sosial” akan dianugrahi Badge Awards oleh polisi siber Indonesia!

Badge Awards ini merupakan perwujudan berikutnya dari politik sensor negara yaitu sebuah usaha adu domba antar-anggota masyarakat dalam bentuk aksi saling mengawasi. Sekarang bukan lagi sensor diri (self-cencorship) yang sedang terjadi tapi sensor massal dan dilakukan oleh keseluruhan masyarakat. Menciptakan ketakutan di masyarakat tidak lagi cukup, sekarang masyarakat dipecah belah antara yang melakukan “dugaan tindak pidana di media sosial” dan yang melakukan dugaan demi mendapat penghargaan dari negara!

Akibat dari penciptaan masyarakat kontrol yang sudah keterlaluan ini adalah kekawatiran akan munculnya apa yang disebut sebagai negara polisi elektronik yaitu negara yang dengan agresif memakai teknologi elektronik untuk merekam, mengumpulkan, menyimpan, mengorganisasi, menganalisis, melakukan riset dan mendistribusi informasi tentang warganegaranya secara rahasia untuk tujuan pengawasan seperti yang diungkapkan oleh Edward Snowden tentang Amerika pada tahun 2013 lalu.

Buku telah jadi produk fetish terbaru setelah smartphone. “Literasi” jadi slogan terbarunya. Penerbit muncul di mana-mana dan semua orang yang melek huruf tiba-tiba jadi penulis!

Tapi apa fetishisme (atas) buku ini memang menghasilkan buku-buku bermutu? Apa fetishisme atas literasi menghasilkan penulis dan pembaca bermutu? Atau semuanya itu cumak sekedar euforia komodifikasi kapitalistik atas literasi dan buku semata? Buku-buku macam apa yang laris dibeli hingga dicetak ulang, penulis kayak apa yang tiba-tiba jadi “seleb literasi”?

Tragisnya, kritik pun sekarang sudah distigma sebagai sebuah “book shaming” oleh para selebriti baru ini!

Tiba-tiba aku kangen dengan zaman Orde Baru! Zaman kediktatoran militer dan kekerasan fisik dan senjata itu, zaman anti kebebasan berpikir dan berekspresi/berpendapat itu. Kerna dengan segala kekerasan militeristik dan fascis tersebut, kebebasan berpikir dan berekspresi jadi sangat berarti, sangat bernilai. Dan buku sebagai salah satu bentuk kebebasan berpikir dan berekspresi jadi sangat subversif, sangat berbahaya bagi militerisme dan fascisme! Buku jadi jalan pembebasan, jalan pencerahan, BUKAN produk fetish kapitalistik kaum borjuis kecil urban yang cumak memburu status seleb literasi instan, sensasionalisme “15 minute fame”-nya Andy Warhol!

Jogja, 24 Januari 2020

Saut Situmorang

Oleh: Saut Situmorang

 

Kritikus sastra Amerika MH Abrams mendefinisikan istilah realisme, seperti yang biasa dipakai dalam kritik sastra, atas dua pengertian besar: pertama, sebagai nama sebuah gerakan sastra historis di Barat abad 19, terutama seperti yang bisa dibaca dalam karya-karya fiksi yang dipelopori Balzac di Prancis, George Eliot di Inggris dan William Dean Howells di Amerika; dan kedua, sebagai terminologi atas sebuah gaya penulisan, yang bisa ditemukan pada zaman apa saja, di mana representasi kehidupan dan pengalaman manusia menjadi tujuan penulisan yang paling penting, terutama seperti yang dicontohkan oleh karya-karya para sastrawan gerakan sastra di atas.

Fiksi realis biasanya dibedakan dari fiksi romantik. Roman (romance) dianggap berusaha menggambarkan kehidupan seperti yang kita mimpikan: lebih menyenangkan, penuh petualangan, lebih heroik dibanding kehidupan sebenarnya; sementara fiksi realis menggambarkan imitasi yang akurat atas kehidupan seperti apa adanya. Fiksi realis berusaha memberikan gambaran kehidupan dan realitas sosial seperti yang dikenal oleh pembaca umumnya, dan untuk mencapai tujuan ini tokoh protagonis fiksi biasanya adalah warga masyarakat biasa dalam kehidupan sosialnya sehari-hari. Dalam pengertian yang lebih umum, para penulis fiksi seperti Fielding, Jane Austen, Balzac, George Eliot dan Tolstoy adalah penulis realis karena mereka selalu menggambarkan warga masyarakat biasa dan kehidupannya dengan begitu meyakinkan hingga kita percaya bahwa memang seperti itulah hidup, bicara dan tingkah-laku orang biasa.

Realisme sendiri seperti yang secara umum digambarkan di atas masih mengenal dua sub-genre besar yang pengaruhnya cukup dominan dalam wacana sastra internasional: realisme sosialis dan realisme magis. Realisme sosialis adalah terminologi yang dipakai para kritikus Marxis untuk fiksi yang dianggap menggambarkan atau merefleksikan pandangan Marxis bahwa pertentangan antar kelas sosial merupakan dinamika esensial masyarakat. Dalam pengertiannya yang paling sempit, realisme sosialis merupakan istilah yang dipakai sejak tahun 1930an untuk fiksi yang merealisasikan kebijakan Partai Komunis Uni Soviet seperti pentingnya penggambaran penindasan sosial yang dilakukan kapitalis borjuis, penggambaran kebaikan kaum proletar, dan penggambaran kehidupan yang aman dan makmur di bawah sosialisme Partai Komunis. Tapi bagi seorang kritikus Marxis seperti Georg Lukács, misalnya, dengan menerapkan kriteria teoritis yang cukup kompleks atas konsep realisme, justru karya-karya klasik fiksi realis Eropa yang kebanyakan dipujinya, bukan fiksi yang dihasilkan di bawah doktrin kebijakan Partai Komunis.

Realisme magis adalah istilah yang dipakai untuk fiksi karya Jorge Luis Borges dari Argentina, dan termasuk juga karya-karya para penulis lain seperti Gabriel García Márquez dari Kolombia, Günter Grass dari Jerman dan John Fowles dari Inggris. Ciri khas fiksi ini adalah eksperimen dalam tema, bentuk, isi, sekuen waktu, dan pencampur-adukan antara hal-hal biasa, fantastik, mitos dan mimpi yang mengakibatkan terjadinya kekaburan antara yang serius dan main-main, yang menakutkan dan absurd, yang tragis dan komik. Singkatnya, kolase yang terus menerus berubah polanya antara realisme dan unsur-unsur fantastik.

***

Kalau kita amati karya-karya fiksi sastra Indonesia mulai dari periode Balai Pustaka sampai penerbitan buku kumpulan Cerpen Pilihan KOMPAS 2002, maka akan terlihat betapa dominannya fiksi realis dalam sejarah sastra kita: Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Belenggu, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, Atheis, Jalan Tak Ada Ujung, Cerita Dari Blora, Pertempuran dan Salju di Paris, Robohnya Surau Kami, Seribu Kunang-kunang di Manhattan, trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Tarian Bumi, tujuh musim setahun, dan semua buku Cerpen Pilihan KOMPAS.

Apa yang menarik dari fakta dominasi fiksi realis dalam sastra kita adalah pertanyaan kenapa hal ini bisa terjadi. Adakah relasi sebab-akibat antara realitas pascakolonial masyarakat dan budaya kita dengan kecendrungan realis produk-produk sastra kita? Dalam kata lain, apakah realitas sosial masyarakat kita setelah berakhirnya masa kolonialisme Belanda yang tidak sesuai dengan janji-janji yang ditawarkan oleh konsep “bangsa yang merdeka, bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri” (keadilan sosial, humanisme, kemakmuran) bukan merupakan sebuah faktor signifikan dalam mempengaruhi kecendrungan penulisan fiksi realis atau “fiksi yang terlibat” dalam sastra kita? Bisakah kita nyatakan bahwa semangat Romantik di mana pengarang menganggap dirinya sebagai “juru bicara masyarakatnya” merupakan semangat kreatif yang menjadi ideologi proses kreatif pengarang kita pada umumnya?

Sejarawan sastra Indonesia asal Jerman Ulrich Kratz dalam Kata Pengantar buku Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (Kratz 2000) yang disusunnya membuat sebuah pernyataan yang, saya pikir, cukup penting dalam usaha kita untuk memahami historisitas dari kecendrungan penulisan fiksi realis atau “fiksi yang terlibat” dalam sastra kita. Mengomentari esei Armijn Pane berjudul “Kesoesasteraan Baroe I” di majalah Pujangga Baru, 1 (1), 1933, yang merupakan penjelasan Armijn atas apa “sifat” dari sastra baru yang direpresentasikan oleh penerbitan majalah baru tersebut, Ulrich Kratz mengajak kita untuk menyadari satu hal yang sering dilupakan dalam pembicaraan atas cita-cita para sastrawan Pujangga Baru, yaitu betapa pada esei pertama terbitan majalah Pujangga Baru itu Armijn Pane sudah menekankan pentingnya hubungan antara seniman dan masyarakatnya. “Seorang hamba seni hidup dalam masyarakat, jadi seorang ahli masyarakat itu. Ia adalah anak kepada masyarakat itu, ia adalah gambaran dari pada masyarakat itu, seperti semua ahli masyarakat itu juga bersifat begitu. (…) Segala kejadian perobahan dalam masyarakatnya itu akan ternyatalah pada lukisannya; … kalau ia seorang pujangga atau pengarang akan teranglah perobahan itu pada sajaknya atau karangannya,” demikian tulis Armijn Pane.

Ulrich Kratz lebih jauh menyatakan bahwa aspek yang terlupakan dari sosok pengarang Pujangga Baru ini telah menyebabkan terciptanya tuduhan bahwa mereka menganut konsep “seni untuk seni”, yang dengan gamblang mereka katakan sebagai sebuah fitnah belaka. Sebelum munculnya para pengarang Pujangga Baru, karya-karya awal para sastrawan Balai Pustaka pun sebenarnya sudah berurusan dengan masalah-masalah sosial. Bahkan keterikatan sosial pengarang (Indonesia) merupakan benang merah dalam sejarah sastra Indonesia dan dapat ditemukan dalam prosa, drama dan puisi, maupun dalam esei. “Yang berubah dalam (realitas) keterlibatan pengarang dengan masyarakat adalah gaya pengungkapannya yang bergerak antara yang tersirat dan yang tersurat. Yang juga berbeda adalah kerelaan masing-masing pengarang untuk mengorbankan tata cara penulisan yang berpretensi dan bercita-cita sastra demi penyampaian ‘pesan’ tulisannya,” begitulah kesimpulan Ulrich Kratz.

Dalam sebuah esei lain berjudul “Mengapa Pengarang Modern Soeka Mematikan” (Kratz 2000), Armijn Pane lebih jauh membahas sebuah motif umum fiksi Balai Pustaka dan Pujangga Baru yaitu kesukaan para pengarang fiksi tersebut untuk “mematikan orang yang diceritakannya”. Mulai dari Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang sampai Tenggelamnya Kapal van der Wijk, terkesan “sebagai dengan sengaja (para pengarang) itu memanggil malaiku’lmaut untuk mencabut nyawa (tokoh) yang diceritakannya, sedang menurut pikiran yang sehat, tidaklah mesti (tokoh) itu meninggal,” demikian tulis Armijn Pane di esei kritik sastra pertama dalam sastra kita itu. Alasan yang diberikan Armijn atas kebiasaan para pengarang awal sastra Indonesia untuk membunuh tokoh-tokoh utama fiksi mereka adalah “semangat baru” yang tidak ada bedanya dengan “semangat romantik” yang timbul di Eropa pada penutup abad 18 tapi terus berpengaruh sampai abad 19. Satu ciri-khas dari semangat romantik itu, demikian menurut Armijn Pane, adalah “hendak membesarkan pengaruh perasaan dan angan-angan (imajinasi)”, yang diabaikan di zaman sebelumnya, yaitu “zaman pikiran”, “zaman rationalisme”, untuk “menghidupkan kesadaran dalam hati pembacanya, bahwa soal, bahwa adat, bahwa perkawinan paksa, hal perkawinan dengan orang dari daerah lain, bahwa soal yang dikemukakannya itu dalam cerita (fiksinya), patut diberantas, bahwa adat itu menahan kemajuan bangsa adanya. Dan perasaan dapat ditimbulkan sehebat-hebatnya dengan jalan menerbitkan perasaan sedih dan kasihan dan perasaan sedih dan kasihan itu dapat dihidupkan dengan jalan mematikan orang yang baik hati, yang baik budi, yang tinggi cita-citanya dalam (fiksi) itu, orang yang kita sukai dan kita hormati”.

***

Berkaitan dengan isu realisme fiksi Indonesia ini menarik di sini untuk juga menyinggung apa yang ditulis Faruk HT dalam kata pengantarnya “Dari Realisme Kultural ke Realisme Magis” untuk kumpulan cerpen Umar Kayam Lebaran di Karet, di Karet… (2002).

Dalam membicarakan cerpen-cerpen Umar Kayam dalam kumpulan di atas, Faruk membedakan “realisme” atas dua kategori besar yaitu realisme borjuis dan realisme kritis atau realisme sosialis. Realisme borjuis adalah realisme seperti yang bisa dibaca dalam fiksi realis klasik Eropa seperti yang saya contohkan di awal esei ini, sementara realisme kritis atau realisme sosialis merupakan sebuah paham yang juga “masih bercerita mengenai kehidupan keseharian manusia, hanya saja kehidupan keseharian itu didekati dengan perspektif sosialisme Marxis sehingga ia tampil sebagai sebuah tatanan kehidupan yang membusuk dan yang mengarah kepada terbentuknya tatanan kehidupan baru, yaitu sosialisme” Di antara kedua realisme inilah, yaitu realisme borjuis yang cenderung mendekati kehidupan secara psikologis dan realisme sosialis yang sosiologis-politis, Faruk menempatkan realisme fiksi Umar Kayam yang “– untuk sementara – dapat disebut sebagai realisme kultural”, realisme yang mendekati kehidupan secara antropologis.

Bagi Faruk, realisme kultural Umar Kayam seperti yang bisa dibaca dalam Sri Sumarah dan Bawuk merupakan “sumbangan Umar Kayam yang signifikan dalam sejarah sastra Indonesia”, yang pada fase berikutnya menjadi “satu kecenderungan baru yang diikuti oleh atau mengilhami banyak sastrawan dari generasi berikutnya”, seperti Satyagraha Hoerip, Bakdi Soemanto, Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, dan bahkan YB Mangunwijaya.

Uraian Faruk tentang kekhasan realisme fiksi Umar Kayam hingga pantas untuk disebut sebagai “realisme kultural” – perspektif yang digunakan pengarang adalah perspektif kebudayaan, tipologisasi tokoh yang antropologis (berdasarkan pekerjaan atau bahkan kekerabatan), psikologisasi tokoh yang “relatif” secara kultural (tidak “universal” seperti pada realisme borjuis), kekuatan sosial adalah “kekuatan simbolik” walau perubahan sosial hanya bisa terjadi oleh kekuatan sosial, bukan individual – terkesan terlalu sederhana dan sangat umum untuk membuat kita bisa menerima klaim yang dibuatnya sebagai sumbangan signifikan Umar Kayam itu.

Faruk tidak menganggap “sumbangan para penulis Sumatera tahun 1920an”, dan generasi Ajip Rosidi di tahun 1950an, sebagai sebuah “realisme kultural”, (walau diakuinya bahwa “karya-karya sastra Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari latar belakang budaya lokal atau primordial … pengarangnya”!) karena “pengaruh budaya lokal (pada karya-karya tersebut) cenderung merupakan pengaruh yang tidak diserap secara sadar oleh para pengarangnya. Kalaupun disadari, budaya lokal itu lebih mengungkapkan sikap politik pengarang terhadap, misalnya, proses modernisasi daripada suatu strategi dalam melihat dan merepresentasikan kehidupan”, seperti yang dilakukan oleh Umar Kayam!

“Sikap politik” para penulis Sumatera era 1920an yang dimaksud Faruk di sini adalah apa yang dia sebut sebagai “sikap politik nasionalis” yaitu “pengarang memahami modernisasi sebagai westernisasi dan westernisasi sebagai penjajahan” di mana “tidak semua tokoh-tokoh ceritanya dipahami sebagi terikat secara kultural, cullture bound [sic]”. Sementara fiksi generasi Ajip Rosidi merupakan “sebuah gerakan romantisisme dan bahkan eksotisisme dengan membangun cerita-cerita balada tentang kehidupan yang sudah sirna, masa lalu, yang setidaknya terlepas dari persoalan kehidupan keseharian”.

Kita, tentu saja, bisa mempersoalkan “esensialisme kultural” yang sangat kental dalam pemahaman Faruk atas apa itu “kebudayaan lokal” dan seperti yang dia yakini merupakan “realisme kultural” fiksi Umar Kayam. Hibriditas kultural yang memang sangat khas dalam fiksi para pengarang Sumatera tahun 1920an, dan juga mewarnai tetralogi Novel Buru Pramoedya Ananta Toer, telah luput dari fokus pembahasan Faruk, walau dalam konteks budaya pascakolonial yang merupakan budaya negara-negara Dunia Ketiga pada umumnya, hibriditas kultural inilah yang merupakan “realisme kultural” negeri-negeri bekas jajahan Barat ini.

Yang ingin saya persoalkan dalam kutipan pernyataan Faruk di atas adalah apakah “sikap politik” Umar Kayam tidak hadir dalam fiksi “realisme kultural”nya itu? Apakah “perspektif kebudayaan” yang dipakai pengarang bernama Umar Kayam dalam fiksinya adalah sebuah perspektif yang benar-benar netral, sama sekali tidak merepresentasikan kepentingan kelas dari mana dia berasal (walau dalam konteks kategori “antropologis” masyarakat Jawa, priyayi dan wong cilik, sekalipun)? Terakhir, apa memang benar bahwa “realisme budaya Jawa” seperti yang terdapat dalam fiksi Umar Kayam merupakan “cara orang Jawa memahami, menghayati, dan menyiasati (realitas kehidupannya bahkan) yang paling modern sekalipun” seperti yang diyakini oleh Faruk?

***

Dari apa yang sudah dipaparkan di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa realisme bukanlah sebuah hal asing dalam wacana sastra kita. Realisme bahkan merupakan sebuah ciri dominan di mana persoalan hubungan pengarang dan masyarakatnya menjadi isu definisinya yang utama. Realisme fiksi Indonesia mungkin akan lebih tepat kita definisikan sebagai “realisme kontekstual”, yaitu realisme dialektis dari realisme fiksi klasik Eropa (seperti pada karya-karya Fielding, Jane Austen, Balzac, George Eliot dan Tolstoy) dan realisme sosialis Uni Soviet. Realisme kontekstual fiksi Indonesia adalah sebuah realisme hibrid, terlahir dalam sebuah sastra nasional baru yang ahistoris, sastra yang tidak memiliki sejarah linguistiknya yang jelas, sastra lingua franca. Mungkin inilah yang disebut sebagai sastra pascakolonial itu.

Bukankah perdebatan tentang “sastra kontekstual” di pertengahan tahun 1980an merupakan indikasi kontekstual tentang pentingnya persoalan identitas kontekstual, realisme pascakolonial, dalam wacana sastra kita?***

 

Oleh: Remy Sylado

 

Tulisan Denny JA berjudul “Remi Sylado, Puisi Esai dan Kisah Kacang di Pesawat”, maunya mencela saya, tapi kasihan aktualnya hanya jatuh sebagai pameran kebebalan dari seorang berkelas pedagang blantek di pasar hewan yang berilusi dirinya seakan-akan intelektual sastra.

Sebelum saya melanjutkan, menjawab celaan Denny JA itu, terlebih dulu saya mesti mengilasbalik cerita bagaimana saya diundang bicara di Wapres Bulungan dalam acara ulangtahun Sastra Reboan yang berlanjut dengan diskusi. Di forum itu ada seseorang yang bertanya tentang ‘puisi esai’, dan saya menjawab dengan cerita berikut ini. Bahwa pada suatu hari Dad Murniah dari Badan Bahasa menelepon saya, meminta saya menulis pengantar untuk buku ‘puisi esai’ Denny JA. Saya pun meminta dikirimi contoh puisi-puisi itu. Setelah membaca beberapa saya merasa tidak mendapat dua hal yang selama ini saya isyaratkan untuk semua karya sastra – puisi maupun prosa – yaitu kekayaan intelektual di satu pihak dan kekayaan spiritual di lain pihak.

Karena saya tidak mendapatkan dua antepan itu pada contoh ‘puisi esai’ tersebut, saya bilang kepada Dad Murniah, tidak mau menulis pengantar yang dimaksudkannya. Walau begitu, iseng saya bertanya, “Memangnya berapa honorarium untuk penulisan pengantar itu?” Jawab Dad Murniah, “Dua setengah juta, Bang.” Digambarkannya bahwa honorarium itu disertai dengan kontrak. Wah, kontrak? Dengan jumlah uang seharga tukang tembok harus pakai kontrak segala?

Dalam tulisan Denny JA yang disebut di atas, dia berkata, “Namun sekali kontrak ditandatangani, konsekwensi mengikuti. Aneh juga jika hal elementer kontrak ini Remi pun awam tak mengerti.”

Wah, umur lu berapa sih, Ntong? Kalau soal kontrak di ladang musik atau film, itu biasa. Saya pun bermusik dan berfilm. Di bidang musik saya profesional, dibuktikan dengan penghargaan Anugerah Indonesia 2003, Piagam PAPPRI 2008, HPN Award 2018. Di bidang film, pada 2003 saya menang Aktor Terpuji di FFB setelah 3x nominasi di FFI. Periksa juga rekaman musik-musik saya sejak 1973 di Spotify dan iTunes. Pun sejak 1972 film-film saya, mulai dari ilustrasi musik, skenario, dan akting, boleh periksa di Sinematik Indonesia.

Tapi kalau saya merasa geli bahwa pada 2018 orang baru bicara kontrak, dan ini di bidang sastra, sungguh menyedihkan, karena dengan begitu kok sastra direndahkan menjadi barang kelontong. Menurut saya, bahwa sastra seperti halnya senirupa, menjadi cendayam menyangkut harkat senimannya, bukan karena ribet perkara kontrak yang cenderung zahir dan badaniah. Ikhtiar kesastraan seorang pesastra, baik lewat puisi maupun lewat prosa, sebagaimana diungkapkan dengan bagus oleh Sitor Situmorang – adalah suatu tanggungjawab kenabian yang safi – dan bukan muslihat perkelontongan macam blantek di pasar hewan. Dengan menempatkan sastra di konteks ini, maka harkat manusia dalam kemanusiaan universal – yang diperjuangkan oleh H.B. Jassin dan Wiratmo Soekito pada 1963 lewat Manifes Kebudayaan – termuliakan di bawah imaji dan resemblansi – maaf dalam bahasa Yunani yang saya paham betul karena studi saya termasuk filologi Yunani, yang niscaya tidak bakal dimengerti oleh Denny JA – yaitu “kai ho Logos en pros ton Theon, kai Theos en ho Logos.” 

Oleh karena itu, bagi saya, kontrak dalam kekaryaan sastra, bukannya untuk meninggikan harkat pesastra dengan mengimingkan uang yang sebenarnya hanya seharga upah kuli tukang tembok, seperti ilusi Denny JA, tapi malah memelorotkan makna sastra sebagai dunia berpikir menyangkut filsafat keindahan, dan keindahan bagi orang beriman, adalah sepenuhnya anugerah dari omnipresensi Tuhan jua. Dengan begitu harkat pesastra pun sebagai sosok ragawi seorang intelektual tulen menjadi terapresiasikan, bukan seperti Denny JA yang mengaku diri intelektual tapi berpikiran kelontong: mengukur manusia bukan oleh harkatnya tapi karena hartanya, dan bukan martabatnya tapi manfaatnya. Saya kuatir, jangan-jangan orang yang termakan kilik-kilik untuk menulis puisi pesanan dengan kontrak itu adalah mereka yang dibangun sentimen pada ketakberdayaan sosial untuk bebas berilusi. Manusia macam inilah yang mencelakakan Indonesia. Sebab fokusnya berubah dari konsentrasi materiil ke pemberhalaan fulus. Itu seperti pejabat-pejabat yang kulina mencuri uang rakyat. Lantas, ketika tertangkap KPK, sempat-sempatnya cengenges di TV.

Di bidang sastra, teater, dan senirupa – bahwa tiga ladang seni ini sama-sama merupakan fokus kerja kreatif saya yang profesional – jelas dengannya saya menolak tawanan berpikir tentang kontrak-mengontrak seperti di film dan musik yang saya sebut tadi. Dengan membilang kontrak di sastra, teater, dan lukis, maka itu berarti saya menjerembabkan harkat, bukan sebagai insan paripurna dengan piranti bakat rasa keindahan yang bersumber dari Tuhan itu, tapi telah dengan pandir menjatuhkan diri sebagai manusia kelas kuli yang termatikan namun tak terkuburkan. Naga-naganya hanya mental kuli yang merasa sentosa diupah dengan cara dikontrak. Bayangkan, sejak zaman penjajahan Belanda, orang-orang upahan itu harus menerima nasib disebut sebagai ‘kuli kontrak’. Untung saya tidak sudi menulis pengantar ‘puisi esai’, sebab kalau saya mau, bisa-bisa tulisan saya itu disebut ‘esai kontrak’. Betapa tidak senonohnya.

Saya kira langkah pertama yang harus dilakukan oleh Denny JA adalah belajar peristilahan dengan betul. Simak kamus paling standar ini, Dictionary of English Language and Culture, pada lema honorarium, “a sum of money offered for profession services, for which by custom the person does not ask to be paid.” Atau The New Shorter Oxford English Dictionary on Historical Principles, di lema honorarium, “a voluntary fee especially for profesional services nominally rendered without payment”.

Dengan mengiming-imingi duit sebagai upah lewat kontrak, saya anggap Denny JA telah meletakkan derajat sastra bukan sebagai postulat dorongan-dorongan rohani, tapi semata-mata hanya menjadi kegandrungan-kegandrungan badani, kedagingan, urusan perut. Primitif sekali. Uang memang penting, tapi jauh lebih penting kehormatan. Menulis puisi dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan – yang memberi kekayaan spiritual dan kekayaan intelektual tersebut – adalah suatu kehormatan yang tidak bisa diukur dengan uang. Saya tidak sudi menulis pengantar untuk ‘puisi esai’ karena merasa tidak ada kehormatan yang bisa dimuliakan di situ. Denny JA boleh saja mencela puisi-puisi orang lain, tapi dia toh tidak sanggup memberikan kehormatan seperti yang sudah diberikan oleh puisi-puisi W.S. Rendra, Linus Suryadi, Subagio Sastrowardojo, Saini KM, Sitor Situmorang, Goenawan Mohamad, Hartojo Andangdjaja, Ajip Rosidi, Ramadhan KH., Toto Sudarto Bachtiar, dll.

Bagaimanapun, nilai kehormatan dalam kebudayaan adalah sejarah pewarisan kebijaksanaan dari leluri para pendahulu. Artinya kita wajib secara sukarela menimba kearifan, kebajikan, keadaban, dari luar diri kita dalam tarikh yang berprogres. Menokohkan diri sendiri seperti yang dipraktikkan oleh Denny JA adalah suatu jalan sesat di samping congkak dan songong. Saya mendapatkan dasar-dasar kehormatan itu dari warisan puisi-puisi Semit. Kebetulan, selain filologi Yunani saya pun belajar secara khusus filologi Ibrani. Menurut saya puisi-puisi Ibrani dari bangsa Semit itu yang sudah diterjemahkan ke bahasa-bahasa Prancis, Jerman, Inggris, Belanda merupakan sumber kedibyaan dari puisi-puisi karya penyair besar dunia; sebut saja Shakespeare, Schiller, Goethe, Nietzsche, Baudelaire, sampai T.S. Eliot. Termasuk jangan lupa penyair Indonesia Amir Hamzah membaca sastra klasik Ibrani dari terjemahan Belanda, Het Hooglied van Salomo.

Sayangnya Denny JA sudah sombong soktau pula. Dalam tulisannya yang mencela saya, dia berkata, “REMI melakukan kesalahan elementer. Kesalahan para pemula yang tak terbiasa dengan tertib berpikir.” Apakah Denny JA tertib? Mulut besar! Bayangkan, menulis nama saya saja keliru. Dia menulis nama saya REMI SYLADO. Padahal saya menulis nama saya dengan dua /y/, yaitu Remy Sylado. Bukan dengan satu /i/. Dengan nama Remy Sylado ini, terakhir Februari 2018, dalam Hari Pers Nasional yang diselenggarakan di Padang dan diresmikan oleh Presiden RI Joko Widodo saya mendapat piala dan piagam bertuliskan “Remy Sylado, Penghargaan Kategori Kepeloporan Dalam Penulisan Media Musik dan Puisi”.

Dan, o, ya peri kepeloporan puisi, pada 2004 saya menerima Satyalencana Kebudayaan dari Presiden RI Megawati Soekarnoputri. Berlanjut pada 2013 Achmad Bakrie Award untuk saya dalam juga kepeloporan puisi. Penghargaan lain bidang prosa misalnya Khatulistiwa Literary Award dan Penghargaan Pusat Bahasa untuk Kerudung Merah Kirmizi, Komunitas Nobel Indonesia untuk Ca Bau Kan, Badan Bahasa dan Kerajaan Thailand untuk Namaku Mata Hari. Dan banyak lagi. Tak perlu disebut semua, nanti isinya ketularan memuji-muji diri. Memuji diri seperti yang dilakukan oleh Denny JA sepenuhnya absurd, mengaku dirinya tokoh berpengaruh, tapi kodratnya garam hendak menggarami lautan. Istilah dulunya “onani”, istilah sekarangnya “swalayan”, istilah kakilimanya “loco”. Tak ada tepuk tangan buat tukang ilusi bernama Denny Januar Ali.***

Oleh: Saut Situmorang*

“Di mana keunggulan puisi esai dibandingkan dengan jenis puisi atau genre yang sudah ada? Seorang entrepreneur sejati, tentu saya tak sekadar bergenit-genit membuat sesuatu sekadar baru, asal beda. Hanya sekadar beda, ia tak akan survive.

Keunggulan pertama, puisi esai yang panjang, yang merupakan historical fiction, potensial diangkat ke layar lebar. Semua sastrawan yang kaya-raya di dunia, itu karena novelnya menjadi film laris. Ini hanya terjadi pada novel, bukan puisi.

Puisi esai adalah novel pendek yang dipuisikan. Semua plot cerita, karakter, dan drama yang ada pada novel juga ada pada puisi esai. Dibanding semua jenis puisi yang ada, puisi esai paling potensial dibuat menjadi film layar lebar. Dibanding semua jenis penulis puisi yang ada, penulis puisi esai paling potensial menjadi kaya-raya karena puisinya.

Membaca ketiga paragraf pembuka esei Denny JA berjudul “Puisi Esai: Apa, Mengapa, dan Keunggulannya” (Koran Tempo, 11-12 Fabruari 2018)  di atas saya segera paham bahwa saya sebenarnya sedang membaca, dan mengomentari, sebuah tulisan yang ditulis oleh seseorang yang sama sekali buta, sama sekali awam, atas apa itu Sastra. Apalagi memang si penulisnya yang bernama Denny JA itu belum apa-apa sudah bela diri dengan menyatakan bahwa dirinya seorang “entrepreneur” yaitu seseorang yang menurut kamus bahasa Inggris Oxford English DictionaryA person who sets up a business or businesses, taking on financial risks in the hope of profit” dan “A promoter in the entertainment industry”.

Bagaimana mungkin bisa mengharapkan sebuah esei yang penuh dengan kesadaran sejarah dan teori Sastra dari seseorang yang cuma tertarik dengan dunia bisnis demi mengeruk keuntungan finansial! Bagaimana mungkin bisa mengharapkan seseorang yang cuma promotor industri hiburan untuk paham apa itu Seni, apa itu Sastra!

Ketiga paragraf pembuka ini adalah isi utama dari esei yang berpretensi tentang Seni Sastra ini. Dan kita lihat betapa konsep “bisnis” alias duit sangat dominan mewarnai ketiga paragraf tersebut. Perhatikan saja repetisi yang dilakukan penulisnya atas kata “kaya-raya”!

Tingkat keawaman yang begitu parah tentang Sastra dipamerkan Denny JA dengan menyatakan bahwa “puisi esai” merupakan “historical fiction”, bahwa “puisi esai” adalah  “novel pendek yang dipuisikan”. Hanya seorang yang sama sekali buta Sastra akan membuat pernyataan-pernyataan yang sangat menggelikan di atas.

Bagi mereka yang mengerti Sastra maka secara umum Sastra biasanya dibagi atas 3 genre yaitu Puisi, Prosa, dan Drama. Fiksi (novel dan cerpen) dan Esei biasanya dimasukkan dalam kategori Prosa, walau tentu saja selalu ada tumpah-tindih atau gabungan dari genre di antara ketiga genre utama Sastra tersebut.

Puisi biasanya dibedakan dari Prosa dalam hal berikut ini: Puisi biasanya ditulis dalam sebuah sistem persajakan sementara Prosa tidak; Prosa ditulis dalam kalimat sedangkan Puisi dalam Baris; dan sintaks dalam Prosa dipengaruhi oleh Artinya sementara dalam Puisi oleh Persajakan dan aspek Visualnya.

Esei adalah satu jenis tulisan analitis, interpretatif dan kritis tentang suatu topik yang biasanya ditulis dari perspektif pribadi penulisnya untuk mengekspresikan pendapat pribadinya. Bentuk esei biasanya terdiri dari pembukaan dan kesimpulan. Dan terdapat beberapa paragraf sebagai isi esei antara pembukaan dan kesimpulan tersebut.

Walaupun begitu tidak semua esei berbentuk tulisan. Ada bentuk-bentuk lain dari esei yang fungsinya mirip dengan fungsi tulisan yang disebut esei di atas yaitu Foto Esei dan Film Esei.

Istilah “puisi-esei” adalah kombinasi dari dua genre Sastra yang berbeda yaitu Puisi dan Prosa dalam hal ini subgenre Esei.

Kalau kita bicara tentang “puisi esei” maka kita akan bicara tentang satu genre tulisan yang merupakan gabungan dari dua genre Sastra. Suatu tulisan yang SEKALIGUS Puisi dan Esei. Biasanya puisi adalah Bentuknya dan Esei adalah isinya.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah tulisan yang disebut “puisi-esai” [sic] oleh Denny JA itu memang Puisi-Esei? Apakah sudah ada yang membuktikan bahwa Puisi memang sudah berhasil dituliskan dalam “puisi-esai” dan isinya memang merupakan Esei analitis, interpretatif dan kritis tentang suatu topik?

Bukankah yang justru ditemukan dalam apa yang disebut Denny JA sebagai ‘puisi-esai” [sic] itu tak lebih dari Cerita Naratif biasa (memiliki Plot, Tokoh dan Dialog seperti dalam Cerpen) yang disusun Tipografinya seperti tipografi Puisi, seolah-olah Puisi! Bukan cerita naratif yang harusnya jadi Isi “puisi-esai” mereka itu tapi Esei! Dan seperti yang sudah saya sebutkan di atas, Esei adalah subgenre dari Prosa, BUKAN bagian dari Fiksi seperti Novel dan Cerpen.

Denny JA sendiri di pembuka eseinya tersebut sudah menegaskan bahwa yang dia maksud sebagai “puisi esai” itu adalah “fiksi sejarah” (walau pembacanya tidak dijelaskannya apa yang dia maksud dengan istilah ini) dan “novel pendek yang dipuisikan” (cuma dia yang tahu di mana bisa ditemukan Novel tersebut dalam puisi esai).

Kalau puisi esai itu adalah “fiksi sejarah” dan “novel pendek yang dipuisikan”, kenapa terus menerus ngotot minta diterima sebagai Puisi, bahkan diklaim sebagai “genre baru” Puisi?!

Mungkin karena begitu awam tentang Sastra maka Denny JA tidak pernah tahu bahwa apa yang disebut sebagai “historical fiction” alias fiksi sejarah itu dalam Teori Sastra adalah fiksi yang setting ceritanya suatu masa/periode dalam sejarah yang sudah lalu dan yang berusaha sesetia dan serealistik mungkin menggambarkan kondisi sosial, semangat zaman dan adat istiadat periode sejarah tersebut sesuai dengan fakta sejarah.

Biasanya setting waktu tersebut sekitar 50 tahun atau lebih sebelum saat fiksi tersebut ditulis atau ditulis oleh seseorang yang belum lahir pada saat cerita terjadi makanya penulisannya dilakukan berdasarkan riset penulisnya dan bukan dikarang-karang.

Satu ciri-khas lain dari fiksi sejarah adalah tokoh cerita yang biasanya adalah figur-figur sejarah yang terkenal dan keterlibatan mereka dalam peristiwa-peristiwa sejarah penting.

Dalam Sastra Indonesia, Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer adalah contoh karya sastra yang disebut sebagai “historical fiction” alias fiksi atau novel sejarah itu.

Apakah ciri-ciri yang saya tuliskan di atas bisa kita temukan dalam “historical fiction” alias puisi esai Denny JA? Seperti yang sudah kita harapkan, Denny JA pasti akan berkilah lagi bahwa “historical fiction”nya adalah genre baru juga – seperti puisi esainya adalah genre puisi baru — dan berbeda dari “historical fiction” para Teoritikus Sastra dengan mindset lama di atas.

Bagi “entrepreneur puisi esai” seperti Denny JA tentu saja sangat sulit untuk mengerti kenapa kami para Sastrawan Indonesia dengan mindset zaman lama ini menolak mentah-mentah hoax yang disebarkannya dengan jaringannya tentang puisi esai baik sebagai sebuah genre baru dalam puisi maupun sebagai sebuah angkatan baru dalam sejarah Sastra kami Sastra Indonesia. Denny JA pasti juga tidak akan mungkin mampu memahami kenapa sastrawan besar Prancis Jean-Paul Sartre menolak Hadiah Nobel Sastranya di tahun 1964 yang tentu saja termasuk hadiah duit sangat besar yang akan membuat Sartre kaya raya itu. Begitu juga dengan penolakan penyair Sitor Situmorang atas Penghargaan Achmad Bakrie 2010 yang bernilai ratusan juta rupiah itu, penyair Angkatan 45 yang namanya tidak dimasukkan ke dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang didanai Denny JA itu agar nama “Denny JA” masuk di dalamnya.

Karena Denny JA tidak mengerti apa yang dimaksud dengan Seni dan Seniman. Dia tidak mengerti bahwa ada produk budaya yang dibuat bukan dengan tujuan utama untuk dijual, untuk dikomersilkan. Dia tidak akan pernah mengerti bahwa ada sekelompok profesional yang menghasilkan produk budaya yang bernilai tinggi dan mahal harganya kalau dijual tapi menghasilkan produk mereka tersebut bukan semata-mata untuk dijual dan dikomersilkan. Denny JA tidak akan pernah mampu mengerti kerja-kerja idealis kaum idealis ini karena dia cuma tahu bahwa semua produk budaya adalah produk untuk dijual, produk entrepreneur, produk bisnis yang bisa membuat pembuat-cum-penjualnya kaya raya materi.

Inilah yang membedakan Denny JA dari kaum Seniman, dari para Sastrawan yang disebutnya sebagai memiliki “mindset zaman lama” itu, walau kembali dia tidak mampu menjelaskan “zaman lama” mana yang dia maksud dan apa kapitalisme yang dia paksakan untuk masuk ke dalam dunia Sastra Indonesia dalam bentuk “puisi esai” itu memang produk zaman baru di mana dia hidup saat ini.

Denny JA selalu mengutip pendapat dari seseorang yang dia klaim sebagai “ahli genre” yaitu David Fishelov untuk “membuktikan” bahwa dirinya memang telah menemukan sebuah “genre baru puisi” dan bahwa memang benar telah “lahir sebuah angkatan baru dalam Sastra Indonesia”.

Bagi kita yang ingin benar tahu apa yang sebenarnya dinyatakan “ahli genre” David Fishelov tentang “keabsahan sebuah genre” dan mengharapkan Denny JA untuk mengelaborasinya pasti akan kembali kecewa berat. Seperti kebiasaan klisenya dalam “menjelaskan” klaim-klaim asersif besar yang sangat gemar dibuatnya, kembali kita cuma disodori informasi bahwa ada “dua syarat yang [David Fishelov] formulakan bagi keabsahan sebuah genre. Syarat pertama, the moment of birth; dan syarat kedua, the second form of generic production.” Sudah, itu saja. Saya misalnya berusaha mencari elaborasi penjelasan atas kedua syarat bagi “keabsahan sebuah genre” itu di seluruh tubuh eseinya tersebut tapi gagal menemukannya. Saya pikir mungkin ada di Catatan Kaki karena bukankah Catatan Kaki merupakan ciri utama semua (puisi) esai yang Denny JA tulis. Tapi kembali gagal. Ternyata Denny JA lupa untuk membubuhkan Catatan Kaki di (puisi) esainya yang konon justru hendak membuktikan “Apa, Mengapa, dan Keunggulan” dari puisi esai tersebut!

Denny JA mungkin mengira bahwa kegemarannya melakukan name dropping dalam tulisan-tulisannya yang rata-rata buruk mutunya itu akan otomatis secara ajaib simsalabim abrakadabra mengubah mutu tulisannya jadi wow menakjubkan! Name-dropping adalah praktek penyebutan nama orang-orang penting terkenal dalam tulisan atau percakapan dengan maksud, tentu saja, untuk membuat pembaca atau pendengar terpukau terpesona wow agar tercipta ilusi seolah-olah si pelaku name-dropping tersebut kenal dan dekat dengan nama-nama tersebut. Dalam kasus Denny JA, agar para pembacanya mengira bahwa dia memang sudah membaca karya nama-nama tersebut makanya akrab dan memahaminya luar kepala. Tapi dari apa yang kita alami dalam peristiwa pembacaan semua tulisannya tentang puisi esai termasuk tulisannya yang terakhir di atas di mana dia menggertak terlebih dulu para pembacanya dengan name-dropping dua nama Barat yaitu David Fishelov dan Thomas Kuhn, terlihat betapa baik name-dropping maupun “pengutipan” yang seolah-olah dilakukannya atas karya nama-nama yang disebutnya itu ternyata cuma manipulasi belaka!

Manipulasi ini sangat nyata dalam klaim Denny JA bahwa menurut teori “lahirnya sebuah genre” oleh David Fishelov:

“Syarat kelahiran sebuah genre dalam dunia sastra Indonesia sudah terpenuhi, yaitu perbedaan “corak baru” yang diperkenalkan puisi esai dibanding puisi Indonesia sebelumnya dan kedua, kelahiran sebuah genre baru ditandai oleh bentuk-bentuk sekunder produktivitas generik (terjemahan, adaptasi, parodi, dan sebagainya), kemunculan puisi esai juga melahirkan pro dan kontra. Kritikus, komentator, dan analis datang untuk memberikan ulasan, baik yang mendukung maupun menentang.”

Apa yang sebenarnya dinyatakan oleh David Fishelov dalam artikelnya “The Birth of a Genre” (European Journal of English Studies 1999,Vol. 3, No. 1, pp. 51-63) adalah:

“The birth of a genre is marked by secondary forms of generic productivity (translations, adaptations, parodies), followed by primary, dialectical forms.”

Dia memberi contoh kelahiran genre baru bernama Soneta. Soneta adalah bentuk puisi baru Itali ciptaan penyair Petrarch. Soneta kemudian diadopsi oleh banyak penerjemah dan peniru yang menirunya sedekat mungkin hingga akhirnya membuat soneta Petrarch tersebut menjadi tren penulisan dominan di seluruh Eropa di abad 15 dan 16.

Masuknya soneta ke negeri Inggris juga melalui proses “secondary forms of generic productivity” yang sama seperti di atas, dengan sedikit perubahan, terutama oleh penyair Wyaat dan Surrey. Baru kemudian setelah soneta menjadi genre yang diakui di Inggris, maka “primary forms of generic productivity” mulai muncul dalam karya penyair Sidney, Spenser dan terutama Shakespeare yang memperkenalkan konsep baru yaitu cinta ke “generic framework” ini.

Pertanyaannya sekarang di mana David Fishelov menyatakan bahwa “corak baru” dan “pro dan kontra serta kritikus, komentator, dan analis datang untuk memberikan ulasan, baik yang mendukung maupun menentang” merupakan “kriteria” dari “lahirnya sebuah genre baru” itu?!

Contoh berikutnya adalah manipulasi atas teori Thomas Kuhn. Thomas Kuhn adalah seorang ahli Fisika Amerika dan filsuf sains yang terkenal dengan konsep “perubahan paradigma (paradigm shift)” yang dijabarkannya dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions. Kuhn bicara dalam konteks “scientific revolutions” yaitu perubahan radikal dalam dunia ilmu Fisika tapi kita lihat betapa Denny JA dengan seenak kepentingannya doang memanipulasi konsep Kuhn tersebut keluar dari konteks sejarahnya dan seolah-olah bicara tentang puisi esai Denny JA! Bahkan “kutipan” yang konon dari Teori Kuhn itu pun tidak mampu dia elaborasikan.  Denny JA, seperti biasanya, cuma membuat klaim nonsens belaka:

“Bahkan saya tambahkan variabel ketiga dari Thomas Kuhn. Thomas Kuhn menyatakan: sebuah paradigma hadir bukan hanya ia punya sisi beda. Namun ada komunitas yang hidup dalam paradigma itu. Puisi esai punya komunitasnya.”

Thomas Kuhn sendiri, saya sangat yakin, pasti akan terbengong-bengong goblok kalau membaca “kutipan” yang katanya dari dia di atas!

Dan tentang “komunitas” yang Denny JA klaim puisi esai juga punya itu, mana komunitas tersebut?! Apakah “hadirnya 34 buku puisi esai di 34 provinsi” itu sudah otomatis berarti adanya “komunitas puisi esai” di Indonesia?! Bukankah kembali Denny JA memanipulasi fakta sejarah di sini seperti dia memanipulasi begitu banyak fakta seperti yang saya buktikan di atas tadi!

Pertama, apa sebenarnya yang dimaksud dengan “komunitas” itu? Komunitas biasanya dibedakan  atas dua ciri penanda yaitu pertama, berdasarkan tempat tinggal yang sama (lokasi) dan kedua, berdasarkan identitas, gaya hidup atau kepentingan yang sama (community of interest). Komunitas Penulis biasanya dimasukkan dalam kategori kedua di mana lokasi tempat tinggal anggotanya tidak harus berada dalam satu wilayah yang sama tapi para anggotanya memiliki kepentingan yang sama sebagai raison d’etre pembentukan komunitas yaitu dalam dunia kepenulisan.

Apakah “34 buku puisi esai di 34 provinsi” itu memang dihasilkan oleh sebuah komunitas penulis nasional yang memiliki ketertarikan yang sama atas “puisi esai”? Sebuah komunitas penulis yang secara sukarela tanpa paksaan atau iming-iming tertentu yang tidak ada kaitannya dengan dunia kepenulisan memang mencintai “puisi esai” dan sama-sama mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan penulisannya baik secara tema maupun estetika?

Bukankah sudah jadi rahasia umum bahwa apa yang disebut Denny JA sebagai “komunitas puisi esai” di atas atau “angkatan baru dalam Sastra Indonesia” itu adalah sekelompok penulis yang bersedia menulis puisi esai karena ditawarinya duit Rp 5 juta per puisi! Bahkan Denny JA sendiri mengakui:

“Lalu muncul kritik. Gerakan puisi esai ini tidak alami. Ia muncul karena “dipimpin”, direkayasa, ada honor besar di sana. Ada tim marketing. Ada organisasi di baliknya. Jawab saya: Aha! Itu justru sisi barunya. Justru di sana pula letak inovasi dari puisi esai sebagai sebuah gerakan.”

Oiya hampir lupa! Ada sebelas orang anggota “komunitas”nya itu dari berbagai provinsi di Indonesia mengundurkan diri dengan resmi dan pakai meterai segala lagi serta mengembalikan duit yang telah mereka terima baik persekot maupun penuh. Tapi apa yang terjadi? Duit yang telah mereka kembalikan via transfer bank itu DIKEMBALIKAN lagi ke mereka dan walau duit tersebut mereka transfer balik kembali tapi TETAP DIKEMBALIKAN! Bahkan mereka diancam akan diperkarakan secara hukum karena mereka tidak mengizinkan “puisi esai” mereka diikutkan dalam seri buku puisi esai “34 buku puisi esai di 34 provinsi” tersebut!

Apa alasan utama pengunduran diri massal ini? Rata-rata tidak tahu apa itu “puisi esai” dan skandal sastra yang disebabkannya terkait dengan nama “Denny JA”. Mereka yang rata-rata penulis muda dan pemula ini baru tahu setelah terjadinya kembali ribut-ribut tentang “Denny JA dan puisi esainya” di media sosial yang mencapai klimaksnya dengan pembuatan Petisi Anti Puisi Esai yang saat ini sudah ditandatangani oleh lebih dari 3000 orang.

Begitulah macamnya “komunitas puisi esai” yang berusaha dikait-kaitkan Denny JA dengan komunitas saintis (scientific community) dalam teori perubahan paradigma Thomas Kuhn!

Kita tentu saja berhak berandai-andai…. Seandainya tidak ada tawaran duit pra-bayar Rp 5 juta itu, apakah “angkatan baru” ini akan (bersedia) menulis puisi esai?! Akankah Proyek Manipulasi Sejarah Sastra Indonesia lewat “inovasi marketing” berbentuk “34 buku puisi esai di 34 provinsi” oleh seorang “entrepreneur” yang menganggap “marketing sama pentingnya dengan estetika” itu terwujud?

Inilah satu-satunya “angkatan” di sastra manapun di dunia ini yang “lahir” karena para anggotanya dibayari untuk menulis dalam satu gaya seragam bahkan sebelum tulisan mereka tersebut mulai ditulis. Saya usulkan nama yang tepat untuk angkatan baru ini adalah Angkatan Puisi Esai Pra-Bayar Denny JA. ***

*Saut Situmorang, penyair tinggal di Jogja