Archive for the ‘Manifesto’ Category

Aliansi Sastrawan Indonesia Anti Puisi-Esai 

PRESS RELEASE 

Terkait dusta publik Denny Januar Ali (selanjutnya disingkat DJA) tentang “lahirnya angkatan puisi-esai” dan Proyek Penulisan Buku Puisi Esai Nasional yang digagas dan didanai oleh DJA pribadi yang direncanakan melibatkan 170 penulis, penyair, jurnalis, dan peneliti di 34 propinsi di Indonesia, kami Aliansi Sastrawan Indonesia Anti Puisi-Esai mengamati sejumlah poin berikut:

1. Klaim puisi esai sebagai genre baru sebagaimana tertulis di sampul buku Atas Nama Cinta milik DJA merupakan penggelapan sejarah sastra. Puisi Esai sebagai komposisi ekspositori dalam bentuk puisi sudah dikenal sejak masa Alexander Pope, penyair Inggris abad ke-18, melalui puisinya “An Essay on Man”.

2. Puisi esai DJA bukanlah puisi esai. DJA bersikeras menyebut bentuk yang digagasnya sebagai puisi esai, padahal karakteristik yang dipakai adalah karakteristik puisi naratif, dengan plot, tokoh, dan ceritanya. Catatan kaki yang disyaratkan sebagai ciri ke-esai-an puisi esai juga bukan ciri utama atau keharusan esai. Esai kerap tak memiliki catatan kaki. Mendukung program Penulisan Buku Puisi Esai Nasional DJA sama artinya dengan mendukung kekeliruan definisi dan konsep tersebut, yang pada gilirannya merupakan tindak perusakan sastra sebagai kajian keilmuan.

3. Program Penulisan Buku Puisi Esai Nasional adalah rekayasa politis DJA untuk mendapat pengakuan sebagai tokoh sastra dengan menggunakan kekuatan uang, sebagaimana pernah dilakukan melalui pembiayaan lomba puisi esai, dan penerbitan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh dan Membawa Puisi Ke Tengah Gelanggang.

4. DJA diduga memanipulasi institusi negara yang berfungsi melaksanakan pengembangan, pembinaan, dan pelindungan di bidang bahasa dan sastra, yaitu Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa serta Balai Bahasa/Kantor Bahasa di sejumlah Provinsi di Indonesia untuk menyukseskan program manipulatif dan membodohkan, yaitu Penulisan Buku Puisi Esai Nasionalnya.

Berangkat dari poin-poin tersebut, kami Aliansi Sastrawan Indonesia Anti Puisi-Esai menyatakan:

1. Menolak program Penulisan Buku Puisi Esai Nasional tersebut, juga program lain dengan modus sama.

2. Meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia mengusut keterlibatan oknum-oknum di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa serta Balai Bahasa/Kantor Bahasa di seluruh Indonesia dalam program Penulisan Buku Puisi Esai Nasional DJA.

3. Menyerukan kepada instansi pemerintah maupun organisasi non pemerintah terkait bidang sastra, budaya, penulisan kreatif dan literasi, seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Indonesia, Kementerian Pariwisata Indonesia, Badan Ekonomi Kreatif, Persatuan Penulis Indonesia (Satupena), Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI), Komite Buku Nasional, Perpustakaan Nasional RI, Ikatan Penerbit Indonesia dan lain-lain, untuk bersama, dengan kewenangan serta tugas pokok dan fungsi masing-masing, melakukan penyadaran kepada masyarakat serta mencegah dan memberantas berbagai upaya rekayasa, manipulasi dan penyesatan dalam bidang sastra dan literasi yang dilakukan baik oleh DJA dan jaringannya, maupun pihak-pihak lain.

4. Meminta DJA menghentikan program Penulisan Buku Puisi Esai Nasional di atas.

5. Menyerukan kepada semua yang terlibat program Penulisan Buku Puisi Esai Nasional DJA untuk mengundurkan diri, membatalkan kontrak, dan mengembalikan honor.

6. Menyerukan kepada komunitas-komunitas sastra di seluruh Indonesia untuk ikut menolak program Penulisan Buku Puisi Esai Nasional DJA dan mencegah para anggotanya terlibat di dalamnya.

7. Membantah telah lahir sebuah angkatan baru dalam Sastra Indonesia yang oleh DJA disebut sebagai “angkatan puisi-esai” tersebut.

Jogjakarta, 27 Januari 2018

Aliansi Sastrawan Indonesia Anti Puisi-Esai

Denny JA (Foto: merdeka.com)

Denny JA (Foto: merdeka.com)

Ayok kita laporkan Denny JA ke Polisi di seluruh Indonesia dengan alasan-alasan ini:

1. Telah memfitnah dan mencemarkan nama baik Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin (PDS HB Jassin), Jakarta. Denny JA mengklaim kalok PDS HB Jassin terlibat dalam pembuatan buku sampah berjudul “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” yang memuat nama Denny JA sendiri sebagai salah seorang Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh tsb. Kepala PDS HB Jassin telah terang-terangan mengakui bahwa PDS HB Jassin TIDAK terlibat dalam pembuatan buku tsb! PDS HB Jassin adalah sebuah lembaga sangat terhormat dalam dunia Sastra Indonesia dan merupakan sumber informasi terpenting bagi para peneliti Sastra Indonesia dari seluruh dunia. Denny JA telah mencemarkan nama lembaga terhormat ini demi kepentingan dirinya sendiri!

2. Telah memfitnah para penyusun dan penandatangan Petisi Anti Buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” dengan mengklaim bahwa Petisi tsb menganjurkan kepada pemerintah untuk membredel buku dimaksud. Isi petisi tidak ada sama sekali menganjurkan pelarangan atas buku sampah tsb! Denny JA tidak membaca isi Petisi.

3. Telah mencemarkan nama baik para penyusun dan penandatangan Petisi Anti Buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” lewat pernyataan-pernyataanya di media massa dan media sosial seperti Twitter dan Facebook bahwa para penyusun dan penandatangan Petisi adalah anti kebebasan berpendapat dan fascis seperti FPI! Denny JA diduga jugak telah membayar akun-akun bernama samaran (pseudonim) di Facebook dan terutama di Twitter untuk menyebarkan disinformasi dan fitnah (makanya pencemaran nama baik korbannya) tentang apa sebenarnya yang terjadi dalam hubungannya dengan Kasus Buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” di atas! Akun-akun itu jugak dipakek untuk mengancam “akan dipenjarakan” mereka yang berani kritis terhadap Denny JA!

Semoga Denny JA dihukum penjara selama-lamanya without parole!

—————–

Catatan Kaki:

Petisi Menolak Buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” bisa dibaca di sini https://boemipoetra.wordpress.com/2014/01/14/petisi-menolak-buku-33-tokoh-sastra-indonesia-paling-berpengaruh/

PENGUMUMAN

Posted: 14/02/2014 in Manifesto

foto Aliansi Anti Denny JA

Menanggapi undangan dari Gol A Gong dan Rumah Dunia untuk melaksanakan debat publik, dengan ini kami umumkan dasar penolakan kami atas rencana acara tersebut:

1. Meski bukan harga mati, kami menganggap tempat yang paling tepat untuk melaksanakan kegiatan diskusi dan debat terbuka kasus buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” adalah di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, karena buku itu diluncurkan di PDS HB Jassin dan buku itu didedikasikan untuk PDS HB Jassin.

Seperti yang telah umum ketahui, kehadiran buku tersebut telah mengancam nama baik PDS HB Jassin sebagai salah satu lembaga terhormat di dunia sastra Indonesia. Kami menganggap penyelenggaraan diskusi atau debat terbuka sudah seharusnya digelar di sana.

2. Gola A Gong sebagai inisiator acara diskusi di Rumah Dunia menyampaikan undangan kepada pribadi, dan bukan mengundang Aliansi Anti Pembodohan (AAP) buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh,” dimana kami nantinya dapat mengutus wakil kami.

Dalam draf acara yang ia publikasikan di grup Facebook “Anti Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh ” pada 11 Januari 2014, Gola A Gong telah menyusun dan memilih pihak-pihak yang akan dihadirkannya, mulai dari narasumber, peserta debat, hingga moderator. Perlu kami sampaikan, bahwa setiap langkah atau gerakan apapun yang melibatkan Dewan Presidium maupun pengurus AAP, harus atas persetujuan bersama di dalam internal kami.

3. Penolakan ini kami lakukan tanpa mengurangi rasa hormat kami pada maksud dan tujuan baik Gol A Gong pribadi, maupun perwakilan dari komunitas Rumah Dunia. Kami mendukung usaha semua pihak yang ingin mengakhiri polemik Buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh”, namun kami juga menghendaki dan sangat menghargai sikap kritis dan netral dari semua pihak yang ingin melibatkan Aliansi Anti Pembodohan (AAP), disamping terlebih dulu mampu memahami isi petisi kami dengan baik.

Demikian pengumuman ini kami sampaikan untuk memperjelas sikap dan jawaban resmi kami pada inisiatif Gol A Gong – Komunitas Rumah Dunia. Semua pendapat yang tidak berada dalam koridor alasan kami di atas, bukan menjadi tanggung jawab kami dan dianggap sebagai pernyataan pribadi.

 

Jakarta, 14 Februari 2014

Salam Anti Pembodohan,
Basri ‘Baz’ (Ketua AAP)

Berkaitan dengan terbit dan beredarnya buku 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH (KPG, 2014) 33 tokoh sastra_editedsusunan Tim 8 yang terdiri dari Jamal D. Rahman (Ketua), Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshäuser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, Nenden Lilis Aisyah (anggota), kami, atas nama pecinta sastra, guru bahasa dan sastra, ahli/kritikus sastra dan sastrawan, mengajukan petisi:

  1. Mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk menunda atau menghentikan sementara waktu peredaran buku tersebut.
  2. Mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk mengadakan atau memfasilitasi pengkajian ulang isi buku tersebut, yang di dalamnya termasuk pengujian validitas metode pemilihan 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Yang dimaksud sebagai pengujian validitas metode pemilihan di sana adalah pengujian terhadap ketepatan prinsip-prinsip metode, peraturan atau kriteria, postulat atau dalil, bukti, pembuktian, dan argumentasi.
  3. Mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk mengambil langkah tegas pada buku tersebut hingga ke bentuk pelarangan edar secara permanen, apabila hasil pengujian menunjukkan adanya kesalahan fatal metode pemilihan dan isi buku tersebut. 

 

Alasan pengajuan petisi ini adalah: 

A.    Buku ini berpotensi menyesatkan publik 

Ada beberapa hal yang membuat buku ini berpotensi menyesatkan publik:

  1. Klaim assersif. Pada judul buku dituliskan 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH, sementara tulisan-tulisan dalam buku ini tak menjelaskan kesuperlatifan pengaruh tokoh-tokoh tersebut, yang artinya tak terdapat perbandingan-perbandingan dengan pengaruh-pengaruh tokoh sastra lain dan apa yang membuat pengaruh tokoh-tokoh tersebut mengatasi yang lain secara kuantitatif dan kualitatif. Beberapa tulisan dalam buku itu mengakui kesulitan membuktikan kesuperlatifan tokoh yang dibahas.
  2. Definisi dan kriteria yang tak definitif. Definisi kata “pengaruh” dan “tokoh sastra” yang longgar sehingga menciptakan kekaburan-kekaburan, baik mengenai “pengaruh”, “pengaruh tokoh-tokoh itu sebagai tokoh sastra”, maupun “ukuran kesuperlatifan pengaruh tokoh-tokoh sastra tersebut”. Hampir seluruh tulisan dalam buku 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH tak dapat membedakan antara pengaruh dengan afek, efek, dan dampak, serta pengaruh tokoh-tokoh yang dibahas sebagai tokoh sastra dengan pengaruh peran mereka yang lain, maupun kesuperlatifan pengaruh peran mereka sebagai tokoh sastra di antara pengaruh-pengaruh tokoh sastra lain. Ketidakjelasan definisi dan kriteria mengenai tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh didukung oleh pernyataan salah seorang anggota Tim 8, bahwa kriteria yang disusun sebenarnya ditujukan bagi pemilihan tokoh-tokoh fenomenal dalam sastra Indonesia.
  3. Konflik kepentingan yang membawa pada potensi kecurangan. Maman S. Mahayana, salah seorang anggota Tim 8, menyatakan bahwa penaja buku ini adalah Denny J.A, dan Tim 8 memasukkan Denny J.A sebagai salah seorang tokoh sastra paling berpengaruh, meskipun ia tak memenuhi kriteria-kriteria yang ditetapkan dalam pemilihan ini.

 

B. Buku ini mencederai integritas dan moral ahli sastra dan sastrawan, serta masyarakat Indonesia.

Mempertimbangkan tiga hal yang dapat menyesatkan publik pada poin A, buku ini menunjukkan bahwa TIM 8 tak memiliki integritas dan tak bertanggung jawab atas pemilihan yang mereka lakukan dan buku yang mereka susun. Pertanggungjawaban terhadap pemilihan 33 tokoh sastra paling berpengaruh yang diberikan pada pengantar buku ini tidak dapat dipandang sebagai tanggung jawab, melainkan justru mengindikasikan kebalikannya, sebagaimana digambarkan pada poin  A No. 2 di atas.

C. Buku ini dapat menjadi preseden buruk

Buku ini dapat membuat publik berpikir bahwa klaim-klaim assersif sah untuk dilakukan, yang pada akhirnya akan memicu munculnya klaim-klaim tak bertanggung jawab sejenis, baik yang disampaikan ke publik dalam bentuk buku maupun terbitan lainnya seperti artikel opini di media massa dan blog.

Walaupun buku ini dinyatakan oleh Tim 8 tak bertendensi menjadi buku ilmiah dan mempengaruhi sejarah, namun pemilihan tokoh sastra paling berpengaruh, argumentasi-argumentasi dan usaha pembuktiannya dalam buku ini, bersifat kesejarahan yang ketika disebarluaskan secara masif ke masyarakat, ke sekolah-sekolah, tentu akan mempengaruhi pengetahuan masyarakat akan sejarah sastra Indonesia, setidaknya menciptakan kebingungan—di sinilah sebenarnya nilai penting pemilihan dan penyusunan buku semacam ini bersifat ilmiah atau berlandaskan pada riset ilmiah. Selain itu apabila pemilihan dan buku ini tak bertendensi ilmiah, hal itu bukan berarti bebas dari keharusan menyusun atau menggunakan metode pemilihan yang valid sebagai bentuk tanggung jawab terhadap kerja dan keputusan yang diambil dalam pemilihan ini serta penyebaran buku ini ke publik.

Kami MENGAJAK SEGENAP LAPISAN MASYARAKAT INDONESIA UNTUK IKUT MENDUKUNG PETISI INI, MENDESAK KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NASIONAL MENGAMBIL TINDAKAN YANG KAMI SARANKAN DI ATAS. Masyarakat dangenerasi masa depan Indonesia tidak seharusnya mendapat informasi yang salah, menjadi korban agenda dan kepentingan, kebodohan dan pembodohan, serta hilangnya integritas.

Petisi ini adalah momentum bagi kita untuk menyadari ketakbertanggungjawaban, immoralitas pada kasus-kasus sejenis yang selama ini telah terjadi namun tak mendapat perhatian yang baik atau tersilap.  Petisi ini diharapkan menjadi titik akhir bagi kesalahan-kesalahan serupa.

 

Yogyakarta, 7 Januari 2014

INISIATOR PENANDATANGAN PETISI

 

(Saut Situmorang)

(Dwicipta)

(Eimond Esya)

(Faruk HT)

(Nuruddin Asyhadie)

(Wahyu Adi Putra Ginting)

 

Lampiran Informasi:

http://nasional.kompas.com/read/2014/01/07/1322261/Kontroversi.Denny.JA.Masuk.33.Tokoh.Sastra.Berpengaruh.Ramai.di.Twitter

http://www.tempo.co/read/kolom/2014/01/09/1032/Rekayasa-Sastra

http://www.portalkbr.com/berita/nasional/3082096_4202.html

http://www.portalkbr.com/berita/nasional/3082096_4202.html

http://www.merdeka.com/peristiwa/sastrawan-yogya-tulis-surat-terbuka-untuk-denny-ja.html

http://www.antaranews.com/berita/412387/33-tokoh-sastra-dinobatkan-paling-berpengaruh-di-indonesia

http://www.kandhani.net/2014/01/6-tokoh-yang-harusnya-punya-pengaruh.html

http://www.portalkbr.com/berita/nasional/3082061_4202.html

http://www.portalkbr.com/berita/perbincangan/3085043_4215.html

http://www.merdeka.com/peristiwa/buku-33-tokoh-sastra-kado-ulang-tahun-ke-51-denny-ja.html

http://www.indopos.co.id/2014/01/dikritik-di-media-sosial-menjadi-tranding-topic.html

https://boemipoetra.wordpress.com/2014/01/06/beberapa-catatan-atas-judul-33-tokoh-sastra-indonesia-paling-berpengaruh/

http://www.merdeka.com/peristiwa/sastrawan-yogya-tulis-surat-terbuka-untuk-denny-ja.html

https://www.facebook.com/kyaigaulabiz/posts/338384436302500?comment_id=1521952&notif_t=like

http://tikusmerah.com/?p=1062

https://boemipoetra.wordpress.com/2012/09/15/tentang-puisi-esei/

http://indriankoto.blogspot.com/2012/06/puisi-esai-jenis-apalagi-nih-oom.html

http://en.wikipedia.org/wiki/An_Essay_on_Criticism

http://bukubichara.com/yang-membingungkan-di-awal-tahun-33-tokoh-sastra-indonesia-paling-berpengaruh/

http://www.firmanvenayaksa.com/2014/01/rekayasa-sastra-koran-tempo-9-januari.html

http://www.voiceofbandung.com/berita-248-ada-penistaan-terhadap-sejarah-sastra-dalam-33-tokoh-sastrawan-itu.html

http://radiobuku.com/2014/01/perang-terbuka-dengan-tim-8-buku-33-tokoh-sastra-indonesia-paling-berpengaruh/

https://www.facebook.com/dwi.cipta.5/posts/10201561563855868?comment_id=5846158&offset=0&total_comments=110

https://www.facebook.com/eimond.esya/posts/10202998702952274?comment_id=7738740&offset=0&total_comments=250

https://www.facebook.com/aslaksana/posts/574524715966842

http://hrcak.srce.hr/file/83912

 

CATATAN:

Kepada siapapun yang menyetujui petisi ini silahkan memberi kata persetujuan di kolom “KOMENTAR” atau “COMMENT.” Dan kepada siapapun kawan2x yang terlibat di berbagai milist, silahkan sebarkan petisi ini agar segera direspon dengan baik. Petisi akan dibawa oleh Saut Situmorang, Eimond Esya, Nuruddin Asyhadie dan kawan2x di TIM pada tanggal 17 Januari 2014.

 

Mukaddimah LEKRA 1950

Adalah suatu kepastian, bahwa dengan gagalnya Revolusi Agustus 1945, Rakyat Indonesia sekali lagi terancam suatu bahaya, yang bukan saja akan memperbudak kembali Rakyat Indonesia di lapangan politik, ekonomi dan militer, tetapi juga di lapangan kebudayaan.

Gagalnya Revolusi Agustus 1945 berarti juga gagalnya perjuangan pekerja kebudayaan untuk menghancurkan kebudayaan kolonial dan menggantinya dengan kebudayaan yang demokratis, dengan kebudayaan Rakyat.

Gagalnya Revolusi Agustus 1945 berarti memberi kesempatan kepada kebudayaan-feodal dan imperialis untuk melanjutkan usahanya, meracuni dan merusak-binasakan budi-pekerti dan jiwa Rakyat Indonesia. Pengalaman menunjukkan, bahwa kebudayaan-feodal dan imperialis telah membikin Rakyat Indonesia bodoh, menanamkan jiwa-pengecut dan penakut, menyebarkan watak lemah dan rasa hina-rendah tiada kemampuan untuk berbuat dan bertindak.

Pendeknya: kebudayaan-feodal dan imperialis membikin rusak binasa batin rakyat Indonesia, membikin Rakyat Indonesia berjiwa dan bersemangat budak.

Masyarakat setengah-jajahan sebagaimana kita alami sekarang ini, masyarakat yang dilahirkan oleh sesuatu politik kompromi dengan imperialisme sudah dengan sendirinya tidak bisa lain dari dengan membuka pintu bagi kelangsungan kebudayaan-kolonial, sebagai persenyawaan antara kebudayaan-feodal dan kebudayaan imperialis.

Masyarakat setengah jajahan memerlukan kebudayaan kolonial sebagai salah satu senjata klas berkuasa untuk menindas klas yang diperintah; kebudayaan kolonial adalah senjata dari klas “elite” yang telah merasakan kenikmatan dan kemewahan yang dihasilkan oleh keringat dan darah Rakyat banyak.

Maka dengan demikian proses perkembangan kebudayaan Rakyat yaitu kebudayaan dari Rakyat banyak yang merupakan lebih dari 90% dari jumlah seluruh nasion (nation) Indonesia, akan tertindas dan tertekan kemajuannya. Tetapi sebaliknya kebudayan anti-Rakyat kebudayaan-feodal dan imperialis akan kembali merajalela lagi.

Kedudukan setengah jajahan dari tanah-air Indonesia berarti pula bahwa Indonesia terseret ke dalam arus peperangan yang sedang disiapkan oleh negeri-negeri imperialis. Peperangan imperialis adalah rintangan yang sebesar-besarnya bagi perkembangan kebudayaan Rakyat.

Maka kami yang bersedia menjadi pekerja Kebudayaan-Rakyat, mempunyai kewajiban mutlak menghalau kebudayaan-kolonial dan mempertahankan Kebudayaan Rakyat.

Untuk ini kami yang bersedia mennjadi pekerja Kebudayaan Rakyat mempersatukan diri dan menyusun kekuatan untuk bertahan serta mengadakan perlawanan terhadap setiap usaha yang hendak mengembalikan kebudayaan-kolonial, kebudayaan kuno, yang reaksioner itu.

Kami pekerja-Kebudayaan-Rakyat akan mempertahankan dan memperkuat benteng Kebudayaan-Rakyat (Kultur Rakyat). Untuk maksud-tujuan ini, maka kami menyusun diri dalam lembaga KEBUDAYAAN RAKYAT berdasarkan konsepsi Kebudayan Rakyat.

Konsepsi Kebudayaan Rakyat

(I)

Kesenian, ilmu dan industri adalah dasar-dasar dari kebudayaan. Apabila kita sungguh-sungguh mau menjadikan kebudayaan kita indah, gembira dan bahagia, maka kita harus menguasai dan mencurahkan perhatian kita terhadap kesenian, ilmu dan industri.

Kesenian, ilmu dan industri baru bisa menjadikan kehidupan Rakyat indah, gembira dan bahagia apabila semuanya ini sudah menjadi kepunyaan Rakyat. Kenyataan sekarang menunjukkan, bahwa ini belum menjadi kepunyaan Rakyat, tetapi masih menjadi kepunyaan lapisan atas, klas “elite” yang jumlahnya sangat sedikit dari pada jumlah nation.

Maka adalah tugas daripada Rakyat Indonesia untuk membuka segala kemungkinan supaya bisa mengecap kesenian, ilmu dan industri. Maka adalah kewakiban Rakyat Indonesia untuk memperjuangkan agara kesenian, ilmu dan Industri tidak dimonopoli oleh segolongan kecil lapisan atas dan dipergunkan untuk kepentingan dan kenikmatan golongan kecil itu. Rakyat Indonesia harus berjuang untuk menguasai dan memilik kesenian, ilmu dan industri.

(II)

Tujuan Rakyat Indonesia adalah mendirikan Republik Demokrasi Rakyat, di mana terdapat kebebasan bagi perkembangan ekonomi Rakyat, di mana terdapat kebebasan bagi perkembangan ilmu dan kesenian Rakyat. Pendeknya di mana terdapat perkembangan Kebudayaan Rakyat yang bersifat nasional dan berdasarkan ilmu, di mana terdapat kebebasan perkembangan pribadi (individuality) berjuta-juta Rakyat. Dengan singkat: tujuan Rakyat Indonesia ialah Revolusi Demokrasi Rakyat. Rakyat adalah satu-satunya sumber kekuasaan dalam Republik Rakyat. Sonder melalui Revolusi ini, maka untuk menguasai kesenian, ilmu dan industri, adalah impian belaka. Selanjutnya seluruh Rakyat Indonesia harus menentang tiap-tiap usaha perang yang disiapkan oleh negara-negara imperialis.

(III)

Perjuangan Kebudayaan Rakyat adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjuangan Rakyat umum. Ia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan terutama dari perjuangan klas Buruh dan Tani, yaitu klas yang menjadi pemimpin dan tenaga terpenting dan pokok dalam perjuangan Rakyat.

Fungsi daripada Kebudayaan Rakyat (kultur Rakyat) sekarang ialah: menjadi senjata perjuangan untuk menghancurkan imperialisme dan feodalisme. Ia harus menjadi stimulator (Pendorong) dari Massa, menjadi sumber yang senantiasa mengalirkan begeestering (kesegaran jiwa) dan api revolusi yang tak kunjung padam. Ia harus menyanyikan, memuja, mencatat perjuangan kerakyatan, dan menghantam, membongkar, menggulingkan dan mengalahkan imperialisme dan feodalisme. Kebudayaan Rakyat berkewajiban mengajar dan mendidik Rakyat untuk menjadi pahlawan dalam perjuangannya.

(IV)

Kolonialisme di masa lampau dan setengah-kolonialisme dewasa ini menimbulkan faktor-faktor di kalangan pergerakan Rakyat umumnya dan pergerakan Buruh dan Tani khususnya, yang merugikan perkembangan Kebudayaan Rakyat. Faktor-faktor tersebut antara lain:

  1. Tiadanya kesedaran, bahwa perjuangan Rakyat terutama Perjuangan Buruh dan Tani tak mungkin dipisahkan dengan kebudayaan.
  2. Sentimen (perasaan) yang picik yang berwujud dalam prasangka (prejudice) antipatik (tidak suka, benci) terhadap segala sesuatu yang berbau dan atau yang ada dengan kebudayaan, sebagai akibat pandangan yang menyamaratakan Kultur Rakyat dengan Kultur degenerasi-burjuis.
  3. Tidak adanya dorongan dari Gerakan Rakyat, terutama gerakan Buruh dan Tani sendiri, kepada barisan kadernya untuk juga memperhatikan masalah Kultur (Kebudayaan).
  4. Ketidak mampuan (impotensi) dari kawan-kawan seniman Rakyat sebagai pekerja Kebudayaan Rakyat, untuk menarik garis Kultur Rakyat dengan Kultur-degenerasi-borjuis, meskipun pergerakan Rakyat sendiri memberikan bahan-bahan yang melimpah-limpah.
  5. Impotensi dari gerakan Rakyat, terutama dari gerakan Buruh dan Tani dalam menarik golongan intelgensia dan pemuda-pelajar yang berpikiran maju ke dalam barisannya.

(V)

Sikap kebudayaan Rakyat terhadap kebudayaan asing atau luar Negeri sama sekali tidak bersikap bermusuhan. Kebudayaan Asing yang progressif akan diambil sarinya sebanyak-banyaknya untuk kemajuan perkembangan gerakan kebudayaan rakyat Indonesia. Tetapi dalam hal mengambil sari ini, kita tidak akan menjiplak secara membudak.

Kebudayaan asing akan diambil sarinya dengan cara kritis atas dasar kepentingan praktis dari Rakyat Indonesia. Demikian pula kebudayaan Indonesia kuno tidak akan dibuang seluruhnya, tetapi juga tidak akan ditelan mentah-mentah. Kebudayaan kuno akan diterima dengan kritis untuk meninggikan tingkat kebudayaan Indonesia baru yaitu Kebudayaan demokrasi Rakyat.

(VI)

Untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan Rakyat, untuk membangun barisan kebudayaan, supaya menjadi kekuatan dalam rtevolusi demokrasi Rakyat, didirikan “LEMBAGA KEBUDAYAAN RAKYAT”, yang menuju kultur Rakyat atau Kultur Demokrasi Rakyat. Di samping bekerja untuk gerakan massa sehari-hari, bagaimanapun harus diusahakan oleh barisan kader Massa untuk memperhatikan, menyelidiki masalah Kultuur, serta menguasainya selaku pekerja Kebudayaan Rakyat, untuk dijadikan senjata perjuangan anti-imperialisme.

Hal demikian kita harus lakukan, justru karena imperialisme berhasil mengadakan infiltrase di kalangan klas borjuis Nasional yang tidak setia pada Revolusi Agustus 1945.

Kami mengajak kepada barisan kader gerakan Rakyat, terutama kader Buruh dan Tani, kami mengajak kepada kaum Intelegensia dan Pemuda Pelajar yang Progresif dan Patriotis, untuk mendisiplin dirinya menaruh perhatian terhadap masalah Kultur Rakyat. Kami berseru supaya untuk maksud ini menggunakan sebaik-baiknya organisasi LEMBAGA KEBUDAYAAN RAKYAT.

 

Mukaddimah LEKRA 1959

Menyadari bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan, dan bahwa pembangunan kebudayaan Indonesia-baru hanya dapat dilakukan oleh rakyat, maka pada hari 17 Agustus 1950 didirikanlah Lembaga Kebudayaan Rakyat, disingkat Lekra. Pendirian ini terjadi di tengah-tengah proses perkembangan kebudayaan, yang, sebagai hasil keseluruhan dayaupaya manusia secara sedar memenuhi, setinggi-tigginya kebutuhan hidup lahir dan batin, senantiasa maju dan tiada putus-putusnya.

Revolusi Agustus 1945 membuktikan, bahwa pahlawan di dalam peristiwa bersejarah ini, seperti halnya di dalam seluruh sejarah bangsa kita, tiada lain adalah rakyat. Rakyat Indonesia dewasa ini adalah semua golongan di dalam masyarakat yang menentang penjajahan. Revoluis Agustus adalah usaha pembebasan diri rakyat Indonesia dari penjajahan dan peperangan penjajahan serta penindasan feodal. Hanya jika panggilan sejarah Revolusi Agustus terlaksana, jika tercipta kemerdekaan dan perdamaian serta demokrasi, kebudayaan rakyat bisa berkembang bebas. Keyakinan tentang kebenaran ini menyebabkan Lekra bekerja membantu pergulatan untuk kemerdekaan tanah air dan untuk perdamaian di antara bangsa-bangsa, di mana terdapat kebebasan bagi perkembangan kepribadian berjuta rakyat.

Lekra bekerja khusus di lapangan kebudayaan, dan untuk masa ini terutama di lapangan kesenian dan ilmu. Lekra menghimpun tenaga dan kegiatan seniman-seniman, sarjana-sarjana dan pekerja kebudayaan lainnya. Lekra membantah pendapat bahwa kesenian dan ilmu bisa terlepas dari masyarakat. Lekra mengjak pekerja-pekerja kebudayaan untuk dengan sedar mengabdikan dayacipta, bakat serta keahlian merreka guna kemajuan Indonesia, kemerdekaan Indonesia, pembaruan Indonesia.

Zaman kita dilahirkan oleh sejarah yang besar, dan sejarah bangsa kita telah melahirkan puter-putera yang baik, di lapangan kesusasteraan, senibentuk, musik maupun di lapangan-lapangan kesenian dan ilmu. Kita wajib banggga bahwa bahwa bangsa kita terdiri dari suku-suku yang masing-masingnya mempunyai kebudayaan yang bernilai. Keragaman bangsa kita ini menyediakan kemungkinan yang tiada terbatas untuk penciptaan yang sekaya-kayanya serta seindah-indahnya.

Lekra tidak hanya menyambut sesuatu yang baru; Lekra memberikan bantuan yang aktif untuk memenangkan setiap yang baru dan maju. Lekra membantu aktif perombakan sisa-sisa “kebudayan” penjajahan yang mewariskan kebodohan, rasa rendah serta watak lemah pada sebagian bangsa kita. Lekra menerrima dengan kritis peninggalan-peninggalan nenek moyang kita, mempelajri dengan seksama segala segi peninggalan-peninggalan itu, seperti halnya mempelajari dengan seksama pula hasil-hasil penciptaan klasik maupun baru dari bangsa lain yang mana pun, dan dengan ini berusaha meneruskan secara kreatif tradisi yang agung dari sejarah bangsa kita, menuju penciptaan kebudayaan baru yang nasional dan ilmiah. Lekra menganjurkan pada anggota-anggotanya, tetapi juga pada seniman-seniaman, sarjana-sarjana dan pekerja-pekerja kebudayaan lainnya di luar Lekra, untuk secara dalam mempelajari kenyataan, mempelajari kebenaran yang hakiki dari kehidupan, dan untuk bersikap setia kepada kenyataan dan kebenaran.

Lekra menganjurkan untuk mempelajari dan memahami pertentangan-pertentangan yang berlaku di dalam masyarakat maupun di dalam hati manusia, mempelajari dan memahami gerak perkembangannya serta hari depannya. Lekra menganjurkan pemahaman yang tepat atas kenyataan-kenyataan di dalam perkembangannya yang maju, dan menganjurkan hak ini, baik untuk cara kerrja di lapangan ilmu, maupun untuk penciptaan di lapangan kesenian. Di lapangan kesenian Lekra mendorong inisiatif yang kreatif, mendorong keberanian kreatif, dan Lekra menyetujui setiap bentuk, gaya, dsb., selama ia setia pada kebenaran dan selama ia mengusahakan keindahan artistik yang setinggi-tingginya.

Singkatnya, dengan menolak sifat anti-kemanusiaan dan anti-sosial dari kebudayaan bukan-rakyat, dan menolak perkosaan terhadap kebenaran dan terhadap nilai-nilai keindahan, Lekra bekerja untuk membantu manusia yang memiliki segala kemampuan untuk memajukan dirinya dalam perkembangan kepribadian yang bersegi banyak dan harmonis.

Di dalam kegiatannya Lekra menggunakan cara saling-bantu, saling-kritik dan diskusi-diskusi persaudaran di dalam masalah-masalah penciptaan. Lekra berpendapat, bahwa secara tegara berpihal pada rakyat dan mengabdi kepada rakyat, adalah satu-satunya jalan bagi seniman-seniman, sarjana-sarjana maupun pekerja-pekerja kebudayaan lainnya untuk mencapai hasil tahan uji dan tahan waktu. Lekra mengulurkan tangan kepada organisasi-organisasi kebudayaan yang lain dari aliran atau keyakinan apa pun, untuk bekerja sama dalam pengabdian ini.

Pembacaan "Deklarasi Hari Sastra Indonesia" di Solo oleh Wowok Hesti Prabowo, salah seorang redaktur boemipoetra

Pembacaan “Deklarasi Hari Sastra Indonesia” di Solo oleh Wowok Hesti Prabowo, salah seorang redaktur boemipoetra

1. Menolak hari sastra Indonesia yang berdasarkan tanggal lahir Abdul Moeis, yang digagas Taufiq Ismail dkk, karena pengarang Abdul Moeis adalah anak dari Balai Pustaka yakni institusi penerbitan pemerintah kolonial Belanda.

2. Untuk itu, kami dari Jurnal Sastra boemipoetra beserta simpatisannya mendeklarasikan Hari Sastra Indonesia jatuh pada tanggal 6 Februari. Pemilihan tanggal ini berdasarkan tanggal lahir sastrawan terbesar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, yaitu pada tanggal 6 Februari 1925.

Pramoedya Ananta Toer adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang karya-karyanya mengandung semangat kebangsaan Indonesia, anti kolonialisme, anti feodalisme dan bersifat kerakyatan. Selain itu, Pramoedya Ananta Toer juga satu-satunya sastrawan Indonesia yang berkali-kali dinominasikan sebagai pemenang Hadiah Nobel Sastra.

3. Kami mendeklarasikan Hari Sastra Indonesia ini sebagai penolakan atas gagasan Taufiq Ismail dkk yang tidak historis, tidak menggambarkan realitas sastra Indonesia yang sebenarnya dan ngawur!

4. Kami menghimbau kepada seluruh sastrawan Indonesia untuk juga menolak gagasan hari sastra Indonesia versi Taufiq Ismail dkk di atas.

22 Maret 2013
Taman Budaya Surakarta, Solo

Jurnal Sastra boemipoetra dan simpatisan

During times of universal deceit, telling the truth becomes a revolutionary act. -George Orwell

Menanggapi beredarnya Long-list Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2008 yang memasukkan buku saya otobiografi ([sic] Yogyakarta, November 2007) sebagai salah satu 10 besar kategori Puisi, dengan ini saya nyatakan menolak pengikutsertaan buku saya tersebut. Adapun alasan saya adalah sebagai berikut :

1. Sejak awal saya menganggap keberadaan KLA tidak layak dan tidak representatif bagi kesusasteraan Indonesia karena dasar dan sistem penilaian karya tidak pernah jelas, inkonsisten, improvisasi,  dan tidak profesional.

Beberapa cacat fatal dapat disebutkan:

a. Panitia maupun juri melanggar aturan yang mereka buat sendiri. Contoh: Menangnya buku puisi Goenawan Mohamad, Sajak-sajak Lengkap, pada KLA perdana, merupakan pelanggaran terang-terangan atas aturan yang sudah diumumkan panitia sebelumnya bahwa karya kompilasi (yang sudah pernah diterbitkan terdahulu) tidak bisa diikutkan dalam penilaian, dan buku yang diterbitkan oleh Metafor Publishing (milik bos KLA, Richard Oh) juga tidak akan diikutkan dalam penilaian. Kenyataannya, Sajak-sajak Lengkap Goenawan Mohamad yang merupakan gabungan puisi lama dan baru dan diterbitkan Metafor Publishing pula, terpilih sebagai pemenang!

Hal ini terulang pada KLA 2005 dimana buku puisi Iman Budhi Santoso, Matahari-matahari Kecil, yang berisi 100 puisi pilihan yang merupakan trademark karya kompilasi penerbit Grasindo, masuk dalam 5 besar penilaian!

Dan hal ini terjadi lagi pada buku puisi saya, otobiografi ([sic] Yogyakarta, November 2007). Buku ini jelas-jelas berisi puisi lengkap saya yang sebagian pernah terbit dalam saut kecil bicara dengan tuhan (Bentang Budaya, 2003) dan catatan subversif (BukuBaik, 2004)!

b. Panitia dan juri tidak profesional, bekerja asal-asalan dan ngawur. Contoh: Dalam KLA 2005, buku puisi penyair cilik, Abdurahman Faiz (saya lupa judulnya) semula muncul dalam daftar 10 besar, tapi setelah adanya sejumlah protes dan kritik, tiba-tiba nama Abdurahman Faiz dihapus begitu saja, dan segera diganti nama dan buku lain. Terlepas dari protes atau kritik yang ada, layakkah sebuah karya yang sudah dinilai juri kemudian diumumkan kepada publik, lantas ditarik begitu saja tanpa pertanggungjawaban juri dan penjelasan panitia secara publik?!

c. Kriteria buku yang dinilai tidak jelas: apakah buku yang ditulis secara perorangan atau antologi-bersama? KLA 2008 ini, misalnya, memasukkan sebuah antologi-puisi-bersama di posisi 10 besar!

d. Konsep KLA rancu dan amburadul: apakah berupa anugrah (award) atau lomba? Jika penghargaan, mengapa panitia dan juri tidak proaktif mencari buku untuk dinilai, tapi malah secara pasif menunggu penerbit/penulis mengirimkan bukunya kepada panitia, lengkap dengan batas waktu sebagaimana lazimnya syarat sebuah lomba? Padahal, sejauhmana pengumuman KLA dapat diakses para penulis/penerbit yang bertebaran di seluruh Indonesia? Alhasil, hanya mereka yang mengirim yang akan dinilai, yang tidak mengirim akan luput.

Nah, anehnya, buku otobiografi TIDAK pernah dikirimkan oleh Penerbit maupun oleh saya sebagai penulisnya kepada Panitia KLA (sebagaimana yang mereka syaratkan) tapi kok bisa muncul di 10 besar?!

e. Kerja penjurian hanyalah upaya untuk membuat legitimasi bahwa Panitia KLA sudah melakukan mekanisme penilaian yang benar, padahal dasar penilaian dan proses penjurian lebih tepat disebut sebagai sebuah skandal! Contoh: Tidak ada pertemuan antar-juri, bahkan di antara mereka tidak saling tahu, serta tidak ada pertanggungjawaban apapun dari juri bagi karya yang terpilih/pemenang!

Contoh lain, seorang calon juri di Yogyakarta mengundurkan diri karena sistem penilaian yang diterapkan Panitia KLA sangat tidak masuk akal. Ia  dihubungi sekitar tanggal 25 Agustus 2008 oleh Panitia KLA di Jakarta, yang memintanya menjadi Juri Tahap I dengan honorarium 1 juta rupiah. Anehnya, daftar buku yang akan dinilai sudah ditentukan oleh panitia (mungkin berdasarkan buku yang dikirim penulis/penerbit?), padahal posisi yang ditawarkan adalah Juri Tahap I yang dalam konteks penilaian lebih tinggi posisinya ketimbang panitia. Lha, kok panitia yang menentukan lebih dulu? Gawatnya, hasil penilaian harus sudah sampai dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Logikanya, seorang juri tentu mesti baca buku yang dinilainya. Namun dengan waktu yang mepet dan honor 1 juta rupiah, mungkinkah seorang juri dapat membaca atau membeli buku-buku yang hendak dinilainya? Jikapun diasumsikan ada juri yang menyempal, misal mengusulkan buku yang tidak ada dalam daftar, bukankah suara usulannya itu akan bersifat ”minoritas” belaka, sebab juri lain bisa saja tak mengetahui buku tersebut? Apalagi penilaian berupa tabulasi, penjumlahan angka dari dewan juri, sebagaimana sistem ”Idol” di televisi. Pada akhirnya, itu semua hanyalah semacam fait accompli sebab skenario sebenarnya sudah disiapkan dan juri hanyalah alat legitimasi!

Tak sampai sebulan sejak tanggal 25 Agustus 2008 kita semua tahu Long-list KLA 2008 dikeluarkan, berarti para juri telah sanggup merampungkan tugas membaca dan menilai buku-buku sastra di Indonesia yang terbit kurun waktu satu tahun! Hebat!

2. Di tengah dekadensi kondisi Sastra Kontemporer Indonesia lantaran merajalelanya para petualang/dilettante sastra dengan politik uangnya, perkoncoan, manipulasi isu-isu kesusasteraan Indonesia atau isu bangsa secara umum di luar negeri atau kepada sponsor baik asing maupun domestik, yang kemudian dilegitimasi dengan ”niat suci demi Sastra” padahal tidak sama sekali – sebagaimana dengan jelas diperlihatkan pada cara kerja Panitia KLA seperti yang saya elaborasikan di atas – atas bobroknya sistem, moral dan pertanggungjawaban Panitia KLA, sponsor dan juri-jurinya itu, maka dengan ini saya MELARANG KERAS KARYA SAYA otobiografi ([sic] Yogyakarta, November 2007) DIIKUTSERTAKAN DALAM KHATULISTIWA LITERARY AWARD!

3. Kepada kawan-kawan sastrawan Indonesia, marilah kita pikirkan bersama kondisi Sastra kita yang sudah rusak oleh hadiah-hadiah sastra yang tidak jelas maksud-tujuannya seperti KLA dan oleh peristiwa-peristiwa sastra semacam Teater Utan Kayu International Literary Biennale dan Ubud Writers and Readers Festival. Apakah absennya sebuah tradisi Kritik Sastra yang baik dan benar lantas harus membuat Sastrawan Indonesia menjadi tidak kritis! Jangan cuma karena uang dan ambisi untuk ”go international” kita jadi lupa daratan!

Yogyakarta, 20 September 2008

Tertanda,

SAUT SITUMORANG

Ikut mendukung:

Penerbit [sic] Yogyakarta

Serang, Banten,  20-22 Juli 2007

Kondisi Sastra Indonesia saat ini memperlihatkan gejala berlangsungnya dominasi sebuah komunitas dan azas yang dianutnya terhadap komunitas-komunitas sastra lainnya. Dominasi itu bahkan tampil dalam bentuknya yang paling arogan, yaitu merasa berhak merumuskan dan memetakan perkembangan sastra menurut standar estetika dan ideologi yang dianutnya. Kondisi ini jelas meresahkan komunitas-komunitas sastra yang ada di Indonesia karena kontraproduktif dan destruktif bagi perkembangan sastra Indonesia yang sehat, setara, dan bermartabat.

Dalam menyikapi kondisi ini, kami sastrawan dan penggiat komunitas-komunitas sastra memaklumatkan Pernyataan Sikap sebagai berikut:

  1. Menolak arogansi dan dominasi sebuah komunitas atas komunitas lainnya.
  2. Menolak eksploitasi seksual sebagai standar estetika.
  3. Menolak bantuan asing yang memperalat keindonesiaan kebudayaan kita.

Bagi kami sastra adalah ekspresi seni yang merefleksikan keindonesiaan kebudayaan kita dimana moralitas merupakan salah satu pilar utamanya. Terkait dengan itu sudah tentu sastrawan memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat (pembaca). Oleh karena itu kami menentang sikap ketidakpedulian pemerintah terhadap musibah-musibah yang disebabkan baik oleh perusahaan, individu, maupun kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat, misalnya tragedi lumpur gas Lapindo di Sidoarjo. Kami juga mengecam keras sastrawan yang nyata-nyata tidak mempedulikan musibah-musibah tersebut, bahkan berafiliasi dengan pengusaha yang mengakibatkan musibah tersebut.

Demikianlah Pernyataan Sikap ini kami buat sebagai pendirian kami terhadap kondisi sastra Indonesia saat ini, sekaligus solidaritas terhadap korban-korban musibah kejahatan kapitalisme di seluruh Indonesia.

Kami yang menyuarakan dan mendukung pernyataan ini:

01.  Wowok Hesti Prabowo (Tangerang)

02.  Saut Situmorang (Yogyakarta)

03.  Kusprihyanto Namma (Ngawi)

04.  Wan Anwar (Serang)

05.  Hasan Bisri BFC (Bekasi)

06.  Ahmadun Y. Herfanda (Jakarta)

07.  Helvy Tiana Rosa (Jakarta)

08.  Viddy AD Daeri (Lamongan)

09.  Yanusa Nugroho (Ciputat)

10.  Raudal Tanjung Banua (Yogyakarta)

11.  Gola Gong (Serang)

12.  Maman S. Mahayana (Jakarta)

13.  Diah Hadaning (Bogor)

14.  Jumari Hs (Kudus)

15.  Chavcay Saefullah (Lebak)

16.  Toto St. Radik (Serang)

17.  Ruby Ach. Baedhawy (Serang)

18.  Firman Venayaksa (Serang)

19.  Slamet Raharjo Rais (Jakarta)

20.  Arie MP.Tamba (Jakarta)

21.  Ahmad Nurullah (Jakarta)

22.  Bonnie Triyana (Jakarta) MENCABUT TANDA TANGANNYA

23.  Dwi Fitria (Jakarta)

24.  Doddi Ahmad Fauzi (Jakarta)

25.  Mat Don (Bandung)

26.  Ahmad Sumpena (Pandeglang)

27.  Mahdi Duri (Tangerang)

28.  Bonari Nabonenar (Malang)

29.  Asma Nadia (Depok)

30.  Nur Wahida Idris (Yogyakarta)

31.  Y. Thendra BP (Yogyakarta)

32.  Damhuri Muhammad (Jakarta)

33.  Katrin Bandel (Yogyakarta)

34.  Din Sadja (Banda Aceh)

35.  Fahmi Faqih (Surabaya)

36.  Idris Pasaribu (Medan)

37.  Indrian Koto (Yogyakarta)

38.  Muda Wijaya (Bali)

39.  Pranita Dewi (Bali)

40.  Sindu Putra (Lombok)

41.  Suharyoto Sastrosuwignyo (Riau)

42.  Asep Sambodja (Depok)

43.  M. Arman AZ (Lampung)

44.  Bilven Ultimus (Bandung)

45.  Sarabunis Mubarok (Tasikmalaya)

46.  Ayuni Hasna (Bandung)

47.  Sri Alhidayati (Bandung)

48.  Suci Zwastydikaningtyas (Bandung)

49.  Riksariote M. Padl (Bandung)

50.  Solmah (Bekasi)

51.  Hasta Indriyana (Yogyakarta)

52.  Manaek Sinaga (Jakarta)

53.  Endah Hamasah (Thullabi)

54.  Martin Aleida (Jakarta)

55.  Manik Susanti

56.  Nurfahmi Taufik el-Sha’b

57.  Benny Rhamdani (Mizan)

58.  Selvy (Bandung)

59.  Azura Dayana (Palembang)

60.  Dani Ardiansyah (Bogor)

61.  Uryati Zulkifli (DKI)

62.  Ervan (FLP DKI)

63.  Andi Tenri Dala (DKI)

64.  Azimah Rahayu

65.  Habiburrahman el-Shirazy

66.  Elili al-Maliky

67.  Wahyu Heriyadi

68.  Lusiana Monohevita

69.  Asma Sembiring (Bogor)

70.  Yeli Sarvina (Bogor)

71.  Dwi Ferriyati (Bekasi)

72.  Hayyu Alynda (Bekasi)

73.  Herti Windya (Bekasi)

74.  Nadiah Abidin (Bekasi)

75.  Ima Akip (Bekasi)

76.  Lina M (Ciputat)

77.  Murni (Ciputat)

78.  Giyanto Subagio (Jakarta)

79.  Santo (Cilegon)

80.  Meiliana (DKI)

81.  Ambhita Dhyaningrum (Solo)

82.  Lia Oktavia (DKI)

83.  Endah (Bandung)

84.  Ahmad Lamuna (DKI)

85.  Billy Antoro (DKI)

86.  Wildan Nugraha (DKI)

87.  M. Rhadyal Wilson (Bukit Tinggi)

88.  Asril Novian Alifi (Surabaya)

89.  Jairi Irawan (Surabaya)

90.  Putu Oka Sukanta (Jakarta)

91.  Langlang Randhawa (Rumah Dunia)

92.  Muhzen Den (Rumah Dunia)

93.  Renhard Renn (Rumah Dunia)

94.  Fikar W. Eda (Aceh)

95.  Acep Iwan Saidi (Bandung) MENCABUT TANDA TANGANNYA

96.  Usman Didi Hamdani (Brebes)

97.  Diah S. (Tegal)

98.  Cunong Suraja (Bogor)

99.  Muhamad Husen (Jambi)

100. Leonowen (Jakarta)

MANIFESTO boemipoetra

Posted: 21/11/2010 in Manifesto

Beberapa tahun terakhir ini rakyat Indonesia banyak mengalami musibah besar yang merubah kehidupan mereka seperti terjadinya tsunami dan gempa bumi. Tapi tsunami dan gempa bumi adalah musibah yang memang tidak bisa dicegah terjadinya oleh kekuatan manusia karena merupakan bencana buatan alam. Bencana alam hanya bisa diterima dan menjadi tanggung jawab bersama korban dan bukan-korban untuk menanggulangi akibatnya.

Ini berbeda dengan bencana lain yang disebabkan oleh kelalaian manusia. Kelalaian manusia karena keserakahan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya dan tidak adanya tanggung jawab atas akibat yang mungkin diakibatkan sebuah perbuatan merupakan penyebab utama terjadinya bencana seperti yang terjadi di Porong Sidoarjo, Jawa Timur. Sudah lebih satu tahun ribuan rakyat Porong Sidoarjo telah menjadi korban lumpur beracun yang disebabkan oleh perusahaan Lapindo. Puluhan kampung musnah selamanya dan ratusan hektar tanah berubah menjadi danau lumpur beracun yang tidak mungkin untuk dimanfaatkan lagi oleh manusia. Semua ini terjadi karena kelalaian perusahaan Lapindo yang pemiliknya adalah Keluarga Bakrie.

Dalam konteks inilah penganugerahan Bakrie Award setiap tahun kepada tokoh-tokoh yang dianggap berprestasi besar dalam kebudayaan Indonesia adalah sebuah penghargaan yang sangat melecehkan kemanusian. Karena sementara ribuan rakyat Porong Sidoarjo korban lumpur Lapindo makin sengsara kehidupan sehari-harinya, Bakrie malah menghambur-hamburkan uang hanya untuk mencari nama semata. Disamping Kasus Lapindo, Bakrie dengan lembaga Freedom Institute-nya juga telah menyengsarakan rakyat Indonesia dengan cara memasang iklan raksasa di media massa nasional yang mendukung kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) beberapa waktu lalu.

Kami mengecam keras politik pemberian penghargaan Bakrie Award karena bagi kami hanya sebuah usaha manipulatif untuk mempengaruhi pendapat-publik atas reputasi Bakrie dan Freedom Institute sehubungan dengan Kasus Lapindo dan iklan mendukung kenaikan harga BBM di media massa. Kami mengecam keras para “budayawan” penerima Bakrie Award yang tidak memiliki solidaritas nasional dengan ribuan korban lumpur Lapindo dan jutaan rakyat korban kenaikan harga BBM. Kami menuntut Keluarga Bakrie dan perusahaan Lapindo-nya untuk segera melaksanakan tanggung jawabnya memberikan semua ganti rugi seperti yang diminta para korban lumpur Lapindo secepatnya. Kami menuntut para penerima Bakrie Award untuk memberikan hadiah uang sebesar Rp 100 juta yang mereka terima sebagai bagian dari penghargaan Bakrie Award kepada para korban lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo secepatnya. Karena merekalah yang paling berhak untuk menerima uang tersebut sebagai kompensasi atas musibah besar yang ditimpakan atas kehidupan normal mereka. Sebagai solidaritas nasional kami meminta kepada para budayawan Indonesia untuk menolak dipilih sebagai penerima Bakrie Award di tahun-tahun yang akan datang kalau Kasus Lapindo belum diselesaikan Keluarga Bakrie sebagaimana mestinya.

Tangerang, 17 Agustus 2007