Posts Tagged ‘Ariel Heryanto’

Oleh: Saut Situmorang

Makin kasihan awak liat orang ini dan makin gak ngerti kok bisa dia jadi Profesor di sebuah universitas Australia ternama!

Membandingkan karya Fiksi dengan Sejarah kembali dilakukan dengan gak ada persoalan sama sekali, seolah isi fiksi tersebut adalah memang sejarah, bukan karang-karangan kayak yang dimaksudkan istilah “fiksi” itu sendiri.

Nyai Ontosoroh adalah tokoh fiksi maka kisah hidupnya terkesan kayak sebuah realisme magis: seorang perempuan biasa yang berubah jadi seorang perempuan luar biasa cumak kerna jadi gundik seorang Belanda! Tak ada ironi sama sekali pada Ariel Heryanto yang konon pembela kaum tertindas itu terutama kaum minoritas tertindas. Betapa dahsyatnya bahwa seorang perempuan biasa Jawa yang dijajah Belanda bisa bermetamorfosa jadi seorang Nyai Ontosoroh kerna perkawinannya dengan orang Belanda yang membelinya dari bapaknya sendiri. Penjajahan Belanda dan Laki-laki Belanda telah membuat seorang perempuan lokal terjajah jadi seseorang yang perempuan Belanda pada waktu itupun gak ada yang bisa menandinginya! Habis gelap terbitlah terang!!!

Ketidakkritisan Ariel Heryanto dalam menganalisis sosok Nyai Ontosoroh (padahal kolom tempat tulisannya itu dimuat bernama “Analisis Budaya”!) akhirnya cumak membuat dia mengulang-ulang, mereproduksi klise tentang Nyai Ontosoroh padahal katanya novel Bumi Manusia itu adalah kritik pascakolonial! Adakah digambarkan bagaimana Nyai Ontosoroh bisa jadi Nyai Ontosoroh? Bukankah dia sudah jadi Nyai Ontosoroh waktu kita membaca novel tersebut? Kita harus menerima begitu saja dongeng narator novel bahwa Nyai Ontosoroh itu adalah perempuan biasa yang dulu bernama Sanikem yang dijual bapaknya sendiri ke seorang laki-laki Belanda yang kemudian mengawininya lalu berubah kerna dididik oleh suami Belandanya itu! Di mana kritik pascakolonialnya itu?

Yang membuat aku kasihan pada Ariel Heryanto adalah klise kolonial Belanda yang masih direpoduksinya di tulisannya tersebut. Yaitu klise tentang apa yang Belanda sebut sebagai masa “Bersiap” di Indonesia. Istilah “bersiap” adalah istilah Belanda, bikinan Belanda dan punya arti yang cumak menguntungkan kepentingan kolonial Belanda. Istilah “bersiap” adalah cara bagaimana Belanda membaca dan menafsir sejarah kolonialismenya di Indonesia! Yaitu sebuah usaha Revisi Sejarah Kolonialismenya tersebut! Kok bisa seorang Ariel Heryanto yang konon Orang Indonesia itu masih terus menerus mereproduksi diskursus kolonial (colonial discourse) Belanda tentang apa yang terjadi di Indonesia di tahun 1940an setelah Indonesia dengan resmi mengumumkan kemerdekaannya ke dunia itu?! Dengan nada mengejek, Ariel Heryanto bahkan bilang: Kemerdekaan RI buru-buru diproklamasikan di depan mikrofon!

Dia bahkan bilang: Jepang kalah Perang Dunia II tahun 1945. Belanda sebagai penguasa terdahulu belum siap kembali menggantikan Jepang! Ariel Heryanto ternyata mengharapkan kembalinya Belanda penguasa terdahulu itu walau Kemerdekaan Indonesia sudah diproklamasikan “di depan mikrofon”!

Makanya dia bersorak: Belanda mulai berubah! Perdana Menteri dan Raja Belanda sudah minta maaf!
Tapi minta maaf atas apa, Ariel?! Kok gak kau sebutkan bahwa mereka minta maaf cumak untuk “kekerasan extrim” (extreme violence) yang dilakukan tentara Belanda waktu mereka berusaha menjajah kembali Indonesia, sebagai penguasa terdahulu, di tahun 1940an itu. Bagaimana dengan kekerasan yang tidak extrim? Bagaimana pulak dengan kolonialisme Belanda selama ratusan tahun itu sendiri plus kekerasan yang dilakukannya mulai dari Banda, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, sampai Bali?

Tapi tentu saja bagi Ariel Heryanto kolonialisme Belanda dan kekerasan kolonialnya ini tidak relevan. Karena tidak dilakukan oleh kaum Pri atas kaum Non-Pri. Lagi pulak kolonialisme yang terus menerus dinista bangsa Indonesia itu kan melahirkan jugak RA Kartini dan… Nyai Ontosoroh!

Saya akan menjawab tulisan Ariel Heryanto yang muncul di The Conversation, 28 Januari 2022 di bawah. Jawaban-jawaban saya akan langsung saya tuliskan di bawah paragraf-paragraf tulisannya tersebut.

=========

Kapan Siap Menghadapi “Bersiap”?: Mendalami Polemik Periode Kekerasan Pasca-Proklamasi Indonesia

Oleh: Ariel Heryanto

Gara-gara seorang sarjana Indonesia dilaporkan polisi di Belanda, publik Indonesia menengok kembali kekerasan pasca Proklamasi 1945 yang jarang dibahas.

Saut Situmorang (SS):

Publik Indonesia mana yang dimaksud?! Sepengetahuan saya, cumak segelintir kecil Orang Indonesia yang mau repot-repot membicarakannya yaitu beberapa sejarawan Indonesia dan Orang Indonesia Diaspora yang pro Belanda kayak si Ariel Heryanto sendiri. Publik Indonesia di Indonesia secara umum tidak ada yang membicarakannya, peduli pun tidak!

=========  

Kontroversi “Bersiap” dipicu oleh sebuah tulisan di Belanda dengan judul provokatif Hapus Istilah Bersiap, karena Rasis. Penulisnya Bonnie Triyana, satu dari empat kurator sebuah pameran tentang Revolusi Indonesia di Rijkmuseum, Amsterdam, Belanda. Di alinea kedua tertulis tim kurator pameran telah memutuskan tidak akan menggunakan istilah “Bersiap”.

SS:

Kontroversi itu HANYA terjadi di Belanda! Persoalannya adalah (tapi tidak dijelaskan oleh Ariel Heryanto!) bahwa istilah “Bersiap” itu merupakan istilah ciptaan Belanda yang maknanya sangat tendensius membela kepentingan kolonial Belanda dalam periode 1945-1949. Indonesia TIDAK mengenal istilah tersebut! Yang kita kenal adalah istilah “perang kemerdekaan” atau “perang revolusi”. Saya jadi bertanya-tanya kenapa Ariel Heryanto TIDAK menjelaskan arti sebenarnya dari istilah bikinan Belanda itu!

=========

Untuk memahami duduk persoalan ini secara jernih, kita perlu bebas dari perangkap dikotomi Belanda/Indonesia yang berpuluh tahun menjerat diskusi publik tentang kolonialisme Hindia Belanda.

SS:

Pernyataan lucu dan ahistoris ini! Kenapa kita perlu bebas dari perangkap dikotomi Belanda/Indonesia sementara isunya adalah Sejarah Kolonialisme Belanda di Indonesia?! Apakah bagi Ariel Heryanto fakta penjajahan yang berusia ratusan tahun itu TIDAK penting sama sekali?! Penjajahan Belanda itu bisa begitu saja dikesampingkan untuk “memahami duduk persoalan secara jernih”?! Secara jernih bagi dan untuk siapa?!

=========  

“Bersiap” sering dipahami secara sempit sebagai kekerasan “antikolonial” pasca-proklamasi oleh warga terjajah terhadap orang Belanda atau warga lain yang dianggap sekutunya. Sejumlah kesaksian, misalnya jurnalis Indonesia Kwee Thiam Tjing dalam bukunya Indonesia dalem Api dan Bara, juga beberapa saksi-mata yang berkisah secara lisan kepada saya memberikan gambaran lebih luas.

SS:

Kenapa dibilang “secara sempit”?! Apa periode yang disebut Belanda sebagai “Bersiap” itu BUKAN periode di mana Belanda masuk kembali ke Indonesia yang sudah memproklamasikan kemerdekaannya itu untuk menjajahnya kembali?! Hello, Ariel! Jadi bagi Ariel Heryanto Perang Melawan Kembalinya Belanda itu BUKAN perang anti-kolonal!

=========  

Pelaku, korban dan motivasinya beraneka macam. Ada faktor politik, ada dendam rasial, ada kekerasan seksual, ada berbagai penjarahan harta tanpa muatan politik atau rasisme tapi kelas sosial.

SS:

Karena Ariel Heryanto MENOLAK mempertimbangkan latarbelakang Kolonialisme Belanda sebagai Konteks maka cuma kayak di ataslah yang mampu dia katakan! Intinya: Bagi Ariel Heryanto, apa yang disebutnya sebagai “kekerasan” itu adalah disebabkan oleh semua hal KECUALI penjajahan Belanda! Orang Indonesia memang udah dari sononya sukak bikin kekerasan baik politik, rasial dan seksual!

=========  

Banyak pihak meyakini keturunan Indo (Eropa-Indonesia) menjadi korban utama, walau ada kemungkinan korban orang Indonesia justru lebih besar.

Bonnie menolak istilah “Bersiap” karena menurutnya istilah itu “selalu menampilkan pelaku kekerasan semata hanya orang Indonesia yang dipersepsikan biadab”.

Selalu? Beberapa orang heran dengan tuduhan itu. Sayang, Bonnie tidak memberikan satu pun contoh atas tuduhan berat ini.

SS:

Lha, Ariel Hertanto sendiri kok gak ngasih satu pun contoh untuk membantah apa yang dikatakan si Bonnie Triyana di atas! Bantah jugak dong dengan bukti bahwa itu salah!

=========  

Kontroversi “Bersiap” meledak, bukan semata-mata karena sebuah artikel opini atau pameran tahun ini. Sumber masalahnya: sudah beberapa dekade peristiwa itu tak masuk dalam wacana resmi sejarah nasional di Belanda maupun di Indonesia. Ia hanya dibahas dengan pedih oleh beberapa warga pinggiran yang tersebar di berbagai kawasan dunia. Baru belakangan bertambah kaum muda yang mulai tahu.

SS:

Kenapa peristiwa “Bersiap” yang adalah diskursus kolonial bikinan Belanda itu harus masuk dalam wacana resmi sejarah nasional Indonesia?! Kenapa perspektif kolonial Belanda tentang aksi kolonialnya di Indonesia harus jadi wacana resmi Sejarah Nasional Indonesia?! Kembali dia tidak mampu menjelaskannya.

=========  

Hingga kini, hal yang menonjol dalam debat mutakhir adalah dikotomi Indonesia lawan Belanda. Seakan-akan ada dua kubu yang secara mutlak bertolak belakang, masing-masing seragam bersatu-padu di kubunya.

SS:

Memang begitulah Sejarah Kolonialisme itu di mana-mana, Mister Ariel! Cobak tunjukkan apa ada yang tidak demikian!

=========  

Untung, tidak semua warga di Belanda maupun Indonesia termakan pandangan hitam-putih demikian. Namun seperti biasa, suara yang paling ekstrem dalam sebuah kontroversi terdengar paling nyaring di ruang publik.

SS:

Seperti biasa, kembali dia gagal menunjukkan bukti.

=========  

Tidak Hitam Putih

Masyarakat Belanda maupun Indonesia tidak seragam menanggapi “Bersiap”. Buktinya Rijkmuseum dijepit dua tuduhan hukum yang bertolak-belakang. Ia digugat Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda bila tetap menggunakan istilah “Bersiap”. Sebelumnya museum itu (selain Bonnie) diancam akan digugat oleh Federatie Indische Nederlanders (FIN) atau Federasi Indo Belanda bila tidak menggunakan istilah yang sama.

SS:

Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) itu BUKAN masyarakat Indonesia, Ariel! Fokus, bro, fokus, ckckck…

=========  

Para penggugat dan tergugat sama-sama warga Belanda. Tapi tak satu pun di antara mereka mewakili masyarakat Belanda secara umum.

Maka aneh jika ada tuduhan bahwa istilah “Bersiap” dimaknai secara tunggal di sana dan “selalu menampilkan pelaku kekerasan semata hanya orang Indonesia yang dipersepsikan biadab”.

SS:

Makna istilah “Bersiap” itu bagi Belanda kan memang “tunggal di sana” dan “selalu menampilkan pelaku kekerasan semata hanya orang Indonesia yang dipersepsikan biadab”! Liat aja isi artikel-artikel di media massa Belanda yang menulis tentang hal tersebut. Dan kenapa kembali Ariel tidak menunjukkan bukti yang sebaliknya?! KUKB adalah suara sangat minoritas di Belanda dan merekalah yang pertama kali secara serius dan aktif menyuarakan penolakan atas pemakaian istilah “Bersiap” di Belanda hingga mereka berhasil menuntut pemerintah Belanda atas kejahatan perang yang dilakukan Belanda di Indonesia dalam periode yang disebut “Bersiap” tersebut! Kemenangan para Korban Indonesia atas kejahatan perang Belanda di Rawa Gede dan Sulawesi Selatan adalah hasil kerja KUKB!

=========  

Seandainya masyarakat Belanda masa kini secara umum serasis yang dibayangkan dalam debat itu, mungkin tak akan ada pameran tentang revolusi Indonesia di sana tahun ini. Tidak ada orang Indonesia diundang jadi anggota tim kuratornya. Tak ada debat tentang “Bersiap” yang sekarang marak.

SS:

Ngakak awak baca kenaifan diskursus ini! Emangnya pameran tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk bersuara tentang periode “Bersiap” ya?! Emangnya pameran itu inisiatif Indonesia ya?! Lantas kenapa begitu salah seorang dari kedua kurator Indonesianya menulis memprotes tentang pemakaian istilah “Bersiap” dalam pameran tersebut reaksinya di Belanda begitu norak?! Bahkan direktur museum dan salah seorang kurator Belanda tidak mendukung isi tulisan Bonnie Triyana tersebut dan menyebutnya d media sebagai “pendapat pribadi Bonnie Triyana”! Bukankah debat tentang “Bersiap” itu marak setelah tulisan Bonnie Triyana itu muncul di sebuah media di Belanda?! Hello, anybody home?!

=========  

Tuduhan bahwa Indonesia menyangkal “Bersiap” sama sesatnya dengan tuduhan Belanda menyangkal kejahatan kolonialisme Belanda. Sudah beberapa tahun orang Indonesia membahas topik Bersiap, walau topik itu diabaikan dalam wacana kenegaraan resmi. Bahkan majalah historia yang dipimpin Bonnie sendiri ikut menggunakan istilah itu.

SS:

Kok kembali gak ditunjukkan bukti bahwa “sudah beberapa tahun orang Indonesia membahas topik Bersiap”?! Majalah Historia ikut menggunakan istilah tersebut apa dengan pengertian kayak yang Bonnie Triyana tuliskan di artikelnya yang menimbulkan reaksi norak kaum kolonial itu atau dengan pengertian lain? Profesor kok ke gini nulis ya, ckckck…

=========  

Kejahatan tentara Belanda (di bawah komandan pasukan Belanda Raymond Westerling yang terkenal dengan Pembantaian Westerling (1946-1947) di Sulawesi Selatan) semasa Revolusi Indonesia dibongkar habis-habisan dalam film De Oost, produksi Belanda sendiri.

SS:

Trus kenapa?! Bukankah udah memang wajar dan udah waktunya bagi Orang Belanda untuk mulai mendekonstruksi sejarah kolonialisme mereka kayak yang terus menerus dipropagandakan pemerintah mereka itu baik di sekolah-sekolah maupun media massa? Film ini BUKAN suara mayoritas Orang Belanda apalagi suara pemerintah Belanda makanya film ini diserang habis-habisan termasuk oleh putri Westerling yang membuat klaim bahwa film tersebut adalah produksi Indonesia!

=========  

Wacana resmi sejarah nasional disusun dengan kerangka dikotomis penjajah/terjajah, kawan/lawan, baik/jahat. Nyaris tak ada ruang di antara atau di luar dua kubu yang dipertentangkan secara mutlak-mutlakan itu. Pemikiran resmi itu berkembang-biak dalam kehidupan sosial sehari-hari dalam berbagai bentuk, dari pidato, poster, film, sampai komik dan lawakan.

SS:

Bagi Ariel Heryanto, sejarah kolonialsme itu adalah abu-abu makanya pihak penjajah tidak bersalah seratus persen. Orang Indonesia dijajah Belanda beratus tahun adalah kerna kesalahan Orang Indonesia jugak, bukan cumak kesalahan Belanda, walau yang beruntung dari penjajahan tersebut cumak Belanda!

=========  

Warga Keturunan Jadi Korban Lagi

Dalam debat “Bersiap” yang terkurung sangkar dikotomi Belanda/Indonesia, identitas Indo secara global sekali lagi menjadi korban, setelah mereka jadi korban pada tahun 1940-1950an. Identitas Indo ini merujuk pada orang keturunan campuran Eropa dan Indonesia.

SS:

Mestinya kan Ariel Heryanto jelaskan di sini kenapa. Kenapa orang Indo-Belanda jadi korban? Bagaimana posisi dan status sosial, ekonomi, politik kaum Indo ini selama penjajahan Belanda? Apa mereka menganggap diri mereka bagian dari Indonesia atau Belanda? Bukankah hal-hal elementer tentang latarbelakang historis kaum Indo kayak gini harus dibicarakan kalok kita memang serius mau menciptakan wacana sejarah yang jernih? Dari awal tulisannya Ariel Heryanto kan cumak menuduh Orang Indonesia doang, malah cenderung memfitnah! Sangat hitam-putih walo pretensinya sejarah itu harus dimaknai secara abu-abu!

=========  

Sosok dan suara mereka tersisih karena tak mudah masuk dari salah satu kubu Belanda/Indonesia dalam perdebatan.

Di Belanda, mereka bukan Indonesia. Tapi mereka dianggap “kurang Belanda” karena “tercemar” unsur “Indonesia”. Sedangkan di Indonesia, mereka di-Belanda-kan dan diposisikan di kubu musuh, karena tidak sepenuhnya “pribumi”. Dikotomi Belanda/Indonesia masih dipelihara sebagian warga di kedua negara yang punya sejarah panjang memuliakan fiksi “kemurnian” etnis atau ras.

SS:

Di zaman Hindia Belanda, bagaimana status para Indo itu dalam hierarki sosial masyarakat kolonial? Yang memposisikan mereka sebagai “tidak sepenuhnya pribumi” itu Orang Indonesia ato diri mereka sendiri?! Indonesia punya sejarah panjang “memuliakan fiksi “kemurnian” etnis atau ras”?! Mana contohnya?! Keberadaan Orang India, Cina dan Arab dan kebudayaan mereka yang sudah beratus tahun itu di Indonesia apakah contoh dari “sejarah panjang memuliakan fiksi “kemurnian” etnis atau ras” itu?! Apakah genosida rasial pertama yang terjadi di Indonesia pada tahun 1740 di Batavia dilakukan Orang Indonesia? Apa pernah terjadi genosida rasial sebelumnya di Indonesia? Bagaimana, Ariel?

=========  

Gara-gara “Bersiap”, ribuan warga Indo berusaha menyelamatkan diri dengan mengungsi ke berbagai kawasan dunia.

SS:

Kalok Belanda tidak berusaha untuk kembali menjajah Indonesia dan didukung oleh mayoritas kaum Indo itu apa eksodus ini akan terjadi? Hello, Ariel!

=========  

Banyak yang menetap di tanah air sendiri (Indonesia), entah karena memilih atau tertinggal.

Mereka yang mengungsi merasa terasing di tempat yang baru, termasuk Belanda. Di sebagian negara, hingga hari ini mereka membuat perkumpulan sambil bernostalgia tentang Tempo Doeloe. Tempoe Doelole merujuk pada istilah populer yang biasa digunakan berbagai perkumpulan untuk merujuk sebuah masa di Hindia Belanda sebelum dinamakan Indonesia.

SS:

Nostalgia kaum kolonial atas negeri yang pernah mereka jajah. Orientalisme kaum penjajah yang udah jadi pecundang. Dan tragisnya, hal ini dianggap penting bagi seorang Intelektual Indonesia!

=========  

Yang di Belanda tidak hanya berkumpul untuk nostalgia. Mereka aktif terlibat dalam masalah politik setempat, misalnya aktif di FIN

Agaknya hanya warga Indo di Indonesia yang tidak terhimpun secara organisasi formal. Mereka berbeda tidak hanya dari warga Indo di benua lain. Mereka juga berbeda dari komunitas Peranakan Tionghoa, Arab dan India di tanah air, maupun negara tetangga yang terhimpun dalam berbagai organisasi dan tampil publik merayakan warisan leluhurnya.

Sebelum pandemi, saya mewawancarai sejumlah warga Indo di Jawa sebagai bagian dari sebuah riset yang terhambat pandemi. Kesan awal saya, trauma dari masa “Bersiap” masih berat bagi mereka. Seakan-akan mereka rela membiarkan identitas dan sejarah leluhurnya punah dan membiarkan generasi mudanya tak tahu-menahu.

SS:

Bagaimana dengan trauma Orang Indonesia atas penjajahan Belanda yang beratus tahun itu, Ariel? Saya kehilangan kampung nenek moyang saya di Tanah Batak kerna Belanda kimaknya itu membakarnya dan melarangnya untuk dihuni kembali kerna penghuni kampung membantu Sisingamangaraja XII melawan Belanda. Kenapa kau tidak tertarik untuk menulis tentang ini, Ariel? Kenapa kau tidak wawancarai para Korban Westerling di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, Ariel? Masih banyak loh mereka yang masih hidup dibanding para Indo pujaan hati kau itu!

=========  

Pertanyaan Untuk Generasi Muda

Masa depan adalah milik generasi muda dari semua latar belakang etnis. Untuk memahami masa depan, mereka layak memahami masa kini. Untuk memahami masa kini, mereka perlu memahami masa lampau.

Mereka bebas bertanya: setelah berpuluh tahun dibicarakan tanpa mendapat banyak perhatian publik, mengapa baru sekarang “Bersiap” mendadak ribut diperdebatkan. Mengapa masih cenderung diperdebatkan dengan kerangka dikotomi yang hitam putih ala abad lalu? Jawabnya tak perlu ditunggu dari generasi tua semacam saya.

SS:

Saran saya bagi generasi muda Indonesia: Pelajarilah sejarah dengan benar, dengan jujur, bukan kerna ingin dapat dana dari luar Indonesia dan demi karier akademik yang biasa-biasa aja pencapaiannya. Jangan lupa baca buku-buku Teori Pascakolonial dan Dekolonial biar gak norak kayak para “intelektual” Dunia Ketiga yang numpang hidup di Barat tapi purak-purak gak tau apa yang terjadi atas kaum Aboriginal Australia, apa yang terjadi atas kaum imigran Dunia Ketiga di Belanda tapi sok bicara tentang nasib kaum minoritas!

Catatan:

Tulisan Ariel Heryanto bisa dibaca di https://theconversation.com/kapan-siap-menghadapi-bersiap-mendalami-polemik-periode-kekerasan-pasca-proklamasi-indonesia-175836

cover buku Perdebatan Sastra Kontekstualoleh Saut Situmorang*

 

Polemik atas apa yang disebut sebagai “sastra kontekstual” di media massa terbitan pulau Jawa di pertengahan tahun 1980an bisa dikatakan sebagai sebuah peristiwa yang (berpretensi) mempersoalkan isu tradisi dan bakat individu dalam sastra Indonesia. Arief Budiman dan Ariel Heryanto, kedua tokoh utama yang gencar mempropagandakan apa yang oleh Ariel Heryanto disebut sebagai “sastra kontekstual” tersebut, yakin bahwa tradisi “bersastra” dalam sastra Indonesia, yang mereka klaim sebagai tradisi “sastra universal” itu, merupakan tradisi yang “tidak berakar” dalam realitas kehidupan Indonesia, “kebarat-baratan”, makanya “teralienasi”, “menjadi asing di negerinya sendiri” (lihat buku Perdebatan Sastra Kontekstual, 1985, susunan Ariel Heryanto). Apa yang jadi masalah dalam sastra Indonesia, menurut Arief Budiman, misalnya, adalah “kenyataan” bahwa “sastra Indonesia tidak akrab dengan publiknya. Atau lebih tepat, publiknya adalah kritikus-kritikus yang berwawasan kesusastraan Barat”. Karena itu, sastra Indonesia “ibarat pohon, dia tidak bisa tumbuh, karena tidak punya tanah. Dia hanya menggapai-gapai ke atas. Sedangkan akarnya tidak menyentuh tanah”. Sastrawan Indonesia, menurut Arief Budiman lagi, menulis hanya untuk “audience yang ada di Barat”, “sastrawan-sastrawan atau kritisi Barat”, tapi ironisnya justru “tidak diakui oleh dunia Barat”, yang oleh Arief direpresentasikan oleh Hadiah Nobel Sastra yang belum pernah dimenangkan oleh sastrawan Indonesia itu, sehingga akibatnya secara psikologis sastrawan Indonesia memiliki karakter kombinasi dari “perasaan megalomaniak dan rendah diri”. Megalomaniak karena membodoh-bodohkan bangsanya sendiri yang gagal menghargai karya sastranya, dan rendah diri karena karyanya belum dapat dihargai oleh orang-orang Barat. Demikianlah “kritik sosiologi sastra” ala sosiolog Arief Budiman.

Membaca kembali tulisan-tulisan Arief Budiman dalam buku Perdebatan Sastra Kontekstual tersebut ada beberapa hal yang mencengangkan saya, terutama kalau saya mempertimbangkan reputasi Arief Budiman di dunia intelektual Indonesia selama periode Orde Baru. Reputasi Arief Budiman yang saya maksudkan itu mungkin akan lebih jelas teruraikan dengan kutipan pendapat Ariel Heryanto dari bagian “pendahuluan” buku Perdebatan Sastra Kontekstual di bawah ini:

 

Arief Budiman mempunyai kombinasi kualitas yang jarang sekali dimiliki oleh warga masyarakat kita pada umumnya. Ia tidak hanya populer di kalangan pengamat “sastra” (atau “seni” umumnya) di Indonesia masa ini, tetapi juga kaum sekolahan yang menjadi bagian (ter)penting dari pembaca media-massa, termasuk mereka yang tidak benar-benar tertarik pada masalah “sastra”. Ia tidak saja berotak cemerlang dan berkepribadian kokoh. Gagasan-gagasannya yang segar dan tajam berkali-kali menimbulkan kontroversi besar di antara para cendekiawan.

 

Dengan mengutip secara panjang pendapat Ariel di atas tentang sosok intelektual Arief Budiman, saya hanya ingin menekankan betapa besarnya kekecewaan intelektual saya waktu membaca tulisan-tulisannya tentang “sastra kontekstual” dalam buku susunan Ariel tersebut. Pertama, Arief Budiman mengklaim bahwa apa yang ingin dikemukakannya dalam ceramahnya “Sastra yang Berpublik” di Sarasehan Seni di Solo, 28 Oktober 1984, yang menjadi pemicu terjadinya perdebatan sastra kontekstual tersebut adalah “mengenai sosiologi kesenian”. Dia bahkan yakin bahwa apa “Yang saya bahas kebanyakan berlaku untuk kesusastraan, tapi saya kira untuk batas-batas tertentu juga merupakan persoalan di bidang kesenian umumnya”. Persoalan itu adalah persoalan “kesusastraan”, atau seni, “yang berpublik”. Atau apa yang oleh Ariel Heryanto disebut sebagai “sastra kontekstual” itu.

Bagi saya, pembicaraan Arief Budiman, baik dalam ceramahnya itu maupun di tulisan-tulisannya di media massa setelah itu, bukanlah sebuah “sosiologi kesenian”. Terlalu gampang dia mengklaim pendapat-pendapatnya tersebut sebagai sebuah “sosiologi” hanya karena dia dikenal sebagai seorang “sosiolog”. Apa yang dinyatakannya tentang sastra Indonesia dalam semua tulisannya pada dasarnya hanya klaim-klaim asersif, atau kesimpulan-kesimpulan mentah, yang satu kali pun tidak pernah (mampu) dibuktikannya. Misalnya pernyataannya bahwa (tradisi) sastra Indonesia adalah “sastra universal” yang “tidak berakar” dalam realitas kehidupan Indonesia. Apa sebenarnya yang dimaksudkannya dengan “sastra universal” itu? Apakah sastra di “Barat” memang merupakan contoh dari “sastra universal” yang dimaksudkannya? Apa kriterianya? Juga, “Barat” yang mana yang dia maksud sebagai “Barat” dalam pernyataan-pernyataan xenofobiknya itu: Amerika Serikat, Eropa Barat, Eropa Timur yang dalam konteks terjadinya perdebatan sastra kontekstual itu merupakan bagian dari imperium Uni Soviet? Apakah sastra Selandia Baru yang berbahasa Inggris yang kuat unsur budaya lokal Maorinya itu, misalnya, termasuk “sastra Barat” itu? Atau karya-karya para sastrawan Afro-Amerika seperti Langston Hughes, Ralph Ellison, Alice Walker, dan Toni Morrison? Arief juga mengklaim bahwa Hadiah Nobel Sastra merupakan semacam standar artistik bagi apa yang disebutnya sebagai “sastra universal”, “sastra yang kebarat-baratan” itu, sambil melecehkan kenyataan betapa Tagore dari India dan Kawabata dari Jepang juga mendapatkan penghargaan Nobel dengan menyatakan bahwa kedua sastrawan Asia ini dipilih karena “sedikit banyak mereka memenuhi standar penulisan orang-orang di dunia Barat”! Tapi Arief Budiman lagi-lagi tidak mampu menjelaskan apa yang dimaksudkannya sebagai “standar penulisan orang-orang di dunia Barat” itu, atau paling tidak apa karakteristik karya sastra yang jadi pemenang Hadiah Nobel Sastra. Bagaimana kita bisa percaya bahwa dia memang sedang melakukan sebuah “sosiologi kesenian” kalau isi dari semua pembicaraannya cuma repetisi dari klaim-klaim asersif yang tanpa bukti-bukti alias tergantung pada kata hatinya belaka! Kekecewaan kedua saya adalah bahwa kegagalan teoritis ini makin diperparah oleh kenyataan betapa Arief Budiman, dan Ariel Heryanto, malah tidak mampu memberikan elaborasi konseptual atas apa sebenarnya yang mereka maksud sebagai “sastra kontekstual” itu sendiri, kecuali bahwa “sastra kontekstual” itu adalah “sastra yang berpublik”, “sastra yang tidak kebarat-baratan”, “sastra yang berpijak di bumi”! Ketimbang memberikan penjelasan, kita malah dicekoki dengan slogan-slogan yang cuma makin mengaburkan isu apa sebenarnya yang ingin mereka bicarakan.

Terakhir, kalau kita bandingkan “bahasa” yang dipakai Arief Budiman dalam “perdebatan” tentang “sastra kontekstual” dengan bahasa S Takdir Alisjahbana dan lawan-lawannya dalam Polemik Kebudayaan di tahun 1930an, maka terlihatlah betapa parahnya kemerosotan “bahasa intelektual” Arief Budiman. Bukan saja dia mengulang-ulang-tanpa-elaborasi apa-apa yang sudah pernah dinyatakannya sebelumnya, dia juga terjatuh kepada bahasa vulgar yang sangat tidak sesuai dengan pretensi sosiologis tulisan-tulisannya, seperti pemakaian istilah-istilah kolokuial semacam “megalomaniak”, “astaga, tahi kerbo apa ini!”, atau “teler minum bir”. Terutama soal “teler minum bir” ini, dari mana Arief Budiman tahu bahwa kalau seseorang itu menulis esei, sebaiknya dia tidak dalam keadaan mabuk bir? Apakah ini juga merupakan bagian dari “sosiologi sastra” ala Arief Budiman atau sekedar sebuah catatan pinggir otobiografis?!

Persoalan “sosiologi sastra” adalah sebuah persoalan kontekstual dalam dunia sastra di mana saja, kapan saja. Merupakan sebuah persoalan universal sastra. Dari perspektif “kritik sastra”, sastra adalah sesuatu yang otonom, sebuah dunia sendiri, dan harus dipahami melalui struktur intrinsiknya, atau arsitektur tekstualnya, seperti imajeri, metafor, irama, penokohan, alur cerita, dan sebagainya, atau apa yang oleh kaum Formalis Rusia disebut sebagai “kesastraan”nya. Menyatakan bahwa sastra hanyalah ekspresi dari kepentingan kelas sosial belaka, atau cuma sebuah epifenomena dari struktur sosial, atau sebuah refleksi/cermin dari kehidupan atau zaman sang pengarang, seperti yang umumnya dilakukan dalam “sosiologi sastra”, tentu saja akan menimbulkan resistensi yang kuat dari kalangan sastra(wan), seperti yang terjadi dalam polemik Sastra Kontekstual tersebut. Apalagi kalau menganggap bahwa hanya faktor-faktor ekstrinsik demikian merupakan kunci dalam pemahaman/penafsiran, bahkan sebagai (keharusan) kredo penciptaan, karya sastra seperti yang dipropagandakan oleh Arief Budiman dan Ariel Heryanto jelas merupakan sebuah reduksionisme konseptual yang sangat tidak adil atas sastra(wan). Juga merupakan sebuah pelecehan tekstual karena sastra telah digusur-paksa dari habitatnya, yaitu Seni, menjadi cuma sekedar sebuah dokumen sosial belaka – sama dengan berita kriminal di koran atau laporan perjalanan di majalah – seperti pada pemakaian tanda-kutip pada istilah “sastra” oleh Ariel Heryanto. Akan menarik sekali untuk mengetahui apa seorang sosiolog akan rela menerima hasil riset akademisnya tentang korupsi di Indonesia, misalnya, cuma dianggap tidak lebih bernilai ketimbang sebuah episode sinetron yang bertema sama.

Kelemahan lain dari konsep “sastra kontekstual” ala Arief Budiman dan Ariel Heryanto adalah persoalan: siapa yang bisa menentukan bahwa “tokoh-tokoh” ataupun “realitas sosial” dalam sebuah karya “sastra kontekstual” memang benar-benar merupakan “representasi sebenarnya” dari kontekstualisme sastra dimaksud? Apa kriteria untuk menentukannya? Isu-isu penting semacam ini tak pernah sekalipun melintas dalam pemikiran kedua kontekstualis ini, apalagi sampai mereka membicarakannya.

Pemahaman mekanistik atas hubungan antara sastra dan masyarakat seperti yang ditawarkan konsep “sastra kontekstual” merupakan sebuah “sosiologi sastra” yang sangat dogmatis-skematis, kalau tidak mau dikatakan cuma sebuah pseudo-sosiologi-sastra belaka. Ini dengan mudah bisa dilihat hanya dari tuduhan-tuduhan yang dilakukan Arief Budiman atas sastra(wan) Indonesia pada judul tulisan-tulisannya yang berkesan sangat sensasional itu. Ada baiknya saya ingatkan di sini bahwa Marx, Engels dan Trotsky (tiga tokoh utama sosiologi seni Marxis) pun tidak begitu dogmatis dalam “sosiologi sastra” mereka. Walaupun Marx dan Engels tidak pernah menciptakan sebuah teori tentang hubungan sastra dan masyarakat, tapi cukup banyak terdapat “catatan” yang menunjukkan betapa mereka tidak selalu menganggap status sastra hanya sebagai cermin dari proses sosial semata. Dalam tulisan mereka yang sangat terkenal, Manifesto Komunis, mereka menyatakan bahwa kapitalisme adalah representasi dari tahap produksi sosial yang paling maju, sebuah formasi sosial yang progresif. Dan kalau dikaitkan dengan sastra, maka hal ini mengisyaratkan mustahilnya keberadaan sebuah sastra nasional yang mandiri karena kapitalisme mengembangkan berbagai sastra nasional dan lokal menjadi sebuah “sastra dunia”, sastra yang melampaui kelas sosial, daerah, dan kebangsaan, dan yang berbicara kepada manusia di mana saja. Atau “sastra universal”, dalam istilah Arief Budiman dan Ariel Heryanto. Engels sendiri, misalnya, menyatakan bahwa dalam sebuah karya sastra yang politis, tendensi politis pengarang sebaiknya implisit saja; ideologi politik bukanlah persoalan utama seniman dan karya itu sendiri pun diuntungkan kalau pandangan pengarangnya tetap tersembunyi. Menurut Engels lagi, tema sebuah novel mesti muncul dengan alami dari situasi dan peristiwa yang diceritakan di dalam novel tersebut. Karena, “tak ada keharusan bagi pengarang untuk menyediakan kepada pembacanya penyelesaian atas konflik sosial yang diceritakannya”. Sementara itu dalam pembelaannya atas kaum Formalis Rusia yang diejek-ejek Lunacharsky, Komisar Pendidikan dan Seni Uni Soviet pertama di zaman Lenin, sebagai sebuah “peninggalan budaya dari zaman pra-Rusia Revolusioner”, sebuah “eskapisme”, dan sebuah “ideologi dekaden”, Trotsky menyatakan persetujuannya dengan pandangan kaum Formalis tersebut bahwa penilaian utama atas teks sastra mestilah didasarkan pada kualitas sastranya, bahwa seni memiliki aturan-aturannya sendiri, dan sosiologi Marxis tidak bisa melampaui penilaian estetik.

Sebuah “sosiologi sastra” yang “kontekstual” dengan dirinya sebagai sosiologi “sastra” tidak dapat mereduksi sastra menjadi sekedar cermin dari masyarakatnya semata, menjadi cuma sebuah dokumen sosial belaka, dengan mengesampingkan status sastra sebagai seni, seperti yang diyakini Ariel Heryanto. Begitu juga dengan pandangan absolutis-idiosinkratik Arief Budiman bahwa “pada dasarnya semua sastra adalah kontekstual”, yang bermakna bahwa sastra hanyalah sekedar refleksi dari romantika kelas sosial, terbatas publik penikmatnya tergantung hanya kepada siapa sang pengarang mengalamatkan karangannya, terlalu superfisial untuk bisa diterima sebagai sebuah “sosiologi” sastra karena menyiratkan bahwa selera seni, atau selera keindahan (sense of beauty), berbanding lurus dengan isi kocek dan warna kulit seseorang. Kecuali hitam-putih, tak ada warna lain dalam estetika Arief Budiman, tak ada nuansa kebenaran lain dalam positivisme “sosiologi”nya. Pertanyaan terakhir yang ingin saya ajukan kepada beliau, dan Ariel Heryanto, sambil menutup esei ini adalah bagaimana Anda akan menjelaskan betapa Shakespeare begitu universal kepopulerannya, sejak abad 17 sampai sekarang dan di mana-mana, termasuk di Indonesia, mirip dengan universalnya kepopuleran “sosiologi”, ilmu pengetahuan yang sangat kebarat-baratan itu?***

*Saut Situmorang, penyair dan eseis, tinggal di Jogjakarta