Posts Tagged ‘Bonnie Triyana’

Saya akan menjawab tulisan Ariel Heryanto yang muncul di The Conversation, 28 Januari 2022 di bawah. Jawaban-jawaban saya akan langsung saya tuliskan di bawah paragraf-paragraf tulisannya tersebut.

=========

Kapan Siap Menghadapi “Bersiap”?: Mendalami Polemik Periode Kekerasan Pasca-Proklamasi Indonesia

Oleh: Ariel Heryanto

Gara-gara seorang sarjana Indonesia dilaporkan polisi di Belanda, publik Indonesia menengok kembali kekerasan pasca Proklamasi 1945 yang jarang dibahas.

Saut Situmorang (SS):

Publik Indonesia mana yang dimaksud?! Sepengetahuan saya, cumak segelintir kecil Orang Indonesia yang mau repot-repot membicarakannya yaitu beberapa sejarawan Indonesia dan Orang Indonesia Diaspora yang pro Belanda kayak si Ariel Heryanto sendiri. Publik Indonesia di Indonesia secara umum tidak ada yang membicarakannya, peduli pun tidak!

=========  

Kontroversi “Bersiap” dipicu oleh sebuah tulisan di Belanda dengan judul provokatif Hapus Istilah Bersiap, karena Rasis. Penulisnya Bonnie Triyana, satu dari empat kurator sebuah pameran tentang Revolusi Indonesia di Rijkmuseum, Amsterdam, Belanda. Di alinea kedua tertulis tim kurator pameran telah memutuskan tidak akan menggunakan istilah “Bersiap”.

SS:

Kontroversi itu HANYA terjadi di Belanda! Persoalannya adalah (tapi tidak dijelaskan oleh Ariel Heryanto!) bahwa istilah “Bersiap” itu merupakan istilah ciptaan Belanda yang maknanya sangat tendensius membela kepentingan kolonial Belanda dalam periode 1945-1949. Indonesia TIDAK mengenal istilah tersebut! Yang kita kenal adalah istilah “perang kemerdekaan” atau “perang revolusi”. Saya jadi bertanya-tanya kenapa Ariel Heryanto TIDAK menjelaskan arti sebenarnya dari istilah bikinan Belanda itu!

=========

Untuk memahami duduk persoalan ini secara jernih, kita perlu bebas dari perangkap dikotomi Belanda/Indonesia yang berpuluh tahun menjerat diskusi publik tentang kolonialisme Hindia Belanda.

SS:

Pernyataan lucu dan ahistoris ini! Kenapa kita perlu bebas dari perangkap dikotomi Belanda/Indonesia sementara isunya adalah Sejarah Kolonialisme Belanda di Indonesia?! Apakah bagi Ariel Heryanto fakta penjajahan yang berusia ratusan tahun itu TIDAK penting sama sekali?! Penjajahan Belanda itu bisa begitu saja dikesampingkan untuk “memahami duduk persoalan secara jernih”?! Secara jernih bagi dan untuk siapa?!

=========  

“Bersiap” sering dipahami secara sempit sebagai kekerasan “antikolonial” pasca-proklamasi oleh warga terjajah terhadap orang Belanda atau warga lain yang dianggap sekutunya. Sejumlah kesaksian, misalnya jurnalis Indonesia Kwee Thiam Tjing dalam bukunya Indonesia dalem Api dan Bara, juga beberapa saksi-mata yang berkisah secara lisan kepada saya memberikan gambaran lebih luas.

SS:

Kenapa dibilang “secara sempit”?! Apa periode yang disebut Belanda sebagai “Bersiap” itu BUKAN periode di mana Belanda masuk kembali ke Indonesia yang sudah memproklamasikan kemerdekaannya itu untuk menjajahnya kembali?! Hello, Ariel! Jadi bagi Ariel Heryanto Perang Melawan Kembalinya Belanda itu BUKAN perang anti-kolonal!

=========  

Pelaku, korban dan motivasinya beraneka macam. Ada faktor politik, ada dendam rasial, ada kekerasan seksual, ada berbagai penjarahan harta tanpa muatan politik atau rasisme tapi kelas sosial.

SS:

Karena Ariel Heryanto MENOLAK mempertimbangkan latarbelakang Kolonialisme Belanda sebagai Konteks maka cuma kayak di ataslah yang mampu dia katakan! Intinya: Bagi Ariel Heryanto, apa yang disebutnya sebagai “kekerasan” itu adalah disebabkan oleh semua hal KECUALI penjajahan Belanda! Orang Indonesia memang udah dari sononya sukak bikin kekerasan baik politik, rasial dan seksual!

=========  

Banyak pihak meyakini keturunan Indo (Eropa-Indonesia) menjadi korban utama, walau ada kemungkinan korban orang Indonesia justru lebih besar.

Bonnie menolak istilah “Bersiap” karena menurutnya istilah itu “selalu menampilkan pelaku kekerasan semata hanya orang Indonesia yang dipersepsikan biadab”.

Selalu? Beberapa orang heran dengan tuduhan itu. Sayang, Bonnie tidak memberikan satu pun contoh atas tuduhan berat ini.

SS:

Lha, Ariel Hertanto sendiri kok gak ngasih satu pun contoh untuk membantah apa yang dikatakan si Bonnie Triyana di atas! Bantah jugak dong dengan bukti bahwa itu salah!

=========  

Kontroversi “Bersiap” meledak, bukan semata-mata karena sebuah artikel opini atau pameran tahun ini. Sumber masalahnya: sudah beberapa dekade peristiwa itu tak masuk dalam wacana resmi sejarah nasional di Belanda maupun di Indonesia. Ia hanya dibahas dengan pedih oleh beberapa warga pinggiran yang tersebar di berbagai kawasan dunia. Baru belakangan bertambah kaum muda yang mulai tahu.

SS:

Kenapa peristiwa “Bersiap” yang adalah diskursus kolonial bikinan Belanda itu harus masuk dalam wacana resmi sejarah nasional Indonesia?! Kenapa perspektif kolonial Belanda tentang aksi kolonialnya di Indonesia harus jadi wacana resmi Sejarah Nasional Indonesia?! Kembali dia tidak mampu menjelaskannya.

=========  

Hingga kini, hal yang menonjol dalam debat mutakhir adalah dikotomi Indonesia lawan Belanda. Seakan-akan ada dua kubu yang secara mutlak bertolak belakang, masing-masing seragam bersatu-padu di kubunya.

SS:

Memang begitulah Sejarah Kolonialisme itu di mana-mana, Mister Ariel! Cobak tunjukkan apa ada yang tidak demikian!

=========  

Untung, tidak semua warga di Belanda maupun Indonesia termakan pandangan hitam-putih demikian. Namun seperti biasa, suara yang paling ekstrem dalam sebuah kontroversi terdengar paling nyaring di ruang publik.

SS:

Seperti biasa, kembali dia gagal menunjukkan bukti.

=========  

Tidak Hitam Putih

Masyarakat Belanda maupun Indonesia tidak seragam menanggapi “Bersiap”. Buktinya Rijkmuseum dijepit dua tuduhan hukum yang bertolak-belakang. Ia digugat Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda bila tetap menggunakan istilah “Bersiap”. Sebelumnya museum itu (selain Bonnie) diancam akan digugat oleh Federatie Indische Nederlanders (FIN) atau Federasi Indo Belanda bila tidak menggunakan istilah yang sama.

SS:

Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) itu BUKAN masyarakat Indonesia, Ariel! Fokus, bro, fokus, ckckck…

=========  

Para penggugat dan tergugat sama-sama warga Belanda. Tapi tak satu pun di antara mereka mewakili masyarakat Belanda secara umum.

Maka aneh jika ada tuduhan bahwa istilah “Bersiap” dimaknai secara tunggal di sana dan “selalu menampilkan pelaku kekerasan semata hanya orang Indonesia yang dipersepsikan biadab”.

SS:

Makna istilah “Bersiap” itu bagi Belanda kan memang “tunggal di sana” dan “selalu menampilkan pelaku kekerasan semata hanya orang Indonesia yang dipersepsikan biadab”! Liat aja isi artikel-artikel di media massa Belanda yang menulis tentang hal tersebut. Dan kenapa kembali Ariel tidak menunjukkan bukti yang sebaliknya?! KUKB adalah suara sangat minoritas di Belanda dan merekalah yang pertama kali secara serius dan aktif menyuarakan penolakan atas pemakaian istilah “Bersiap” di Belanda hingga mereka berhasil menuntut pemerintah Belanda atas kejahatan perang yang dilakukan Belanda di Indonesia dalam periode yang disebut “Bersiap” tersebut! Kemenangan para Korban Indonesia atas kejahatan perang Belanda di Rawa Gede dan Sulawesi Selatan adalah hasil kerja KUKB!

=========  

Seandainya masyarakat Belanda masa kini secara umum serasis yang dibayangkan dalam debat itu, mungkin tak akan ada pameran tentang revolusi Indonesia di sana tahun ini. Tidak ada orang Indonesia diundang jadi anggota tim kuratornya. Tak ada debat tentang “Bersiap” yang sekarang marak.

SS:

Ngakak awak baca kenaifan diskursus ini! Emangnya pameran tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk bersuara tentang periode “Bersiap” ya?! Emangnya pameran itu inisiatif Indonesia ya?! Lantas kenapa begitu salah seorang dari kedua kurator Indonesianya menulis memprotes tentang pemakaian istilah “Bersiap” dalam pameran tersebut reaksinya di Belanda begitu norak?! Bahkan direktur museum dan salah seorang kurator Belanda tidak mendukung isi tulisan Bonnie Triyana tersebut dan menyebutnya d media sebagai “pendapat pribadi Bonnie Triyana”! Bukankah debat tentang “Bersiap” itu marak setelah tulisan Bonnie Triyana itu muncul di sebuah media di Belanda?! Hello, anybody home?!

=========  

Tuduhan bahwa Indonesia menyangkal “Bersiap” sama sesatnya dengan tuduhan Belanda menyangkal kejahatan kolonialisme Belanda. Sudah beberapa tahun orang Indonesia membahas topik Bersiap, walau topik itu diabaikan dalam wacana kenegaraan resmi. Bahkan majalah historia yang dipimpin Bonnie sendiri ikut menggunakan istilah itu.

SS:

Kok kembali gak ditunjukkan bukti bahwa “sudah beberapa tahun orang Indonesia membahas topik Bersiap”?! Majalah Historia ikut menggunakan istilah tersebut apa dengan pengertian kayak yang Bonnie Triyana tuliskan di artikelnya yang menimbulkan reaksi norak kaum kolonial itu atau dengan pengertian lain? Profesor kok ke gini nulis ya, ckckck…

=========  

Kejahatan tentara Belanda (di bawah komandan pasukan Belanda Raymond Westerling yang terkenal dengan Pembantaian Westerling (1946-1947) di Sulawesi Selatan) semasa Revolusi Indonesia dibongkar habis-habisan dalam film De Oost, produksi Belanda sendiri.

SS:

Trus kenapa?! Bukankah udah memang wajar dan udah waktunya bagi Orang Belanda untuk mulai mendekonstruksi sejarah kolonialisme mereka kayak yang terus menerus dipropagandakan pemerintah mereka itu baik di sekolah-sekolah maupun media massa? Film ini BUKAN suara mayoritas Orang Belanda apalagi suara pemerintah Belanda makanya film ini diserang habis-habisan termasuk oleh putri Westerling yang membuat klaim bahwa film tersebut adalah produksi Indonesia!

=========  

Wacana resmi sejarah nasional disusun dengan kerangka dikotomis penjajah/terjajah, kawan/lawan, baik/jahat. Nyaris tak ada ruang di antara atau di luar dua kubu yang dipertentangkan secara mutlak-mutlakan itu. Pemikiran resmi itu berkembang-biak dalam kehidupan sosial sehari-hari dalam berbagai bentuk, dari pidato, poster, film, sampai komik dan lawakan.

SS:

Bagi Ariel Heryanto, sejarah kolonialsme itu adalah abu-abu makanya pihak penjajah tidak bersalah seratus persen. Orang Indonesia dijajah Belanda beratus tahun adalah kerna kesalahan Orang Indonesia jugak, bukan cumak kesalahan Belanda, walau yang beruntung dari penjajahan tersebut cumak Belanda!

=========  

Warga Keturunan Jadi Korban Lagi

Dalam debat “Bersiap” yang terkurung sangkar dikotomi Belanda/Indonesia, identitas Indo secara global sekali lagi menjadi korban, setelah mereka jadi korban pada tahun 1940-1950an. Identitas Indo ini merujuk pada orang keturunan campuran Eropa dan Indonesia.

SS:

Mestinya kan Ariel Heryanto jelaskan di sini kenapa. Kenapa orang Indo-Belanda jadi korban? Bagaimana posisi dan status sosial, ekonomi, politik kaum Indo ini selama penjajahan Belanda? Apa mereka menganggap diri mereka bagian dari Indonesia atau Belanda? Bukankah hal-hal elementer tentang latarbelakang historis kaum Indo kayak gini harus dibicarakan kalok kita memang serius mau menciptakan wacana sejarah yang jernih? Dari awal tulisannya Ariel Heryanto kan cumak menuduh Orang Indonesia doang, malah cenderung memfitnah! Sangat hitam-putih walo pretensinya sejarah itu harus dimaknai secara abu-abu!

=========  

Sosok dan suara mereka tersisih karena tak mudah masuk dari salah satu kubu Belanda/Indonesia dalam perdebatan.

Di Belanda, mereka bukan Indonesia. Tapi mereka dianggap “kurang Belanda” karena “tercemar” unsur “Indonesia”. Sedangkan di Indonesia, mereka di-Belanda-kan dan diposisikan di kubu musuh, karena tidak sepenuhnya “pribumi”. Dikotomi Belanda/Indonesia masih dipelihara sebagian warga di kedua negara yang punya sejarah panjang memuliakan fiksi “kemurnian” etnis atau ras.

SS:

Di zaman Hindia Belanda, bagaimana status para Indo itu dalam hierarki sosial masyarakat kolonial? Yang memposisikan mereka sebagai “tidak sepenuhnya pribumi” itu Orang Indonesia ato diri mereka sendiri?! Indonesia punya sejarah panjang “memuliakan fiksi “kemurnian” etnis atau ras”?! Mana contohnya?! Keberadaan Orang India, Cina dan Arab dan kebudayaan mereka yang sudah beratus tahun itu di Indonesia apakah contoh dari “sejarah panjang memuliakan fiksi “kemurnian” etnis atau ras” itu?! Apakah genosida rasial pertama yang terjadi di Indonesia pada tahun 1740 di Batavia dilakukan Orang Indonesia? Apa pernah terjadi genosida rasial sebelumnya di Indonesia? Bagaimana, Ariel?

=========  

Gara-gara “Bersiap”, ribuan warga Indo berusaha menyelamatkan diri dengan mengungsi ke berbagai kawasan dunia.

SS:

Kalok Belanda tidak berusaha untuk kembali menjajah Indonesia dan didukung oleh mayoritas kaum Indo itu apa eksodus ini akan terjadi? Hello, Ariel!

=========  

Banyak yang menetap di tanah air sendiri (Indonesia), entah karena memilih atau tertinggal.

Mereka yang mengungsi merasa terasing di tempat yang baru, termasuk Belanda. Di sebagian negara, hingga hari ini mereka membuat perkumpulan sambil bernostalgia tentang Tempo Doeloe. Tempoe Doelole merujuk pada istilah populer yang biasa digunakan berbagai perkumpulan untuk merujuk sebuah masa di Hindia Belanda sebelum dinamakan Indonesia.

SS:

Nostalgia kaum kolonial atas negeri yang pernah mereka jajah. Orientalisme kaum penjajah yang udah jadi pecundang. Dan tragisnya, hal ini dianggap penting bagi seorang Intelektual Indonesia!

=========  

Yang di Belanda tidak hanya berkumpul untuk nostalgia. Mereka aktif terlibat dalam masalah politik setempat, misalnya aktif di FIN

Agaknya hanya warga Indo di Indonesia yang tidak terhimpun secara organisasi formal. Mereka berbeda tidak hanya dari warga Indo di benua lain. Mereka juga berbeda dari komunitas Peranakan Tionghoa, Arab dan India di tanah air, maupun negara tetangga yang terhimpun dalam berbagai organisasi dan tampil publik merayakan warisan leluhurnya.

Sebelum pandemi, saya mewawancarai sejumlah warga Indo di Jawa sebagai bagian dari sebuah riset yang terhambat pandemi. Kesan awal saya, trauma dari masa “Bersiap” masih berat bagi mereka. Seakan-akan mereka rela membiarkan identitas dan sejarah leluhurnya punah dan membiarkan generasi mudanya tak tahu-menahu.

SS:

Bagaimana dengan trauma Orang Indonesia atas penjajahan Belanda yang beratus tahun itu, Ariel? Saya kehilangan kampung nenek moyang saya di Tanah Batak kerna Belanda kimaknya itu membakarnya dan melarangnya untuk dihuni kembali kerna penghuni kampung membantu Sisingamangaraja XII melawan Belanda. Kenapa kau tidak tertarik untuk menulis tentang ini, Ariel? Kenapa kau tidak wawancarai para Korban Westerling di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, Ariel? Masih banyak loh mereka yang masih hidup dibanding para Indo pujaan hati kau itu!

=========  

Pertanyaan Untuk Generasi Muda

Masa depan adalah milik generasi muda dari semua latar belakang etnis. Untuk memahami masa depan, mereka layak memahami masa kini. Untuk memahami masa kini, mereka perlu memahami masa lampau.

Mereka bebas bertanya: setelah berpuluh tahun dibicarakan tanpa mendapat banyak perhatian publik, mengapa baru sekarang “Bersiap” mendadak ribut diperdebatkan. Mengapa masih cenderung diperdebatkan dengan kerangka dikotomi yang hitam putih ala abad lalu? Jawabnya tak perlu ditunggu dari generasi tua semacam saya.

SS:

Saran saya bagi generasi muda Indonesia: Pelajarilah sejarah dengan benar, dengan jujur, bukan kerna ingin dapat dana dari luar Indonesia dan demi karier akademik yang biasa-biasa aja pencapaiannya. Jangan lupa baca buku-buku Teori Pascakolonial dan Dekolonial biar gak norak kayak para “intelektual” Dunia Ketiga yang numpang hidup di Barat tapi purak-purak gak tau apa yang terjadi atas kaum Aboriginal Australia, apa yang terjadi atas kaum imigran Dunia Ketiga di Belanda tapi sok bicara tentang nasib kaum minoritas!

Catatan:

Tulisan Ariel Heryanto bisa dibaca di https://theconversation.com/kapan-siap-menghadapi-bersiap-mendalami-polemik-periode-kekerasan-pasca-proklamasi-indonesia-175836

boemipoetraCatatan boemipoetra:
 
Radityo Djadjoeri adalah keponakan Goenawan Mohamad yang paling getol berusaha menjatuhkan boemipoetra dengan segala cara, terutama dengan memakai fitnah dan dengan menciptakan tokoh-tokoh fiktif dalam semua mailing-list di mana perang antara boemipoetra vs TUK terjadi terutama di tahun 2007 lalu. Radityo Djadjoeri juga menciptakan puluhan mailing-list untuk misinya tersebut!
 
Penjahat internet (cyber-criminal) yang namanya sudah sangat terkenal di dunia mailing-list Indonesia ini pernah melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan terhadap boemipoetra, khususnya atas salah seorang redakturnya yaitu Saut Situmorang, terhadap seorang wartawan senior Indonesia, Farid Gaban. Farid Gaban akhirnya mengeluarkan Radityo Djadjoeri dari keanggotaan mailing-list tempat cybercrime itu dilakukan yaitu “jurnalisme” yang dikelola Farid Gaban.
 
Dalam “pengantar”nya di bawah, kembali Radityo Djadjoeri menyebar dusta, seperti biasanya. Bonnie Triyana, wartawan Jurnal Nasional (Jurnas) yang melakukan wawancara dengan Goenawan Mohamad di bawah SUDAH MENCABUT NAMANYA SEBAGAI PENANDATANGAN “Ode Kampung” dan mengumumkan pencabutan tersebut di mailing-list “Forum Pembaca KOMPAS” (kalau boemipoetra tidak salah nama lengkap mailing-list tersebut) SEBELUM wawancara di bawah dimuat di Jurnal Nasional!
 
Radityo Djadjoeri penjahat internet yang terkenal itu ditemukan mati di kamar mandi tempat tinggalnya akhir tahun lalu. Dia ditemukan beberapa hari setelah malaikat elmaut mencabut nyawanya yang hina itu. Keadilan itu memang indah!
 
 
NB:
 
boemipoetra tidak pernah diwawancarai baik oleh Bonnie Triyana maupun Jurnal Nasional (Jurnas) berkaitan dengan “polemik” seperti yang jadi isu dalam wawancara di bawah! Sampai hari ini! Begitulah politik “cover both sides” Pers Indonesia!!!
 
 
=========
 
 
 
Pengantar dari Radityo Djadjoeri:
 
Boni Triyana dari harian Jurnal Nasional (Jurnas) berhasil mewawancarai sastrawan Goenawan Mohamad (GM) sekait gonjang-ganjing di dunia sastra Indonesia bertajuk “Polemik Utan Kayu”. Uniknya, Boni sendiri adalah salah satu penanda tangan “Ode Kampung” – akar penjalar “perang panas” yang hingga kini masih berlangsung di dunia maya. GM tak keberatan menerimanya.
 
Sebagai seorang wartawan, Boni ingin semua orang melihat persoalan ini secara jernih dan tidak “kemrungsung”. Ia  juga merasa prihatin karena perdebatan yang muncul menyoal ini cenderung tidak sehat lagi, bahkan menjadi semacam ajang ledek-ledekan, saling caci dan menghina, tanpa nuansa intelektual sedikit pun. “Saya pikir, kini saatnya menghidupkan suasana polemik yang intelek seperti dulu lagi,” tutur Boni lewat e-mailnya. 
 
Berikut hasil wawancaranya yang dimuat Jurnal Nasional edisi 7 Oktober 2007 lalu:
 
————————————————————————————
 
 
 
Goenawan Mohamad: “Itu hanya corat-coret di tembok kakus!”
 
 
Goenawan Mohamad adalah orang Barat yang lahir di Batang, demikian  julukan yang pernah diberikan kepadanya oleh Hamid Basyaib.  Bagaimana pemikirannya tentang dinamika kesusasteraan Indonesia  saat ini: tentang serangan sekelompok sastrawan pada dirinya dan  Komunitas Utan Kayu yang ia dirikan? Bagaimana pula ia memaknai  perdebatan sastra yang pernah terjadi dulu dan sekarang?
 
Pendiri majalah TEMPO itu menuturkan pemikiran dan pengalamannya pada Jurnal Nasional di sela-sela kesibukannya di Komunitas Utan Kayu  dua pekan lalu.
 
 
Tanya:
Mas Goen, kini jagat sastra Indonesia diramaikan dengan  adanya polemik antara Sastrawan Ode Kampung yang menyerang  Komunitas Utan Kayu (KUK) sebagai salah satu pegiat aktivitas  kesenian di Jakarta. Apa tanggapan Anda?
 
Jawab:
Polemik itu kalau ada tukar menukar pendapat. Jadi kalau  tidak ada tukar menukar pendapat saya kira ya bukan polemik. Kalau  dulu seingat saya ada, semisal Ajip Rosidi menyerang Angkatan ‘45  karena dianggap kosmopolitan, dianggap tidak berakar pada daerah.  Terus Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat, Red) menyerang yang  disebutnya humanisme-universil, lantas Manifes (Manifes  Kebudayaan, Red) menyerang apa yang disebut realisme-sosialis,  prinsip-prinsip yang menurut saya penting, perdebatannya sangat penting. Apakah polemik berakhir dengan baik apa tidak itu soal  lain. Kemudian tentang sastra kontekstual pada era 1980-an, itu tak  terjadi polemik. Namun paling tidak diskusi itu melahirkan gagasan  baru.
 
Tanya:
Nah, yang sekarang bagaimana? Apakah ada ide-ide baru?
 
Jawab:
Kalau  saya begini, saya tidak melihat adanya ide yang baru dalam soal  ini. Itu yang saya dengar ya, karena saya belum baca semua. Saya  tak ada waktu. Kalau tidak ada yang gagasan baru berarti bukan  polemik. Kalau ada tuduhan dominasi yang dilakukan oleh satu komunitas, misal mereka tuduh  Utan Kayu, lantas apa buktinya? Apakah mereka bisa buktikan?
 
Tanya:
Dalam sejarah kesusasteraan kita selalu saja terjadi  polemik. Lantas Anda memaknai peristiwa yang terjadi sekarang  sebagai apa?
 
Jawab:
Apa dulu? Kalau polemik memang sering terjadi, kalau  maki-maki belum pernah terjadi. Dan itu tak pernah terjadi dalam  sejarah kita. Terlebih bila sifatnya memaki-maki, menyerang  pribadi. Jadi biarkan saja, karena menurut saya itu tak memunculkan  ide baru. Jadi biarkan saja. Dulu, polemik kebudayaan membikin  sejarah, manikebu membikin sejarah, terus sedikit-sedikit Ajip  Rosidi yang menyerang Angkatan 45 membikin sejarah. Sastra  kontekstual tidak membikin sejarah, tapi paling tidak mengajak  orang untuk kembali meninjau teori sastra. Kalau yang terjadi  sekarang saya belum melihatnya. Apakah itu layak didiskusikan?  Jangan-jangan malah nanti dalam lima tahun ke depan sudah tidak  lagi yang membahas persoalan ini.
 
Tanya:
Salah satu poin yang disebutkan dalam pernyataan Sastrawan Ode Kampung adalah melawan eksploitasi seksual dalam karya sastra. Dan itu, diarahkan kepada KUK?
 
Jawab:
Ini ada beberapa hal yah. Semisal apa yang dilakukan oleh Taufik Ismail sendiri, Chavchay Syaifulah dengan Media Indonesia sendiri dan apa yang dilakukan oleh apa itu… Boemipoetra (buletin yang dikelola oleh Wowok Hesti Prabowo, salah seorang penandatangan pernyataan Sastrawan Ode Kampung, Red) sendiri. Menurut saya berbeda-beda. Nah, Taufik itu lebih serius. Dalam artian dia layak ditanggapi. Terutama menyoal pornografi. Di sana ia mengkritik tentang peran erotisisme atau seksualitas dalam sastra. Dan itu adalah persoalan yang sah diperdebatkan dalam sastra. Dalam sejarahsastra itu sering terjadi. Bahwa di dalamnya juga terkandung caci-maki, boleh.
 
Tanya:
KUK dituduh sebagai komunitas sastra yang mengusung sastra kelamin? Orang menyebut salah satunya terdapat dalam karya Ayu Utami “Saman” yang mengandung unsur seksualitas?
 
Jawab:
Saman karya pertama Ayu Utami, pertama, itu bisa diperdebatkan tersendiri apakah itu suatu ekspresi seksualitas saja apakah ada sesuatu yang lebih dalam di sana. Ayu Utami bukan berarti KUK dan KUK bukan berarti Ayu Utami. Sitok (Sitok Srengenge, Red), Nirwan (Nirwan Dewanto, Red) atau saya mungkin, apa begitu juga. Satu hal, seksualitas itu bagian dari kehidupan. Di dalam Mahabarata sampai dengan Saman itu selalu timbul. Di barat di timur, di China, Arab, Amerika Latin. Bahwa ada orang yang mengatakan itu bagian dari kehidupan ya lumrah, ada yang bilang tidak ya tidak apa-apa. Tapi kalau ada yang bilang KUK itu penganut mazhab kelamin itu tidak benar. Kalau soal eksploitasi seksual saya juga menolak. Saya belum mengerti apa yang mereka maksudkan dengan eksploitasi seks dan belum tanya mereka, tapi kalau saya ada di sana saya juga menolak hal itu. Tapi bukan berarti seks tidak boleh dibicarakan. Lihat saja Mahabarata, Injil pun membicarakan seks, baca saja Kidung Sulaiman, sangat erotis.
 
Tanya:
Maman S. Mahayana dalam satu tulisannya mengatakan bahwa seksualitas dalam karya sastra seibarat sekrup kecil dalam mesin kapitalisme. Bagaimana menurut pendapat Anda?
 
Jawab:
Itu sebetulnya lebih baik pakai contoh. Ini problem dalam dunia sastra kita sekarang ini, jarang ada kritik sastra yang serius yang dilengkapi dengan argumentasi dan contoh. Misalnya kritik Taufik Ismail pada Ayu Utami yang dikatakannya memelopori FAK atau Fiksi Alat Kelamin. Itu harus dibuktikan mana yang dimaksudkan. Harus dibuktikan, sehingga kita bisa berbicara. Kalau selama ini hanya generalisir seperti pernyataan Maman S. Mahayana itu bisa dikatakan ya bisa juga tidak. Pernyataan itu sama artinya dengan pernyataan bahwa kemiskinan disebabkan oleh kapitalisme. Bisa ya bisa juga tidak. Jadi harus ada contohnya.
 
Tanya:
Selain soal seksualitas dalam karya sastra, KUK juga dituduh menerima bantuan dana asing dalam kegiatan-kegiatannya. Bagaimana Anda menanggapi kabar ini?
 
Jawab:
Itu problematis. Pertama dana asing itu datangnya kepada sastra atau prasarana sastra. Kedua dana asing itu belum tentu memengaruhi suatu produk. Misalnya, kalau pelukis Indonesia dibeli hak ciptanya oleh kolektor asing apakah itu namanya dipengaruhi oleh dan dana pembelian itu? Kalau kita berpikir analitis dan lepas dari kebencian, dari praduga-praduga, tidak seperti apa yang dibayangkan oleh kaum Demagog. Semisalnya, Universitas Indonesia dibiayai oleh dana asing, apakah hasil-hasilnya harus mengabdi pada asing juga? Kan juga tidak. Kalau anjuran saya sekarang ini yang penting, sudahlah, menulis saja yang bagus, menulis sastra yang bagus, menulis kritik (sastra) yang bagus. Jangan sampai waktu habis untuk mencaci maki.
 
Tanya:
Bukankah caci-maki juga termasuk ke dalam kebebasan berekspresi yang selama ini Anda perjuangkan?
 
Jawab:
Oh ya, betul. Bukan berarti saya melarang itu. Tapi saya hanya menganjurkan daripada buang waktu, lebih baik menulis sajalah yang bagus.
 
Tanya:
Anda dikenal sebagai pelaku sejarah, khususnya dalam sejarah pers Indonesia. Juga salah seorang penganjur kebebasan pers. Bagaimana Anda memandang diri Anda sendiri?
 
Jawab:
Aaahh… saya ini tidak pernah mendeskripsikan diri saya sendiri (tertawa, Red). Karena saya tidak pernah tahu diri saya sendiri. Karena itu ada kata-kata yang penting dari Oracle di Delphi, ketahuilah diri Anda sendiri dan itu adalah proses yang tidak pernah selesai. Dan jangan-jangan tidak perlu juga diketahui.
 
Tanya:
Sebagai seorang sastrawan dan penulis yang telah berpengalaman dan cukup senior, bagaimana pendapat Anda terhadap generasi sastrawan muda zaman sekarang?
 
Jawab:
Saya kira mereka jauh lebih bagus dari generasi saya dan sebelumnya. Bacaan mereka lebih luas dan terbiasa dengan kerumitan pemikiran yang terjadi dalam dua- tigapuluh tahun terakhir, khususnya dalam pemikiran filsafat. Kalau dulu kalau saya bandingkan misalnya, tahun 1950-an, banyak orang yang bicara tentang eksistensialime tapi sebetulnya tidak banyak tahu. Yang mengerti banyak tentang itu hanya Arif Budiman, karena dia belajar filsafat. Juga sama halnya dengan realisme-sosialis di tahun 1960-an, menurut pendapat saya yang betul-betul mengerti itu cuma Pramoedya Ananta Toer. Sedangkan yang lain itu cuma ikut-ikut saja, dan mungkin tidak peduli juga.
 
Tanya:
Berkaitan dengan pemikiran Pramoedya Ananta Toer, dia pernah bilang bahwa sastra itu bertugas, punya fungsi yang praktis?
 
Jawab:
Saya setuju. Cuma tugasnya jangan diberi oleh orang lain. Jadi harus dari panggilan nurani sendiri. Dulu pertengkaran Lekra-Manikebu itu kan berkisar pada perdebatan sastra revolusioner yang sebetulnya ditentukan garisnya oleh partai (Partai Komunis Indonesia, Red). Dan itu yang terjadi di Uni Soviet dan China, jadi lebih banyak menyebabkan pembungkaman. Tapi karena dulu partai lebih banyak berkuasa ke dalam, jadi tidak banyak begitu dimengerti mengenai persoalan ini. Itu pengalaman di Uni Soviet ya, kontrol partai terhadap sastra itu begitu kuatnya. Jadi pada dasarnya memang Manikebu sepakat dengan pendapat sastra itu bertugas.
 
Dalam Manifes Kebudayaan kami menyatakan bahwa kami menerima humanisme universal. Jadi Manifes Kebudayaan tidak sepenuhnya pro humanisme-universal , sebagaimana kami tidak anti pada realisme-sosialis. Ada macam-macam realisme sosialis, kan orang tidak baca itu. Artinya kami menerima. Ada macam-macam realisme sosialis itu. Orang tidak baca itu. Nah, bukan berarti seperti film cowboy, ada penjahat harus dibunuh. Dan dalam Manifes Kebudayaan itu terkandung pemikiran-pemikiran sosialis yang lebih dalam daripada yang dikatakan orang.
 
Tanya:
Tapi kenyataan sejarah menunjukkan bahwa polemik Manikebu versus Lekra seperti film cowboy yang Anda sebutkan tadi.
 
Jawab:
Itu karena sejarah tidak ditulis dengan benar. Kalau mau bicara polemik, harus dipelajari juga polemik yang berlangsung pada tahun 1920-an. Pendapat Pram, itu sama dengan pendapat Takdir (St Takdir Alisjahbana, STA) melawan pendapat Sanusi Pane soal sastra itu bekerja atau tidak. Nah, kemudian ada masalah seni untuk seni atau seni untuk masyarakat. Soal itu sudah selesai pada tahun 1950-an. Di tahun 1930-an itu antara Sanusi Pane dan STA, dan kemudian persis dilakukan oleh Pram.
 
Tanya:
Tapi kenapa Pram “menghabisi” STA di dalam tulisan-tulisannya yang dimuat oleh Bintang Timoer?
 
Jawab:
Nah, begini. Itu karena STA orangnya partai sosialis (Partai Sosialis Indonesia, PSI). Dan tentu saja cara-cara Pram dulu itu juga salah. Tapi nanti kalau saya bilang Pram salah Anda jadi marah, lagi… (tertawa)
 
Tanya:
Anda masih muda ketika turut menandatangani Manifes Kebudayaan. Sama halnya dengan beberapa sastrawan yang juga menandatangani pernyataan Sastrawan Ode Kampung. Kira-kira semangat apa yang mendorong Anda turut dalam manifes?
 
Jawab:
Semangat saya ingin menulis, menulis yang bagus dan tidak mau didikte oleh kekuasaan. Titik.
 
Tanya:
Sekuat apa sih tekanan kekuasaan pada saat itu?
 
Jawab:
Setelah Manifes dilarang berat, sangat berat. Saya pada waktu itu mau ikut rapat saja takut. Dan menulis pun harus pakai nama samaran. Pernah beberapa waktu lalu dalam email dikatakan oleh Tossi (Aboeprijadi Santoso, wartawan radio di Belanda, Red) bahwa Manikebu kan masih bisa melawan, itu tidak benar. Bahwa Lekra setelah itu(pasca pergolakan politik 1965-1970, Red) lebih menderita, bukan berarti Manikebu itu tak mengalami tekanan. Waktu itu (Orde Lama, Red) kan belum ada konsolidasi kekuasaan yang bisa menindas, hampir.
 
Waktu Orde Baru kan ada penindasan. Penindasan terhadap Lekra memang lebih dahsyat lagi. Tapi bibit-bibit pengekangan kebebasan berekspresi itu memang sudah terjadi sejak zaman demokrasi terpimpin. Jadi kalau Lekra atau Pramoedya tidak merasa bersalah itu saya sayangkan. Karena akhirnya suasana represif pada masa Orde Baru terus berlanjut. Beda Orde Lama dengan Orde Baru kan tidak banyak, kecuali yang satu sosialisme dan yang satu kapitalisme. Tapi demokrasinya tidak ada. Mochtar Loebis dipenjara sembilan tahun.
 
Kalau menurut saya kita harus mengakui bahwa kita semua salah dan generasi muda tak perlu melakukan itu lagi. Kalau tidak demikian, anak-anak muda memuja-muja kita, maka akan terjadi pengulangan. Karena intinya adalah intoleransi. Jadi sebetulnya yang diperjuangkan itu bukan kebebasan, tapi golongan saya tidak ditindas, dan golongan lain bisa ditindas. Nah kira-kira itu juga yang dikatakan oleh Pram, lawan revolusi harus ditindas.
 
Tahun 1970-an setelah banyak korban, saya termasuk orang yang menyadari bahwa perbedaan tidak harus diakhiri dengan memenjara orang. Apapun perbedaan itu. Pernah dulu saya menghadiri diskusi di rumahnya JCT Simorangkir, pemimpin umum Sinar Harapan, antara Nugroho Notosusanto dengan Wiratmo Soekito. Jangan lupa, waktu itu Nugroho Notosusanto menentang Manikebu. Ini yang tidak pernah ditulis oleh sejarah. Waktu itu Wiratmo menulis tentang kebebasan berekspresi.
 
Kepada Wiratmo, Nugroho mengatakan kalau begitu Anda akan mengijinkan puisinya Agam Wispi terbit. Wiratmo menjawab iya. Wiratmo mengutip Voltaire, “saya tidak setuju dengan pendapat kamu, tapi saya hormati hak kamu berpendapat”. Saya menyadari bahwa kita tidak boleh mengulangi lagi kesalahan.
 
Tanya:
Semangat menghargai perbedaan pendapat itu pula yang membuat Anda membiarkan pernyataan Sastrawan Ode Kampung?
 
Jawab:
Iya, betul. Saya diserang juga tidak apa-apa. Cuma jangan memfitnah.
 
Tanya:
Fitnah bagaimana maksud Anda?
 
Jawab:
Seperti yang ditulis oleh Chavchay itu di Media Indonesia mengenai pembukaan Bienale di KUK. Orang tidak ada yang mabok-mabok kok ditulis mabok-mabokan. Itu secara jurnalisme salah. Padahal disiplin jurnalisme itu adalah verifikasi.
 
Tanya:
Jadi Anda takkan melayani semua hal itu?
 
Jawab:
Tidak, itu saya anggap coretan tembok di kakus. Dalam beberapa wawancara juga saya katakan itu tidak penting untuk ditanggapi. Nah menurut saya sekarang mulailah melakukan studi yang serius. Misalnya disebutkan bahwa ada sastra imperialis, silakan, tapi buktikan dengan karya, tunjukkan karya sastra imperialis itu apa.  Jadi persoalan ini tidak penting dan memang bukan suatu hal yang patut dicatat dalam sejarah. Masa sih perlu menanggapi corat-coret di tembok kakus.
 
Tanya:
Apakah Anda sudah membaca pernyataan Sastrawan Ode Kampung berikut dengan buletin-buletin Boemipoetra?
 
Jawab:
Saya tidak baca, saya hanya diberitahu oleh kawan-kawan. Saya nggak ada waktu. Baca filsafat saja belum selesai-selesai (tertawa). Tapi bukan berarti saya melarang dan tidak menghargai pendapat mereka lho ya. Sekali lagi saya katakan saya tidak punya waktu untuk membaca apa yang mereka tulis, toh isinya cuma ngata-ngatai saya Gundul Monyet (tertawa), buat apa saya tanggapi. Tapi lucu juga itu. Kan cuma coret-coret di tembok kakus, sah-sah saja orang menulis di kakus.
 
Tanya:
Dalam sejarah hidup Anda, ada dua peristiwa yang “memukul” Anda.  Pertama tuduhan bahwa Anda didukung oleh militer ketika menandatangani Manifes Kebudayaan, lantas kedua sekarang Anda kembali diserang oleh pernyataan para Sastrawan Ode Kampung. Bagaimana Anda menyikapi ini?
 
Jawab:
Yang sekarang itu bukan apa-apa bagi saya. Kalau dulu saya angap serius karena ada kekuatan politik. Kalau sekarang yang diarah oleh kawan-kawan itu apa sih? KUK ditutup atau saya dipenjara (tertawa), atau apa? Atau saya gak boleh nulis? Atau tidak ada dominasi? Nah ini soal dominasi, itu masalah, soal KUK itu jangan dianggap penting dong. Begini, Nobel itu memberikan standard penilaian, tapi bukan berarti segala-galanya. Jean Paul Sartre itu mengembalikan Nobel, dan banyak yang bagus tidak mendapat hadiah Nobel tapi tetap dihargai. Dan KUK itu tidak pernah memberikan hadiah sastra. Kalau KUK mengundang sastrawan untuk ikut festival sastra internasional, itu soal giliran saja. Kan tidak mungkin mengundang semua sastrawan. Dua puluh orang diatur saja sudah susah. Ini kan juga soal mutu. Kalau kata teman-teman kurator tidak dianggap bermutu, yang tidak diajak. Dan kalau tidak oleh KUK tidak apa-apa, bukan berarti mereka tidak jadi sastrawan. Jangan-jangan mereka lebih bermutu  daripada yang diundang. Jangan dianggap begitu. Itu malah mereka membuat KUK menjadi penting. Hegemoni, dominasi di mana? Itu yang saya tidak mengerti. Bahwa karya-karya mereka tidak dimuat di Kalam bisa saja. Nah sekarang masalah festival sastra, saya nggak pernah diundang. Ayu Utami diundang karena sekarang sudah tidak di KUK lagi. Orang KUK sendiri tidak pernah muncul ke festival itu. Karya Tony Prabowo yang orang KUK juga tak pernah dimainkan di sini. Menurut saya tidak ada dominasi. Itu perasaan orang minder saja.
 
Tanya:
Ya mindernya karena apa?
 
Jawab:
Saya tidak tahu.
 
Tanya:
Apakah ini sebagai akibat dari tidak pernah dijalinnya komunikasi  antara KUK dengan teman-teman di daerah? Sehingga meninggalkan kesan sombong?
 
Jawab:
Lho, KUK itu terbuka bagi siapa saja. Siapa yang melarang orang datang ke sini? Kalau mau datang ya datang. Undangan kita sebar. Saya gak mengerti, apa sih yang spesial bagi KUK. Kan ada juga yang lain, ada Bentara Budaya. Kenapa tidak diserang? Galeri Kompas di  Yogya juga ada, kenapa gak diserang. Saya tidak mengerti apa yang disebut dominasi? Kalau KUK dianggap penting, yang menganggap penting siapa? Kalau ada satu orang dari KUK yang menonjol yang seharusnya disaingi dengan karya juga. Saya kira biasa saja. Alasan yang biasa. Di dalam sastra, seperti di dalam olahraga, kalau ada kesebelasan bagus yang dikalahkan melalui pertandingan. Kalau olahraga kan jelas ada wasitnya, kalau dalam sastra yah seharusnya bisa bersaing terus dengan karya. Kami juga jadi geli (tertawa)  kalau KUK dilihat seperti itu. Nirwan bilang (Nirwan Dewanto), saya saja gak pernah mikirin KUK, mereka 24 jam mikirin KUK. Itu kan hanya membesar-besarkan KUK saja jadinya.
 
 
Bonnie Triyana
 
 
 
Sumber:
 
https://groups.yahoo.com/neo/groups/media-jabar/conversations/topics/929