Posts Tagged ‘Feminisme’

oleh Saut Situmorang

Prologue

I

Musim gugur 1981, Mainz, Jerman. Sebuah konferensi tentang “Peranan Perempuan di Afrika” berlangsung seperti konferensi akademis umumnya, dengan berbagai makalah yang membahas berbagai aspek dari tema konferensi dan diskusi apa adanya. Di hari terakhir konferensi sekelompok Feminis muda Jerman diundang untuk turut berpartisipasi. Hal pertama yang mereka lakukan adalah mengganti profesor laki-laki yang sejak hari pertama konferensi menjadi “moderator” diskusi dengan seorang mahasiswi yang fasih berartikulasi. Lalu mulailah acara diskusi berubah menjadi peristiwa pembuatan pernyataan-pernyataan dan komentar pribadi seperti dalam tradisi pertemuan-pertemuan kaum Feminis setelah para Feminis muda Jerman ini mulai membahas ide-ide Feminis radikal dalam buku Verena Stefan berjudul Shedding. Yang utama adalah soal hubungan mereka dengan ibu mereka: apakah mereka mesti berusaha menyadarkan ibu mereka untuk mulai menentang bapak mereka atau lebih baik untuk membiarkan saja ibu-ibu mereka itu dalam kondisi “ketertindasan” mereka masing-masing. Untuk beberapa waktu para perempuan Afrika yang hadir saat itu mendengarkan saja apa yang didebatkan para Feminis muda Jerman tersebut, tapi kemudian mereka mulai menjelaskan kepada para saudara-perempuan Jerman mereka itu bagaimana eratnya mereka rasakan hubungan mereka dengan ibu/anak masing-masing, dan bagaimana mustahilnya untuk berani membuat keputusan yang penting tanpa terlebih dulu saling meminta nasehat. (Sumber: The Post-Colonial Studies Reader, Bill Ashcroft et al., 1995, p. 251.)

II

Sekitar pertengahan 1991, Wellington, Selandia Baru. Saya sedang duduk di ruangan kuliah kampus Universitas Victoria menunggu dimulainya mata-kuliah undergraduate “Puisi Modern”. Tiba-tiba seorang cewek londo kenalan saya muncul di pintu ruangan kuliah yang besar itu, melihat saya, dan berjalan mendatangi saya. Sebelum dia duduk di samping saya, tanpa maksud apa-apa kecuali sebagai basa-basi bahasa Inggris, saya menyapanya, “Hi, girl, what’s up?” Tiba-tiba saja wajahnya berubah muram, tak senang. Setelah duduk, dia berkata, “Don’t call me girl, I’m not a girl!” Saya, tentu saja, kaget setengah mampus melihat reaksinya itu. Untung saya cepat menyadari kesalahan saya, lalu saya buru-buru menjelaskannya, “Oh, sorry! I didn’t mean it like you think I did. I only meant it like when someone, whether that person is a he or a she, says, “Hi, boys!”. Sorry.” Siang itu adalah hari pertama saya memasuki dunia politik seksual bahasa.

III

Ayu Utami dalam Si Parasit Lajang: Seks, Sketsa, & Cerita (2003) membuat daftar “10+1 Alasan untuk Tidak Kawin” sebagai “sebelas alasan kenapa tidak menikah adalah sikap politik(nya)”. Pertanyaan saya bagi dia adalah: Kalau kumpul kebo adalah Feminisme, kenapa perkawinan bukan? Kalau perkawinan adalah konstruk sosial, apakah kumpul kebo bukan? Apakah seks, juga “Ayu Utami”, bukan konstruk kultural?

***

Isu kritik Feminisme tiba-tiba menjadi topik polemik di koran-koran Jakarta beberapa waktu lalu. Awalnya adalah sebuah esei berjudul “Perempuan & Sastra Seksual” yang berisi kritik dari perspektif feminisme, religi, moral, etika, pendidikan, lingkungan, kapitalisme, pasar, dan estetis atas karya-karya para pengarang “sastrawangi” yang ditulis oleh seorang penyair perempuan cyborg bernama Medy Loekito yang diterbitkan di Jurnal Perempuan No. 30, Thn 2003, lalu di situs sastra cyberpunk Indonesia cybersastra.net, sebelum akhirnya di-upgrade jadi esei yang lebih panjang untuk buku kumpulan-esei Sastra Kota terbitan Dewan Kesenian Jakarta (2003). Versi reloaded inilah yang kemudian menimbulkan polemik koran dimaksud. Dalam esei ini, saya akan ikut berpolemik dengan melakukan studi teks atas tiga teks yang ditulis oleh tiga penulis Kelompok Belajar Nalar Jatinangor, Jawa Barat, yang muncul di koran Media Indonesia Minggu dan Koran Tempo Minggu sebagai reaksi atas esei Medy Loekito tersebut.

Seorang “Pengajar pada Jurusan Sastra Inggris Unpad, Jatinangor [yang] menyelesaikan S-2 di Institute of Women Studies di Lancaster University, Inggris dan Kajian Wanita Pascasarjana UI” [saya gak ngerti apa relevansi semua info ini terhadap isi tulisannya!] dalam tulisannya berjudul “Mencium Sastrawangi, Menubuhi Diri” (Media Indonesia Minggu, 11/1/2004) mengakui “kebakaran jenggot” karena “kebingungan” memahami teks “Perempuan & Sastra Seksual” Medy Loekito yang saya sebut di atas, di mana, menurutnya, “Feminisme, religi, moral, etika, pendidikan, lingkungan, kapitalisme, pasar dan estetika adalah kerangka ‘tinjauan’ yang dilakukan [Medy] secara menakjubkan dalam 25 halaman tulisan buku dengan font yang cukup besar” karena tidak ada penjelasan atas kesemua label tersebut dan bagaimana Medy sendiri memandang semuanya itu. Medy diklaimnya bersalah tidak memberikan uraian definisi terutama atas apa yang dimaksudkannya sebagai “Feminisme” yang banyak ragamnya itu.

Membaca tulisan berjudul “Mencium Sastrawangi, Menubuhi Diri” tersebut, entah kenapa, ada tiga hal yang membuat saya malah “kebingungan”. Pertama adalah nama penulisnya, “Aquarini P Prabasmoro”, di mana akhiran “-rini” pada nama pertamanya memaksa saya untuk memaknainya sebagai nama seorang “perempuan”. Kalau saya benar, maka bukankah sangat lucu bahwa seorang “perempuan” akan menyatakan dirinya “kebakaran jenggot” untuk mengisyaratkan rasa penasarannya atas sesuatu! Bukankah metafornya ini sangat tidak feminis bahkan cenderung anti-feminis, nggak ngonteks! Inilah hal kedua yang membuat saya “kebingungan” tadi. Dan yang ketiga, berdasarkan kedua hal yang saya sebutkan itu, saya sendiri tidak menemukan ada “penjelasan” definisi atas istilah “Feminisme” dalam tulisan Aquarini P Prabasmoro yang “kebakaran jenggot” itu, kecuali kutipan-kutipan dalam bahasa Inggris yang tidak diterjemahkan dan indeks-nama “feminis post-modern” [sic] dari negeri Perancis. Kalau pendapat para “Feminis Perancis” dianggap sebagai “kebenaran absolut” dalam membicarakan Feminisme, kenapa pendapat itu dikutip dalam terjemahan bahasa Inggrisnya, bukan dalam bahasa aslinya? Bukankah ini cuma sebuah penceritaan-kembali yang diceritakan-kembali belaka, walau pretensinya asli? Apakah yang bisa dimaknai dari peristiwa “presesi simulakrum” begini? Saya memaknainya begini: Aquarini P Prabasmoro sendiri justru terperangkap dalam apa yang dituduhkannya pada Medy Loekito: tidak memberikan penjelasan definisi atas istilah “Feminisme” tapi malah membuat klaim tekstual bahwa “Feminisme Perancis” merupakan satu-satunya Feminisme, walau dia juga menyatakan bahwa “banyak ragam feminisme”. “Feminisme” Medy Loekito, bagi dia, bukanlah sebuah “Feminisme”. Dalam kata lain, bagi saya―mengutip apa yang dikatakan Aquarini P Prabasmoro sendiri dalam tulisannya yang cuma antologi-kutipan itu―“menyatukan semua (Feminisme) dalam satu kotak [yaitu “Feminisme Perancis”] sungguh luarbiasa”. “Moralitas dan etika” yang ditekankan oleh Medy Loekito sebagai unsur penting dalam sebuah karya sastra juga dikomentari sebagai sebuah sikap yang “sangat patriarkal”, tapi bukankah “moralitas dan etika” dalam konteks posisi ketertindasan perempuan dalam suatu masyarakat patriarki justru merupakan satu unsur penting dari Feminisme, seperti yang bisa kita saksikan dalam kritik sekelompok Feminis atas pornografi dan majalah Playboy  serta para “perempuan” yang terlibat di dalamnya!

Sementara itu di hari Minggu yang sama, di koran Jakarta lain, seorang Bonardo Maulana W menulis tentang “Miopia Si Juru Tafsir” yang isinya juga menanggapi esei Medy Loekito dimaksud. Bagi “mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Pajajaran [yang] bergiat di Kelompok Belajar Nalar, Jatinangor” ini, hanya ada satu “pikiran” [sic] Medy Loekito yang ingin dibicarakannya, yaitu “bahwa bagian penting dari suatu karya sastra adalah kandungan moral dan etika, disamping parade kekuatan bahasa”. “[K]arya-karya yang bertolak dari ide tentang tubuh dan seksualitas,” yang menurut Bonardo Maulana dinyatakan oleh Medy Loekito, “telah membuat ‘ide feminisme teriritasi’”. Tapi, anehnya, apa yang sebenarnya membuat Bonardo “terkejut” justru bukanlah soal “kandungan moral dan etika, disamping parade kekuatan bahasa” yang menurut Medy merupakan “bagian penting dari suatu karya sastra” itu, melainkan apa yang dikatakannya sebagai yang dinyatakan oleh Medy bahwa Medy “mendasarkan diri pada teori sastra terbaru”. (Koran Tempo Minggu, 11/1/2004.)

Kalau Aquarini P Prabasmoro “kebakaran jenggot” dengan Feminisme Medy Loekito, maka Bonardo Maulana “terkejut” dengan “isi/muatan” Feminisme Medy tersebut: “sungguh ganjil apabila Medy, sebagai perempuan, harus menoleh kepada Paus dengan wacananya yang patriarkal, untuk bisa menemukan kata yang tepat”. Medy, menurut Bonardo, seharusnya mengkritik “dominasi Patriarki” (Paus dengan wacananya yang patriarkal itu), “atas nama moral(-isme)”. Ada keanehan di sini, di samping keanehan-keanehan lain yang dominan dalam tulisan Bonardo tersebut. Secara sepintas kita seolah-olah diberitahu bahwa Medy Loekito tidak melakukan kritik, “sebagai perempuan”, terhadap wacana patriarkal yang menindas kepentingan perempuan yang direpresentasikan oleh Paus, padahal satu-dua alinea sebelumnya Bonardo menyatakan bahwa, “Obyek utama kritik [Medy Loekito] berfokus pada praktik kuasa patriarki beserta wacana yang melanggengkannya. Berkait dengan itu, gereja, dengan Paus sebagai bagian dari strukturnya, adalah salah satu lembaga yang dikritiknya. Paus dianggap melanggengkan dogma yang patriarkal”!

Keanehan lain adalah dongeng Bonardo Maulana tentang Kritik Baru atau New Criticism di Amerika Serikat yang, menurutnya, menganggap moralisme dalam karya sastra merupakan  vitalitas dan keanggunan karya sastra! Keanehan ini makin aneh lagi waktu dia menghubung-hubungkan New Criticism dengan penyair Zaman Victoria Inggris Matthew Arnold sampai kritikus Practical Criticism Inggris FR Leavis. Kesalahan tekstual (dia telah melakukan intentional and affective fallacies waktu menghubungkan “moralisme dalam karya sastra” dengan New Criticism yang justru menganggap moralisme tidak relevan dalam membahas karya sastra) maupun historis (dia menyatakan bahwa FR Leavis menulis “pada pertengahan 1970-an”, padahal Leavis sudah jadi paus sastra Inggris sejak tahun 1930an lewat majalah Scrutiny di mana dia jadi redakturnya!) pada fiksinya ini membuat saya menganggap bahwa si juru tafsir yang myopia itu sebenarnya adalah Bonardo Maulana W sendiri, bukan Medy Loekito.

Juga terlalu gampangan, simplistik, dan tidak ilmiah, makanya anti-intelektual, untuk menyatakan seperti apa yang dinyatakan Mona Sylviana dalam tulisannya “Di Balik Ruang Kesadaran Bahasa Perempuan” (Media Indonesia Minggu, 25/1/2004) bahwa, “Peradaban yang kita huni adalah peradaban yang sangat laki-laki, sangat patriakat [sic]. Sampai sekarang pun, ideologi itu masih terus menerus memproduksi dan mereproduksi wacana. Begitu banyak ruang-ruang di mana perempuan ditaklukkan dan dibikin inferior, dihina dan dieksploitasi, diperas tak bedanya dengan tebu” waktu merujuk ke konteks budaya karya sastra yang dibicarakan Medy Loekito. Euforia ahistoris dan tidak kontekstual waktu menerima pemikiran Feminisme made-in-the-West di kalangan intelektual perempuan di Indonesia, seperti yang ditunjukkan kutipan yang sangat klise di atas, cuma menunjukkan betapa naifnya kalangan intelektual perempuan Indonesia dengan realitas kehidupan para “saudara perempuan” mereka di negeri mereka sana, dan juga di negeri mereka sendiri. Contoh yang paling menyolok akan bisa ditemukan dengan mudah justru di dalam rumah tangga para intelektual perempuan Indonesia sendiri.

Apa yang saya maksudkan adalah keberadaan “babu” (yang selalu berjenis kelamin “perempuan” dan disebut secara eufemistis sebagai “pembantu rumah tangga”) dalam, paling tidak, sebagian rumah tangga di kota-kota kecil dan besar di Indonesia. Keberadaan seorang atau dua orang “babu” dalam sebuah keluarga menunjukkan bahwa keluarga tersebut adalah keluarga kelas menengah, kelas sosial yang jadi ciri-khas rumah tangga urban di Indonesia. Seorang “babu” adalah seorang pekerja yang, biasanya, mengerjakan semua pekerjaan yang secara “patriarkal” dianggap “tugas” seorang “ibu rumah tangga”: mulai dari memasak, menghidangkannya di meja makan, mengangkat piring-gelas kotor dari meja dan mencucinya, mencuci-menjemur-menyetrika pakaian, membersihkan rumah (tidak jarang juga membersihkan luar rumah), ikut membantu mengasuh anak majikan (apalagi kalau masih kecil-kecil dan kedua majikan adalah pasangan-karier) dan belanja bahan masakan di warung atau di pasar. Jam bekerja seorang “babu” biasanya lebih lama daripada siapapun di Indonesia, apalagi dibanding dosen dan cerpenis. “Ibu rumah tangga”, baik yang berkarier maupun tidak, selalu akan membutuhkan kehadiran seorang “babu” dalam rumah tangganya, dan kebutuhan ini akan jadi lebih besar lagi pada mereka-mereka yang bekerja-karier, yang di Indonesia secara asal-asalan dianggap “Feminis” itu. Kehadiran “babu” dalam sebuah rumah tangga bahkan sudah mendapat nilai signifikansi di luar sekedar sebagai “pembantu rumah tangga” belaka, yaitu sebagai penanda status sosial. Tidak lengkap kesannya sebuah rumah tangga kelas menengah Indonesia tanpa kehadiran seorang “babu” dalam kehidupan sehari-harinya.

Apakah “kemewahan hidup” seperti ini juga dimiliki oleh para “ibu rumah tangga”, terutama para perempuan-karier yang feminis di budaya Barat sana, yang pendapat-pendapatnya tentang “masyarakat patriarki” di mana mereka hidup ditelan mentah-mentah atau diterapkan begitu saja tanpa kritis oleh para “Feminis” Indonesia? Apakah para “ibu rumah tangga” terutama yang perempuan-karier di Indonesia dimaksud tidak bisa juga dianggap telah melakukan penindasan atas sesama perempuan Indonesia dalam “isu babu” ini? Kita tahu bahwa keberadaan “babu” dalam rumah tangga Indonesia adalah karena upah kerja mereka murah, malah sangat murah kalau kita pertimbangkan berapa jam-kerja yang mereka lakukan sehari-harinya. Murahnya upah kerja ini tentu saja karena disebabkan belum adanya penghargaan yang layak terhadap arti sebuah pekerjaan, terutama “pekerjaan kasar” yang tidak memerlukan pendidikan perguruan tinggi, di Indonesia. Realitas ekonomi ini tidak akan kita temukan di budaya Barat hingga hanya mereka-mereka yang benar-benar kaya raya sajalah yang sanggup untuk mempekerjakan “babu” untuk mengurus rumah tangga mereka. Di luar faktor ekonomi ini, bukankah secara ideologis tidak dapat diterima bahwa seorang perempuan yang mengklaim dirinya “Feminis” mempekerjakan seorang perempuan lain sebagai “babu” hanya untuk mengurusi “rumah tangga”nya. Ini namanya bad faith alias munafik. Dan beginilah realitas “Feminisme” di Indonesia.

Begitu juga dengan asersi yang dibuat Mona Sylviana bahwa “Bahasa Indonesia tak terkecuali”, merupakan bahasa yang sangat laki-laki, salah satu ruang di mana perempuan ditaklukkan dan dibikin inferior, dihina dan dieksploitasi. Dia mengambil kesimpulan secara serampangan begini hanya berdasarkan satu entri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (kata “lacur”) dan satu eufemisme atas peristiwa pemerkosaan yaitu “menggagahi”. Menyatakan bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa yang sexist seperti yang dilakukan “cerpenis … yang tengah bergiat di kelompok belajar nalar” ini, tanpa mampu memberikan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan, adalah sebuah perbuatan yang menghina nalar dan sok pintar. Dia mungkin begitu terperangkap dalam pesona pendapat-pendapat para pemikir Feminis Barat (yang saya curiga tidak dibacanya langsung tapi melalui penceritaan-kembali oleh penulis lokal lain) yang mengkritisi karakter bahasa-bahasa di budaya mereka―seperti bahasa-bahasa Indo-Eropa dan Roman―yang mereka klaim sebagai bahasa sexist karena bahasa-bahasa tersebut memiliki aspek “maskulin” dan “feminin” dalam tubuh linguistiknya. Apakah bahasa Indonesia memiliki kata-ganti penanda gender untuk “maskulin” dan “feminin” seperti “he” dan “she” dalam bahasa Inggris, misalnya? Dekonstruksi linguistik seperti yang ingin dilakukan kaum Feminis berbahasa Inggris sudah mencapai tingkat tak masuk akal ketika mereka menolak untuk memakai kata “history” bagi “sejarah” karena, menurut mereka, kata tersebut terdiri dari dua unsur, yaitu “his” (kata ganti kepunyaan untuk “laki-laki”) dan “story”, yang cuma bermakna “cerita (sejarah) laki-laki”. Mereka akhirnya menciptakan satu kata baru, sebuah kata yang “feminis” untuk “sejarah”, yaitu “herstory”, sebuah gabungan dari kata “her” dan “story”: cerita (sejarah) perempuan.

Dan apakah yang dimaksud dengan “eufemisme” seperti pada “menggagahi” sebagai ganti kata “memperkosa” itu? “Eufemisme” berasal dari bahasa Junani yaitu “eus-” (baik, menyenangkan) dan “phēmē” (berbicara) dan diartikan sebagai “pemakaian kata atau frase yang tidak ofensif untuk menggantikan yang (dianggap) ofensif atau menyakitkan”. Berdasarkan pemahaman arti definisi istilah “eufemisme” ini, apakah bisa dikatakan bahwa penggantian kata “memperkosa” menjadi “menggagahi” merupakan sebuah “upaya membuat perkosaan sebagai tindakan yang gagah”, seperti yang disimpulkan Mona Sylviana? Ciptaan laki-laki Indonesia sebagai “laki-laki patriarkal”kah eufemisme tersebut, istilah umum yang dipakai laki-laki Indonesiakah kata itu, atau cuma sebuah eufemisme bahasa jurnalistik media massa Indonesia yang frekuensi pemakaiannya tinggi justru dalam era kekuasaan diktator militer Orde Baru yang memang gemar membuat eufemisme sebagai politik bahasanya? Juga, apakah benar bahwa istilah “gagah” jelas bukan kata sifat yang diperuntukkan buat perempuan, seperti yang juga diklaim Mona Sylviana? Kalau benar, lantas istilah apakah yang akan kita pakai untuk merujuk kepada para perempuan yang terlibat dalam aksi-aksi “maskulin” seperti perang (“Cut Nyak Din itu anggun”?) atau kepolisian (“Mona itu seorang polwan yang luwes dan feminin”?)?

***

Apa yang dalam dunia lit. crit. (akronim dari “literary criticism”, atau kritik sastra) di Barat saat ini disebut sebagai “The Race for Theory”, atau perlombaan teori, dengan ciri-ciri khasnya seperti pemakaian jargon linguistik, dominannya pengutipan atas apa yang ditulis para nabinya, kecenderungan untuk melakukan interpretasi eksegesis teks, langkanya pembahasan terutama atas karya sastra kontemporer, kecenderungan untuk melakukan analisis yang mekanis atas bahasa, dan generalisasi yang keterlaluan atas budaya, telah menimbulkan salah-kaprah interpretasi waktu pengaruhnya sampai di Dunia Ketiga melalui dunia akademis, yang nota bene adalah institusi sistem pendidikan Barat juga. Dekonstruksi yang dilakukan oleh para teoritikus Barat atas tradisi pemikiran budaya mereka telah dengan tanpa sadar dianggap mencakupi juga dunia budaya para fan-club mereka di Dunia Ketiga seperti Indonesia hingga terjadilah sebuah monolithisme baru, sebuah meta-narasi baru, walau konon segala sesuatu yang “meta” begini sudah gak ngetren, ketinggalan zaman, modernis. Internalisasi dari “imperialisme teori”, atau “globalisme wacana”, seperti ini bisa dilihat pada tulisan Aquarini P Prabasmoro dalam konteks “tubuh perempuan”. Karena bahasa, menurut para “Feminis Perancis”, adalah “bahasa laki-laki” di mana “perempuan” adalah “the Other”, Yang-Lain-yang-ditindas, maka “tubuh” merupakan alat bagi perempuan untuk menciptakan “bahasa perempuan”. (Yang tidak dimengerti oleh Aquarini P Prabasmoro dan anggota “Kelompok Belajar Nalar Jatinangor” lain adalah konteks teoritis yang sedang direspons oleh para “Feminis Perancis” tersebut, yaitu teori psikoanalisis Jacques Lacan. Bagi Lacan, “phallus” adalah penanda utama dari “desire”, dan karena “ketaksadaran itu memiliki struktur seperti bahasa”, maka ketaksadaran dan bahasa itu “phallic”. Falogosentrisme psikoanalisis Lacan “yang menunjukkan bias laki-laki dalam sistem simbolisasi” inilah yang dikritik para “Feminis Perancis”. Bagaimana mungkin bisa membicarakan Teori “Feminis Perancis” tanpa juga membicarakan Teori Psikoanalisis Jacques Lacan! [Saya memakai “tanda-kutip” pada istilah “Feminis(me) Perancis” untuk menunjukkan bahwa banyak ragam Feminisme dalam Feminisme Perancis, sementara yang saya rujuk di esei ini hanya nama-nama yang dikutip oleh Aquarini P Prabasmoro.])

Konsep “tubuh perempuan” sebagai écriture féminine atau “tulisan (khas) perempuan” (woman’s language) secara konsisten bisa ditemukan khususnya pada tulisan-tulisan Luce Irigaray, walaupun Hélène Cixous juga percaya bahwa “menulis (bagi perempuan) adalah tentang/dari tubuh (perempuan)”, “perempuan tidak menulis seperti laki-laki, karena perempuan bicara dengan tubuh(nya)”. Teori somatik yang menghubungkan bahasa/tulisan dan tubuh perempuan begini memakai apa yang disebut sebagai “dimorfisme seksual”, yaitu perbedaan struktur antara genital laki-laki dan perempuan, sebagai sumber dari pen-jender-an bahasa dan style. Dan satu-satunya bagian tubuh yang selalu dipakai dalam peristiwa “writing is of the body” demi mencapai “bahasa (khas) perempuan” adalah genital perempuan, organ yang memang dilecehkan dalam psikoanalisis Freud, di mana perempuan dianggap sebagai laki-laki yang dikebiri yang mengidap “penis-envy”, cemburu-terhadap-penis.

Membicarakan “tubuh perempuan” dalam tulisan-tulisan Irigaray dan Cixous dalam konteks discourse  pemikiran “Feminisme Perancis” mungkin akan memberikan tekstasi atau textual ecstasy akademis, tapi bagaimana di luar tembok akadēmeia Dunia Ketiga? Kalau kita setuju dengan apa yang dikatakan Feminis Eksistensialis Perancis Simone de Beauvoir bahwa “Seseorang itu tidak terlahir, tapi menjadi, seorang perempuan… (dan) peradaban secara keseluruhan yang memproduksi makhluk ini… yang dideskripsikan sebagai feminin”, bukankah itu berarti bahwa “perempuan” merupakan konstruk sosial, sebuah konsep yang tidak universal, kontekstual? Dalam kata lain, “tubuh perempuan Indonesia”kah yang dimaksud oleh Irigaray dan Cixous dalam tulisan-tulisan mereka? Sementara itu, dalam konteks discourse pemikiran Feminisme secara umum sendiri, obsesi para “Feminis Perancis” terhadap “tubuh” sebagai sumber segalanya juga dikritik oleh para Feminis Barat lain sebagai langkah mundur ke mitos lama bahwa biologi menentukan segalanya, karena melupakan fakta bahwa gender adalah konstruk sosial ketimbang konstruk biologis.

Saya tidak menolak anggapan bahwa terdapat penindasan atas perempuan dalam realitas kehidupan masyarakat Indonesia, tapi membicarakan realitas tersebut dalam sebuah wacana intelektual yang sarat dengan pengaruh pemikiran dari luar budaya Indonesia seperti Feminisme, tidak bisa dilakukan secara hitam-putih dan tidak kontekstual seperti yang dicontohkan oleh “Kelompok Belajar Nalar Jatinangor” di atas. Seperti yang dinyatakan oleh Aquarini P Prabasmoro sendiri, ada “banyak ragam feminisme”, dan Feminisme perempuan kulit putih tidaklah universal relevansi pemikirannya. Kaum Feminis sendiri pun tidak bisa mengklaim diri mereka sebagai “representasi perempuan”, baik di budaya mereka masing-masing apalagi bagi semua perempuan di planet Bumi ini. Persoalan perempuan pascakolonial di Dunia Ketiga tentu berbeda dengan apa yang dianggap sebagai penindasan perempuan di Eropa Barat atau Amerika Utara. Persoalan perempuan di Jakarta saja pasti akan berbeda dengan apa yang menjadi persoalan utama perempuan di Jatinangor. Bukankah pengalaman “menstrual pains” pun tidak sama pada semua perempuan! Juga, persoalan “tubuh” bukanlah persoalan utama “perempuan” dalam masyarakat pascakolonial seperti Indonesia. Seperti pada contoh “babu” di atas, “kelas sosial” masih merupakan isu penting yang membedakan Feminisme Dunia Ketiga dari Feminisme Barat. Walaupun para pengarang “sastrawangi” dielu-elukan sebagai mengusung ide pembebasan tubuh perempuan Indonesia dalam karya prosa mereka, saya masih tidak percaya kalau mereka berani membebaskan tubuh mereka seperti para turis perempuan Barat di Pantai Kuta, Bali, misalnya. Istilah “perempuan” sendiri sudah merupakan sebuah persoalan teoritis. Apakah istilah “perempuan” hanya merujuk kepada mereka yang berorientasi seks “heteroseksual” dengan mengesampingkan mereka yang “homoseksual” atau lesbian? Bagaimana pula dengan “perempuan” yang orientasi seksualnya “biseksual”? Untuk itulah sikap sadar-sejarah diharapkan dari mereka-mereka yang bermain di dunia discourse kontemporer agar tidak gegabah seperti seorang komentator postmodernism dari Bandung yang mengklaim bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat posmo hanya karena sudah punya alamat e-mail!

Epilogue

Ada semacam keberatan umum di kalangan Feminis terhadap tulisan-tulisan oleh penulis yang berjenis kelamin laki-laki yang bermaksud membicarakan topik-topik “Feminis”, atau yang dianggap sebagai “topik-topik Feminis” oleh kaum Feminis. Hal ini terjadi karena teori Feminis telah mempolitisasi semua manuver yang biasanya dilakukan penulis laki-laki hingga apa saja yang dilakukan penulis laki-laki memiliki kemungkinan untuk dianggap sebagai simptomatik dari persoalan dominasi laki-laki atas perempuan, suatu hal yang merupakan isu terpenting dari Feminisme. Seorang penulis laki-laki yang memutuskan untuk “melihat” Feminisme tidak mustahil akan menghadapi risiko dianggap terlibat dalam suatu aktivitas “melihat” yang cuma merendahkan perempuan sebagai sekedar objek voyerisme belaka. Penulis laki-laki tersebut akan dianggap telah menerapkan aturan-aturan dari suatu tatanan representasi simbolik yang memamerkan ide-ide perempuan sama seperti film dan majalah memamerkan tubuh perempuan demi untuk maksud-maksud yang sama: rasa ingin tahu yang vulgar dan pembangkit birahi.

Tatanan representasi dimaksud kadang-kadang disebut “androsentris” karena berpusat pada laki-laki (asal kata Junani andros, “laki-laki), atau “falosentrik” karena dalam kebanyakan sistem pembedaan seksual, “phallus” dianggap sebagai signifier (penanda) utama dari laki-laki, khususnya dalam konteks teori psikoanalisis.

Selama ide kepemilikan atas “phallus” adalah sama dengan kepemilikan atas kekuasaan dalam sebuah masyarakat falosentrik, maka istilah yang dipakai oleh kebanyakan Feminis untuk mendeskripsikan sebuah tatanan representasi simbolik yang juga berorientasi kepada laki-laki adalah “falokrasi” (asal kata Junani kratos, “kekuasaan”; bandingkan dengan istilah “kraton” dalam konsep kekuasaan Jawa). Dan sistem sosial yang memiliki kaitan dengan tatanan falokrasi ini―sebuah sistem yang memungkinkan laki-laki untuk mendominasi perempuan dalam semua relasi sosial―dikenal dalam wacana Feminisme sebagai “patriarki”. Penindasan yang terjadi karena dominasi patriarki termanifestasi sebagai “seksisme” (sexism).

Berdasarkan pemahaman seperti inilah maka dalam tatanan pengetahuan yang falokratik seperti yang terdapat dalam masyarakat patriarki, peristiwa “melihat” yang berakibat terjadinya “pemahaman”, berkemungkinan besar menjadi eksploitasi. Laki-laki menganggap pengetahuan sebagai sesuatu yang mesti “dikuasai” sama seperti perempuan yang juga mesti dikuasai. Maka setiap laki-laki yang “menguasai” teks-teks Feminisme telah berdosa melakukan replikasi, di tingkat wacana (discourse), atas praktek-praktek penindasan yang memungkinkan laki-laki mensubordinasi dan memanipulasi perempuan.

Demikianlah retorika keberatan umum yang bisa ditemukan di kalangan Feminis, terutama yang disebut sebagai “Feminis radikal”, terhadap tulisan-tulisan laki-laki mengenai topik-topik Feminis, yang dimaksudkan untuk membuat laki-laki tidak memasuki perdebatan kaum Feminis karena laki-laki dianggap sudah didiskualifikasi untuk bisa ikut perdebatan.

Kesadaran akan realitas ini tentu akan sangat membantu laki-laki untuk berhati-hati dalam memasuki wacana pemikiran yang disebut sebagai Feminisme itu. (Feminist Literary Studies: An Introduction, KK Ruthven, 1990.)

 

no justice symbololeh Katrin Bandel

Tentu saja aku pun tidak tahu tepatnya apa yang terjadi antara Sitok Srengenge dan mahasiswi berinisial RW itu. Justru untuk memastikan hal itu dibutuhkan pengadilan.

Namun ada beberapa hal yang menurutku agak ganjil dalam respon terhadap kasus itu di fb, twitter, comment berita dsb. Pertama, sebagian orang tampaknya cenderung tidak membedakan antara perselingkuhan dan pemerkosaan. Tiba-tiba urusan keluarga Sitok pun dibicarakan, seakan-akan ini urusan kesetiaan antara suami-istri. Seandainya Sitok cuma menyeleweng, ngapain kita ikut ribut! Itu urusan pribadinya. Tapi pemerkosaan atau pelecehan seksual adalah kekerasan, tindakan kriminal. Ini bukan sekadar urusan zinah atau pelanggaran moral, tapi tindakan kekerasan seksual!

Kedua, pada sebagian respon aku sama sekali tidak melihat ada sensitifitas terhadap kondisi psikologis seorang korban pemerkosaan atau pelecehan seksual. Misalnya, ada yang bertanya mengapa kasusnya baru sekarang diadukan, bukan langsung setelah kejadiannya. Tindakan kekerasan seksual seringkali membuat seorang perempuan merasa terhina, malu, dan seakan-akan kotor dan tidak berharga. Korban pemerkosaan mengalami trauma, bingung dan stres, kerapkali bahkan menyalahkan diri sendiri. Hal itu merupakan reaksi psikologis yang wajar dalam kondisi seperti itu, dan bukan tanda ketidaktegasan atau ketidakjujuran!

Di samping itu, bukankah memang pada kenyataannya justru korbannya yang sering disalahkan masyarakat? Perempuan yang diperkosa tidak jarang dibilang kurang pandai menjaga diri, berpakaian kelewat seksi, atau dituduh berbohong. Dalam kondisi semacam itu, bukankah wajar kalau korban bimbang, dan baru berani bersuara saat ada dukungan dan pendampingan?

cover buku Sastra Perempuan Seks_small

Judul : Sastra, Perempuan, Seks
Penulis : Katrin Bandel
Cetakan : 2006
Tebal : 166 halaman
Ukuran : 15 x 21 cm
ISBN : 979-3684-53-4
Harga : Rp 35.000
Pemesanan: http://bit.ly/15wNZ9h


 

Dalam dunia sastra Indonesia saat ini, “perempuan” dan “seks” merupakan dua isu yang sangat penting; “perempuan” terutama dalam arti “pengarang perempuan” dan “seks” sebagai tema karya sastra yang sedang ngetren. Begitu banyak pengarang perempuan baru bermunculan dalam beberapa tahun terakhir ini dan tidak sedikit dari mereka mendapat sambutan yang luar biasa, baik dari segi respons media, penghargaan sastra, maupun jumlah buku yang terjual. Benarkah karya mereka demikian hebat sehingga pantas dihebohkan serupa itu? Berbagai klaim muncul seputar para “pengarang perempuan baru” itu : tulisan mereka hebat, menciptakan gaya penulisan baru, mereka mendobrak tabu, terutama seputar seks dan hal itu sering dipahami sebagai semacam pembebasan perempuan bahkan sebagai feminisme.

Katrin Bandel dalam buku ini berusaha mempertanyakan klaim-klaim tersebut. Menurutnya, kehebohan seputar beberapa penulis perempuan (bukan “perempuan” penulis), yang secara popular disebut sebagai “sastrawangi” itu, sangat berlebihan

“Saya setuju dengan keprihatinan Katrin Bandel bahwa seakan-akan para penulis perempuan dengan sendirinya membongkar represi sosial yang selama ini diderita oleh perempuan. Keprihatinan itu bukan tanpa alasan. Di lingkungan akademis, misalnya, tidak jarang para mahasiswa mengangkat karya para penulis perempuan sebagai karya-karya feminis. Katrin Bandel mengingatkan bahwa yang paling penting adalah cara kita berargumentasi dalam memberikan penilaian atau pelabelan. Buku ini muncul dari rasa tidak puas Katrin atas cara para pengamat sastra di Indonesia memperlakukan sastra, terutama karya-karya sastra yang ditulis oleh pengarang perempuan.”

~ Dr. St. Sunardi, Ketua Program Pascasarjana Ilmu Religi & Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

oleh Katrin Bandel*

Beberapa waktu yang lalu saya sempat berdebat dengan seorang kawan mengenai karya Ayu Utami. Setelah membaca beberapa tulisan saya yang mengkritik karya itu dan mempertanyakan politik sastra seputarnya, kawan saya tersebut dapat memahami pandangan saya. Tapi meskipun demikian, baginya novel Ayu Utami tetap memiliki sebuah kelebihan: Menurut pengamatannya, novel Saman merupakan karya pertama yang dengan cukup tepat merepresentasikan gaya hidup kelompok masyarakat tertentu, yaitu gaya hidup yang dipilih sebagian perempuan kelas menengah perkotaan di Indonesia (terutama Jakarta). “Memang seperti itulah gaya hidup dan pergaulan sebagian kerabat dan kenalan saya di Jakarta,” jelas kawan saya itu dengan merujuk pada deskripsi kehidupan keempat tokoh perempuan muda dalam novel Saman dan Larung. “Baru dalam novel Ayu Utami saya menemukan representasi realitas yang saya kenal tersebut.”

Mungkin penilaian kawan saya tersebut ada benarnya. Tidak banyak novel yang menggambarkan kehidupan perempuan kelas menengah perkotaan Indonesia sebelum terbitnya Saman (1998), apalagi dengan fokus perilaku seks. Menurut pandangan saya, pada dasarnya gaya hidup perempuan kelas menengah bukan tema yang tidak menarik atau tidak relevan sebagai tema utama sebuah novel Indonesia. Namun ada hal yang bagi saya terasa sangat mengganggu pada novel Saman/Larung dan wacana seputarnya. Baik di Indonesia maupun di luar Indonesia, novel Ayu Utami tersebut umumnya tidak diperkenalkan dan dibicarakan sekadar sebagai representasi gaya hidup sekelompok perempuan perkotaan (yaitu kelompok masyarakat yang relatif kecil). Karya Ayu Utami kerapkali diperkenalkan sebagai karya feminis yang dengan berani dan subversif menyuarakan perlawanan baik terhadap tabu seputar seksualitas maupun terhadap rejim Orde Baru. Disamping itu, bahasa dan gaya tulisnya konon mengandung pembaharuan yang mengagumkan.

Sejauh ini saya belum pernah membaca pembahasan yang dapat menerangkan secara argumentatif mengapa karya Ayu Utami dapat disebut feminis atau pembaharuan bahasa dan gaya tulis apa yang dilakukannya. Tulisan yang saya baca sering begitu saja mengasumsikan kelebihan-kelebihan tersebut. Dalam pembahasan berikut saya ingin menjelaskan mengapa penilaian tersebut, khususnya penilaian bahwa karya Ayu Utami adalah karya feminis, merupakan penilaian yang salah dan menyesatkan. Di samping itu saya ingin menunjukkan bahwa kesan yang menyesatkan tersebut bukanlah hal yang bisa dilepaskan dari tanggung jawab Ayu Utami dan komunitasnya. Baik dalam novelnya, maupun dalam sebuah esei seputar proses kreatifnya, Ayu Utami sendiri dengan cukup jelas menyampaikan harapannya agar novelnya dibaca sebagai karya feminis dan sebagai pembaharuan gaya tulis. Pesan serupa juga disampaikan dalam sebuah tulisan yang mengawali resepsi novel Ayu Utami di luar Indonesia, yaitu tulisan Goenawan Mohamad berjudul “Ayu Utami – The Body Is Heard” dalam buku 2000 Prince Claus Awards.

Saya sudah cukup sering menulis dan berbicara tentang Ayu Utami dan Komunitas Utan Kayu. Masih perlukah pembahasan itu diperpanjang? Bukankah masih banyak karya sastra lain yang lebih menarik dibahas?

Bagi saya, Ayu Utami tetap relevan dibahas bukan karena karyanya luar biasa menarik atau karena tidak ada karya lain yang pantas dibahas, tapi karena sampai saat ini penilaian menyesatkan yang saya sebut di atas tetap memiliki pengaruh yang cukup besar. Tidak jarang saya menjumpai orang yang secara spontan menghubungkan feminisme dengan Ayu Utami, kadang-kadang bahkan sambil menyamakan feminisme dengan pembebasan seksual atau dengan seks bebas. Definisi feminisme yang keliru tersebut cukup merugikan menurut pandangan saya karena menimbulkan kesan seakan-akan “maju” atau “terbelakang”nya seorang perempuan tergantung terutama pada perilaku seksualnya. Di samping itu, di dunia sastra dan kritik sastra (termasuk dunia akademis) pun pandangan tentang kelebihan-kelebihan karya Ayu Utami tetap kuat. Hal itu bukan hanya menguntungkan Ayu Utami dan komunitasnya secara finansial dan dari segi reputasi, tapi juga mempengaruhi penilaian terhadap karya sastra lain.

***

Pada bulan Maret – April 2008 sebuah esei saya yang berjudul “Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa” diterbitkan di koran Republika. Esei tersebut menimbulkan perdebatan yang cukup sengit di sebuah mailing list, yaitu mailing list jurnalperempuan@yahoogroups.com. Di sini saya tidak bermaksud melanjutkan perdebatan tersebut secara keseluruhan, tapi saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk secara khusus membahas salah satu teks yang memiliki peran penting dalam wacana seputar representasi Ayu Utami dan karyanya di Eropa. Teks tersebut adalah tulisan “Ayu Utami – The Body Is Heard” oleh Goenawan Mohamad yang dimuat di buku 2000 Prince Claus Awards.

Buku yang diterbitkan dalam rangka merayakan dan mendokumentasikan pemberian penghargaan Prince Claus kepada ke-11 pemenang (satu pemenang utama dan 10 pemenang lainnya, di antaranya Ayu Utami) pada tahun 2000 tersebut tidak dijual secara bebas, juga tidak dapat diakses lewat internet. Karena keterbatasan akses itu, dalam esei “Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa” saya terpaksa hanya menggunakan beberapa bagian dari teks tersebut, yaitu bagian yang sempat dikutip oleh penulis lain. Namun saat ini buku 2000 Prince Claus Awards sudah berhasil saya dapatkan. Maka kesempatan ini akan saya manfaatkan untuk membahas teks tersebut secara lebih menyeluruh.

Tulisan Goenawan tersebut relatif pendek (2 halaman), tidak jauh berbeda daripada tulisan-tulisan lain dalam buku itu (kecuali tulisan tentang pemenang utama). Novel Saman (yaitu satu-satunya karya fiksi Ayu Utami yang sudah terbit pada saat itu) hanya dibahas secara amat singkat di akhir tulisan tersebut. Selain itu Goenawan merujuk pada beberapa esei Ayu Utami, namun tidak menyebut judulnya dan di mana esei tersebut diterbitkan. Oleh karena itu, pembacaan Goenawan terhadap esei tersebut sulit dinilai. Referensi lengkap juga tidak disebut untuk buku bawah tanah tentang Suharto, “a Readable Booklet on Suharto’s Business Empire”, yang konon ditulis Ayu Utami. Yang pasti, penyebutan tulisan-tulisan tersebut menimbulkan kesan bahwa Ayu Utami sudah cukup lama aktif di dunia penulisan pada saat dirinya menerima Prince Claus Award. Hal itu berseberangan dengan kenyataan bahwa Ayu Utami tidak dikenal di dunia sastra Indonesia sebelum novel Saman memenangkan sayembara roman DKJ pada tahun 1998.1

Fokus utama tulisan Goenawan Mohamad adalah posisi Ayu Utami di masa Orde Baru, khususnya hubungannya dengan kekuasaan. Goenawan menggambarkan Ayu Utami sebagai penulis muda yang aktif dalam perlawanan terhadap rejim Orde Baru. Sebagian besar dari tulisan Goenawan yang pendek itu menggambarkan keterlibatan Ayu Utami di AJI dan ISAI2. Sejauh mana deskripsi tersebut tepat dan sesuai dengan kenyataan, sulit saya nilai. Yang pasti, representasi Ayu Utami sebagai disiden politis tersebut kemudian dikutip dan direproduksi oleh beberapa penulis dan institusi di Eropa.3

Secara khusus, Goenawan Mohamad kemudian berfokus pada persoalan bahasa dalam kaitannya dengan kekuasaan dan dengan tubuh perempuan. Sayang sekali pembahasan tersebut bersifat sangat abstrak dan umum, sehingga sulit dipahami secara konkret apa yang dimaksudkan oleh Goenawan. Menurut pandangannya, di bawah rejim Orde Baru di mana kata-kata sering “dikorbankan” (“words […] became victims of sacrifice”), manusia selalu terancam “kehilangan diri” dalam menggunakan bahasa (“The speaker […] loses his selfhood.”) Ayu Utami, begitu penjelasan Goenawan selanjutnya, menggeluti dunia penulisan agar tidak kehilangan diri (“Not to lose her selfhood, that is what pushes Ayu further into writing.”). Mengenai cara Ayu Utami melakukan hal itu Goenawan Mohamad mengatakan:

“For a writer, however, there was a risk that the first casualty of such a confrontation would be his or her own relation with words. She or he could be drawn into imitating the regime’s practice – i.e. treating language as a mere sequence of messages. Ayu was one of the very few Indonesian writers who resisted the prevailing trend. The literary is political only when it stays ‘literary’, meaning that it is free from what she calls ‘functional language’.” (Goenawan Mohamad 2000, hlm. 81)

(Yang dimaksudkan dengan “confrontation” di kalimat pertama adalah konfrontasi dengan rejim Orde Baru.)

Argumentasi tersebut terkesan ganjil bagi saya. Mengapa Goenawan berpendapat bahwa rejim Orde Baru menggunakan bahasa “sekadar sebagai rangkaian pesan”? Bukankah justru sebaliknya, yaitu rejim Orde Baru dengan sengaja dan terencana menggunakan bahasa sebagai alat ideologis, dalam arti bahwa bahasa Orde Baru sering sama sekali tidak menyampaikan sebuah pesan secara apa adanya? Bukankah misalnya kata “pembangunan” sering bermakna penggusuran dan korupsi, “persatuan dan kesatuan” bermakna kekerasan dan pembungkaman, dan sebagainya? Bukankah bahasa Orde Baru penuh eufemisme (misalnya istilah seperti “lembaga pemasyarakatan”) dan kebohongan (misalnya pemalsuan sejarah seputar peristiwa 65)?

Menurut pengamatan saya, tulisan yang menjadi ancaman bagi rejim Orde Baru justru tulisan yang menggambarkan realitas sehari-hari di Indonesia secara apa adanya. Maka tidak mengherankan bahwa karya sastra yang dilarang atau disensor umumnya karya realis yang menyampaikan secara terbuka apa yang umumnya disembunyikan dalam wacana publik. Contohnya adalah karya Pramoedya Ananta Toer dan puisi Wiji Thukul, juga trilogi Ahmad Tohari yang sempat disensor.

Sebelum menyampaikan argumen di atas seputar bahasa yang digunakan Ayu Utami, Goenawan Mohamad menyebut usahanya bersama kawan-kawan (termasuk Ayu Utami) untuk “tidak membiarkan rejim meraih kemenangan total dalam perang informasi” (“not to give the regime the pleasure of getting a total victory in the information war”). Perang informasi itulah yang kemudian, menurut argumentasi Goenawan dalam kutipan di atas, mengandung risiko bagi penulis. Saya dapat menerima argumen Goenawan Mohamad bahwa ideologi yang dominan, dalam hal ini ideologi Orde Baru, sulit ditolak. Ideologi dominan umumnya hadir dalam kegiatan dan bahasa sehari-hari tanpa kita sadari. Mengambil jarak dan membangun sikap kritis terhadap ideologi itu adalah pekerjaan yang cukup berat.

Namun lompatan argumentasi seputar gaya tulis Ayu Utami sulit saya ikuti. Goenawan tidak menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan sastra yang “tetap ‘sastrawi’” dan “bebas dari ‘bahasa fungsional’”. Di samping itu, kalau memang gaya bahasa Ayu Utami memiliki kelebihan tertentu yang membuatnya lebih subversif atau lebih ampuh dalam perlawanan terhadap rejim Orde Baru, seharusnya hal itu dijelaskan, bukan sekadar diasumsikan. Dan saya tidak menemukan penjelasan semacam itu dalam tulisan Goenawan Mohamad tersebut.

Karena itu, menurut pandangan saya, pernyataan bahwa Ayu Utami merupakan “salah satu dari sangat sedikit penulis Indonesia yang melawan kecenderungan umum” adalah pernyataan yang sangat berlebihan. Bukankah banyak penulis, mungkin bahkan sebagian besar sastrawan Indonesia, bersikap kritis pada rejim Orde Baru – terutama sekali pada tahun-tahun terakhir rejim tersebut? Dan bukankah dalam situasi di mana kebebasan berpendapat sangat terbatas, banyak penulis memilih untuk tidak menyampaikan kritik mereka bukan sebagai protes yang lantang dan apa adanya, tapi mencari gaya dan cara penyampaian yang berbeda? Dalam hal apakah gaya tulis Ayu Utami begitu khas sehingga pantas disebut “melawan kecenderungan umum”?

Lebih jauh lagi, Goenawan Mohamad kemudian menghubungkan persoalan perlawanan terhadap rejim Orde Baru dan persoalan bahasa Ayu Utami yang konon menjadi terobosan baru tersebut dengan keperempuanan Ayu Utami:

“For this reason, I believe, she wrote a novel that uses words differently; making a paradigm of, as she puts it in an essay, kudangan. Kudangan is a moment when a Javanese mother, holding and touching her baby joyously and excitedly, sings words that carry nonverbal signification and sensuousness. In Ayu Utami’s highly acclaimed novel, ‘Saman’, one can feel the sensuous materiality of the words in its syntaxes. My impression is that her experience as a woman in today’s Indonesia has urged her to reinstall the presence of the body in language, as if insisting, to paraphrase Hélène Cixous’s slogan of 1974, that her body ‘must be heard’.” (Goenawan Mohamad 2000, hlm. 81)

Feminis Perancis Hélène Cixous terkenal terutama karena tulisan-tulisannya mengenai écriture féminine, “penulisan feminin”. Salah satu esei Cixous seputar tema tersebut yang paling sering disebut adalah “Le rire de la Méduse” (“The Laugh of the Medusa”, 19754). Dari esei itulah Goenawan mengutip pandangan Cixous mengenai tubuh dan bahasa.

Écriture feminine merupakan konsep yang cukup rumit dan sulit dipahami. Menurut Cixous dan beberapa pemikir pascastrukturalis lainnya, bahasa yang umumnya kita gunakan adalah bahasa yang maskulin dan logosentris, atau “phallogosentris”. Kebiasaan berbahasa yang dominan membuat kita berbicara/menulis seakan-akan kebenaran bersifat tunggal dan bisa diekspresikan secara linear, berjarak (objektif) dan terstuktur. Écriture féminine adalah usaha untuk mencari dan mengembangkan bahasa yang berbeda, yaitu bahasa yang mampu mengakomodasi dorongan-dorongan bawah sadar, yang tidak mengharuskan rasio menguasai atau menindas tubuh, dan yang lebih menghormati pluralitas dan ambiguitas. Seperti apakah “bahasa feminin” tersebut? Sudah adakah penulis yang berhasil menciptakannya? Sampai saat ini pertanyaan tersebut tetap terbuka.

Maka pernyataan Goenawan Mohamad tentang bahasa Ayu Utami di atas merupakan klaim yang luar biasa! Menurut pandangan Goenawan, Ayu Utami terdorong untuk “menghadirkan kembali tubuh dalam bahasa” (“reinstall the presence of the body in language”), sesuai dengan harapan Cixous agar perempuan membuat “membuat tubuhnya didengar”. Lebih jauh lagi, di mata Goenawan, Ayu Utami bukan hanya berusaha menciptakan bahasa baru yang diimpikan Cixous tersebut tapi dia benar-benar sudah berhasil menciptakannya! Paling tidak itu yang disampaikan oleh judul tulisan Goenawan, yaitu “The Body Is Heard” – tubuh bukan lagi mesti didengar, tapi sudah didengar!

Klaim tersebut sangat berlebihan menurut pandangan saya, terutama karena Goenawan Mohamad sama sekali tidak memberikan argumentasi yang lebih mendetil ketimbang sekadar asumsi-asumsi abstrak dan sulit diikuti dalam alinea yang saya kutip di atas. Apa yang dimaksudkan dengan “sensuous materiality of the words in its syntaxes” yang konon bisa dirasakan dalam novel Saman? Dengan cara apakah Ayu Utami menghadirkan tubuh dalam bahasa?

Seperti apa sebetulnya bahasa yang digunakan Ayu Utami dalam novel Saman? Ayu Utami sering memakai kata atau ekspresi yang kurang lazim digunakan (misalnya “selarit matahari”, “ceruk jalan”5, dsb.), atau yang bahkan sama sekali tidak biasa digunakan dalam bahasa Indonesia (misalnya “bujet”6). Dia sering menggunakan perbandingan yang unik atau ganjil, misalnya “pucat bagai cicak”7atau “wajahnya padam seperti api sumbu yang ditangkupkan stoples bening”8. Di samping itu, dalam novel tersebut kita sering menemukan kalimat-kalimat “berfilsafat” yang terkesan abstrak atau “puitis”, tapi tidak begitu jelas maksudnya (paling tidak bagi saya), misalnya: “Tak pernah ada yang salah dengan cinta. Ia mengisi sesuatu yang tidak kosong. Tapi yang terjadi di sini adalah asmara, yang mengosongkan sesuatu yang semula ceper. Dengan rindu. Belum tentu nafsu.”9

Itukah écriture féminine? Ciri khas apa yang membuat bahasa Ayu Utami tersebut “lebih perempuan” daripada bahasa penulis lain? Dan di manakah perlawanan terhadap rejim Orde Baru yang konon hadir dalam bahasa Ayu Utami?

Tulisan Goenawan tidak memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Yang saya temukan di situ hanya asumsi dan renungan abstrak yang tidak dipertanggungjawabkan lewat argumentasi dan bukti.

***

Goenawan Mohamad dalam tulisannya yang saya bicarakan di atas hanya secara sekilas saja menyebut tema seksualitas dalam karya Ayu Utami. Fokusnya adalah representasi Ayu Utami sebagai peserta aktif dalam perjuangan melawan rejim Orde Baru. Mungkin fokus semacam itu dianggapnya lebih cocok dalam memperkenalkan Ayu Utami di luar negeri dan mempertanggungjawabkan pemberian Prince Claus Award.

Namun di Indonesia unsur yang paling banyak disebut seputar kedua novel Ayu Utami, Saman (1998) dan Larung (2001), adalah “keterbukaan baru” dalam representasi seksualitas. Pada bagian-bagian novel yang menceritakan keempat tokoh perempuan Shakuntala, Laila, Yasmin dan Cok, seks menjadi tema utama. Perilaku seksual yang diceritakan hampir sepenuhnya bertentangan dengan norma masyarakat (Indonesia), dalam arti bahwa yang diceritakan bukanlah hubungan heteroseksual yang disahkan oleh surat nikah. Shakuntala mempunyai kecenderungan biseksual, Laila jatuh cinta pada seorang laki-laki yang sudah menikah, namun akhirnya berhubungan seks dengan Shakuntala, Yasmin menghianati suaminya dengan sekaligus “memurtadkan” seorang pastor, lalu mewujudkan fantasi sadomasokisnya dengan bekas pastor tersebut, dan Cok gemar berganti-ganti pasangan. Kiranya tidak salah kalau kita menyimpulkan bahwa dalam kedua novel tersebut seksualitas direpresentasikan dengan cara yang provokatif.

Namun representasi seksualitas tersebut bukan hanya bersifat provokatif, tapi juga dengan sangat jelas dihubungkan dengan persoalan gender dan dengan feminisme. Seperti yang dikemukakan antara lain oleh Kris Budiman dalam bukunya Pelacur dan Pengantin Adalah Saya (2005), perlawanan terhadap ideologi patriarki alias falosentrisme terungkap dengan cukup eksplisit pada beberapa bagian kedua novel Ayu Utami tersebut. Khususnya, stereotipe perempuan sebagai pihak yang pasif di hadapan laki-laki yang aktif digugat antara lain dalam deskripsi hubungan seksual di mana vagina digambarkan sebagai bunga karnivora yang menjebak dan menghisap “binatang yang […] bodoh, dan tak bertulang belakang”10 alias penis. Deskripsi itu bersama beberapa bagian novel yang lain menurut Kris Budiman “menunjukkan bahwa modus relasi seksual perempuan vis-a-vis laki-laki sebetulnya bukanlah intrusi atau secara pasif ‘di-coblos’, melainkan secara aktif mengkonsumsi, ‘meng-hisap’”11.

Representasi perilaku dan orientasi seksual yang demikian beragam dan gugatan terhadap stereotipe perempuan yang pasif dengan mudah dapat membawa kita pada kesimpulan bahwa novel Ayu Utami jauh dari nilai heteronormatif dan falosentris, atau bahwa Ayu berhasil menciptakan representasi seksualitas yang berbeda (“lebih perempuan”) daripada yang kita kenal selama ini (di Indonesia). Saman dan Larung hadir sebagai novel yang jelas-jelas minta dibaca sebagai novel feminis.

Feminisme macam apakah itu? Tampak dengan cukup jelas bahwa Ayu Utami terpengaruh oleh teori yang sama atau sejalan dengan yang dikutip Goenawan Mohamad dalam tulisannya yang saya bahas di atas. Ide-ide yang diungkapkan dalam kedua novel itu tampaknya sengaja disesuaikan dengan teori-teori feminisme Perancis (feminisme pascastruktural), paling tidak secara permukaan. Seperti yang sudah saya bicarakan secara sekilas di atas, menurut pemikiran Cixous dan pemikir lain yang “sealiran” (terutama Luce Irigaray), cara berpikir yang dominan dalam masyarakat modern (Barat) bersifat maskulin atau falosentris. Cirinya antara lain kepercayaan pada kebenaran yang tunggal, hierarki yang kaku dan pandangan humanis tentang individu yang bebas dan mandiri. Bagi pemikir tersebut, femininitas menjadi semacam konsep alternatif yang dipertentangkan dengan maskulinitas yang dominan itu – sebuah sikap hidup yang dinilai lebih positif.

Salah satu adegan novel Ayu Utami yang tampaknya terpengaruh oleh konsep-konsep tersebut adalah bagian novel Larung di mana Shakuntala membandingkan sikap hidupnya sendiri dengan sikap hidup abangnya. Penggambaran sifat si abang itu merupakan semacam karikatur maskulinitas dalam pemahamannya yang paling negatif: Si abang selalu berusaha membuktikan diri, “mencoba segala hal hingga maksimal”12, khususnya dalam dua wilayah yang “khas laki-laki”, yaitu kemampuan berereksi dan kebolehan membawa sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Mengenai latihan ereksi abangnya, dengan nada sedikit mengejek Shakuntala mengatakan: “ia bisa menyuruh-nyuruh bagian-bagian tubuhnya seperti seorang komandan memerintah batalyon dan kompi”13. Perbandingan dengan dunia militer itu pun tentu merupakan unsur konstruksi maskulinitas yang sangat sesuai dengan stereotipe negatif yang ingin dibangkitkan di sini. Di samping itu, si abang memiliki kepercayaan pada akal/rasio yang amat berlebihan, yakin “bahwa akal akan menaklukkan badan”14, dan dia bahkan “tak mau percaya bahwa ada otot sadar dan otot tak sadar. Semua otot adalah sadar, ia bersikeras”15. Berkat latihannya, dengan kekuatan akal (yaitu dengan mengulang-ulang kata “ngaceng”) dia dapat memerintah alat vitalnya untuk berdiri. Pendek kata, tokoh abang Shakuntala tampil sebagai wujud atau lambang falosentrisme par excellence. Dan penilaian yang ingin disampaikan terhadap sikap hidup semacam ini pun tampak dengan amat jelas. Karena begitu berlebihan, sifatnya terkesan konyol, dan akhirnya bahkan membawa celaka: Si abang meninggal disebabkan sebuah kecelakaan lalulintas ketika dia mencoba merealisasikan ambisinya untuk mengelingi pulau Jawa “dengan kecepatan puncak” 16 di atas sepeda motornya.

Berseberangan dengan sikap abangnya, bagi Shakuntala “keputusan-keputusanku diperintah oleh dorongan tubuh untuk menari. Sebab bagiku menari adalah menjadi. […] Tubuhku hanya ingin menjadi. Tapi apa salahnya menjadi tidak genap?”17. Dalam sebuah esei berjudul  “Membantah mantra, membantah subjek” di jurnal Kalam (edisi 12, 1998) Ayu Utami secara langsung menghubungkan sikap tokoh Shakuntala dalam novel Saman dengan sikapnya sendiri sebagai pengarang. Di bagian lain dari esei yang sama Ayu mengatakan: “Mengarang, bagi saya, adalah kesediaan melibatkan, meleburkan diri, dan menerima kemungkinan-kemungkinan yang tak direncanakan” – sangat mirip dengan ungkapan Shakuntala di atas. Dengan pilihannya untuk “menjadi tidak genap” (seperti novel Ayu yang diterbitkan sebagai “fragmen”), biseksualitasnya, dan pemberontakannya terhadap nilai-nilai patriarkal, Shakuntala menjadi semacam tokoh perempuan ideal yang sekaligus melambangkan “filsafat posmo” yang dipilih Ayu sebagai kredo kepengarangannya.

Seperti yang dilakukan Goenawan Mohamad dalam tulisan “Ayu Utami – The Body Is Heard”, Ayu Utami sendiri pun mempersoalkan gaya tulisnya dan menggambarkan gaya tulis tersebut sebagai pilihan yang istimewa dan baru. Dalam eseinya, Ayu menceritakan betapa dia “sengaja” memilih menulis “novel polifonik” dengan “diksi yang berbeda bagi masing-masing Aku”. Namun dia juga mengaku bahwa “novel itu tidak sepenuhnya menurut padaku”, kadang-kadang cerita berkembang di luar rencananya sendiri.

Pengakuan tersebut tentu sama sekali bukan sesuatu yang luar biasa. Bahwa dalam proses menulis ada hal-hal yang dengan sadar diatur dan diciptakan, dan ada pula hal yang timbul begitu saja tanpa sengaja, merupakan pengalaman yang pasti dikenal hampir setiap penulis. Yang terkesan sedikit ganjil bagi saya adalah penilaian yang secara implisit terkandung dalam ungkapan Ayu tentang pengalaman mengarangnya tersebut. Bukan saja dengan sangat percaya diri dia menilai novelnya sendiri sebagai “novel polifonik” (yang berarti memuji diri sendiri sebagai “pembaharu”, pembawa gaya tulis yang masih belum lumrah di Indonesia), juga ceritanya mengenai perkembangan alur novel yang di luar rencana semula terkesan amat tidak kritis. Menurut pengakuannya, pada titik tertentu tokoh-tokoh novelnya seakan-akan mulai memiliki hidup dan kemauannya sendiri, sehingga sebagai pengarang dia “terpaksa” “takluk [p]ada ciptaannya”. Meskipun menggunakan kata “terpaksa”, cukup jelas bahwa dia tidak menganggap kejadian itu sebagai sesuatu yang negatif. Malah timbul kesan bahwa dia sangat membanggakannya. Sepertinya dia merasa tidak perlu bersikap kritis terhadap bagian teks yang muncul “di luar rencana” itu, seakan-akan apa yang mengalir dari tangannya bersumber pada semacam “jenius” di kedalaman dirinya yang tak perlu diragukan. Padahal dalam esei yang sama, bahkan pada alinea yang sama, dia merujuk pada pemikiran Roland Barthes tentang matinya sang Pengarang!

Saya tidak percaya pada “jenius” semacam itu. Namun saya yakin bahwa dalam setiap teks pasti ada hal-hal yang disampaikan secara eksplisit, dan ada yang ikut tersampaikan dengan tersembunyi atau tanpa sengaja. Dan menurut pengalaman saya, hubungan antara kedua jenis “isi teks” itu sering penuh ambivalensi. Misalnya dalam sebuah novel dengan pesan yang jelas, mungkin saja kita menemukan bagian yang secara agak tersembunyi justru berlawanan dengan pesan tersebut. Ambivalensi semacam itu biasanya sangat menarik disoroti dan diteliti, dan itulah yang ingin saya lakukan dalam pembahasan saya terhadap novel Ayu Utami.

Dalam hal representasi seksualitas, novel Ayu Utami memiliki pesan yang cukup eksplisit, yaitu apa yang sudah saya sebut di atas: membicarakan seks dengan keterbukaan yang provokatif, memprotes stereotipe pasif perempuan, menolak falosentrisme pada umumnya, mengakui orientasi seksual yang plural. Namun ambivalensi tak terlalu sulit dicari. Berikut ini saya akan mengemukakan beberapa hal yang justru bertentangan dengan pesan eksplisit tersebut.

Dalam representasi hubungan homoseksual antar-perempuan (lesbianisme), novel Saman/Larung ternyata justru mereproduksi stereotipe yang sangat tidak menguntungkan bagi perempuan, khususnya lesbian. Tokoh Laila digambarkan sebagai seorang perempuan yang sama sekali tidak memiliki kecenderungan menjadi seorang lesbian. Dia heteroseksual 100%. Namun pada saat sedang patah hati karena dikecewakan oleh pacarnya, dia tidak menolak ketika didekati secara seksual oleh Shakuntala. Hubungan seks antara kedua perempuan itu pun terjadilah. Stereotipe yang direproduksi di sini adalah anggapan bahwa perempuan cenderung menjadi lesbian karena dikecewakan oleh laki-laki! Di samping itu, sebuah prasangka yang sering kita dengar dari orang awam tampaknya justru terbukti benar di sini, yaitu kekhawatiran bahwa lesbianisme dapat “menular” sehingga berbahayalah bagi perempuan “normal” (baca: heteroseksual) seperti Laila untuk bergaul dengan orang seperti Shakuntala.

Alasan Shakuntala mengajak Laila bercinta adalah untuk mengajari kawannya itu mengenal tubuhnya sendiri. Menurut penilaian Shakuntala, Laila belum pernah mengalami orgasme, dan keadaan itu tidak boleh dibiarkan berlangsung lebih lama. Argumentasi ini terasa janggal bagi saya: bukankah untuk mengenal tubuhnya sendiri dan mengalami orgasme seorang perempuan tidak mesti berhubungan seks, apalagi melakukan hubungan seks yang tidak sesuai dengan orientasi seksualnya sendiri? Kalau Laila memang begitu lugu atau kaku sehingga dia tidak berinisiatif untuk mengeksplorasi tubuhnya sendiri, bukankah cukup kalau Shakuntala menyarankan padanya untuk mencoba masturbasi, seperti yang misalnya dilakukan tokoh Lara pada Mei dalam situasi yang serupa dalam novel Tujuh Musim Setahun karya Clara Ng18?

Meskipun hampir seluruh kisah keempat sahabat Shakuntala, Laila, Cok dan Yasmin itu berkisar pada pengalaman seksual mereka, masturbasi hampir tidak pernah disebut, paling tidak masturbasi yang dilakukan perempuan. Misalnya pada bagian akhir Saman yang terdiri dari email Yasmin dan Saman, Saman memberitahukan bahwa dia masturbasi, dan Yasmin membalas bahwa dia membayangkan Saman pada saat dia melakukan hubungan seks dengan suaminya19 – hanya tokoh laki-laki yang melakukan masturbasi!

Absennya masturbasi tersebut dapat dihubungkan dengan sebuah gejala lain yang terdapat pada representasi kenikmatan seksual dan orgasme perempuan dalam novel Saman/Larung. Dalam buku hariannya, tokoh Cok menceritakan pengalamannya ketika sebagai murid SMA dia mulai melakukan hubungan seks. Karena tidak mau kehilangan keperawanannya, pada awalnya hubungan dengan pacarnya berbentuk tindakan sang pacar merangsang alat kelaminnya dengan menggosokkannya pada payudara Cok dan seks anal. “Lalu kupikir-pikir, kenapa aku harus menderita untuk menjaga selaput daraku sementara pacarku mendapat kenikmatan? Enak di dia nggak enak di gue,” begitu kesimpulan Cok mengenai pengalaman itu, dan dia pun memutuskan untuk berhenti menjaga keperawanannya20. Di sini timbul kesan bahwa dalam hubungan heteroseksual, perempuan hanya dapat merasa nikmat dan mencapai orgasme apabila terjadi coitus (penetrasi penis ke dalam vagina), sedangkan laki-laki mempunyai alternatif lain untuk mencapai orgasme. Hal yang sama terjadi pada Laila saat dia berhubungan seks dengan pacarnya Sihar tanpa terjadinya penetrasi. Di sini pun Sihar mencapai orgasme, sedangkan Laila tidak21.

Tentu saja kisah pengalaman seksual semacam itu dapat dikatakan cukup realistis sebab mungkin saja laki-laki, dalam hal ini pacar Cok dan Sihar, hanya mementingkan kenikmatannya sendiri dan tidak memperhatikan kebutuhan seksual pasangannya. Namun peristiwa hubungan seks yang kurang memuaskan itu sama sekali tidak dihubungkan dengan sebuah kelalaian, dalam arti bahwa seharusnya si gadis pun dirangsang, misalnya dengan jari atau mulut, sehingga tanpa terjadinya coitus pun dia dapat mencapai orgasme. Seperti juga masturbasi, praktek seks di luar coitus menjadi monopoli laki-laki.

Dalam sebuah email pada Saman, Yasmin menulis: “Orgasme dengan penis bukan sesuatu yang mutlak.”22 Kalimat ini tampaknya berlawanan dengan apa yang saya kemukakan di atas. Apakah ini merupakan kalimat pembuka untuk bercerita tentang masturbasi atau tentang praktek seksual lain yang memberi kenikmatan pada perempuan tanpa terjadinya coitus, misalnya seks oral? Ternyata tidak. Yasmin melanjutkan emailnya: “Aku selalu orgasme jika membayangkan kamu. Aku orgasme karena keseluruhanmu.” Ternyata sekadar rayuan gombal untuk meredakan rasa rendah diri Saman karena tak mampu membuat Yasmin mencapai orgasme. Paling tidak, kata “orgasme” dalam konteks ini bisa dipahami sekedar sebagai ungkapan metaforis, bukan sebagai kata untuk menyebut pencapaian puncak seksual secara fisik.

Lalu bagaimana dengan hubungan seks yang terjadi antara Shakuntala dengan Laila? Jelaslah di sini tidak terjadi coitus, dan praktek seksual yang saya sebut sebagai monopoli laki-laki dalam hubungan heteroseksual di atas mestilah digunakan oleh kedua perempuan itu. Namun justru adegan itu diceritakan dengan sangat singkat dan kabur. Dengan “kesopanan” yang terasa janggal dalam sebuah karya yang begitu “terbuka” mengenai seks di bagian-bagian lain, narasi diputuskan pada saat Shakuntala membuka baju dan mulai berdekatan dengan Laila23. Narasi kemudian malah dilanjutkan dengan cerita metaforis mengenai vagina sebagai bunga karnivora yang sudah saya sebut di atas, yaitu cerita yang justru mempersoalkan hubungan seksual antara perempuan dan laki-laki! Hanya kalimat terakhir yang, mungkin, dapat dibaca sebagai semacam keterangan mengenai apa yang terjadi antara Shakuntala dan Laila: “Tapi klitoris bunga ini tahu bagaimana menikmati dirinya dengan getaran yang disebabkan angin”24. Apa perlunya “pengaburan” semacam itu? Mengapa misalnya cara abang Shakuntala melatih ereksinya diceritakan dengan begitu gamblang, sedangkan untuk mendeskripsikan rangsangan pada klitoris saja diperlukan metafora aneh yang kurang mengena tentang “angin” yang menggetarkannya?!

Bahwa cerita tentang bunga karnivora ditempatkan pada adegan itu bukanlah sebuah anakronisme. Setelah Shakuntala memutuskan bahwa Laila perlu diberi “pelajaran seks” sebelum menemui Sihar lagi, dia melanjutkan: “Setelah itu kamu [Laila] boleh pergi: Sebab vagina adalah sejenis bunga karnivora …” Artinya, lewat hubungan seks antar-perempuan Shakuntala bermaksud mengajari Laila mengenai hakekat hubungan seks “secara umum”, dan yang dimaksudkan dengan seks “secara umum” itu adalah hubungan heteroseksual. Heteronormatifitas yang tampak sangat jelas dalam adegan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa Laila tertarik pada sisi maskulin dalam diri Shakuntala, dan pada saat hubungan seks dimulai, Laila “tak tahu lagi siapa dia. Apakah Tala apakah Saman apakah Sihar”25. Hubungan homoseksual di sini sekadar semacam variasi dari heterosexual matrix.

Seperti yang sudah diutarakan di atas, metafora bunga karnivora dapat dipahami (dan tampaknya dimaksudkan) sebagai gugatan terhadap stereotipe kepasrahan perempuan. Perempuan yang sering diibaratkan bunga yang madunya diisap kumbang, yaitu sebagai pihak yang pasif, di sini disulap menjadi pihak yang aktif sebagai bunga penghisap “cairan dari makhluk yang terjebak dalam rongga di balik kelopak-kelopaknya yang hangat”. Tapi di sisi lain, di sini pun sekali lagi ejakulasi laki-laki menjadi pusat segala kenikmatan: “Otot-ototnya yang kuat […] akan memeras binatang yang masuk, dalam gerakan berulang-ulang, hingga bunga ini memperoleh cairan yang ia hauskan. Nitrogen pada nepenthes. Sperma pada vagina.”26. Vagina yang haus akan sperma – itukah representasi seks versi perempuan, versi yang tidak falosentris? Dilihat dari segi biologis, representasi tersebut bisa dikatakan tidak sesuai dengan anatomi tubuh dan fungsi seksual perempuan. Dalam merasakan kenikmatan seksual dan mencapai orgasme ketika berhubungan seks, bagi seorang perempuan semprotan sperma ke dalam vagina jelas tidak terlalu berpengaruh, atau mungkin bahkan bisa dikatakan tidak berarti sama sekali. Misalnya kalau si laki-laki belum/tidak berejakulasi atau berejakulasi ke dalam kondom, hal itu tentu tidak menjadi halangan bagi pasangan perempuannya untuk mencapai orgasme.

Yang terasa mengganggu pada gambaran stereotipikal tentang perempuan sebagai bunga dan laki-laki sebagai kumbang antara lain adalah implikasi yang timbul karena gambaran itu diambil dari alam. Bunga sudah secara alami diam di tempat, dan kumbang sudah secara alami berpindah dari satu bunga ke bunga lain. Jadi dalam penggunaan pengumpamaan semacam itu terdapat asumsi bahwa sifat pasif pada perempuan dan sifat aktif serta tidak setia pada laki-laki pun merupakan sifat alami (kodrati). Ayu Utami mengganti bunga yang pasif itu dengan jenis bunga yang ganas dan aktif namun cerita mengenai “kehausan” bunga itu akan cairan kembali membawa kita pada persoalan kodrat. Bukankah akhirnya kontraksi otot vagina (yang terjadi ketika perempuan mengalami orgasme) terkesan sebagai semacam “naluri alam” untuk menghisap sperma, dalam arti bahwa orgasme perempuan terjadi bukanlah demi kenikmatan, tapi demi masuknya sperma ke dalam rahim, atau dengan kata lain: demi kelanjutan umat manusia?

Dari sebuah novel yang mengangkat seksualitas perempuan sebagai salah satu tema utamanya saya tentu saja mengharapkan perhatian terhadap beberapa persoalan dasar yang menjadi ciri khas pengalaman seksual perempuan. Salah satunya adalah kenyataan bahwa perempuan dapat melakukan hubungan seks, dan bisa hamil karenanya, tanpa menikmatinya dan tanpa mencapai orgasme. Cerita mengenai vagina sebagai bunga karnivora menghubungkan kenikmatan/orgasme perempuan dengan ejakulasi laki-laki. Tapi bukankah setiap perempuan menyadari bahwa tanpa “diperas” sekalipun, “binatang bodoh tak bertulang belakang” itu tetap akan memuntahkan cairannya! Dengan kata lain, pengibaratan vagina sebagai bunga karnivora hanyalah sekedar sebuah permainan imaji yang tidak sesuai dengan realitas pengalaman perempuan.

Representasi seksualitas dalam novel Saman/Larung berpusat pada hubungan heteroseksual, khususnya pada coitus. Kecenderungan itu bahkan dapat ditemukan pada representasi tingkah laku seksual yang jauh menyimpang dari norma, yaitu hubungan sadomasokis Yasmin dengan Saman. Dilihat secara sekilas, di sini sekali lagi kita menemukan pemberontakan atau pemutarbalikan terhadap relasi kekuasaan laki-laki-perempuan yang normatif: Yasmin mengambil peran sebagai penyiksa, Saman sebagai korban. Kutipan berikut ini adalah deskripsi Yasmin tentang pengalaman itu dalam sebuah suratnya kepada Saman:

“Kamu biarkan aku mengikatmu pada ranjang seperti kelinci percobaan. Kamu biarkan jari-jariku bermain-main dengan tubuhmu seperti liliput mengeksplorasi manusia yang terdampar. Kamu biarkan aku menyakitimu seperti polisi rahasia menginterogasi mata-mata yang tertangkap. Kamu tak punya pilihan selain membiarkan aku menunda orgasmemu, atau membiarkan kamu tak memperolehnya, membuatmu menderita oleh coitus interuptus yang harafiah.” (Larung, hlm. 157)

Meskipun permainan seks yang digambarkan di sini jauh dari imaji normatif tentang persetubuhan, sekali lagi pusatnya adalah coitus. Dan siksaan yang diceritakan dengan paling rinci dan jelas adalah penundaan atau pencegahan orgasme Saman, sehingga timbul kesan bahwa coitus interuptus menyebabkan penderitaan yang luar biasa bagi seorang laki-laki. Penderitaan itu terkesan jauh lebih hebat daripada misalnya penderitaan Laila atau Cok yang terangsang dan birahi, namun tidak mencapai orgasme dalam permainan seks, seperti yang sudah saya sebut di atas. Ternyata dalam hubungan seks yang didominasi oleh seorang perempuan ini pun coitus digambarkan sebagai satu-satunya cara berhubungan seks, dan orgasme laki-laki menjadi pusat perhatian. Apakah Yasmin mencapai orgasme, sama sekali tidak dipersoalkan!

Di samping Shakuntala, Laila, Yasmin dan Cok, masih ada seorang tokoh perempuan lain yang tingkah laku seksualnya dipersoalkan dengan cukup rinci. Tokoh yang saya maksudkan adalah Upi, seorang gadis cacat mental yang diberi perhatian khusus oleh Romo Wis (Saman). Upi menjadi tokoh yang cukup penting bagi representasi seksualitas dalam novel Saman/Larung. Karena cacat mental, Upi digambarkan sebagai semacam wujud seksualitas yang tidak terkekang, yang “alami”. Bahwa birahi Upi dipahami terutama sebagai persoalan alam atau persoalan biologis, terlihat misalnya pada deskripsi Upi sebagai gadis “yang mentalnya tersendat namun fisik dan estrogen dan progesteronnya tumbuh matang” (Saman, hal. 76-77), juga pada keterangan ibu Upi bahwa sang gadis biasanya mengalami semacam masa birahi, yaitu dia menjadi beringas kira-kira seminggu sebelum haid27.

Representasi seksualitas yang “alami” tersebut dalam beberapa hal tidak jauh dari seksualitas tokoh perempuan yang lain. Upi mencari kepuasan seksual secara aktif dan agresif seperti Cok dan Shakuntala, dan dia menggabungkan pemuasan birahi dengan tindakan penyiksaan seperti Yasmin, yaitu penyiksaan terhadap binatang. Namun ada hal yang khas pada representasi seksualitas Upi: gadis itulah satu-satunya tokoh perempuan yang diceritakan beronani. Masturbasi dilakukannya dengan cara menggosokkan selangkangannya pada pohon, tiang listrik, pagar atau sudut tembok28, dan selain itu dia gemar “memperkosa” binatang. Tidak diterangkan dengan rinci apa yang dimaksudkan dengan “memperkosa” di sini, hanya satu kasus yang digambarkan dengan jelas, yaitu “ia mengempit seekor bebek di pangkal pahanya sambil mencekik leher binatang itu”29.

Seksualitas Upi awalnya digambarkan seperti berikut:

“Gadis itu terkenal di kota ini karena satu hal. Dia biasa berkeliaran di jalan-jalan dan menggosok-gosokkan selangkangannya pada benda-benda […] seperti binatang yang merancap. Tentu saja beberapa laki-laki iseng pernah memanfaatkan tubuhnya. Konon, anak perempuan ini menikmatinya juga. Karena itu, kata orang-orang, dia selalu saja kembali ke kota ini, mencari laki-laki atau tiang listrik” (Saman, hlm. 68).

Di sini timbul kesan bahwa pada awalnya Upi tidak birahi pada laki-laki, tingkah laku seksualnya berfokus pada tubuhnya sendiri. Seks baginya bukan interaksi dengan orang lain, melainkan stimulasi tubuhnya sendiri yang memberi kenikmatan. Segala macam rangsangan psikologis yang biasanya sangat berpengaruh dalam perilaku seksual manusia yang sehat mental, tampaknya tak begitu penting baginya. Seksualitasnya sepenuhnya persoalan tubuh. Dan hubungan seks dengan laki-laki yang kemudian terjadi atas inisiatif para laki-laki yang birahi, dinikmatinya bukan karena sifat hubungan pribadinya dengan laki-laki itu tetapi semata-mata karena rangsangan seksual yang diterimanya.

Tapi interpretasi dan intervensi yang kemudian dilakukan Romo Wis sangat jauh dari gambaran awal tentang seksualitas Upi tersebut. Karena kelakuan Upi kadang-kadang agresif dan membahayakan orang lain, keluarganya menguncinya dalam sebuah bilik. Wis pun tidak mampu mencari solusi lain – pengobatan di rumah sakit terlalu mahal – tapi dia memutuskan untuk meringankan penderitaan Upi dengan membuatkan “penjara” yang lebih luas dan bersih untuknya. Dalam pembuatan tempat tinggal Upi itu, kebutuhan seksual Upi juga diperhatikan. Wis mengenal tingkah laku seksual Upi (kutipan di atas adalah cerita seseorang padanya), dan dia sendiri pun sempat dikagetkan oleh pendekatan seksual Upi: Upi tiba-tiba meraba kemaluannya30. Sebagai “solusi”, tempat tinggal Upi yang baru dilengkapinya dengan sebuah patung yang dipresentasikannya pada Upi dengan kata-kata berikut: “Upi! Kenalkan, ini pacarmu! Namanya Totem. Totem Phallus. Kau boleh masturbasi dengan dia. Dia laki-laki yang baik dan setia.”31. Kalau pada awalnya masturbasi digambarkan sebagai perilaku seksual Upi yang utama, sedang seks dengan laki-laki hanya kebetulan dikenalnya, maka dalam ucapan Wis ini kita temukan asumsi bahwa seksualitas Upi adalah birahi pada laki-laki.

Masturbasi mengalami degradasi, dalam arti: masturbasi hanya menjadi pengganti seks yang “sungguhan”, yaitu seks dengan seorang laki-laki. Anehnya, meskipun konon dibuat untuk keperluan masturbasi, patung itu tidak dilengkapi alat kelamin! Artinya, yang dibuatkan Wis adalah simbol laki-laki atau simbol phallus, bukan alat yang secara teknis pantas digunakan sebagai alat masturbasi. Atau mungkin Upi diharapkan menggosokkan selangkangannya pada patung yang terbuat dari batang pohon itu seperti sebelumnya dia menggosokkannya pada benda lain – hanya saja batang pohon itu kini telah disulap menjadi “laki-laki”. Mungkinkah batang pohon itu akan mampu memberikan kenikmatan yang lebih pada Upi hanya karena sudah dijadikan simbol “laki-laki baik dan setia”?

Seksualitas Upi yang pada awalnya digambarkan sebagai semacam hasrat primitif untuk memperoleh kenikmatan dengan merangsang alat kelamin, diarahkan dan dipersempit menjadi hasrat heteroseksual. Penggunaan kata “phallus” dan “totem” bisa dipahami sebagai rujukan pada psikoanalisis dan pada totemisme, kepercayaan kuno yang sering diasosiasikan dengan “manusia primitif”. Karena kedua kata itu digunakan sebagai nama patung laki-laki yang diharapkan menjadi objek birahi Upi, pesan yang tersampaikan adalah bahwa hasrat heteroseksual-lah yang paling wajar, alami dan asli. Keterpusatan psikoanalisis pada penis atau phallus yang banyak dikritik feminis di sini diulangi tanpa sifat kritis sama sekali, phallus malah dijadikan totem, pusat pemujaan!

Memang pembuatan patung “Totem Phallus” itu dan pemahaman seksualitas Upi yang terkandung di dalamnya diceritakan sebagai buah pikiran dan perbuatan Romo Wis. Namun karena dalam novel “polifon” ini tidak terdapat suara lain yang menyoroti peristiwa itu dari perspektif lain, itulah satu-satunya versi yang tersampaikan. Bahwa interpretasi Wis terhadap seksualitas Upi merupakan penyempitan, sama sekali tidak dipersoalkan, sehingga saya rasa tidak terlalu mengada-ada kalau kita menganggap penyempitan itu tidak disadari penulis.

***

Kembali pada persoalan ambivalensi yang saya sebut di atas. Saya telah memperlihatkan bahwa dalam novel Saman/Larung di samping pesan-pesan eksplisit dan provokatif yang menentang falosentrisme (menempatkan perempuan sebagai pihak yang aktif, dan mengakui berbagai macam orientasi seksual) pada banyak adegan yang membicarakan seksualitas justru terdapat kecenderungan falosentis dan heteronormatif. Tentu adanya ambivalensi semacam itu tidak bisa begitu saja dijadikan indikator kegagalan sebuah karya. Ambivalensi merupakan hal yang lumrah, dan kita akan sulit mencari karya sastra yang bebas darinya.

Dalam eseinya yang sudah saya kutip di atas, Ayu mengatakan: “Saya berharap kritikus yang mencoba mendekati novel Saman dengan mencari subjek tunggal dan utuh pengarangnya akan kecewa. Sebab bukan itu sikap saya terhadap karya”. Bukankah menolak keutuhan dan ketunggalan subjek berarti membuka diri untuk menerima segala ambivalensi dan pertentangan dalam diri dan dalam karya dengan sadar dan lapang dada? Seorang perempuan bisa saja menggabungkan feminisme dan falosentrisme dalam dirinya, misalnya dengan memperjuangkan kebebasan perempuan, tapi sekaligus justru merindukan laki-laki yang dominan. Ambivalensi semacam itu adalah bagian dari kehidupan, konsekuensi dari kenyataan bahwa hidup manusia tidak sepenuhnya dapat dikuasai oleh akal seperti abang Shakuntala memerintah alat kelaminnya. Sebagai kritikus saya kecewa pada karya Ayu Utami justru karena ambivalensi yang seharusnya dipeluk dengan sadar dalam sebuah karya yang konon tanpa subjek tunggal dan utuh itu, ternyata kurang diolah.

Saya tidak menemukan indikasi bahwa ambivalensi dalam representasi seksualitas di novel Saman/Larung merupakan ambivalensi yang disadari. Karena itu, mungkin lebih tepat kalau pesan eksplisit mengenai seksualitas yang terdapat dalam novel itu kita sebut sebagai sebuah pretensi. Kritik terhadap falosentrisme hanya terjadi di permukaan, atau dengan kata lain, kritik itu dengan sengaja dimasukkan dalam beberapa adegan. Di level yang lain, yang justru jauh lebih penting secara tekstual, novel Ayu justru sangat falosentris.

***

Apakah keluhan saya seputar representasi seksualitas dalam novel Ayu Utami tidak terlalu mengada-ada? Bukankah seperti yang saya katakan di atas, gaya hidup perempuan kelas menengah perkotaan Indonesia sebelumnya belum banyak diangkat sebagai tema novel, khususnya dengan fokus terhadap kehidupan seksual? Bukankah usaha untuk menggali tema tersebut dan untuk meninggalkan tabu seputar seksualitas, pantas dihargai?

Saya rasa kritik saya tidak mengada-ada. Bukan sayalah yang menciptakan ekspektasi yang berlebihan terhadap karya Ayu Utami, yaitu bahwa karya tersebut merupakan karya feminis yang subversif dan penuh terobosan baru. Ekspektasi tersebut dengan sengaja ditimbulkan oleh novel itu sendiri dan oleh tulisan-tulisan di seputarnya, termasuk tulisan Goenawan Mohamad yang saya bahas di awal esei ini. Maka sudah sewajarnya kalau tidak terpenuhinya ekspektasi tersebut saya keluhkan dan pemujaan yang berlebihan saya kritik.***

*Katrin Bandel, Kritikus sastra, tinggal di Jogjakarta


Catatan Kaki

1 Tentu perlu dipertimbangkan bahwa tulisan yang mengandung perlawanan terhadap rejim Orde Baru seperti yang disebut Goenawan Mohamad mungkin hanya dapat diterbitkan di bawah tanah pada masa itu. Namun Orde Baru telah lama berakhir, dan tulisan yang dulu dianggap subversif sekarang bisa diterbitkan dengan lebih bebas. Kalau Ayu Utami tidak menerbitkan tulisan lamanya seperti yang dilakukan oleh sejumlah penulis lain, bukankah itu menunjukkan bahwa tulisan tersebut memang bukan tulisan yang cukup menarik dan berbobot untuk diterbitkan ulang?

2 Goenawan Mohamad tidak menyebut ISAI (Institut Studi Arus Informasi) secara langsung, tapi kemungkinan besar organisasi itulah yang dimaksudkannya dengan “the clandestine network of media workers that I [i.e. Goenawan Mohamad] helped to organise” (Goenawan Mohamad 2000, hlm. 81)

3 Lihat esei saya “Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa” untuk pembahasan yang lebih mendalam soal representasi Ayu Utami di Eropa tersebut.

4 Esei tersebut terbit pada tahun 1975 dalam bahasa Perancis. Setahu saya baru dalam esei itulah Cixous berbicara tentang ekspresi (tulisan) perempuan yang mesti membuat “tubuhnya didengar“. Maka kemungkinan besar Goenawan Mohamad salah menyebut tahunnya, seharusnya 1975, bukan 1974.

5 Saman, hlm. 31.

6 Saman, hlm. 128.

7 Saman, hlm. 117.

8 Saman, hlm. 116.

9 Saman, hlm. 128.

10 Larung, hlm. 153.

11 Kris Budiman 2005, hlm. 125.

12 Larung, hlm. 141

13 Larung, hlm. 140

14 Larung, hlm. 139

15 ibid.

16 Larung, hlm. 141-42

17 Larung, hlm. 140

18 Tujuh Musim Setahun, hlm. 93-94.

19 Saman, hlm. 195

20 Larung, hlm. 82-83.

21 Saman, hlm. 129-130; Larung, hlm. 120

22 Saman, hlm. 196

23 Larung, hlm. 132 dan 153

24 Larung, hlm. 153

25 Larung, hlm. 132

26 Larung, hlm. 153

27 Saman, hlm. 71

28 Saman, hlm. 68, 71-72

29 Saman, hlm. 71-72

30 Saman, hlm. 76

31 Saman, hlm. 78

Daftar Pustaka

Ayu Utami, Saman, Jakarta 1998.

—, “Membantah mantra, membantah subjek” Kalam edisi 12, 1998.

—, Larung, Jakarta 2001.

Katrin Bandel, “Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa”, Republika 23 Maret, 30 Maret dan 6 April 2008.

Clara Ng, Tujuh Musim Setahun, Jakarta 2002

Kris Budiman, Pelacur dan Pengantin Adalah Saya, Yogyakarta 2005.

Goenawan Mohamad, “Ayu Utami – The Body Is Heard”, 2000 Prince Claus Awards, The Hague 2000, hlm. 78-81.