Saya akan menjawab tulisan Ariel Heryanto yang muncul di The Conversation, 28 Januari 2022 di bawah. Jawaban-jawaban saya akan langsung saya tuliskan di bawah paragraf-paragraf tulisannya tersebut.
=========
Kapan Siap Menghadapi “Bersiap”?: Mendalami Polemik Periode Kekerasan Pasca-Proklamasi Indonesia
Oleh: Ariel Heryanto
Gara-gara seorang sarjana Indonesia dilaporkan polisi di Belanda, publik Indonesia menengok kembali kekerasan pasca Proklamasi 1945 yang jarang dibahas.
Saut Situmorang (SS):
Publik Indonesia mana yang dimaksud?! Sepengetahuan saya, cumak segelintir kecil Orang Indonesia yang mau repot-repot membicarakannya yaitu beberapa sejarawan Indonesia dan Orang Indonesia Diaspora yang pro Belanda kayak si Ariel Heryanto sendiri. Publik Indonesia di Indonesia secara umum tidak ada yang membicarakannya, peduli pun tidak!
=========
Kontroversi “Bersiap” dipicu oleh sebuah tulisan di Belanda dengan judul provokatif Hapus Istilah Bersiap, karena Rasis. Penulisnya Bonnie Triyana, satu dari empat kurator sebuah pameran tentang Revolusi Indonesia di Rijkmuseum, Amsterdam, Belanda. Di alinea kedua tertulis tim kurator pameran telah memutuskan tidak akan menggunakan istilah “Bersiap”.
SS:
Kontroversi itu HANYA terjadi di Belanda! Persoalannya adalah (tapi tidak dijelaskan oleh Ariel Heryanto!) bahwa istilah “Bersiap” itu merupakan istilah ciptaan Belanda yang maknanya sangat tendensius membela kepentingan kolonial Belanda dalam periode 1945-1949. Indonesia TIDAK mengenal istilah tersebut! Yang kita kenal adalah istilah “perang kemerdekaan” atau “perang revolusi”. Saya jadi bertanya-tanya kenapa Ariel Heryanto TIDAK menjelaskan arti sebenarnya dari istilah bikinan Belanda itu!
=========
Untuk memahami duduk persoalan ini secara jernih, kita perlu bebas dari perangkap dikotomi Belanda/Indonesia yang berpuluh tahun menjerat diskusi publik tentang kolonialisme Hindia Belanda.
SS:
Pernyataan lucu dan ahistoris ini! Kenapa kita perlu bebas dari perangkap dikotomi Belanda/Indonesia sementara isunya adalah Sejarah Kolonialisme Belanda di Indonesia?! Apakah bagi Ariel Heryanto fakta penjajahan yang berusia ratusan tahun itu TIDAK penting sama sekali?! Penjajahan Belanda itu bisa begitu saja dikesampingkan untuk “memahami duduk persoalan secara jernih”?! Secara jernih bagi dan untuk siapa?!
=========
“Bersiap” sering dipahami secara sempit sebagai kekerasan “antikolonial” pasca-proklamasi oleh warga terjajah terhadap orang Belanda atau warga lain yang dianggap sekutunya. Sejumlah kesaksian, misalnya jurnalis Indonesia Kwee Thiam Tjing dalam bukunya Indonesia dalem Api dan Bara, juga beberapa saksi-mata yang berkisah secara lisan kepada saya memberikan gambaran lebih luas.
SS:
Kenapa dibilang “secara sempit”?! Apa periode yang disebut Belanda sebagai “Bersiap” itu BUKAN periode di mana Belanda masuk kembali ke Indonesia yang sudah memproklamasikan kemerdekaannya itu untuk menjajahnya kembali?! Hello, Ariel! Jadi bagi Ariel Heryanto Perang Melawan Kembalinya Belanda itu BUKAN perang anti-kolonal!
=========
Pelaku, korban dan motivasinya beraneka macam. Ada faktor politik, ada dendam rasial, ada kekerasan seksual, ada berbagai penjarahan harta tanpa muatan politik atau rasisme tapi kelas sosial.
SS:
Karena Ariel Heryanto MENOLAK mempertimbangkan latarbelakang Kolonialisme Belanda sebagai Konteks maka cuma kayak di ataslah yang mampu dia katakan! Intinya: Bagi Ariel Heryanto, apa yang disebutnya sebagai “kekerasan” itu adalah disebabkan oleh semua hal KECUALI penjajahan Belanda! Orang Indonesia memang udah dari sononya sukak bikin kekerasan baik politik, rasial dan seksual!
=========
Banyak pihak meyakini keturunan Indo (Eropa-Indonesia) menjadi korban utama, walau ada kemungkinan korban orang Indonesia justru lebih besar.
Bonnie menolak istilah “Bersiap” karena menurutnya istilah itu “selalu menampilkan pelaku kekerasan semata hanya orang Indonesia yang dipersepsikan biadab”.
Selalu? Beberapa orang heran dengan tuduhan itu. Sayang, Bonnie tidak memberikan satu pun contoh atas tuduhan berat ini.
SS:
Lha, Ariel Hertanto sendiri kok gak ngasih satu pun contoh untuk membantah apa yang dikatakan si Bonnie Triyana di atas! Bantah jugak dong dengan bukti bahwa itu salah!
=========
Kontroversi “Bersiap” meledak, bukan semata-mata karena sebuah artikel opini atau pameran tahun ini. Sumber masalahnya: sudah beberapa dekade peristiwa itu tak masuk dalam wacana resmi sejarah nasional di Belanda maupun di Indonesia. Ia hanya dibahas dengan pedih oleh beberapa warga pinggiran yang tersebar di berbagai kawasan dunia. Baru belakangan bertambah kaum muda yang mulai tahu.
SS:
Kenapa peristiwa “Bersiap” yang adalah diskursus kolonial bikinan Belanda itu harus masuk dalam wacana resmi sejarah nasional Indonesia?! Kenapa perspektif kolonial Belanda tentang aksi kolonialnya di Indonesia harus jadi wacana resmi Sejarah Nasional Indonesia?! Kembali dia tidak mampu menjelaskannya.
=========
Hingga kini, hal yang menonjol dalam debat mutakhir adalah dikotomi Indonesia lawan Belanda. Seakan-akan ada dua kubu yang secara mutlak bertolak belakang, masing-masing seragam bersatu-padu di kubunya.
SS:
Memang begitulah Sejarah Kolonialisme itu di mana-mana, Mister Ariel! Cobak tunjukkan apa ada yang tidak demikian!
=========
Untung, tidak semua warga di Belanda maupun Indonesia termakan pandangan hitam-putih demikian. Namun seperti biasa, suara yang paling ekstrem dalam sebuah kontroversi terdengar paling nyaring di ruang publik.
SS:
Seperti biasa, kembali dia gagal menunjukkan bukti.
=========
Tidak Hitam Putih
Masyarakat Belanda maupun Indonesia tidak seragam menanggapi “Bersiap”. Buktinya Rijkmuseum dijepit dua tuduhan hukum yang bertolak-belakang. Ia digugat Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda bila tetap menggunakan istilah “Bersiap”. Sebelumnya museum itu (selain Bonnie) diancam akan digugat oleh Federatie Indische Nederlanders (FIN) atau Federasi Indo Belanda bila tidak menggunakan istilah yang sama.
SS:
Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) itu BUKAN masyarakat Indonesia, Ariel! Fokus, bro, fokus, ckckck…
=========
Para penggugat dan tergugat sama-sama warga Belanda. Tapi tak satu pun di antara mereka mewakili masyarakat Belanda secara umum.
Maka aneh jika ada tuduhan bahwa istilah “Bersiap” dimaknai secara tunggal di sana dan “selalu menampilkan pelaku kekerasan semata hanya orang Indonesia yang dipersepsikan biadab”.
SS:
Makna istilah “Bersiap” itu bagi Belanda kan memang “tunggal di sana” dan “selalu menampilkan pelaku kekerasan semata hanya orang Indonesia yang dipersepsikan biadab”! Liat aja isi artikel-artikel di media massa Belanda yang menulis tentang hal tersebut. Dan kenapa kembali Ariel tidak menunjukkan bukti yang sebaliknya?! KUKB adalah suara sangat minoritas di Belanda dan merekalah yang pertama kali secara serius dan aktif menyuarakan penolakan atas pemakaian istilah “Bersiap” di Belanda hingga mereka berhasil menuntut pemerintah Belanda atas kejahatan perang yang dilakukan Belanda di Indonesia dalam periode yang disebut “Bersiap” tersebut! Kemenangan para Korban Indonesia atas kejahatan perang Belanda di Rawa Gede dan Sulawesi Selatan adalah hasil kerja KUKB!
=========
Seandainya masyarakat Belanda masa kini secara umum serasis yang dibayangkan dalam debat itu, mungkin tak akan ada pameran tentang revolusi Indonesia di sana tahun ini. Tidak ada orang Indonesia diundang jadi anggota tim kuratornya. Tak ada debat tentang “Bersiap” yang sekarang marak.
SS:
Ngakak awak baca kenaifan diskursus ini! Emangnya pameran tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk bersuara tentang periode “Bersiap” ya?! Emangnya pameran itu inisiatif Indonesia ya?! Lantas kenapa begitu salah seorang dari kedua kurator Indonesianya menulis memprotes tentang pemakaian istilah “Bersiap” dalam pameran tersebut reaksinya di Belanda begitu norak?! Bahkan direktur museum dan salah seorang kurator Belanda tidak mendukung isi tulisan Bonnie Triyana tersebut dan menyebutnya d media sebagai “pendapat pribadi Bonnie Triyana”! Bukankah debat tentang “Bersiap” itu marak setelah tulisan Bonnie Triyana itu muncul di sebuah media di Belanda?! Hello, anybody home?!
=========
Tuduhan bahwa Indonesia menyangkal “Bersiap” sama sesatnya dengan tuduhan Belanda menyangkal kejahatan kolonialisme Belanda. Sudah beberapa tahun orang Indonesia membahas topik Bersiap, walau topik itu diabaikan dalam wacana kenegaraan resmi. Bahkan majalah historia yang dipimpin Bonnie sendiri ikut menggunakan istilah itu.
SS:
Kok kembali gak ditunjukkan bukti bahwa “sudah beberapa tahun orang Indonesia membahas topik Bersiap”?! Majalah Historia ikut menggunakan istilah tersebut apa dengan pengertian kayak yang Bonnie Triyana tuliskan di artikelnya yang menimbulkan reaksi norak kaum kolonial itu atau dengan pengertian lain? Profesor kok ke gini nulis ya, ckckck…
=========
Kejahatan tentara Belanda (di bawah komandan pasukan Belanda Raymond Westerling yang terkenal dengan Pembantaian Westerling (1946-1947) di Sulawesi Selatan) semasa Revolusi Indonesia dibongkar habis-habisan dalam film De Oost, produksi Belanda sendiri.
SS:
Trus kenapa?! Bukankah udah memang wajar dan udah waktunya bagi Orang Belanda untuk mulai mendekonstruksi sejarah kolonialisme mereka kayak yang terus menerus dipropagandakan pemerintah mereka itu baik di sekolah-sekolah maupun media massa? Film ini BUKAN suara mayoritas Orang Belanda apalagi suara pemerintah Belanda makanya film ini diserang habis-habisan termasuk oleh putri Westerling yang membuat klaim bahwa film tersebut adalah produksi Indonesia!
=========
Wacana resmi sejarah nasional disusun dengan kerangka dikotomis penjajah/terjajah, kawan/lawan, baik/jahat. Nyaris tak ada ruang di antara atau di luar dua kubu yang dipertentangkan secara mutlak-mutlakan itu. Pemikiran resmi itu berkembang-biak dalam kehidupan sosial sehari-hari dalam berbagai bentuk, dari pidato, poster, film, sampai komik dan lawakan.
SS:
Bagi Ariel Heryanto, sejarah kolonialsme itu adalah abu-abu makanya pihak penjajah tidak bersalah seratus persen. Orang Indonesia dijajah Belanda beratus tahun adalah kerna kesalahan Orang Indonesia jugak, bukan cumak kesalahan Belanda, walau yang beruntung dari penjajahan tersebut cumak Belanda!
=========
Warga Keturunan Jadi Korban Lagi
Dalam debat “Bersiap” yang terkurung sangkar dikotomi Belanda/Indonesia, identitas Indo secara global sekali lagi menjadi korban, setelah mereka jadi korban pada tahun 1940-1950an. Identitas Indo ini merujuk pada orang keturunan campuran Eropa dan Indonesia.
SS:
Mestinya kan Ariel Heryanto jelaskan di sini kenapa. Kenapa orang Indo-Belanda jadi korban? Bagaimana posisi dan status sosial, ekonomi, politik kaum Indo ini selama penjajahan Belanda? Apa mereka menganggap diri mereka bagian dari Indonesia atau Belanda? Bukankah hal-hal elementer tentang latarbelakang historis kaum Indo kayak gini harus dibicarakan kalok kita memang serius mau menciptakan wacana sejarah yang jernih? Dari awal tulisannya Ariel Heryanto kan cumak menuduh Orang Indonesia doang, malah cenderung memfitnah! Sangat hitam-putih walo pretensinya sejarah itu harus dimaknai secara abu-abu!
=========
Sosok dan suara mereka tersisih karena tak mudah masuk dari salah satu kubu Belanda/Indonesia dalam perdebatan.
Di Belanda, mereka bukan Indonesia. Tapi mereka dianggap “kurang Belanda” karena “tercemar” unsur “Indonesia”. Sedangkan di Indonesia, mereka di-Belanda-kan dan diposisikan di kubu musuh, karena tidak sepenuhnya “pribumi”. Dikotomi Belanda/Indonesia masih dipelihara sebagian warga di kedua negara yang punya sejarah panjang memuliakan fiksi “kemurnian” etnis atau ras.
SS:
Di zaman Hindia Belanda, bagaimana status para Indo itu dalam hierarki sosial masyarakat kolonial? Yang memposisikan mereka sebagai “tidak sepenuhnya pribumi” itu Orang Indonesia ato diri mereka sendiri?! Indonesia punya sejarah panjang “memuliakan fiksi “kemurnian” etnis atau ras”?! Mana contohnya?! Keberadaan Orang India, Cina dan Arab dan kebudayaan mereka yang sudah beratus tahun itu di Indonesia apakah contoh dari “sejarah panjang memuliakan fiksi “kemurnian” etnis atau ras” itu?! Apakah genosida rasial pertama yang terjadi di Indonesia pada tahun 1740 di Batavia dilakukan Orang Indonesia? Apa pernah terjadi genosida rasial sebelumnya di Indonesia? Bagaimana, Ariel?
=========
Gara-gara “Bersiap”, ribuan warga Indo berusaha menyelamatkan diri dengan mengungsi ke berbagai kawasan dunia.
SS:
Kalok Belanda tidak berusaha untuk kembali menjajah Indonesia dan didukung oleh mayoritas kaum Indo itu apa eksodus ini akan terjadi? Hello, Ariel!
=========
Banyak yang menetap di tanah air sendiri (Indonesia), entah karena memilih atau tertinggal.
Mereka yang mengungsi merasa terasing di tempat yang baru, termasuk Belanda. Di sebagian negara, hingga hari ini mereka membuat perkumpulan sambil bernostalgia tentang Tempo Doeloe. Tempoe Doelole merujuk pada istilah populer yang biasa digunakan berbagai perkumpulan untuk merujuk sebuah masa di Hindia Belanda sebelum dinamakan Indonesia.
SS:
Nostalgia kaum kolonial atas negeri yang pernah mereka jajah. Orientalisme kaum penjajah yang udah jadi pecundang. Dan tragisnya, hal ini dianggap penting bagi seorang Intelektual Indonesia!
=========
Yang di Belanda tidak hanya berkumpul untuk nostalgia. Mereka aktif terlibat dalam masalah politik setempat, misalnya aktif di FIN
Agaknya hanya warga Indo di Indonesia yang tidak terhimpun secara organisasi formal. Mereka berbeda tidak hanya dari warga Indo di benua lain. Mereka juga berbeda dari komunitas Peranakan Tionghoa, Arab dan India di tanah air, maupun negara tetangga yang terhimpun dalam berbagai organisasi dan tampil publik merayakan warisan leluhurnya.
Sebelum pandemi, saya mewawancarai sejumlah warga Indo di Jawa sebagai bagian dari sebuah riset yang terhambat pandemi. Kesan awal saya, trauma dari masa “Bersiap” masih berat bagi mereka. Seakan-akan mereka rela membiarkan identitas dan sejarah leluhurnya punah dan membiarkan generasi mudanya tak tahu-menahu.
SS:
Bagaimana dengan trauma Orang Indonesia atas penjajahan Belanda yang beratus tahun itu, Ariel? Saya kehilangan kampung nenek moyang saya di Tanah Batak kerna Belanda kimaknya itu membakarnya dan melarangnya untuk dihuni kembali kerna penghuni kampung membantu Sisingamangaraja XII melawan Belanda. Kenapa kau tidak tertarik untuk menulis tentang ini, Ariel? Kenapa kau tidak wawancarai para Korban Westerling di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, Ariel? Masih banyak loh mereka yang masih hidup dibanding para Indo pujaan hati kau itu!
=========
Pertanyaan Untuk Generasi Muda
Masa depan adalah milik generasi muda dari semua latar belakang etnis. Untuk memahami masa depan, mereka layak memahami masa kini. Untuk memahami masa kini, mereka perlu memahami masa lampau.
Mereka bebas bertanya: setelah berpuluh tahun dibicarakan tanpa mendapat banyak perhatian publik, mengapa baru sekarang “Bersiap” mendadak ribut diperdebatkan. Mengapa masih cenderung diperdebatkan dengan kerangka dikotomi yang hitam putih ala abad lalu? Jawabnya tak perlu ditunggu dari generasi tua semacam saya.
SS:
Saran saya bagi generasi muda Indonesia: Pelajarilah sejarah dengan benar, dengan jujur, bukan kerna ingin dapat dana dari luar Indonesia dan demi karier akademik yang biasa-biasa aja pencapaiannya. Jangan lupa baca buku-buku Teori Pascakolonial dan Dekolonial biar gak norak kayak para “intelektual” Dunia Ketiga yang numpang hidup di Barat tapi purak-purak gak tau apa yang terjadi atas kaum Aboriginal Australia, apa yang terjadi atas kaum imigran Dunia Ketiga di Belanda tapi sok bicara tentang nasib kaum minoritas!
Catatan:
Tulisan Ariel Heryanto bisa dibaca di https://theconversation.com/kapan-siap-menghadapi-bersiap-mendalami-polemik-periode-kekerasan-pasca-proklamasi-indonesia-175836