Posts Tagged ‘realisme sosialis’

Oleh: Saut Situmorang

 

Kritikus sastra Amerika MH Abrams mendefinisikan istilah realisme, seperti yang biasa dipakai dalam kritik sastra, atas dua pengertian besar: pertama, sebagai nama sebuah gerakan sastra historis di Barat abad 19, terutama seperti yang bisa dibaca dalam karya-karya fiksi yang dipelopori Balzac di Prancis, George Eliot di Inggris dan William Dean Howells di Amerika; dan kedua, sebagai terminologi atas sebuah gaya penulisan, yang bisa ditemukan pada zaman apa saja, di mana representasi kehidupan dan pengalaman manusia menjadi tujuan penulisan yang paling penting, terutama seperti yang dicontohkan oleh karya-karya para sastrawan gerakan sastra di atas.

Fiksi realis biasanya dibedakan dari fiksi romantik. Roman (romance) dianggap berusaha menggambarkan kehidupan seperti yang kita mimpikan: lebih menyenangkan, penuh petualangan, lebih heroik dibanding kehidupan sebenarnya; sementara fiksi realis menggambarkan imitasi yang akurat atas kehidupan seperti apa adanya. Fiksi realis berusaha memberikan gambaran kehidupan dan realitas sosial seperti yang dikenal oleh pembaca umumnya, dan untuk mencapai tujuan ini tokoh protagonis fiksi biasanya adalah warga masyarakat biasa dalam kehidupan sosialnya sehari-hari. Dalam pengertian yang lebih umum, para penulis fiksi seperti Fielding, Jane Austen, Balzac, George Eliot dan Tolstoy adalah penulis realis karena mereka selalu menggambarkan warga masyarakat biasa dan kehidupannya dengan begitu meyakinkan hingga kita percaya bahwa memang seperti itulah hidup, bicara dan tingkah-laku orang biasa.

Realisme sendiri seperti yang secara umum digambarkan di atas masih mengenal dua sub-genre besar yang pengaruhnya cukup dominan dalam wacana sastra internasional: realisme sosialis dan realisme magis. Realisme sosialis adalah terminologi yang dipakai para kritikus Marxis untuk fiksi yang dianggap menggambarkan atau merefleksikan pandangan Marxis bahwa pertentangan antar kelas sosial merupakan dinamika esensial masyarakat. Dalam pengertiannya yang paling sempit, realisme sosialis merupakan istilah yang dipakai sejak tahun 1930an untuk fiksi yang merealisasikan kebijakan Partai Komunis Uni Soviet seperti pentingnya penggambaran penindasan sosial yang dilakukan kapitalis borjuis, penggambaran kebaikan kaum proletar, dan penggambaran kehidupan yang aman dan makmur di bawah sosialisme Partai Komunis. Tapi bagi seorang kritikus Marxis seperti Georg Lukács, misalnya, dengan menerapkan kriteria teoritis yang cukup kompleks atas konsep realisme, justru karya-karya klasik fiksi realis Eropa yang kebanyakan dipujinya, bukan fiksi yang dihasilkan di bawah doktrin kebijakan Partai Komunis.

Realisme magis adalah istilah yang dipakai untuk fiksi karya Jorge Luis Borges dari Argentina, dan termasuk juga karya-karya para penulis lain seperti Gabriel García Márquez dari Kolombia, Günter Grass dari Jerman dan John Fowles dari Inggris. Ciri khas fiksi ini adalah eksperimen dalam tema, bentuk, isi, sekuen waktu, dan pencampur-adukan antara hal-hal biasa, fantastik, mitos dan mimpi yang mengakibatkan terjadinya kekaburan antara yang serius dan main-main, yang menakutkan dan absurd, yang tragis dan komik. Singkatnya, kolase yang terus menerus berubah polanya antara realisme dan unsur-unsur fantastik.

***

Kalau kita amati karya-karya fiksi sastra Indonesia mulai dari periode Balai Pustaka sampai penerbitan buku kumpulan Cerpen Pilihan KOMPAS 2002, maka akan terlihat betapa dominannya fiksi realis dalam sejarah sastra kita: Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Belenggu, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, Atheis, Jalan Tak Ada Ujung, Cerita Dari Blora, Pertempuran dan Salju di Paris, Robohnya Surau Kami, Seribu Kunang-kunang di Manhattan, trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Tarian Bumi, tujuh musim setahun, dan semua buku Cerpen Pilihan KOMPAS.

Apa yang menarik dari fakta dominasi fiksi realis dalam sastra kita adalah pertanyaan kenapa hal ini bisa terjadi. Adakah relasi sebab-akibat antara realitas pascakolonial masyarakat dan budaya kita dengan kecendrungan realis produk-produk sastra kita? Dalam kata lain, apakah realitas sosial masyarakat kita setelah berakhirnya masa kolonialisme Belanda yang tidak sesuai dengan janji-janji yang ditawarkan oleh konsep “bangsa yang merdeka, bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri” (keadilan sosial, humanisme, kemakmuran) bukan merupakan sebuah faktor signifikan dalam mempengaruhi kecendrungan penulisan fiksi realis atau “fiksi yang terlibat” dalam sastra kita? Bisakah kita nyatakan bahwa semangat Romantik di mana pengarang menganggap dirinya sebagai “juru bicara masyarakatnya” merupakan semangat kreatif yang menjadi ideologi proses kreatif pengarang kita pada umumnya?

Sejarawan sastra Indonesia asal Jerman Ulrich Kratz dalam Kata Pengantar buku Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (Kratz 2000) yang disusunnya membuat sebuah pernyataan yang, saya pikir, cukup penting dalam usaha kita untuk memahami historisitas dari kecendrungan penulisan fiksi realis atau “fiksi yang terlibat” dalam sastra kita. Mengomentari esei Armijn Pane berjudul “Kesoesasteraan Baroe I” di majalah Pujangga Baru, 1 (1), 1933, yang merupakan penjelasan Armijn atas apa “sifat” dari sastra baru yang direpresentasikan oleh penerbitan majalah baru tersebut, Ulrich Kratz mengajak kita untuk menyadari satu hal yang sering dilupakan dalam pembicaraan atas cita-cita para sastrawan Pujangga Baru, yaitu betapa pada esei pertama terbitan majalah Pujangga Baru itu Armijn Pane sudah menekankan pentingnya hubungan antara seniman dan masyarakatnya. “Seorang hamba seni hidup dalam masyarakat, jadi seorang ahli masyarakat itu. Ia adalah anak kepada masyarakat itu, ia adalah gambaran dari pada masyarakat itu, seperti semua ahli masyarakat itu juga bersifat begitu. (…) Segala kejadian perobahan dalam masyarakatnya itu akan ternyatalah pada lukisannya; … kalau ia seorang pujangga atau pengarang akan teranglah perobahan itu pada sajaknya atau karangannya,” demikian tulis Armijn Pane.

Ulrich Kratz lebih jauh menyatakan bahwa aspek yang terlupakan dari sosok pengarang Pujangga Baru ini telah menyebabkan terciptanya tuduhan bahwa mereka menganut konsep “seni untuk seni”, yang dengan gamblang mereka katakan sebagai sebuah fitnah belaka. Sebelum munculnya para pengarang Pujangga Baru, karya-karya awal para sastrawan Balai Pustaka pun sebenarnya sudah berurusan dengan masalah-masalah sosial. Bahkan keterikatan sosial pengarang (Indonesia) merupakan benang merah dalam sejarah sastra Indonesia dan dapat ditemukan dalam prosa, drama dan puisi, maupun dalam esei. “Yang berubah dalam (realitas) keterlibatan pengarang dengan masyarakat adalah gaya pengungkapannya yang bergerak antara yang tersirat dan yang tersurat. Yang juga berbeda adalah kerelaan masing-masing pengarang untuk mengorbankan tata cara penulisan yang berpretensi dan bercita-cita sastra demi penyampaian ‘pesan’ tulisannya,” begitulah kesimpulan Ulrich Kratz.

Dalam sebuah esei lain berjudul “Mengapa Pengarang Modern Soeka Mematikan” (Kratz 2000), Armijn Pane lebih jauh membahas sebuah motif umum fiksi Balai Pustaka dan Pujangga Baru yaitu kesukaan para pengarang fiksi tersebut untuk “mematikan orang yang diceritakannya”. Mulai dari Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang sampai Tenggelamnya Kapal van der Wijk, terkesan “sebagai dengan sengaja (para pengarang) itu memanggil malaiku’lmaut untuk mencabut nyawa (tokoh) yang diceritakannya, sedang menurut pikiran yang sehat, tidaklah mesti (tokoh) itu meninggal,” demikian tulis Armijn Pane di esei kritik sastra pertama dalam sastra kita itu. Alasan yang diberikan Armijn atas kebiasaan para pengarang awal sastra Indonesia untuk membunuh tokoh-tokoh utama fiksi mereka adalah “semangat baru” yang tidak ada bedanya dengan “semangat romantik” yang timbul di Eropa pada penutup abad 18 tapi terus berpengaruh sampai abad 19. Satu ciri-khas dari semangat romantik itu, demikian menurut Armijn Pane, adalah “hendak membesarkan pengaruh perasaan dan angan-angan (imajinasi)”, yang diabaikan di zaman sebelumnya, yaitu “zaman pikiran”, “zaman rationalisme”, untuk “menghidupkan kesadaran dalam hati pembacanya, bahwa soal, bahwa adat, bahwa perkawinan paksa, hal perkawinan dengan orang dari daerah lain, bahwa soal yang dikemukakannya itu dalam cerita (fiksinya), patut diberantas, bahwa adat itu menahan kemajuan bangsa adanya. Dan perasaan dapat ditimbulkan sehebat-hebatnya dengan jalan menerbitkan perasaan sedih dan kasihan dan perasaan sedih dan kasihan itu dapat dihidupkan dengan jalan mematikan orang yang baik hati, yang baik budi, yang tinggi cita-citanya dalam (fiksi) itu, orang yang kita sukai dan kita hormati”.

***

Berkaitan dengan isu realisme fiksi Indonesia ini menarik di sini untuk juga menyinggung apa yang ditulis Faruk HT dalam kata pengantarnya “Dari Realisme Kultural ke Realisme Magis” untuk kumpulan cerpen Umar Kayam Lebaran di Karet, di Karet… (2002).

Dalam membicarakan cerpen-cerpen Umar Kayam dalam kumpulan di atas, Faruk membedakan “realisme” atas dua kategori besar yaitu realisme borjuis dan realisme kritis atau realisme sosialis. Realisme borjuis adalah realisme seperti yang bisa dibaca dalam fiksi realis klasik Eropa seperti yang saya contohkan di awal esei ini, sementara realisme kritis atau realisme sosialis merupakan sebuah paham yang juga “masih bercerita mengenai kehidupan keseharian manusia, hanya saja kehidupan keseharian itu didekati dengan perspektif sosialisme Marxis sehingga ia tampil sebagai sebuah tatanan kehidupan yang membusuk dan yang mengarah kepada terbentuknya tatanan kehidupan baru, yaitu sosialisme” Di antara kedua realisme inilah, yaitu realisme borjuis yang cenderung mendekati kehidupan secara psikologis dan realisme sosialis yang sosiologis-politis, Faruk menempatkan realisme fiksi Umar Kayam yang “– untuk sementara – dapat disebut sebagai realisme kultural”, realisme yang mendekati kehidupan secara antropologis.

Bagi Faruk, realisme kultural Umar Kayam seperti yang bisa dibaca dalam Sri Sumarah dan Bawuk merupakan “sumbangan Umar Kayam yang signifikan dalam sejarah sastra Indonesia”, yang pada fase berikutnya menjadi “satu kecenderungan baru yang diikuti oleh atau mengilhami banyak sastrawan dari generasi berikutnya”, seperti Satyagraha Hoerip, Bakdi Soemanto, Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, dan bahkan YB Mangunwijaya.

Uraian Faruk tentang kekhasan realisme fiksi Umar Kayam hingga pantas untuk disebut sebagai “realisme kultural” – perspektif yang digunakan pengarang adalah perspektif kebudayaan, tipologisasi tokoh yang antropologis (berdasarkan pekerjaan atau bahkan kekerabatan), psikologisasi tokoh yang “relatif” secara kultural (tidak “universal” seperti pada realisme borjuis), kekuatan sosial adalah “kekuatan simbolik” walau perubahan sosial hanya bisa terjadi oleh kekuatan sosial, bukan individual – terkesan terlalu sederhana dan sangat umum untuk membuat kita bisa menerima klaim yang dibuatnya sebagai sumbangan signifikan Umar Kayam itu.

Faruk tidak menganggap “sumbangan para penulis Sumatera tahun 1920an”, dan generasi Ajip Rosidi di tahun 1950an, sebagai sebuah “realisme kultural”, (walau diakuinya bahwa “karya-karya sastra Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari latar belakang budaya lokal atau primordial … pengarangnya”!) karena “pengaruh budaya lokal (pada karya-karya tersebut) cenderung merupakan pengaruh yang tidak diserap secara sadar oleh para pengarangnya. Kalaupun disadari, budaya lokal itu lebih mengungkapkan sikap politik pengarang terhadap, misalnya, proses modernisasi daripada suatu strategi dalam melihat dan merepresentasikan kehidupan”, seperti yang dilakukan oleh Umar Kayam!

“Sikap politik” para penulis Sumatera era 1920an yang dimaksud Faruk di sini adalah apa yang dia sebut sebagai “sikap politik nasionalis” yaitu “pengarang memahami modernisasi sebagai westernisasi dan westernisasi sebagai penjajahan” di mana “tidak semua tokoh-tokoh ceritanya dipahami sebagi terikat secara kultural, cullture bound [sic]”. Sementara fiksi generasi Ajip Rosidi merupakan “sebuah gerakan romantisisme dan bahkan eksotisisme dengan membangun cerita-cerita balada tentang kehidupan yang sudah sirna, masa lalu, yang setidaknya terlepas dari persoalan kehidupan keseharian”.

Kita, tentu saja, bisa mempersoalkan “esensialisme kultural” yang sangat kental dalam pemahaman Faruk atas apa itu “kebudayaan lokal” dan seperti yang dia yakini merupakan “realisme kultural” fiksi Umar Kayam. Hibriditas kultural yang memang sangat khas dalam fiksi para pengarang Sumatera tahun 1920an, dan juga mewarnai tetralogi Novel Buru Pramoedya Ananta Toer, telah luput dari fokus pembahasan Faruk, walau dalam konteks budaya pascakolonial yang merupakan budaya negara-negara Dunia Ketiga pada umumnya, hibriditas kultural inilah yang merupakan “realisme kultural” negeri-negeri bekas jajahan Barat ini.

Yang ingin saya persoalkan dalam kutipan pernyataan Faruk di atas adalah apakah “sikap politik” Umar Kayam tidak hadir dalam fiksi “realisme kultural”nya itu? Apakah “perspektif kebudayaan” yang dipakai pengarang bernama Umar Kayam dalam fiksinya adalah sebuah perspektif yang benar-benar netral, sama sekali tidak merepresentasikan kepentingan kelas dari mana dia berasal (walau dalam konteks kategori “antropologis” masyarakat Jawa, priyayi dan wong cilik, sekalipun)? Terakhir, apa memang benar bahwa “realisme budaya Jawa” seperti yang terdapat dalam fiksi Umar Kayam merupakan “cara orang Jawa memahami, menghayati, dan menyiasati (realitas kehidupannya bahkan) yang paling modern sekalipun” seperti yang diyakini oleh Faruk?

***

Dari apa yang sudah dipaparkan di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa realisme bukanlah sebuah hal asing dalam wacana sastra kita. Realisme bahkan merupakan sebuah ciri dominan di mana persoalan hubungan pengarang dan masyarakatnya menjadi isu definisinya yang utama. Realisme fiksi Indonesia mungkin akan lebih tepat kita definisikan sebagai “realisme kontekstual”, yaitu realisme dialektis dari realisme fiksi klasik Eropa (seperti pada karya-karya Fielding, Jane Austen, Balzac, George Eliot dan Tolstoy) dan realisme sosialis Uni Soviet. Realisme kontekstual fiksi Indonesia adalah sebuah realisme hibrid, terlahir dalam sebuah sastra nasional baru yang ahistoris, sastra yang tidak memiliki sejarah linguistiknya yang jelas, sastra lingua franca. Mungkin inilah yang disebut sebagai sastra pascakolonial itu.

Bukankah perdebatan tentang “sastra kontekstual” di pertengahan tahun 1980an merupakan indikasi kontekstual tentang pentingnya persoalan identitas kontekstual, realisme pascakolonial, dalam wacana sastra kita?***

 

Oleh: Muhammad Al-Fayyadl

Pendahuluan

SECARA empiris-historis, kritik sastra dipisahkan dari aktivitas politiknya sejak lenyapnya estetika realisme sosialis seiring dilenyapkannya para sastrawan Lekra dari panggung kritik sastra sejak akhir dekade 1960-an. Koinsidensi antara peristiwa politik (politisida 1965) dan peristiwa kritik sastra (separasi antara kritik sastra dan politik) menegaskan kembali, secara paradoksal, ketakterpisahan politik dari dunia sastra dan dunia sastra dari konteks politiknya. Yang politis dari kritik sastra para sastrawan Lekra ini adalah bahwa mereka berhasil mendorong—sebagai pengecualian eksamplar dari sejarah kritik sastra sebelumnya1— kritik sastra menjadi entitas yang organik, yaitu sebagai alat evaluasi-diri atas kesejalanan antara estetika sastra, sikap politik sastrawan, dan realpolitik massa, dengan segala tuntutan revolusioner atau tantangan kontra-revolusionernya. Dalam ungkapan lain, kritik ini mendayagunakan seluruh kemampuannya untuk menangkap dimensi subjektif dari sastra (idea sastra, estetika, bahasa, kapasitas literer sastrawan, figur sastrawan, dst.) sekaligus dimensi objektifnya (pembaca, situasi politik pembaca, kondisi massa, konflik kelas, sejarah, dst.), dalam suatu relasi yang timbal-balik, terus-menerus, dan dialektis, dengan karya sastra sebagai medium dialektikanya.

Satu-satunya ekses dari kritik sastra ini adalah ketidakmampuannya untuk menahan diri dari godaan menggunakan lembaga politik formal (negara) untuk memajukan kritiknya. Batas antara kritik dan keniscayaan melakukan hegemoni melalui lembaga politik dilanggar oleh ketidakmampuan mengangkat politik dari dalam kritik sastra itu sendiri. Penggunaan Dekrit Presiden 8 Mei 1964 dalam pelarangan atas Manikebu (Manifesto Kebudayaan),2 seperti sempat dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer, merupakan hegemonisasi melalui kekuatan politik yang eksternal terhadap kritik sastra itu sendiri. Hal ini juga berlaku pada lawan politiknya, para sastrawan pendukung Manikebu, melalui Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KPPI) yang memanfaatkan dukungan angkatan bersenjata.3

Dalam arti tertentu, kritik sastra dapat menggunakan lembaga politik—tercermin dari manuver-manuver yang dilakukan oleh dua kubu sebagai reaksi satu sama lain—untuk mendorong efektivitas kritik sastra itu sendiri sebagai kekuatan literer, dan pada gilirannya mendorong kritik sastra untuk memperoleh kepenuhan manifestasinya dalam realpolitik (kebijakan negara, politisasi massa secara langsung, dst.), tetapi pada saat yang sama, melahirkan risiko membawa politik kepada kulminasinya yang berujung dalam penjenuhan (saturation) dimensi politis itu sendiri sehingga melahirkan kecenderungan sebaliknya: depolitisasi kritik sastra. Titik balik atau, tepatnya, patahan itu terjadi pada dua momen politis yang pada dirinya merupakan depolitisasi (depolitisasi politik melalui politik): pembubaran PKI menyusul Gestok 1965 dan Simposium Bahasa dan Kesusastraan Indonesia 1966, momen par excellence dari perumusan arah baru kritik sastra Indonesia.

Fragmen sejarah itu penting dikutip bukan semata karena nilai sejarah pada dirinya, melainkan karena momen bersejarah itu menjadi lokus bagi perubahan arah dan orientasi kritik sastra itu sendiri sebagai suatu kekuatan literer dalam hubungannya dengan “politik”—perubahan modalitas-modalitasnya, kerangka kerjanya, bahasa dan bentuk ekspresinya, dan bahkan objeknya; perubahan itu nyaris total atau absolut. Ia tidak hanya mengubah bentuk kritik sastra, tetapi memberi batasan-batasan baru yang secara formal tidak memungkinkan lagi politik dalam kritik sastra dimaknai dan diterapkan dalam artinya yang lama. Kritik sastra dari era baru ini mensublimasi politik dari sifatnya yang langsung dan efektif ke dalam dimensi baru yang tampak tak langsung dan tidak efektif, meskipun pada dasarnya sama-sama efektif, yaitu sebagai operasi “sublim” dari ideologi.4 Kita dapat menyebut hal ini perubahan dari “Sastra yang menjadi bagian dari Dunia” menjadi “Dunia yang terlipat ke dalam Sastra”, atau perubahan dari heteronomi sastra kepada otonomi sastra. Tulisan ini akan mengkaji perubahan itu dalam kritik sastra dan teori sastra setelah dekade 1960-an dan praktik-praktik politik yang dihindarkan atau dimunculkan olehnya.

Politik Teori Sastra

Momen itu adalah 25-28 Oktober 1966, di mana diselenggarakan Simposium Bahasa dan Kesusatraan Indonesia oleh Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (kini Pusat Bahasa), bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, IKIP Jakarta, dan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) Jakarta. Sebagaimana dinyatakan dengan lugas oleh Yudiono K.S., simposium ini merupakan “langkah nyata penataan konsep kritik sastra Indonesia yang pernah kacau balau semasa Lekra berkuasa (1950-1965) dan sekaligus merupakan babak baru tampilnya kalangan akademisi di bidang kritik sastra”.5 Simposium ini, lanjutnya, mengawali “masa pemapanan” kritik sastra di Indonesia.

Kepentingan yang terwakili dalam simposium tersebut adalah kepentingan para akademisi sastra dari kalangan perguruan tinggi, terlihat dari keterlibatan Fakultas Sastra UI yang pada tahun-tahun sebelumnya menjadi sasaran kritik sastrawan Lekra (Pramoedya Ananta Toer).6 Namun, kehadiran para akademisi sastra tidak saja menggambarkan suatu peralihan agensi dari satu agen ke agen lain (dari kritikus sastra non-akademis ke kritikus akademis), tetapi juga perebutan representasi baru atas konsepsi “kritik sastra” yang diniatkan untuk menggantikan konsepsi lama yang memiliki kemelekatan yang sangat kental dengan politik. Perebutan itu dimungkinkan karena ruang kosong yang ditinggalkan oleh absennya para pengusung realisme sosialis tersebut, yang memberi kesempatan bagi pihak yang dulunya menjadi lawan politik mereka untuk tampil.

Perebutan ini dilakukan seiring pembentukan konsepsi “kritik sastra” yang baru. Yudiono K.S. mengisyaratkannya dengan kerja rekonstruksi (“penataan”), mengesankan bahwa konsep kritik sastra Indonesia itu telah ada cikal-bakalnya, tetapi kemudian dirusak “semasa Lekra berkuasa”—seakan-akan para sastrawan Lekra tidak menyumbang apa-apa bagi kritik sastra Indonesia. Masa-masa polemis dengan Lekra, dengan demikian, dianggap suatu jeda yang destruktif bagi kritik sastra di Indonesia, yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh Armijn Pane, J.E. Tatengkeng, Sanusi Pane, S. Takdir Alisjahbana, Sutan Sjahrir, dan H.B. Jassin.7

Sebelum memperoleh gambaran yang lebih jauh mengenai konsep kritik ini, kita menggarisbawahi perubahan ke mana kritik sastra mesti didasarkan menurut para akademisi ini. Kritik sastra mesti memperoleh pendasarannya yang baru, menurut mereka, bukan lagi pada efek politis dari kritik sastra terhadap kerja-kerja kesusastraan; dengan kata lain, bukan pada bagaimana kritik sastra itu mengevaluasi kerja-kerja kesusastraan dan menempatkan sastra dalam suatu konteks politis tertentu yang membuatnya bermakna secara langsung bagi masyarakat luas, tetapi pada fungsi kritik bagi pemahaman atas karya sastra, tanpa peduli apakah karya sastra terlibat atau terikat dengan konteks politisnya atau bersinggungan dengan suasana politis masyarakat. Kita melihat di sini suatu pemangkasan drastis atas fungsi kritik sastra, dari yang sebelumnya terarah pada evaluasi atas sastra secara luas, mencakup karya sastra, sastrawan, dan lembaga sastra, menjadi evaluasi atas karya sastra sebagai satu-satunya objek bagi kritik sastra. Kita dapat menyebut hal ini “balikan Kantian” dalam kritik sastra Indonesia—karya sastra menjadi Das Ding an sich, satu-satunya objek yang sah bagi kritik, sebagaimana bagi Kant sah bagi filsafat—sekaligus “anti-Kantian”, karena syarat-syarat yang memungkinkan karya sastra mendapat maknanya sebagai karya—kondisi-kondisi sosial, subjektivitas sastrawan, dan lain-lain—dihapus sehingga seolah-olah karya sastra dapat muncul dengan sendirinya di tengah masyarakat.

Kata-kata kunci bagi fungsi baru ini adalah “penelitian kesusastraan”, “penilaian sastra”, “apresiasi sastra”, atau “pemahaman sastra”. Pengaruh J.E. Tatengkeng yang mengkonsepsikan kritik sastra sebagai suatu bentuk “penyelidikan” atas karya sastra8 terlihat dalam orientasi baru ini. Namun, pembentukan ulang fungsi kritik sastra ini harus dilihat dalam kerangka yang lebih luas, yaitu integrasi kritik sastra ke dalam struktur akademis, yang dijalankan melalui integrasi kritik sastra ke dalam “ilmu sastra” lewat apa yang disebut “teori sastra”.

Sejak kapan kritik sastra terkait-erat dengan teori sastra? Sejak kapan kritik sastra termasuk ke dalam ilmu-ilmu (ilmu bahasa dan ilmu sastra)? Bagaimana kritik sastra mendapatkan statusnya yang baru di lingkungan para akademisi sastra sebagai kerja ilmiah par excellence?—pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan menunjuk pada perebutan ruang tanpa perlawanan ini, pemangkasan hubungan-hubungan “ekstra-literer” dari kritik sastra, dan penyiapan jalan ke arah otonomisasi kritik sastra melalui integrasinya ke dalam ilmu sastra.

Pada dasarnya, di samping hal-hal tersebut, tidak adanya pengakuan yang sengaja terhadap kontribusi para sastrawan Lekra bagi pematangan kritik sastra juga merupakan faktor penting. Pengabaian ini secara terang memperlihatkan bukan saja keengganan untuk melihat sumbangan konkret para sastrawan Lekra terhadap konsepsi kritik sastra yang khas dan digali dari pengalaman dan tradisi sastra Indonesia yang masih muda—Pramoedya pada tahun-tahun sebelumnya, misalnya, menekankan keterkaitan erat antara kritik sastra Indonesia dengan sejarah sastra Indonesia yang “berwatak nasional”—tetapi juga keinginan untuk menghilangkan jejak kritik para sastrawan Lekra dalam kontinuum kritik sastra di Indonesia, katakanlah sejak Pujangga Baru. Integrasi kritik sastra ke dalam lingkup ilmu sastra merupakan upaya netralisasi pertama; dan dengan demikian, menjadikan kritik para sastrawan Lekra sebagai “tidak ilmiah” atau “non-ilmiah”. Integrasi kritik sastra ke dalam lingkup akademis menetralisasi untuk kedua kalinya, dengan demikian, tidak memungkinkan konsepsi kritik para sastrawan Lekra untuk diajarkan di perguruan tinggi.

Kontribusi konkret para kritikus Lekra memang tidak berupa suatu sintesis yang padu dan telah dikemas secara praktis sehingga mudah untuk langsung diterapkan (menjadi kritik terapan). Ia baru berupa percikan-percikan pemikiran di sela-sela polemik sastra yang berlangsung, yang bergerak di antara kritik empiris (hasil-hasil pembacaan atas karya sastra) dan perumusan hipotesis-hipotesis generalistik yang terbungkus dalam seruan-seruan di dalam polemik. Beberapa di antaranya berupa upaya pendekatan yang relatif orisinal, seperti upaya teoretisasi atas roman,9 penekanan atas psikologi kepengarangan (jauh mendahului pendekatan Ganzheit Arief Budiman dkk.),10 dan konsepsi atas sejarah sastra yang ditulis secara sinkronis dan non-linear (melampaui pendekatan diakronis-linear-historisis ala Jassin), dengan mendasarkan diri pada kesamaan sikap dan orientasi estetik-ideologis daripada keikutsertaan dalam angkatan-angkatan periodik11—semua ini diajukan oleh Pramoedya. Namun, yang tak kalah penting, kontribusi kritikus Lekra dalam menawarkan suatu paradigma dalam sastra, yaitu materialisme historis dalam sastra, dengan analisis kelas sebagai pendekatannya (A.S. Dharta).

Kita dapat mengatakan secara spesifik bahwa konsepsi materialisme historis dan pendekatan analisis kelas dalam sastra yang ditawarkan oleh A.S. Dharta masih berayun di antara intuisi teoretik Marxisme awal (Marx-Engels) tentang determinasi dan kesalingpengaruhan antara struktur sosial dan karya sastra, dan visi teoretik Leninisme (Lenin) tentang bias perjuangan kelas di dalam karya sastra sebagai refleksi pertarungan antara konflik-konflik kelas yang terjadi.12 Konsepsi ini belum berkembang sampai pada teoretisasi atas dimensi-dimensi internal karya sastra sebagai karya, dan tidak sekadar dokumen sosial, seperti antara lain dikerjakan secara kreatif oleh Georg Lukàcs atau Mikhail Bakhtin.13

Bagaimanapun, para kritikus Lekra merupakan “anak zaman” mereka, dan eksperimentasi mereka berhenti di tengah jalan karena kurangnya kesempatan untuk menyajikan suatu bangunan teoretik yang meyakinkan, atau setidaknya mampu menghindarkan tuduhan bahwa mereka memperalat sastra untuk politik. Tetapi, “stagnansi” ini tidak natural, dan bukan saja karena faktor internal di kalangan mereka, tetapi hasil dari kemenangan politis para akademisi sastra yang muncul pada 1966. Kegagalan para kritikus Lekra menarik kritik sastra ke teori sastra disambut oleh para akademisi sastra dengan memperkenalkan suatu formulasi baru antara kritik sastra, teori sastra, dan ilmu sastra. Patut dicatat bahwa berbeda dari para kritikus Lekra yang menggali kritik dari sejarah sastra sendiri (Indonesia kolonial dan pascakolonial), dengan adaptasi-adaptasi tertentu dari sastra asing,14 para akademisi ini mendatangkan teori-teori sastra yang sebelumnya relatif tidak dikenal ke dalam sastra Indonesia, dan dengan demikian, membuka suatu fase baru resepsi teori sastra Barat dalam sastra Indonesia.15

Bagaimana “impor” teoretik itu terjadi, kita memahami hal itu berlangsung dalam konteks politis dan linimasa yang spesifik ini. Tetapi, perubahan itu juga dimungkinkan oleh suatu pengandaian baru yang ditanamkan ke dalam sastra Indonesia, yaitu pengandaian bahwa teori-teori sastra tersebut bersifat universal, sebagaimana karya sastra itu sendiri universal. Dengan demikian, apa yang disebut ilmu sastra juga bersifat universal karena mengangkat teori-teori sastra yang berlaku universal.16

Kita sedang menyaksikan di sini bias ideologis “humanisme universal”, yang mengikat dari generasi Surat Kepercayaan Gelanggang sampai Manifes Kebudayaan, sedang dioperasionalkan dalam ranah yang lain—ranah ontologis dan epistemologis teori sastra. “Humanisme universal” meletakkan, sebagai mitos, keberadaan manusia sebagai subjek universal yang abstrak, yang diasumsikan terbebas dari perbedaan identitas, latar belakang budaya, dan kepentingan ideologis. Kali ini objeknya diganti dengan karya sastra, yang diasumsikan memiliki hukum-hukum yang sama dan aturan main yang sama di mana pun, terlepas dari latar belakang penulis maupun pembacanya, dengan satu kata kunci: Bahasa. Karya sastra adalah produk bahasa, produk linguistik murni, suatu produk yang secara formal memiliki bentuk seragam, hanya diungkapkan dengan cara berbeda-beda.

Konsepsi ini disebut strukturalisme.17 Bukan hal yang mengherankan bahwa strukturalisme mengisi tempat pertama dari rangkaian teori sastra Barat yang diperkenalkan ke dalam sastra Indonesia, karena teori sastra ini cocok dengan bias universalisme yang tadi telah disinggung. Dengan melepaskan kritik sastra dari determinasi ideologisnya, strukturalisme memberi kesempatan bagi para kritikus sastra Indonesia untuk melakukan deideologisasi—yang dapat diartikan sebagai “bersih-bersih teoretis” dari pengaruh kritik sastra Marxis—dan menempatkan teori sastra pada tempat “semestinya” yang diasumsikan netral dan “ilmiah”: sebagai penjelas strukturinternal karya sastra, tak lebih dan tak kurang.

Kuatnya pengaruh “aliran Rawamangun” (yang merupakan penyelenggara utama Simposium) ditengarai sebagai faktor yang mempercepat penerimaan strukturalisme dalam kritik sastra Indonesia.18 Tetapi, pengaruh ini tidak muncul tanpa revitalisasi hubungan yang sebelumnya terbangun antara H.B. Jassin dan A. Teeuw yang memperkenalkan pendekatan “formalis” dalam kritik sastra. Ketersambungan antara “formalisme” ala Jassin dan Teeuw dan strukturalisme sejak akhir 1960-an terlihat, sejak lembaga-lembaga pendidikan tinggi secara serentak mengadopsi strukturalisme dalam kurikulum pembelajaran teori sastra, sebagai satu-satunya model bagi kritik sastra ilmiah dan kajian sastra. Kehadiran strukturalisme menegaskan kemenangan kritik sastra “formalis”.

Peran A. Teeuw dalam memberi bentuk bagi strukturalisme ini sentral. Sejak tahun 1978 sampai 1980, atas sponsor Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan ILDEP (Indonesian Linguistic Development Project), Teeuw terlibat dalam serangkaian penataran tentang strukturalisme bagi para calon peneliti sastra dari berbagai perguruan tinggi, dari tahap teoretis sampai terapan.19 Ketertarikan dan minat yang besar pada strukturalisme pada lapisan akademisi sastra ini mengisyaratkan adanya suatu upaya yang sistematis dan gradual untuk memapankan posisi teori sastra Barat ke dalam kritik sastra Indonesia, melalui strukturalisme sebagai katalisator sekaligus pemfilternya. Strukturalisme menjadi katalisator bagi reorientasi perhatian kritikus sastra dari eksternalitas-eksternalitas sastra (latar belakang sosial, politis-ideologis, kelas, dst., yang sebelumnya penting dan kini sekunder) kepada “dunia internal” sastra, sekaligus pemfilter tendensi-tendensi politis dari teori sastra melalui suatu prosedur ilmiah yang menekankan positivitas data-data atau “fakta” literer.

Teeuw sendiri sebenarnya seorang eklektik, yang tampak berusaha terbuka kepada berbagai kecenderungan teori sastra. Hal itu tercermin dari rangkaian kuliah teorinya yang dibukukan, Sastra dan Ilmu Sastra,20 yang meninjau berbagai teori sastra dan tampak sedang memperkenalkan suatu cara memandang sastra secara holistik dan menyeluruh. Ia memberi perhatian pada dimensi-dimensi sastra yang menjadi simpul-simpul problematik kesusastraan. Terdapat empat hal yang membentuk simpul ini. Pertama, watak dan hakikat sastra, yang membawa Teeuw pada pembedaan antara kelisanan dan tulisan serta problematik yang diperkenalkan filsafat pasca-strukturalis (Derrida, Culler). Kedua, karya sastra sebagai objek paling sentral dari kritik dan teori sastra; disebut demikian, karena di sinilah Teeuw memberi perhatian paling luas dan elaboratif atas aspek-aspek dan hubungan-hubungan karya sastra, baik internal (semiotik-pragmatik, stilistik-retorik, sistem sastra, struktur) maupun “eksternal”21 (realisme dan metasejarah). Ketiga, penulis dan pembaca dalam model-model strukturalis dan semiotik; dengan demikian, penulis dan pembaca sebagai figur bentukan dan rekaan struktur. Dan keempat, teks sebagai dokumen positif bagi riset empiris (filologi-tekstologi dan morfologi naratif).

Sifat sugestif dan persuasif dari paparan teoretik Teeuw terletak pada watak deskriptifnya: untuk “membantu pembaca memahami apakah masalah-masalah yang ditimbulkan oleh karya sastra sebagai gejala komunikasi sui generis, khas dan istimewa, serta pendekatan-pendekatan ilmiah mana yang mungkin dipilih”.22 Paparan dan pemetaan teoretik itu tidak memberi kesan tentang eksisnya konflik teoretik dan memberi kesan bahwa berbagai pendekatan ilmiah tersebut komplementer satu sama lain—suatu kesan yang diperkuat dengan sikap penerimaan kuat (dan cenderung dogmatis!) dari para ilmuwan dan kritikus-akademisi sastra Indonesia ini terhadap tipologi M.H. Abrams tentang fungsi komplementer empat pendekatan sastra (mimetik, ekspresif, objektif, pragmatik). Penyikapan eklektik atas teori-teori dan asumsi mengenai komplementaritas teoretik itu dominan sejak era Teeuw, tetapi hal itu bukan tanpa latar politis: eklektisisme dan sikap aksiologis menempatkan teori sastra dalam deskriptivitasnya yang murni berfungsi sekaligus menyortir efek-efek politis dari teori sastra dan menyeleksi mana di antara aspek-aspek teori tersebut yang sebaiknya dipertahankan dan diperlihatkan dan mana yang tidak perlu dieksplisitkan, disamarkan, atau dibuang.

Deskriptivitas itu, dengan demikian, jauh dari sekadar gaya analisis; ia merupakan kerja depolitisasi yang sangat halus tetapi efektif sehingga suatu teori sastra yang ilmiah dan “netral” dapat ditampilkan, tanpa memunculkan keribetan atas pilihan politis mengapa teori tertentu dan bukan yang lain, benarkah teori itu fungsional adanya tanpa gagasan, latar belakang atau implikasi politis tertentu yang menyertainya, dan seterusnya. Asumsi bahwa teori sastra itu politis sama sekali diabaikan.

Introduksi dan induksi Teeuw atas strukturalisme, misalnya, mengabaikan dimensi kritik ideologis dari teori-teori struktural—penelanjangan atas rasio transparan dan universal Barat-Pencerahan (Lévi-Strauss),23 watak subversif dari eksplisitasi oposisi-oposisi biner yang ditemukan pada budaya yang sebelumnya dipinggirkan vis-à-vis budaya yang dominan (Barthes), atau watak materialis dari sistem internal bahasa sebagai penelanjangan atas idealisme romantik yang memandang manusia, budaya, dan hal-hal “transendental” lainnya terlepas dari keterikatannya kepada bahasa. Demikian pula yang terjadi pada formalisme. Ketika memperkenalkan formalisme sebagai suatu teori sastra, Teeuw tidak perlu merasa melihat latar belakang ideologis mengapa formalisme Rusia ditolak oleh Stalinisme, atau bagaimana formalisme Rusia memberi topangan bagi gerakan sastra progresif dan politis pada zamannya (dalam pengaruhnya terhadap Futurisme dan Avant-gardismesastra), dan bagaimana formalisme merupakan penjarakan dan perlawanan dingin atas estetika dan kritik sastra “borjuis”, misalnya, melalui konsep “defamiliarisasi” (ostrananie)24—penjarakan atas narasi dan teleologi sastra happy-ending yang mencirikan estetika dan selera estetik borjuasi modern.

Teori-teori sastra yang berkembang dan diajarkan, setidaknya dari empat simpul problematik yang merangkum berbagai tendensi dalam teori sastra Barat abad ke-20 di atas, dipangkas dari latar belakang ideologis dan politisnya untuk difungsikan semata-mata kepada dimensinya yang pedagogik, yaitu menunjang penelitian sastra, dengan tujuan mendapatkan hasil penelitian yang demonstratif dan deskriptif tentang karya sastra yang dikaji—menunjukkan hasil-hasil pembacaan karya sastra dalam paparan yang jelas, gamblang, dan koheren mengenai karya tersebut kepada pembaca. Teori-teori tersebut dimunculkan untuk memenuhi misi pragmatik dan terapannya, tanpa keperluan melihat pendasaran (grounding) pada tingkat metateoretis atas eksistensinya sebagai teori.

“Positivisme” pragmatik ini sempat cukup lama mengisolasi teori sastra menjadi suatu ranah yang terasing dari kehidupan publik sastra dan pembaca umum. Hal ini menandai adanya suatu kesenjangan antara teori sastra dan misi pragmatiknya mengkomunikasikan karya sastra kepada pembaca luas melalui kritik sastra, berbeda dari yang dibayangkan sebelumnya tentang peran kritikus yang terkadang dikonsepsikan secara patronistik sebagai pembimbing, penyuluh, atau penjaga kesehatan selera sastra masyarakat.25 Alienasi teoretis itu tercermin dari keluhan Subagio Sastrowardoyo yang mengkritik kesenjangan antara teori sastra dan “penelaahan yang konkret” atas karya sastra,26 atau tidak operasionalnya teori ketika diterapkan kepada karya sastra dalam banyak kasus penelitian ilmiah. Alienasi ini menemukan jawaban ironisnya, mengutip Maman S. Mahayana, karena “teori-teori sastra yang diperkenalkan dan diajarkan dalam dunia akademi di Indonesia memang tidak lain bersumber dari teori sastra Barat”,27 terputus dan teralienasi dari hubungannya dengan pergumulannya yang otentik dengan (teks) kesusastraan Indonesia sendiri.28

Politik dalam Teori Sastra

Kita memahami bahwa kritik sastra di Indonesia mengalami perubahan luar biasa di akhir dekade 1960-an, melalui suatu proses yang secara gradual mengintegrasikan kritik ke dalam teori sastra dan ilmu sastra dan “amputasi” atas potensi politis kritik sastra melalui pemilihan teori—atau kecenderungan teoretik—yang mendukung bagi proses perubahan dan keperluan integrasi itu (strukturalisme, formalisme). Hal ini diperkuat dengan hegemoni “aliran Rawamangun” dalam seluruh transmisi teori sastra di lembaga-lembaga pengajaran sastra di Indonesia yang berlangsung melalui figur kharismatik Jassin-Teeuw. Namun, kita belum melihat bagaimana perubahan modalitas “politik” itu dan pengertian “politik” dalam artinya yang persis, untuk memperhatikan pergeseran “politik teori sastra” dari keberhasilannya menciptakan “politik” baru setelah mendepolitisasi kritik sastra itu sendiri.

Bila kita berangkat dari multivalensi “politik” dalam hubungannya dengan dirinya (per se) maupun kata sifatnya (“politis”, “politikal”, “yang politis”), sedikitnya kita dapat mengajukan empat pengertian “politik” yang relevan dengan kondisi metateoretis dari teori sastra Indonesia pasca-1960-an.

Pertama, politik sebagai totalitas dan totalisasi praksis, atau tepatnya, politik sebagai praksis dialektis antara totalitas dan totalisasi, setidaknya bila kita setia dengan pengertian yang diberikan oleh Jean-Paul Sartre.29 Terinspirasi dari pemikiran Marxis tentang kesalingterkaitan antara teori dan praksis, politik yang genuine, menurut Sartre, adalah sebuah praksis yang mengubah kondisi-kondisi kehidupan ke arah pembebasan melalui pengaktifan seluruh aspek subjektif maupun objektif dari dunia. Hasil-hasil kerja dalam bentuk-bentuk pengalaman politik, lembaga politik, maupun produk kebudayaan yang telah lampau membentuk “totalitas”, yang sifatnya pasif dan telah jadi. “Totalitas”, dengan demikian, identik dengan sejarah statis yang diterima sebagai fakta. Praksis menghidupkan totalitas itu untuk terus-menerus dimaknai dalam babakan sejarah yang lain, dan dengan demikian, melakukan “totalisasi”.

Ide dasar dari pengertian ini adalah bahwa politik merupakan praksis, bagian dari kerja. Sifat kerja ini tidak hanya memproduksi, tetapi juga terlibat dalam produksi sosial dan kesejarahan yang dilakukan oleh masyarakat. Politik adalah perlawanan terhadap alienasi. Dengan demikian, politik berorientasi penyadaran dan pengaktifan seluruh potensi produktif dari kerja.

Kedua, pengertian yang lebih kontemporer yang diberikan oleh Alain Badiou, juga dari tradisi Marxis. Konsepsi ini menempatkan politik sebagai prosedur operasional, atau operasionalisasi, dari apa yang disebutnya “kebenaran” (vérité).30 “Kebenaran” adalah serangkaian pengorganisasian dari hal-hal yang muncul dari peristiwa politik tertentu yang mengubah secara mendasar sendi-sendi kehidupan bersama. Politik, menurut Badiou, dengan demikian terikat dengan suatu momen politik yang dialami bersama oleh suatu kolektivitas masyarakat; ia merupakan respons yang berkelanjutan atas signifikansi momen politik itu. Politik mendorong realisasi kebenaran yang dipicu oleh momen politik.

Secara intuitif kita dapat menangkap, apa yang dikerjakan oleh para kritikus Lekra mencerminkan kecenderungan terhadap salah satu dari kedua pengertian politik di atas, yang turut meresapi konsepsi mereka tentang kesusastraan. Kita dapat memahami “Politik sebagai Panglima” yang dianut oleh konsepsi kesusastraan ini dengan cara ini.

Pertama“politik” diletakkan sebagai praksis yang mengaktifkan (menotalisasi) totalitas produk kebudayaan dan sosial dari masyarakat Indonesia yang telah ada. Tradisi sastra, yang bersifat populis-kerakyatan maupun elitis, merupakan bagian dari totalitas itu. Totalitas itu, meminjam redaksi Surat Kepercayaan Gelanggang, adalah warisan “kebudayaan lama” yang oleh para sastrawan Gelanggang tidak ingin di-“laplap … sampai berkilat dan untuk dibanggakan”.31 Namun berbeda dengan sastrawan Gelanggang yang menganggap totalitas ini telah jumud dan pasif (prasangka intelektual khas kaum terdidik Dunia Ketiga atas bangsanya sendiri), para sastrawan Lekra menganggap totalitas itu sebagai tantangan bagi praksis. Sastra adalah praksis itu, yang mampu mendayagunakan kerja kreatifnya untuk mengangkat totalitas itu menjadi denyut nadi dinamis dari perubahan-perubahan radikal yang sedang dihadapi oleh masyarakat selama dan sesudah Revolusi kemerdekaan. Kritik sastra diabdikan untuk melakukan kritik atas keterkaitan antara sastra dan kerja praksisnya. Kritik sastra, dengan demikian, menjadi bagian dari praksis itu sendiri—dalam kerja besar totalisasi. Politik menjadi panglima bagi sastra, dalam arti kerja-kerja kesusastraan berkiblat kepada praksis.

Kemungkinan kedua juga relevan: politik adalah kesetiaan atas kebenaran peristiwa politik. Sastra Indonesia adalah bagian dari jatuh-bangun politik Indonesia, maka sastra adalah bagian dari politik, dari pengorganisasian massa kerakyatan atas tindakan-tindakan yang mereka lakukan untuk memaknai peristiwa politik yang terjadi dan menyangkut kehidupan mereka. Sastra menjadi bagian dari politik, bukan dalam arti instrumentalis (sastra menjadi sarana propaganda), tetapi operatif: sastra merupakan suatu operasi untuk membantu dan mendorong pemaksimalan politik sebagai manifestasi pembebasan rakyat dari kondisi-kondisinya yang “tidak semestinya”. Sastrawan dapat menolak karya sastranya menjadi alat politik, tetapi karya sastra itu tidak dapat menghindarkan dirinya dari peran politik tertentu yang dimainkannya, sebagai suatu operasi tertentu32 dalam wujud kerja kreatif—terlepas apakah peran itu maksimal atau minimal diperankannya.

Kritik sastra, dengan demikian, dipahami sebagai demistifikasi ideologis dan pengujian atas operasi karya sastra terhadap kebenaran. Demistifikasi ideologis, yaitu pembongkaran atas ideologi-ideologi di dalam karya sastra yang mendukung, menetralisir, atau menjadi antipoda bagi proses kebenaran yang terjadi (dalam suasana kemerdekaan, pembebasan bangsa dari kolonialisme; pasca-kemerdekaan, neokolonialisme). Pengujian atas operasi, yaitu melihat sejauh mana politik beroperasi di dalam karya sastra, terlepas dari intensi atau latar belakang sastrawannya.

“Politik adalah panglima”, dalam arti sastra berorientasi kepada kebenaran dan peristiwa politik. Bagi kritik sastra, ini berarti bahwa kritik sastra menguji ada-tidak adanya orientasi itu dalam karya sastra. Kritik sastra menjadi lensa observasi bagi operasi sastrawi atas politik.

Penyesuaian antara konsepsi kritik sastra ini dengan kebijakan partai di akhir-akhir eksistensi Lekra seakan-akan memberi pembenaran atas tuduhan lawan politik mereka, bahwa mereka memperalat sastra untuk politik. “Politik” di sini dibingkai oleh para lawan politik mereka dalam pengertian Hobbesian-Machiavellian: pemenuhan ambisi pribadi atau kelompok yang dicapai dengan penghalalan segala cara, penciptaan antagonisme kawan/lawan, dan instrumentalisasi vulgar atas kesusastraan sebagai alat propaganda. Apa yang sebenarnya merupakan suatu konsepsi metapolitik (Sartre, Badiou), yang menempatkan sastra—dan otomatis peran Lekra—sebagai unsur dari kerja besar politik yang sedang dilakukan bersama-sama oleh rakyat Indonesia (di mana sastra bagian yang niscaya terlibat di dalamnya), direduksi besar-besaran menjadi suatu konsepsi ultrapolitik (Machiavelli, Hobbes), yang menganggap sastra Indonesia sedang dikorbankan untuk kepentingan sempit kelompok Lekra atau ideologi sastra yang mereka anut. Reduksi ini sekaligus menandai perubahan kepada dua modalitas politik lain yang membentuk kondisi metateoretis kritik sastra.

Pengertian ketiga tentang politik adalah apa yang boleh disebut “politik tekstual atas teori”, yaitu suatu jenis politik yang kelihatannya apolitis yang bekerja melalui hegemoni dan dominasi suatu teori atau arus teoretik tertentu, yang di dalamnya teori-teori berfungsi menetralisir polemik, menciptakan konsensus, dan membentuk normalitas suatu kondisi status quo sastra. Ini adalah politik atas teori, atau politik teoretik. Ia disebut tekstual, karena di dalamnya politik bekerja tidak dalam hubungan yang menyeluruh realitas dunia yang lebih luas daripada sastra, tetapi bekerja di dalam hubungan “intra-tekstual” di antara konsep-konsep teoretik atau antarteori di dalam ilmu sastra. Ini adalah politik yang diinvestasikan di dalam kekuatan-kekuatan yang terkandung di dalam teori, potensi-potensinya, dan hal-hal yang tercipta dari relasi antarkonsep atau teori. Model bagi politik ini adalah politik diskursif yang berlangsung dalam suatu epist?m? atau gugus ilmiah tertentu. Teori memiliki dua dimensi: dimensi deskriptif dan dimensi diskursif. Politik ini berlangsung ketika dimensi diskursif suatu teori dominan atas dimensi deskriptifnya, sehingga teori itu membentuk diskursus di tengah suatu komunitas atau publik ilmiah tertentu.

Politik ini merupakan suatu parapolitik (dalam arti Habermasian), yaitu bahwa teori-teori dapat berkontestasi secara “normal”, tetapi fungsi utama dari kontestasi itu adalah mendukung suatu konsensus. Kontestasi dilangsungkan, tetapi tanpa antagonisme atau dialektik. Teori-teori bersirkulasi sebatas pragmatik untuk memenuhi kegunaan tertentu, atau menegakkan suatu norma ilmiah yang disepakati.

Politik ini bukan tanpa “ideologi”, walaupun kelihatannya tidak memiliki beban ideologis. Tidak adanya ideologi padanya adalah ideologis, karena ideologi diubah bukan lagi sebagai modus yang melekat secara langsung pada eksistensi teori (teori itu didorong oleh motivasi ideologis yang langsung), tetapi menjadi modus yang menjadi prasyarat tak langsung dari eksistensi teori—penghilangan antagonisme, regularitas dan normalisasinya, penciptaan situasi yang kondusif bagi pemapanan teori. Ideologi, dengan demikian, disublimasi menjadi syarat-syarat “transendental” dari teori.

Dalam kebanyakan situasi, hal ini dapat berjalan normal atau teratur. Meski demikian, kontestasi itu juga menciptakan kemungkinan pembelokan-pembelokan atau penyimpangan dari kurva linear-sirkuler yang terjaga dari hubungan intra-tekstual ini. Hal ini mendorong lahirnya politik dalam pengertian keempat, yaitu politik sebagai pengaktifan “yang politis”.

Keempat, politik sebagai pengaktifan “yang politis”. Politik dapat didepolitisasi melalui penghilangan antagonisme, prosedur regularitas dan normalisasi, dan seterusnya (“hukum-hukum” status quo), tetapi ia tidak dapat dihilangkan sepenuhnya dari potensi politisnya. Potensi politis ini, residu dari depolitisasi yang nyaris total dan hegemonik, adalah “yang politis”, politik yang berlangsung melalui penyimpangan-penyimpangan dan subversi “internal” atas regularitas dan normalitas status quo. Politik ini, bila kita setia pada definisi yang diberikan oleh Paul Ricoeur, adalah apa yang tak tereduksikan dari politik ideologis dan dari depolitisasi atas politik ideologis. Dalam hal ini, yang politis itu terletak pada momen ketika teori mampu menghadirkan diskursus tandingan yang mampu merepolitisasi potensi politis yang terdapat di dalam suatu bangunan teoretik tertentu.

Strukturalisme ala Teeuw pasca-1960-an yang memberi bentuk bagi kritik sastra “formalis” yang telah diperkenalkan oleh H.B. Jassin sebelumnya, bukan sekadar suatu teori deskriptif, tetapi merupakan suatu versi khusus dari strukturalisme yang telah dilepaskan dari potensi politisnya sebagai teori. Penekanannya pada “struktur”, pada “sistem sastra”, pada sifat invarian dan universal dari aspek intrinsik karya, tidak saja merefleksikan bias universalisme yang cocok dengan ideologi “humanisme universal” kelompok ini, tetapi juga merefleksikan kecenderungannya terhadap tatanan politik yang ada, yaitu tatanan Orde Baru, dengan keajegan strukturnya dan pola-pola pemapanan sistem politiknya. “Struktur” di sini dipahami sebagai suatu “konvensi” yang stabil, yang kalaupun terjadi penyimpangan, penyimpangan itu terjadi dalam konteks ketegangan normal antara konvensi dan pembaruan33—tidak sampai menciptakan suatu lompatan besar atau “revolusi” dalam bentuk (forma)-nya. Dilihat dari konvensi ini, betapapun besar dampak politis yang diciptakan oleh sebuah karya sastra, dampak politis itu tidak ada artinya jika ia belum menghasilkan pembaruan berarti dalam bentuknya.

Politik tekstual atas teori ini terlihat dari apa yang dimaksud dengan “versi khusus” di atas. Strukturalisme ala Teeuw, secara eklektik, diracik dari konsep-konsep yang diambil dari formalisme Rusia, strukturalisme Ceko, dan sedikit strukturalisme Prancis. Tetapi, racikan ini adalah seleksi tak sadar atas konsep-konsep yang memberi ciri khas bagi “versi khusus” ini. Misalnya, Teeuw kurang menonjolkan aspek “emansipatif” dari formalisme yang, dalam program Jakobson, mesti bertujuan “mengemansipasikan kata-kata dari makna”34—dengan demikian, menciptakan suatu pembaruan yang radikal yang mampu menciptakan suatu pembalikan formalis atas materialitas “kata-kata” sebagai bahan primer dari kesusastraan. (Ini mengapa formalisme merupakan ideologi Avant-gardisme sastra35 yang memiliki persinggungan dengan beberapa kecenderungan Avant-gardisme politik Bolshevisme yang berusaha dinormalisasi pengaruhnya oleh Stalinisme. Formalisme sendiri merupakan suatu materialisme dalam sastra.) Teeuw juga sama sekali tidak menonjolkan unsur dinamisme internal dari formalisme, seperti yang dikonsepsikan oleh Tynjanov, bahwa konstruksi bahasa sastra adalah “konstruksi bahasa yang dinamis”36 yang ketakterdugaannya—atau “yang poetik”-nya, menurut Jakobson—dapat mengguncang atau mengubah konvensi sama sekali. Keterikatan Teeuw pada konvensi37 menghadirkan suatu versi strukturalisme yang cenderung “statis”, suatu strukturalisme yang cocok dengan tuntutan status quo untuk meredam gejolak terhadap struktur atau sistem yang berlaku.38

Strukturalisme Prancis juga dilucuti dari sifat radikalnya sebagai suatu teori yang politis tentang bahasa. Salah-baca atas konsep “tulisan/penulisan” (écriture) dalam satu versi dari (pasca)strukturalisme Derrida, yang dipahami oleh Teeuw sebagai suatu hal yang mati39 padahal tidak, dan lebih merupakan suatu modus baru bagi perubahan-perubahan dalam sistem sastra,40 menunjukkan ketidakberhasilan Teeuw menangkap sifat politis dari teori ini. Adonan teoretik Teeuw merupakan contoh dari politik tekstual atas teori, melalui suatu seleksi atas konsep-konsep dan sifat politisnya bagi teori sastra maupun pembaca.

Tanpa ekses politis dari teori, teori-teori yang ada, berikut penggunaan konsep-konsep ikutannya, diterima sebagai kewajaran dan tanpa suatu kejutan. Teori-teori dapat digunakan sejauh cocok atau dipandang cocok untuk mengkaji suatu teks sastra, atau sekadar mengomentarinya dalam tinjauan-tinjauan yang judisial. Teori-teori digunakan dalam ragam variannya, tetapi keragaman itu semata-mata berfungsi untuk melangsungkan suatu konsensus diam-diam di kalangan kritikus sastra (akademis) tentang sifat praktis dan apolitis teori-teori tersebut, dan apolitisnya ilmu sastra itu sendiri. Teeuw dengan “Alkitab”-nya, buku Teori Kesusastraan karya René Wellek dan Austin Warren,41 menjadi nama penting dari proses-proses ini, jauh lebih signifikan daripada Jassin secara teoretik.

Namun proses ini tidak linear. Di tengah kesinambungan yang tampak dominan dari politik teori ini, politik teori dalam bentuk yang lain, yaitu pengaktifan “yang politis” dari teori, muncul mengganggu. Momennya terjadi cukup awal, tidak di ranah teori sastra, tetapi pada ranah kritik sastra non-akademis, yaitu pada 1984 dalam polemik “sastra kontekstual”.42 Polemik ini menghadirkan suatu gangguan terhadap politik teori yang dominan, karena di dalam perdebatan tersebut dipertanyakan kriteria-kriteria “keuniversalan” sastra, dan dengan demikian secara tak langsung, asumsi “keuniversalan” teori sastra. Sebagian asumsi yang melatari tentang “kontekstualitas” sastra digali dari pengaktifan sejumlah konsep yang selalu dihindari oleh Teeuw dan para pengikutnya, seperti “ideologi” dan “politik” itu sendiri. Hal ini terjadi melalui perjumpaan, via Keith Foulcher, dengan teori Marxis, yaitu Marxisme budaya yang kemudian membentuk gugus Kajian Budaya (cultural studies) dalam teori sastra (Raymond Williams).43

Dalam perdebatan itu muncul problematik tentang keterkaitan antara sastra dan ideologi, di mana universalisme sastra yang dimapankan oleh “humanisme universal” dipertanyakan ulang melalui pemunculan determinasi sastra oleh ideologi. Terlibat dalam suatu modus sastrawi tertentu, entah sebagai penulis maupun kritikus, berarti terikat dengan suatu kompleks ideologis tertentu. Meskipun arah dari kritik atas universalisme ini terbelah, antara kecenderungan “humanisme” baru yang menekankan pada kekonkretan, sentimen keberhinggaan manusia (psikologisme Gestalt), dan subjektivisme seperti diperkenalkan oleh Arief Budiman dkk., dan kritik sastra bertipe sosiologis yang dianjurkan oleh Ariel Heryanto,44 kritik atas universalisme ini merupakan sebentuk penyimpangan dari politik teori yang dominan dan membuka kritik sastra kepada “yang politis”.

Sebelum pasca-strukturalisme mendapat kekuatannya yang baru dalam pengaktifan “yang politis” ini—jauh setelah introduksi Teeuw pada 1970-an—dalam polemik mengenai “pascamodernisme” di Indonesia di tahun 1990-an, politik teori ini secara irreguler hadir melalui berbagai teori sastra yang menyadari ketidakmemadaian otonomi sastra dan makin meresapnya teks sastra kepada perubahan-perubahan politik atau sosial di tengah masyarakat. Introduksi “sosiologi sastra” (walaupun dalam pendekatannya yang fungsional dan positivistik ala Parsons) oleh Sapardi Djoko Damono, kemudian “strukturalisme genetik” oleh Faruk45 (dengan tendensinya yang cukup Marxian dengan pengakuannya atas ideologi, dialektika, dan peranan subjek kolektif dalam estetika), feminisme, dan pascakolonialisme merupakan momen-momen “yang politis” dalam teori sastra, yang memberikan sejumlah pendasaran baru atas hubungan yang lebih mendalam dan substansial antara teori sastra dan politik.

Ke Arah Metapolitik Kritik Sastra

Terdapat sejumlah ambiguitas di kalangan kritikus sastra mengenai hubungan antara kritik sastra, teori sastra, dan politik. Sikap paling konvensional tercermin dari pandangan Dami N. Toda, yang walaupun memiliki reputasi berani memperkenalkan pembacaan-pembacaan yang eksperimental terhadap sastra Indonesia dengan penguasaannya yang memadai atas wawasan teoretik sastra Barat,46 mengakui signifikansi sekunder teori sastra dalam kritik sastra, sehingga menurutnya, kritik sastra dapat dilakukan tanpa harus membebek kepada teori tertentu: “Teori hanya ilmu. Metode hanya ilmu… Metode ataupun aliran bukan penebus untuk menjamin keselamatan mutu sebuah kritik sastra”.47 Sikap ini memperjelas mengapa terjadi alienasi antara kritik sebagai kerja kreatif dan teori sebagai sesuatu yang seolah-olah selalu hadir secara instrumental untuk melengkapi kritik. Suatu alienasi yang melengkapi kesenjangan antara kritik sastra akademis dan non-akademis.

Pandangan yang keluar dari sikap konvensional itu diajukan oleh Saut Situmorang, yang sebaliknya melihat perlunya kritik sastra melakukan reclaiming atas teori dan menjalankannya secara konsisten dan bertanggung jawab.48 Kesenjangan antara teori dan kritik sebagai praktik kreatif harus dijembatani, tidak dengan sikap positivistik dan instrumental atas teori (bahwa teori merupakan penjelas absolut dan selalu overdeterminan terhadap teks sastra, dan bahwa teori tinggal dijalankan atau diterapkan terhadap teks sastra begitu saja) atau sikap anti-teori (subjektivisme murni), melainkan dengan menganut suatu pendirian teoretik tertentu yang secara sadar dipertanggungjawabkan dalam kerja kritik.

Pandangan terakhir ini menunggu untuk ditindaklanjuti lebih jauh dengan pengakuan atas setidaknya dua hal yang mendasar. Kita akan menyebutnya dua hipotesis bagi suatu metapolitik kritik sastra. Pertama, keintrinsikan teori dalam kritik sastra, dan kedua, keinstrikan politik dalam teori sastra.

Disadari atau tidak disadari, setiap kerja kritik, sekalipun berupa sebuah analisis pendek atas teks sastra, merefleksikan suatu posisi teoretis yang dianut oleh kritikusnya. Ketidakmampuan kritikus mengeksplisitkan posisi teoretisnya lebih karena sifat ideologis dari teori itu sendiri, yang dalam kondisi-kondisi tertentu menuntut untuk disembunyikan atau didiamkan karena penghindarannya untuk dibaca secara ideologis oleh pembacanya. Namun, kritik itu sendiri menyimpan suatu posisi teoretis tertentu, sehingga teori pada dasarnya intrinsik dalam kerja kritik, dan dalam kritik sastra yang dihasilkan oleh kerja kritik itu.

Karena setiap teori tidak berada dalam ruang kosong, melainkan muncul dalam suatu konteks politis tertentu, meskipun memiliki kemampuan untuk melampaui konteks politisnya dan “menguniversalkan” konsep-konsepnya, maka di dalam teori intrinsik suatu politik: politik, diakui atau tidak diakui, internal di dalam teori.

Keintrinsikan politik dalam teori tidak dapat disadari tanpa melacak genealogi dan kontekstualisasi epistemologis yang dilakukan atasnya dalam berbagai kajian atau kritik sastra. Dengan cara demikian, kita dapat melihat sejauh mana suatu pendirian teoretik tertentu membawakan pendirian politisnya dan menampilkan orientasi politisnya. Jika teori telah memiliki orientasi politisnya, maka penyematan teori oleh suatu kerja kritik mempertautkan secara langsung maupun tak langsung kritikus kepada orientasi politis tersebut dan membuat kritik sastra sebagai kerja politis atau praktik politik. Kritik sastra, dengan demikian, merupakan suatu kerja yang memiliki latar belakang politis (metapolitis).

Dalam pendedahan antara kritik sastra, teori sastra, dan politik yang dilakukan di atas, kita bisa menyatakan bahwa metapolitik kritik sastra ini merupakan bagian dari upaya mengaktifkan “yang politis” dalam kritik dan teori sastra. Hal ini tidak lain untuk menghadirkan antitesis bagi politik depolitisasi atas teori, dan mungkin, dalam momentum terbaik, akan memungkinkan kritik sastra menjadi bagian dari kerja besar praksis atau “prosedur kebenaran”, yang benih-benihnya telah ditanam oleh para kritikus Lekra setengah abad silam, dengan bentuk dan ekpresi yang sama sekali baru.[]

*Sebelumnya merupakan makalah yang berjudul “Kritik Sastra, Teori, Praktik Politik (Catatan untuk Investigasi)”, dipresentasikan pada seminar “Politik Kritik Sastra di Indonesia” di PKKH UGM, Yogyakarta, 24-25 November 2015 dan dimuat dalam Ach. Fawaid (ed.), Poe(li)tics: Esai-esai Politik Kritik Sastra di Indonesia (Yogyakarta: PKKH, 2015).

1 Bandingkan dengan konsepsi kritik sastra Sjahrir, yang belum mencapai tingkat kematangan yang konkret dalam menerjemahkan visi estetik realisme sosialis dalam kerja-kerja kritik sastra.

2 Savitri Scherer, Pramoedya Ananta Toer: Luruh dalam Ideologi (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), h. 129.

3Ibid., h. 128.

4 Slavoj Žižek, The Sublime Object of Ideology (London: Verso, 2008 [1989]). Ideologi mengalami “sublimasi”, menurut Žižek, jika objeknya mengalami empat hal: penyembunyian, suprasensualisasi, immaterialisasi, atau transendentalisasi. Kita akan memakai hal yang keempat, yaitu transendentalisasi, untuk melihat sublimasi ini.

5 Yudiono K.S., Pengkajian Kritik Sastra Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2009), h. 108-109. Yudiono K.S. adalah seorang akademisi sastra dari Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang, dengan pandangan-pandangan yang tampaknya cukup dipengaruhi oleh Sapardi Djoko Damono, akademisi sastra senior lainnya.

6 Didukung oleh tentara. Prosiding seminar ini telah diterbitkan oleh Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, dengan judul Bahasa dan Kesusastraan Indonesia sebagai Tjermin Manusia Indonesia Baru: Simposium Bahasa dan Kesusastraan Indonesia 25-28 Oktober 1966, dan dikatapengantari oleh Jenderal Soeharto, yang saat itu menjabat Menteri Utama Bidang Pertahanan dan Keamanan. Tidak jelas dukungan seperti apa yang diberikan oleh tentara terhadap paraakademisi sastra tersebut. Tentang keterlibatan Soeharto dalam proyek “pembinaan” bahasa dan kesusastraan Indonesia, lihat esai pendek Bandung Mawardi, “Soeharto dan Bahasa Indonesia”, majalah sastra Surah, edisi III/Juni-Juli 2013, h. 30.

7Ibid., h.98.

8J.E. Tatengkeng, “Penjelidikan dan Pengakuan”, Antologi Karya Pudjangga Baru (Djakarta: J.B. Wolters-Groningen, t.t.), h. 148-151.

9 “Roman & Romance”, dalam Pramoedya Ananta Toer, Menggelinding 1, ed. Astuti Ananta Toer (Jakarta: Lentera Dipantara, 2004), h. 251-256.

10 “Sumber Cipta dalam Kesenian”, dalam ibid., 214.

11 “Angkatan dan Dunianya”, dalam ibid., h. 114.

12 Scherer, Pramoedya, h. 50.

13 Mikhail Bakhtin, Le Marxisme et la philosophie du langage (Paris: Minuit, 1977).

14 Para kritikus Lekra tidak menerapkan secara harfiah teori sastra Marxis yang saat itu sangat dipengaruhi oleh dinamika sastra di Soviet, meski di saat-saat akhir sempat tergelincir ke dalam keharusan menyesuaikan kritik dengan tuntutan partai—mirip seperti ketaatan kritikus Soviet di masa-masa akhir kepada Proletkult; keragaman pandangan di antara mereka menunjukkan pencarian bentuk kritik yang sedang berproses.

15 Mungkin suatu kebetulan—atau bukan kebetulan—bahwa “impor” teoretik ini bersamaan dengan dibukanya kontrak karya dan investasi antara Indonesia dengan perusahaan-perusahaan multinasional yang disiapkan sejak Oktober 1966 dan diresmikan oleh undang-undang pada Januari 1967, yang membuka Indonesia kepada jaringan kapitalisme finansial global.

16 Maman S. Mahayana, “Perjalanan Teori Sastra di Indonesia”, dalam Maman S. Mahayana, Sembilan Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik (Jakarta: Bening Publishing, 2005), h. 203.

17 Setidaknya suatu versi paling awal dari strukturalisme.

18 Mahayana, Sembilan Jawaban Sastra, h. 206.

19 Yudiono K.S., Pengkajian Kritik Sastra, h. 111.

20 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).

21 “Eksternal” di sini mendapat pengertian khusus yang berbeda dari eksternalitas politis teori sastra Marxis.

22 Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, h. 7.

23 Ketika memulai penelitiannya pada suku-suku pedalaman Nambikwara, Claude Lévi-Strauss menyadari jarak kultural antara the savage mind itu dengan rasio universal Barat-Pencerahan yang menjadi standing politisnya sebagai orang “Barat”. Penemuan kode-kode mitologis yang sama antara pemikiran suku-suku pedalaman primitif itu dengan rasio “universal” Barat menelanjangi universalitas rasio yang terakhir ini dan memperlihatkan kepekatannya (opacity), yang memiliki derajat universalitas yang sama justru dengan rasio “universal” Barat yang menjadi titik berangkatnya.

24 Barbara Foley, “Review of Formalism and Marxism by Tony Bennett”, Modern Philology, vol. 80, No. 4 (1983), h. 443.

25 Andre Harjana, Kritik Sastra: Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia, 1981).

26 “… [D]engan menitikberatkan pada teori-teori yang bergerak pada tataran yang umum dan abstrak tentang kesusastraan, maka terdapat kecenderungan yang kuat untuk meninggalkan penelaahan yang konkret terhadap karya sastra”, Subagio Sastrowardoyo, dikutip dalam Mahayana, Sembilan Jawaban Sastra, 201.

27Ibid., h. 202.

28 Kita tidak menutup mata pada adanya beberapa kajian sastra yang berhasil melakukan persenyawaan yang ketat antara teori sastra Barat dengan teks sastra Indonesia sebagai objek kajiannya, tanpa terjatuh pada pola instrumentalis dalam memperlakukan teori sastra kepada objeknya. Tetapi hal itu sangat jarang. Ada suatu inkonsistensi yang menarik dicatat, ketika suatu saat Sapardi Djoko Damono, seorang sastrawan senior yang secara ideologis dekat dengan kubu Manikebu, mengatakan dalam suatu kesempatan diskusi sastra, bahwa “teori sastra mengikuti karya sastra, teori dibuat mengikuti karya”, menegaskan superioritas karya atas segala kerja kritik atau teoretik (Hal ini diungkapkannya sekaligus untuk menegaskan superioritas sastrawan dan kerja kreatifnya atas kritikus dan kritiknya). Sapardi dapat mengatakannya sebagai seorang sastrawan. Tetapi sebagai seorang kritikus dan akademisi sastra yang dikenal memperkenalkan teori Sosiologi Sastra, pernyataan ini menjadi cermin inkonsistensinya. Sapardi ingin bahwa teori sastra mengikuti karya sastra, maka teori harus digali dari teks (sastra Indonesia). Teori harus dikembangkan dan diabstraksikan dari karya itu sendiri. Tetapi, kenyataannya ia tidak berhasil menggali teori itu dari karya sastranya sendiri maupun dari tradisi sastra Indonesia, dan tetap menggunakan teori-teori sastra Barat untuk membaca sastra Indonesia. (Sapardi tidak pernah melahirkan teori sastra “Indonesia” yang “orisinal”.)

29 Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason, Vol. 1, terj. Alan Sheridan Smith (London: Verso, 2004), h. 45.

30 Alain Badiou, “Politics as a Truth-Procedure”, dalam Alain Badiou, Theoretical Writings (London: Continuum, 2006), h. 155.

31 Asrul Sani, Surat-surat Kepercayaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997), h. 3.

32 Pemahaman Pramoedya tentang “kesusastraan sebagai alat”, yang dibedakannya dari “kesusastraan yang diperalat”, bisa dipahami dalam pengertian operasi ini. Lihat, Pramoedya, “Kesusastraan sebagai Alat”, dalam Menggelinding 1, h. 222.

33 A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra (Jakarta: Gramedia, 1983), h. 33.

34 D.W. Fokkema & Elrud Kunne-Ibsch, Teori Sastra Abad Kedua Puluh (Jakarta: Gramedia, 1998), h. 17.

35Ibid., h. 19.

36Ibid., h. 29.

37 Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra, h. 26.

38 “Tetapi pembaruan pun, walaupun kelihatannya bersifat perombak, namun selalu berada dalam ketegangan dengan konvensi yang sebelumnya berlaku, sehingga pemahaman dan penilaiannya tidak mungkin di luar garis kesinambungan”, ibid., h. 33.

39Ibid., h. 30.

40 Bdk. Muhammad Al-Fayyadl, “Kebudayaan Perspektif Grammatologi”, FIB Weekly Forum, UGM Yogyakarta, 16 April 2015.

41 Pengakuan Teeuw tentang “kealkitabiahan” teks daras Wellek-Warren, lihat dalam Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, h. 135.

42 Ariel Heryanto (ed.), Perdebatan Sastra Kontekstual (Jakarta: Rajawali, 1985).

43Ibid., h. 60.

44 Bandingkan catatan kritis atas pendekatan sosiologis Ariel Heryanto ini, yang dipandang “mekanistik”, kurang dialektis dan ketat dalam melihat hubungan antara kenyataan sosial dan “kenyataan literer”, dalam Saut Situmorang, “Sastra Kontekstual”, dalam Politik Sastra (Yogyakarta: [Sic], 2009), h. 105-106.

45 Faruk HT, Strukturalisme Genetik dan Epistemologi Sastra (Yogyakarta: Lukman Offset, 1988).

46 Lihat berbagai kajiannya tentang novel-novel Iwan Simatupang.

47 “Kritik Sastra Indonesia Mencari Kambing Hitam”, dalam Dami N. Toda, Hamba-hamba Kebudayaan (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984), h. 29.

48 “Kritik Sastra Tanpa Teori?!”, dalam Situmorang, Politik Sastra, h. 131-135.

 

Sumber: https://literasi.co/politik-teori-sastra-di-indonesia/

 

Catatan boemipoetra:

  1. Dusta artikel yang “disarikan oleh novelis Ayu Utami” di bawah sudah nampak dari awalnya yaitu Fitnah bahwa “Lekra, Lembaga Kebudayaan Rakyat … terkait dengan Partai Komunis Indonesia, PKI”. LEKRA tidak ada kaitan apapun dengan PKI!
  2. Kedua, KORBAN apa si Goenawan Mohamad itu?! Tidak ada dijelaskan sama sekali. Dan makna dari pernyataan bahwa dia itu KORBAN adalah seolah-olah SAMA penderitaannya dengan Penderitaan para anggota LEKRA!
  3. Ketiga, Goenawan Mohamad di sini melakukan sebuah Tafsir Ulang sejarah menurut Kepentingan Pribadinya, BUKAN menurut Fakta Sejarah! Tafsir Ulang setelah puluhan tahun peristiwa itu berlalu dan dia merupakan Pemenangnya!
  4. Sebagai bahan pembanding Manipulasi Goenawan Mohamad di bawah silahkan baca buku penelitian Wijaya Herlambang yang berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film https://www.goodreads.com/book/show/19167202-kekerasan-budaya-pasca-1965
  5. Baca juga artikel Martin Suryajaya berjudul “Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965” https://indoprogress.com/2013/12/goenawan-mohamad-dan-politik-kebudayaan-liberal-pasca-1965/

=========

 

10+1 Catatan konflik budaya di sekitar 1965

 

Bagi generasi milenial pertanyaannya bisa sesederhana ini: apa relevansi peristiwa 1965-66 dengan kami? Jawabannya bisa nyinyir: karena isu 1965-66 terus dipakai untuk menjatuhkan orang lain atau lawan politik sampai hari ini. Tapi, tentu saja, kita bisa sungguh-sungguh ingin memahami apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu, agar tidak mengulangi kesalahan yang sama di zaman baru.

Nyinyir atau memang ingin faham, adalah menarik untuk menyimakperspektif Goenawan Mohamad. GM, panggilan akrabnya, pendiri majalah Tempo, adalah penyair yang mengalami masa 1960-an sebagai korban: sebagai salah satu penanda-tangan Manifes Kebudayaan, ia jadi sasaran Lekra, Lembaga Kebudayaan Rakyat yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia, PKI.

Dan ketika keadaan politik berbalik, ia termasuk yang tak ingin membalas persekusi. GM bahkan menampung beberapa penulis eks tapol di majalah Tempo. Berikut adalah catatan-catatan pendek dari ceramah dan sesi diskusi GM di Teater Utan Kayu, Kamis 27 September 2017 lalu, yang disarikan oleh novelis Ayu Utami.

#1 Isu 65-66, PKI, dan Lekra-Manikebu terus dipakai untuk menyerang sampai hari ini

Tanggal 19 September 2017 kantor YLBHI diserbu karena seminar tentang sejarah 1965. Jumat 29 September ada aksi 299 yang tuntutannya, antara lain, menolak kebangkitan PKI. Kita melihat pihak-pihak yang terus meniupkan isu hantu komunisme, padahal survei SMRC menunjukkan lebih dari 80% orang Indonesia tak percaya partai komunis itu bangkit lagi.

Di sisi lain, ada juga pihak yang meniupkan konspirasi CIA. Misalnya, ada yang menuduh Manifes Kebudayaan, yang disingkat dengan istilah Manikebu yang dimaksudkan sebagai ejekan, sebagai rekayasa CIA. Ini menujukkan bahwa isu PKI dan konteksnya (yaitu Perang Dingin dan campur tangan CIA) terus dihembus dan digunakan untuk kepentingan hari ini.

#2 Apa hubungan peristiwa 65-66 dengan Manikebu?

Istilah yang benar adalah Manifes Kebudayaan. Itu adalah surat pernyataan beberapa sastrawan, yang mengatakan bahwa seni tidak berada di bawah politik atau sektor kebudayaan lainnya. Apa istimewanya manifesto seperti ini? Dari kaca mata sekarang tidak ada hebatnya.

Tapi, ternyata pernyataan itu dilarang oleh Presiden Sukarno, dinista sebagai ‘mani kebo,’ setelah sebelumnya diserang oleh para sastrawan yang berafiliasi pada Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), organisasi seniman yang berkait dengan PKI.

Lebih dari itu, para penandatangannya ditekan dan dikeluarkan dari tempat bekerja. HB Jassin dipecat dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Goenawan Mohamad dan sastrawan lain tidak bisa lagi menulis dengan nama sendiri. Ini terjadi tahun 1963-64.

Tahun 1965 situasi politik berbalik. Menyusul Peristiwa G30S, PKI dibubarkan. Orang-orang yang terkait dengan partai komunis, atau dituduh dikaitkan dengan PKI ditangkap, dibunuh atau dipenjarakan. Begitu pula anggota LEKRA. Termasuk di antaranya Pramoedya Ananta Toer, yang dibuang ke Pulau Buru berama ribuan orang lain -dan tak pernah diadili.

#3 Kontestasi politik

Banyak orang mengira Manifes Kebudayaan adalah suatu organisasi, seperti LEKRA. Faktanya, Manifes itu cuma pernyataan sikap belaka. Awalnya, GM dan beberapa temannya sesama penulis —antara lain Bur Rasuanto— pergi ke Bogor, bertemu sastrawan tenar Iwan Simatupang. Iwan mempertemukan mereka dengan seseorang lain, yang mengaku dari SOKSI—serikat buruh yang didirikan militer. Pria itu mengajak membuat organisasi kebudayaan.

Sekadar catatan, dalam kontestasi politik masa itu partai dan kekuatan lain berlomba membentuk organisasi kebudayaan. Para sastrawan muda yang datang ke Bogor tidak berminat untuk membuat organisasi. Tapi, demi Iwan Simatupang, mereka akhirnya kembali ke Jakarta dan menemui intelektual senior, Wiratmo Soekito.

#4 Bukan organisasi melainkan pernyataan sikap

Alih-alih membuat organisasi, Wiratmo mengusulkan untuk membuat pernyataan bersama saja.

Yang menjadi keprihatinan masa itu adalah adanya tekanan bahwa seni harus melayani kepentingan politik atau partai. Yang dimaksud adalah “realisme sosialis” ala Stalin.

Stalin adalah sekretaris jenderal Partai Komunis Uni Soviet. Ajarannya menjalar ke banyak negeri dimana pengaruh Marxisme cukup kuat. Waktu itu Sukarno lebih dekat dengan Blok Komunis daripada Blok Barat. Ini era Perang Dingin.

Kembali ke Jakarta, beberapa sastrawan yang gelisah akan paksaan realisme sosialis ala Stalin pun bertemu di rumah kontrakan Bokor Hutasuhut di jalan Raden Saleh.

Manifesto singkat akhirnya disusun oleh Bokor, Arief Budiman, dan GM. Setelah itu Wiratmo Soekito, yang paling banyak membaca filsafat, membuat penjelasan sepanjang dua halaman. Teks itu dimuat di majalah Sastra tahun 1963. Majalah ini diterbitkan oleh seorang pemilik pabrik sepatu di Kayu Manis, yang pernah bekerja di majalah Kisah, dan berteman dengan sastrawan DS Muljanto dan HB Jassin. Majalah Sastra juga memuat tulisan B Sularto, yang kemudian diserang oleh Pramoedya, karena dianggap anti rakyat.

Manikebu juga dikecam karena dianggap mempromosikan “humanisme universal”.

#5 Humanisme universal: apa salahnya?

Dari kacamata generasi milenial: apa yang salah dengan “humanisme universal” sehingga tidak boleh dipromosikan? Istilah ini, ternyata, tak ditemukan selain dalam konteks Indonesia.

Agaknya, yang dikhawatirkan di masa itu tentang “humanisme universal” adalah liberalisme, sikap mencari kesenangan pribadi, dan dampak bahwa manusia kehilangan kemampuannya untuk berkontradiksi, termasuk menentang penindasan.

Perdebatan tentang humanisme universal sesungguhnya sudah terjadi di era Perang Kemerdekaan.

Di sekitar 1948, ada majalah Gema Suasana. Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin menjadi editornya, bekerja sama dengan orang-orang Belanda yang progresif dan mendukung republik. Tapi nada majalah ini terlalu banyak menganjurkan perdamaian. Sehingga, HB Jassin protes: kita sedang baku tembak, tapi kalian bicara tentang humanisme universal.

Manifes Kebudayaan tidak mengusung humanisme universal dalam makna seperti tadi.

Dalam penjelasannya, Wiratmo menulis: “Apabila ‘humanisme universil’ berarti pengaburan kontradiksi antagonis… kami akan menolaknya… Sebaliknya kami menerima “humanisme universil” jika artinya kebudayaan bukan semata nasional, tapi juga menghayati nilai universil, bukan semata-mata temporal, tapi juga menghayati nilai-nilai eternal.”

#6 Seni untuk seni?

Manifes juga dituduh mempromosikan “seni untuk seni”. Tema ini sebenarnya sudah dibahas oleh Sanusi Pane dan Sutan Takdir Alisyahbana di tahun 1930-an.

Takdir mengharuskan karya bertendens dan optimistis. Bahkan Takdir juga mengutip Stalin dan penyair Rusia Maxim Gorky. Selain itu, jargon “seni untuk seni” lahir dalam konteks Eropa yang belum tentu cocok diterapkan dalam konteks Indonesia.

Manifes berpendapat: memprioritaskan estetika murni akan merupakan imperialisme kaum estet dan harus ditolak. Sesungguhnya, rumusan ini cukup jelas. Tapi, kesalahpahaman berlanjut sampai sekarang dan Manikebu terus dituduh mempromosikan seni untuk seni.

#7 Stalinisme: yang sesungguhnya ditentang Manikebu

Yang ditentang Manifes Kebudayaan adalah realisme sosialis sebagaimana dirumuskan oleh Stalin. Realisme sosialis ada beberapa macam. Kadang orang menggunakan istilah realisme sosial, realisme sosialis, realisme revolusioner. Pada awalnya, inspirasi Revolusi Rusia Oktober 1917 sangat luar biasa. Terutama di bidang seni. Avant-gardisme Rusia berpengaruh pada Bauhaus dan seni rupa modern dunia.

Sayangnya, terjadi konsolidasi kekuasaan partai komunis yang masif. Partai pun ikut menentukan mana seni yang direstui dan yang ditolak.

Ketika, pada pertengahan 1920-an, Lenin meninggal dan Stalin menjadi sekjen partai yang berarti penguasa Uni Sovyet, ia segera menyingkirkan semua saingan politiknya.

Doktrinnya mengatakan bahwa pengarang adalah insinyur jiwa manusia. Sastra harus mengarahkan jiwa pembaca pada politik. Dan politik berarti partai. Lebih tepatnya lagi, komite sentral partai. Pada periode inilah realisme sosialis dirumuskan, di rumah Maxim Gorky.

#8 Korban Stalin: Trotsky

Di Uni Soviet (Rusia), sejak Stalin naik, ada banyak anggota politbiro dan seniman yang ditangkap, dan diadili, dan ditembak mati.

Yang paling tragis adalah Trotsky. Ia mantan komandan tentara merah sekaligus ideolog dan penulis teori tentang sastra dan revolusi. Trotsky melarikan diri hingga ke Meksiko, dimana ia bertemu dengan pasangan seniman kiri Diego Rivera dan Frieda Kahlo.

Mereka membuat Manifesto Menuju Seni Revolusioner. Manifesto itu menolak seni murni, tetapi mengakui bahwa seniman tak dapat bekerja selain jika secara subyektif ia mempertautkan isi sosial karyanya.

Sesungguhnya, ini mirip Manifes Kebudayaan. Yang ditolak adalah komandoisme. Tapi, perumusan Manifesto Kebudayaan di Indonesia dan Manifesto Menuju Seni Revolusioner di Meksiko terpisah sama sekali. Trostky akhirnya mati dieksekusi di Meksiko.

#9 Surealisme, abstrak, dll

Realisme sosialis ala Stalin menolak seni yang tidak optimistis dan tidak berakar pada dunia nyata. Yang menarik, arahannya tidak berlaku bagi para seniman komunis dan kiri di luar Uni Soviet. Di Indonesia, menurut mantan wartawan Bambang Bujono, seni rupa abstrak di Indonesia justru banyak juga dipelopori oleh para pelukis yang tergabung dengan LEKRA ataupun PKI.

Lukisan Sujoyono pertengahan 50-an bisa disebut mengandung gaya abstrak. Demikian pula di Eropa, banyak seniman yang mengaku komunis atau kiri ternyata tidak terikat oleh gaya realisme sosialis sama sekali. Misalnya, Andre Breton yang surealistis, dan Pablo Picasso yang kubistis. Atau Pablo Neruda yang membuat puisi cinta. Ini menunjukkan, di luar kontrol Stalin, para seniman kiri mempergulatkan keseniannya tanpa terikat realisme sosialis.

#10 Perang ideologi, perang budaya

Yang sering tak terfahami oleh generasi milenial adalah konteks masa itu: Perang Dingin. Perang Dingin adalah perang ideologi antara Blok Barat (Amerika dan sekutunya) dengan Blok Timur yang komunis (Uni Soviet, RRC dan aliansinya). Taruhan perang ini adalah perang nuklir, tetapi dalam menunda penggunaan senjata nuklir itu terjadi adu ideologi dan budaya. Terjadi perebutan ahli, tokoh, dan seniman di antara dua kubu.

Pada awalnya, Uni Soviet lebih maju dalam strategi budaya. Tapi, kemudian CIA didirikan (1947) dan pelan-pelan menjadi institusi yang cerdik dan kuat, dan mengusahakan kehancuran komunisme di mana-mana.

Di sinilah kita kembali ke situasi Indonesia. Ada tuduhan bahwa Manifesto Kebudayaan adalah rekayasa CIA untuk mengalahkan komunisme di Indonesia. “Kalau betul, CIA goblok banget,” kata GM.

Manikebu bukanlah gerakan yang sukses. Pendukungnya tidak berhasil membuat organisasi, melainkan hanya kumpul-kumpul membuat pernyataan. Hanya nasib yang membalik posisi mereka dari korban yang dianiaya menjadi berada di pihak pemenang.

+1

Sekarang Perang Dingin telah lama usai sejak robohnya Tembok Berlin dan runtuhnya Uni Soviet. GM berteman baik dengan kebanyakan mantan tahanan politik anggota LEKRA. Sementara itu, sesama penandatangan Manikebu, penyair Taufik Ismail, sebaliknya selalu berada di pihak yang meniup-niupkan kembali bahaya hantu komunisme. Adalah giliran generasi milenial untuk memutuskan apakah hantu itu memang hidup atau sudah mati.

Sumber: http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41451321