Posts Tagged ‘Teater Utan Kayu’

Saut Situmorang

Saut Situmorang

oleh Zamakhsyari Abrar – wartaone

Jakarta – Saut Situmorang, nama penyair ini, dalam beberapa tahun belakangan mencuat namanya dalam panggung sastra negeri ini. Lewat kritik-kritiknya yang tajam dan keras, ia menyerang Goenawan Mohamad dan kawan-kawan atas apa yang disebutnya sebagai politik sastra Teater Utan Kayu.

Bersama dengan penyair Wowok Hesti Prabowo, sastrawan yang lahir di Tebing Tinggi, Sumatra Utara, pada 29 Juni 1966, ini lalu menerbitkan jurnal Boemipoetra, sebuah jurnal yang terbit dwibulanan, wadah tempat mereka untuk menulis dan mengekspresikan tulisan untuk “menyerang” politik sastra Goenawan cs.

Terkait banyaknya reaksi yang kaget ketika membaca Boemipoetra, Saut menilainya hal itu wajar-wajar saja. Menurut pria berambut gimbal ini, selama pemerintahan Orde Baru, seniman kita memang tidak terbiasa berpolitik dalam kesenian.

Apa dan bagaimana Boemipoetra? Bagaimana tanggapan Saut terhadap pernyataan Goenawan yang beberapa waktu sebelumnya menyebut Boemipoetra tak lebih dari coret-coretan di toilet? Berikut petikan perbincangan WartaOne.com dengan Saut di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (9/7).

WartaOne (WO): Salah satu pemicu berdirinya Boemipoetra adalah karena sakit hati penyair Wowok Hesti Prabowo yang gagal masuk dalam pemilihan anggota Dewan Kesenian Jakarta pada 2006?

Saut Situmorang (SS): Seandainya pun itu benar, tak apa-apa toh. Karena kita tahu Dewan Kesenian Jakarta yang kemudian terbentuk, itu kan Dewan Kesenian Goenawan Mohammad. Mulai dari ketuanya yang namanya Marco K itu (Marco Kusumawijaya), sampai ke dalam bidang-bidang dalam Dewan Kesenian Jakarta. Misalnya sastra, di situ ada Ayu Utami, Nukila Amal, dan di situ juga ada yang kusebut antek-antek Goenawan Mohamad atau TUK, Zen Hae. Dan (kelompok Goenawan) itu juga ada di teater dan film.

Jadi Dewan Kesenian Jakarta yang kemudian terbentuk itu, semua orang bisa melihat bahwa jelas sekali itu Dewan Kesenian Jakarta versi Teater Utan Kayu. Kita tahu permainan Goenawan Mohamad di Akademi Jakarta mempengaruhi anggota-anggota lain supaya mereka itu terpilih. Dan bukan hanya Wowok saja itu yang ketendang keluar dari pemilihan itu, ada juga Ahmadun Y. Herfanda, dan juga Radhar Panca Dahana.

Jadi kalau misalnya itu dibuat semacam ejekan bahwa Wowok akhirnya memulai jurnal Boemipoetra karena sakit hati itu, ya ndak apa-apa. Itu wajar saja, sebab itu sebuah perlawanan terhadap manipulasi yang terjadi pada pemilihan anggota Dewan Kesenian Jakarta pada periode tersebut. Sebuah perlawanan yang konkret karena melahirkan jurnal Boemipoetra, yang kau tahu efeknya ya, sekarang Boemipoetra sudah terbit sekitar dua tahunlah.

WO: Boemipoetra mencoba menandingi wacana kebudayaan Goenawan Mohamad cs. Goenawan cs menurut saya menguasai wacana kebudayaan Indonesia, misalnya sastra, teater dan agama. Boemipoetra apa yang ditawarkan untuk menandingi mereka? Saya kok melihat Boemipoetra tidak menawarkan apa-apa?

SS: Aku sangat tidak setuju dengan pendapat itu bahwa kami tidak menawarkan apa-apa. Sekarang kita bicarakan apa yang kau bilang dominasi wacana kebudayaan Goenawan. Itu buktinya mana? Kalau Goenawan menguasai wacana teater, maksudnya apa? Kalau hanya sekadar mengerti teater, semua orang mengerti teater, mengerti sastra, semua orang mengerti sastra. Tapi kalau kau bilang menguasai wacana, maksudnya apa pernah dia menulis kritik sastra dan teater? Tidak pernah. Banyak orang seperti kau mengenal Goenawan Mohamad karena ia itu menjadi mitos dari catatan pinggirnya di Tempo. Mayoritas hanya mengenalnya dari catatan pinggirnya tadi. Sebagian besar mereka juga adalam pembaca Tempo, majalah kelas menengah ke atas. Bahasa catatan pinggir itu bahasa kelas menengah. Kalau kau benar-benar mau membahas catatan pinggir, itu enggak ada yang dibicarakan oleh Goenawan. Dia itu cuma bermain-main dalam retorika yang berbudi indah. Silahkan kau baca, tidak ada yang dibicarakan. Ia mengelak membicarakan isu yang merupakan judul dari setiap catatan pinggirnya. Ia bermain-main dalam retorika bahasa yang kosong.

Jadi kalau kau bilang Goenawan Mohamad itu menguasai macam-macam itu, begini aja, silahkan saja Goenawan Mohamad itu diskusi dengan Saut Situmorang dari Boemipoetra, topik apa aja, untuk membuktikan (pernyataan) itu. Karena justru mitos besar yang kosong inilah salah satu tujuan (berdirinya) Boemipoetra. Jadi pembaca itu disadarkan. Sebab kalau kalian baca tulisan, apalagi tulisan seperti Goenawan Mohamad, kalian tidak bisa membaca seperti membaca berita di koran. Karena kita berbicara soal politik retorika. Kebanyakan pembaca kita bacaannya paling-paling majalah Tempo, atau Kompas. Itu tidak cukup. Kalau Anda mau bergerak di dunia baca-membaca, apalagi seperti Goenawan yang dengan sadar mempermainkan retorika, enggak cukup. Bacaan harus lebih canggih lagi man.

WO: Wacana agama, misalnya, kelompok Teater Utan Kayu memiliki Ulil Abshar-Abdalla cs dengan JIL-nya?

SS: Kau salah. Kalau kau melihat komposisi redaksi Boemipoetra, itu macam-macam. Wowok itu orang buruh, saya Marxist, Kusprihyanto Namma itu Islam. Anda boleh ngomong macam-macam tentang Islam dengan Kusprihyanto. JIL itu apa? JIL itu labelnya aja yang Islam. Kalau kau mengerti apa yang disebut dengan Islam liberal, kau akan kaget bahwa itu adalah sebuah proyek besar disebut orientalisme, terutama oleh Amerika Serikat untuk mengacaukan Islam. Tokoh-tokohnya seperti Bernard Lewis dan lain-lain, orang yang mengaku Islam tapi menghina Islam. Jadi kalau berbicara JIL, Anda tak bisa melihat apa yang mereka omongkan. Anda harus tahu mereka berasal dari mana. Nah bacalah (buku) Edwar W. Said (Orientalisme), Anda akan tahu apa itu Islam liberal.

WO: Bukankah gejala kelompok seperti ini bukan gejala baru dalam sastra Indonesia. Di luar juga seperti itu?

SS: Ya, makanya. Itulah harus ada counter. Jadi kenapa ada Boemipoetra, seolah-olah dianggap anomali, aneh. Karena orang kita itu selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, selama itu berkuasa Horison-Manikebu. Orang Indonesia itu sudah terlalu biasa untuk tidak berpolitik dalam kesenian. Jadi kalau melihat munculnya fenomena Boemipoetra yang menentang Goenawan Mohamad dengan Teater Utan Kayunya dalam perspektif sastra secara luas, bukan hanya karya ya, baik politik karya, politik kanonisasi sastra, informasi tentang sastra di dalam maupun luar negeri, orang pada kaget karena belum pernah terjadi sebelumnya (dalam sejarah sastra Indonesia). Banyak sekali polemik-polemik STA (Sutan Takdir Alisyahbana) dengan lawan-lawannya termasuk yang terakhir itu perdebatan sastra kontekstual, itu hanya membicarakan karya. Belum membicarakan sebuah isu. Sosiologi sastra, politik sastra, bukan semacam itu.

Nah ini sesuatu hal yang baru yang dibawa oleh jurnal Boemipoetra. Kalau Anda ingin tahu tentang perspektif yang lebih luas tentang perlawanan Boemipoetra terhadap Goenawan Mohamad dan TUKnya, saya baru menerbitkan kumpulan esei saya judulnya Politik Sastra.

Dalam buku itu, jelas sekali yang kami tawarkan, sesuatu yang selama ini dikoar-koarkan oleh GM yaitu pluralisme. Baik pluralisme dalam berpikir, pluralisme dalam berkarya. Mereka kan tidak. Lihat saja seleksi pengarang. Yang mereka undang, yang sama gaya menulisnya dengan mereka. Pernahkah mereka mengundang dalam acara bienale sastra itu pengarang Islam seperti Helvy Tiana Rosa? Atau pengarang yang mewakili suara buruh. Banyak sekali kan. Tidak hanya Wowok. Pernah gak? Kan enggak. Tapi yang diundang hanya pengarang-pengarang yang mengangkat cerita seks, sesuatu yang abstrak yang tidak ada dalam persoalan kehidupan sehari-hari. Berarti mereka itu menyeragamkan topik, menyeragamkan style of writing. Di sisi lain mereka berkoar-koar soal pluralisme dan macam-macam. Mereka tidak plural sama sekali. Mereka antipluralisme. Seperti Jaringan Islam Liberal. Kenapa rupanya kalau ada FPI (Front Pembela Islam), dan kelompok fundamentalis? Anda kan plural, Anda kan liberal, liberal itu kan plural. Siapa aja silahkan, atheis juga silahkan. Tapi kan tidak.

WO: Jadi yang diomongkan tak sesuai dengan perbuatan?

SS: Terbukti kan? Anda yang berseberangan ide, ideologi, style dengan mereka, dikucilkan. Buktinya Boemipoetra tidak setuju dengan mereka. Harus terima dong, kan mereka plural. Kalau mereka hanya menerima orang yang setuju dengan mereka, itu bukan plural. Itu seragam. Itu fasis namanya.

WO: Yang menonjol dari jurnal Boemipoetra adalah bencinya itu?

SS: Ya, kita harus benci waktu kita melawan sesuatu, bukan sayang, karena kalau sayang itu kan munafik. Kita benci dengan segala sesuatu yang mereka presentasikan. Seperti yang saya bilang tadi. Di Islam itu ada JIL, di sastra itu ada TUK, di dunia kesenian mereka itu ada Salihara. Ya, kita benci itu karena (mereka) tidak konsisten. Itulah politik kesenian.

Jadi pretensi orang selama ini bahaslah karya. Coba kita lihat. Selama ada sastra Indonesia, tidak ada kritik sastra. Coba sekarang bahas karya, GM tidak mampu. Apalagi Sitok (Srengenge), Nirwan Dewanto, tidak mampu apa-apa itu. Jadi mereka itu berpolitik sastra. Semuanya itu berpolitik sastra.

WO: Saya pernah mewawancarai Sapardi Djoko Damono terkait tidak adanya kritik sastra seperti yang dikeluhkan oleh Bang Saut. Menurut Sapardi, hal itu tidak benar. Banyak kritik sastra diproduksi dalam bentuk tesis dan disertasi.

SS: Itu tugas kuliah, bukan kritik sastra. Hahaha… Kalau benar kritik sastra, mereka kritikus dong yang menulisnya. Tapi gak kan? Itu tugas supaya dapat gelar sarjana. Beda. Kritik sastra itu sebuah profesi, seperti kau wartawan, tukang becak dan tukang bajaj. Kalau profesi itu ada karir, mulai dari bawah. Kritik sastra itu karir. Dan Sapardi juga bukan kritikus sastra. Dia gak ngerti apa-apa. Sapardi gak bisa bahas karya, baca aja semua kumpulan tulisan dia. Gak ada. (Tulisan) dia itu seperti opini Kompas aja. Opini itu lain, itu bukan kritik. Kritik itu kau menganalisis sesuatu, kau punya sebuah hipotesis, lalu kau buktikan. Kau bahas. Tidak bisa sekadar, oh temanya begini, tokohnya begini, dan mereka berantem. Itu namanya menceritakan kembali. Mengkritik bukan menceritakan kembali, tapi menganalisis cerita yang kau ceritakan kembali.

WO: Jadi problemnya sumber daya manusia?

SS: Sumber daya manusia kita sangat parah. terutama di dunia seni. tidak ada kritikus seni, baik teater, sastra. Tidak ada itu. tapi memang ini berangkat dari pendidikan yang anjlok itu. Kau lihat misalnya. Berani tidak mahasiswa mendebat dosennya di kelas? Pasti habis dia. Ini persoalannya di sini, kita memang diadakan untuk tidak kritis, kalau sistem pendidikan seperti ini di mana debat antara mahasiswa dan dosen, murid dan gurunya tidak diperbolehkan sama sekali, bagaimana akan ada kritik seni atau kritik kebudayaan? Itu awalnya, pendidikan kita diciptakan oleh Soeharto seperti itu untuk menurut. Siswa kerjanya sekolah, sks, lulus, mudah-mudahan dapat kerjaan, kemudian kawin mati.

WO: Saya sepakat dengan hal itu.

SS: Ya, gak akan mungkin ada satu elemen dari kebudayaan yang anjlok aja. Ini semua, struktural. Jadi kalau misal ada kerusakan ekonomi, di dunia politik partai, gak ada di situ aja. Itu gak akan terjadi kalau gak didukung oleh unsur-unsur lain, dalam berpikir, dalam cara orang beragama, bersekolah. Itu mendukung sistem ini.

WO: GM menganggap Boemipoetra cuma coret-coretan di toilet? Tanggapan Anda?

SS: Sama aja. Kami mengggap semua tulisannya juga cuma coret-coretan toilet di terminal bis umum. Gak apa-apa. Tapi persoalannya ketika dia ngomong begitu, apa pernah dia buktikan? Apa pernah dia kasih alasan? Kan gak pernah kan.

WO: Anda pernah menyamakan jurnal Boemipoetra dengan manifesto kaum Dada dan Surealisme Prancis? Apa itu tidak berlebihan?

SS: Lho, sekarang Anda sudah pernah baca manifesto kaum Dada dan Surealisme tersebut? Belum. Kalau belum, sulit saya menjelaskannya. Coba Anda baca manifesto mereka, seperti apa bahasa mereka? Itu majalah kecil juga, mereka juga menyebutnya jurnal. Nanti kalau saya jelaskan, Anda anggap pembelaan lagi.

WO: Jadi konkretnya seperti apa agenda kebudayaan jurnal Boemipoetra?

SS: Pertama pluralisme. Selama ini Utan Kayu mengklaim dirinya pluralis. Nah, kami itu mengkritik itu. Mereka itu sebenarnya antipluralis. Kedua, kita antiideologi Goenawan cs bahwa seks adalah satu-satunya standar estetika kesenian Indonesia. Orang kan bisa menulis tentang Islam, makanan, kan gak apa-apa dong. Mengapa harus seks yang dianggap paling hot? Semua oke, persoalannya bagaimana kau menuliskannya. Dan ketiga, kita antifunding asing. Kalau mereka sudah masuk, kacau dunia kesenian. Contohnya ya Teater Utan Kayu itu. (mak/mak)

Diambil dari situs: http://www.wartaone.com/articles/13125/1/Kegundahan-Sastra-Saut-Situmorang/Halaman1.html

Sumber: http://sastra-indonesia.com/2010/10/kegundahan-sastra-saut-situmorang/

Oleh: Saut Situmorang

Sinisme historis dalam melihat kondisi “sastra Indonesia” kontemporer sudah memenuhi kepala saya selama bertahun-tahun waktu saya membaca artikel berjudul aforistis “Karya Bagus, Argumentasi Lemah” oleh Chavchay Syaifullah di Media Indonesia, Minggu 8 Oktober 2006, tentang “kegagapan forum” orang-orang Teater Utan Kayu di arena sastra “internasional” berbahasa Inggris seperti Ubud Writers and Readers Festival. Waktu itu saya berada dalam kereta api pagi yang membawa saya pulang ke Jogja setelah diundang Dewan Kesenian Jakarta baca-puisi pada acara Tadarus Puisi di Taman Ismail Marzuki (TIM). Saya ngakak penuh tekstasi setelah selesai membaca artikel “subversif” tersebut. Akhirnya ada juga wartawan budaya yang benar-benar percaya dan menjalankan “kebebasan pers” yang selama ini cuma jadi retorika omong kosong wartawan omong kosong di Republik Animal Farm ini, sorak saya dalam hati. Saya jadi teringat pada apa yang pernah dikatakan wartawan-cum-novelis kelas wahid dari Inggris, George Orwell: “During times of universal deceit, telling the truth becomes a revolutionary act”! Siapa bilang revolusi itu sudah tak ada lagi!!!

Begitu saya sampai di negeri gempa Jogja saya mendengar kabar burung bahwa Media Indonesia mendapat serangan SMS dari kelompok “sastrawan” yang namanya disebut-sebut dalam artikel-reportase Chavchay tersebut, yaitu komunitas Teater Utan Kayu (TUK) dan salah satu SMS tersebut bahkan menyatakan dengan arogan dan sangat patronising bahwa ruang budaya Media Indonesia dipimpin oleh 2 orang super-bego dan bahwa kedua orang “super-bego” ini menyebarkan kebodohan di koran nasional bertiras besar! Betapa arogannya! Betapa reaksionernya! So much for freedom of the press.

Tapi saya setuju dengan pendapat Chavchay Syaifullah dalam artikelnya itu. Justru apa yang dia tuliskan itulah merupakan kondisi memprihatinkan dari apa yang dulu disebut sebagai “sastra Indonesia” itu, yang membuat saya jadi teridap sinisme sejarah itu. Politik “sastra” yang dilakukan TUK terlalu kasat mata, terlalu vulgar, untuk tidak mungkin terlihat oleh orang-orang di luarnya, seperti saya misalnya. Dan saya sendiri pernah bersinggungan langsung dengan salah satu dari aktivitas mereka ini sampai berefek skandal di kota Solo beberapa waktu lalu.

Saya sengaja datang sendiri naik motor bebek Legenda saya dari Jogja untuk melihat apa yang TUK klaim sebagai sebuah “Temu Sastra Internasional” yang akan mereka adakan selama 2 malam di Taman Budaya Surakarta (TBS) Solo, setelah selesai di Denpasar. Saya ingin membuktikan sendiri benar-tidaknya “internasionalisme” event yang menurut saya cuma semacam program menebus dosa sejarah kolonialisme Belanda yang ironisnya justru dilakukan oleh salah satu negeri bekas jajahannya sendiri itu. Di Solo saya mendapat informasi bahwa ternyata tidak ada satupun sastrawan Solo yang ikut sebagai peserta dalam peristiwa sastra antar-bangsa yang justru diadakan di Taman Budaya kota itu sendiri, kecuali sebagai pembawa acara! Padahal di 2 kota lain di mana acara yang sama juga diarisankan, Denpasar dan Jakarta, para sastrawan lokalnya terlibat aktif termasuk membacakan karya masing-masing. Saya dan beberapa kawan seniman asal Solo lalu merespons arogansi TUK yang seolah-olah menganggap tak ada sastrawan Solo yang pantas ikut acara mereka yang hebat itu dengan membuat surat pernyataan dengan tanda tangan para seniman dan non-seniman dari berbagai latar belakang profesi dan asal-kota dalam bahasa Indonesia dan Inggris, yang kemudian kami bagi-bagikan pada malam kedua, termasuk kepada peserta dari luar Indonesia. Respons dari TUK yang kami terima sudah gampang diduga, mirip dengan respons yang diterima Chavchay Syaifullah. Kami dituduh macam-macam. Saya sendiri, misalnya, dalam sebuah artikel-reportase yang ditulis dalam majalah berita Tempo beberapa waktu setelah Skandal Solo itu berlalu dikatakan secara eufemisme pasemonan sebagai cemburu atau iri hati karena tidak diundang! Disuruh untuk mengelus dada sendiri! Padahal penulisnya (terkutuklah dia itu!!!) tidak pernah mewawancarai saya, bahkan hadir pun tidak di Solo! Menurut “kabar angin”, semua informasi yang dipakainya untuk menuliskan pseudo-reportasenya itu didapatnya dari seseorang bernama “Goenawan Mohamad”! Pada malam kedua acara “Temu Sastra Internasional” yang kami ganggu dengan sengaja itu, saya dan kawan-kawan perancang surat pernyataan tersebut sebenarnya menunggu diajak konfrontasi argumentasi oleh panitia. Kami menunggu sambil ngebir di warung kopi tepat di depan pintu masuk gedung TBS itu karena konon seseorang bernama Goenawan Mohamad sangat tersinggung dengan surat kami itu dan mengklaim kami anti-diskusi. Sampai kami pindah tempat minum ke sebuah café tengah kota, tak ada ajakan yang kami tunggu-tunggu itu datang. Malah, kata seorang kawan yang sengaja ikut malam itu dengan panitia acara, mereka minum-minum wine setelah acara usai di rumah salah seorang seniman tari lokal! So much for a democratic literary discussion.

Apa yang diamati Chavchay sebagai “kegagapan forum” orang-orang TUK di arena sastra “internasional” berbahasa Inggris seperti Ubud Writers and Readers Festival itu cuma membuktikan kadar “internasionalisme” dan “kosmopolitanisme” komunitas yang selalu berpretensi paling radikal selera artistiknya ini. Ketidakmampuan mereka berbahasa Inggris juga dibuktikan oleh jeleknya terjemahan Hasif Amini atas cerpen-cerpen Jorge Luis Borges yang ironisnya malah dipuji-puji oleh kawannya seperti Nirwan Dewanto! Juga coba baca kembali apa-apa yang pernah ditulis oleh Nirwan Dewanto dalam media yang ada relasinya dengan TUK tentang sastra Indonesia kontemporer. Klaim-klaim yang dibuat Nirwan Dewanto tentang puisi Indonesia saja, misalnya, sangat mengada-ada, tidak dapat dipertanggungjawabkannya dalam konteks “kritik sastra” makanya bisa disebut “fitnah” , dan sangat arogan sehingga kalau dibandingkan dengan apa yang dituliskan Chavchay tentang realitas gagap forum internasional TUK justru sangat pantas untuk disebut “super-bego”. Dan media cetak yang memuat tulisan-tulisan super-bego dan fitnah itu sangat pantas juga untuk disebut sebagai “menyebarkan kebodohan di (media) nasional bertiras besar”! Sementara untuk memuji-muji karya sesama anggota TUK seperti yang dilakukannya atas Ayu Utami, Nirwan Dewanto tidak merasa ada persoalan sama sekali untuk menyatakan (dengan maksud melambungkan reputasi komunitasnya, tentu saja) bahwa Ayu Utami tidak terlahir dari sejarah sastra Indonesia, misalnya, walau tetap saja dia impoten untuk mengelaborasi apa yang dimaksudkannya dengan klaim pseudo-kritik sastranya itu.

Narsisisme TUK ini akan lebih jelas lagi terlihat dari kutipan di bawah ini yang saya ambil dari sebuah artikel berjudul “The Search for a Silver Lining in Indonesia” di edisi bahasa Inggris majalah Jerman Der Spiegel 23 Desember 2005. Dalam artikel yang juga menyebut-nyebut nama Ayu Utami itu, perhatikanlah kata-kata yang saya italic di bawah:

The Utan Kayu cultural center in Jakarta provides a perfect example of progress, Indonesian style. It was here that the foundation of modern Indonesia was laid not too long ago. In the summer of 1994, when then dictator Suharto ordered three news magazines shut down, journalists and writers bought a group of run-down buildings at Utan Kayu 68 H and opened a publishing house — in direct defiance of the dictator’s edict. A left-leaning political movement soon developed and, in 1998, Utan Kayu became the starting point for the mass demonstrations that led to Suharto’s ouster.

Benarkah TUK merupakan tempat di mana “fondasi dari Indonesia modern” diletakkan? Benarkah TUK merupakan sebuah “gerakan politik kiri” dan yang menjadi “awal-mula” dari gerakan reformasi yang menjatuhkan diktator Suharto? Apa ini bukan sebuah klaim keterlaluan besar atas sejarah Indonesia kontemporer!

Kalau kita mengatakan bahwa ini terjadi karena kesuperbegoan wartawan Der Spiegel yang buta akan sejarah jatuhnya Suharto, lantas dari mana dia mendapatkan informasinya tersebut? Bukankah sebego-begonya seorang wartawan dari sebuah media internasional sekaliber Der Spiegel, dia tetap akan mendasarkan reportasenya itu pada wawancara dengan pihak yang terkait, nara sumber (seseorang bernama “Ayu Utami” dalam kasus ini), dan tidak berdasarkan khayalan semata-mata?

Persoalan “kebenaran jurnalistis” ini sangat relevan terutama dengan apa yang terjadi atas satu lagi laporan Chavchay Syaifullah di koran Media Indonesia. Laporan pandangan mata langsung Chavchay atas acara Utan Kayu International Literary Biennale 2007 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, 23 Agustus 2007, berjudul “Geger Menangis, Pesta Bir Berlanjut” (Media Indonesia, Minggu 26 Agustus 2007) ternyata benar-benar menimbulkan geger. Chavchay dituduh membuat “berita yang mengandung fitnah berat” terhadap Utan Kayu International Literary Biennale 2007 tersebut dan “sedikitnya empat kebohongan” menurut orang-orang TUK (baca “Bantahan Panitia Penyelenggara Utan Kayu International Literary Biennale 2007, Komunitas Utan Kayu, Jakarta” yang berjudul “Empat Dusta” di Media Indonesia, Minggu 2/9/2007). Dalam bantahan “Empat Dusta” tersebut, Sitok Srengenge sebagai “Direktur Utan Kayu International Literary Biennale” bahkan menyatakan bahwa “Chavchay Saefullah seolah-olah melakukan reportase acara pembukaan Utan Kayu International Literary Biennale 2007” tersebut [italic saya]. Laporan pandangan mata Chavchay itu dianggap “fitnah berat”, “berita bohong”, “seolah-olah. . .reportase” cuma karena Chavchay tidak melakukan apa yang menurut orang TUK sebagai hukum utama jurnalisme, yaitu asas “cover both sides”! Walau Chavchay bisa menunjukkan bukti rekaman atas apa yang dinyatakan penyair Geger Prahara (bahwa dia “diusir satpam” acara Utan Kayu International Literary Biennale 2007), misalnya, tapi bukti rekaman tersebut tetap tidak dianggap valid sebagai bukti jurnalistik oleh orang TUK! (Dalam sebuah SMS kepada saya Saut Situmorang, Geger juga menyatakan: “Kbr baik! Apa kbr jg? Kasus dgn Satpam 100% fakta! Yg fiktif adalah soal menangis. Salam Geger”.)

Disamping Kasus Geger ini, satu isu lain yang dianggap sebagai “fitnah” itu adalah soal “pesta bir” yang dituliskan Chavchay, sementara perihal “kerjasama yang biasa aja” (dalam bahasa Zen Hae, Ketua Komite Sastra, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), di SMS-nya kepada saya) yang dilakukan DKJ dalam mendukung acara yang bukan program resminya itu dengan sengaja diabaikan sama sekali. (Ada sebuah ironi di sini. DKJ mengeluarkan uangnya sampai puluhan juta untuk “kerjasama yang biasa aja” ini, tapi mengaku tidak punya uang waktu sastrawan Jakarta bernama Sihar Simatupang datang minta bantuan tiket sekali-jalan ke Medan yang mengundangnya sebagai pembicara dalam event sastra “internasional” Puisi Dunia!)

Pembelaan Sitok Srengenge menarik soal “pesta bir” tersebut. Dia bilang bahwa “Penyediaan bir adalah suatu kelaziman dalam jamuan internasional. Hal itu juga bukan pertama kalinya terjadi di Taman Ismail Marzuki.” Saya adalah seorang yang sangat mencintai bir, terutama bir pilsener yang dingin. Saya yakin tak ada makhluk hidup di TUK yang mampu minum bir dingin sebanyak saya, hehehe… Saya juga tahu bahwa image peminum bir memang tidak positif di negeri ini, beda dengan di Barat di mana minum bir tidak ada bedanya dengan minum kopi, sebuah properti sosialisasi. Inilah romantisme para pencinta bir di negeri ini. Jadi kalau dalam sebuah peristiwa sastra besar, yang “internasional” lagi, di negeri ini dan yang dihadiri banyak orang-orang negeri ini, disediakan bir untuk diminum bebas, kan wajar kalau ada yang risih! Sastra kan sudah dianggap budaya adiluhung di negeri ini, sementara bir merupakan kebalikannya. Masak budayawan Indonesia tidak paham dengan realitas masyarakatnya sendiri ini! Soal mabuk karena ngebir, itu kan juga relatif. Apa memang banyak orang Jakarta yang benar-benar sanggup minum sebanyak penyair Saut Situmorang dan tidak teler! “Mabuk” kan beragam definisinya. Minum empat botol besar bir dingin bagi saya itu belum “mabuk”, tapi minum satu gelas bir mungkin saja akan membuat orang Indonesia lain “mabuk”. Jadi ini kan soal bahasa, masak penyair besar Indonesia tidak paham dengan bahasa nasionalnya sendiri! Juga, kalau memang benar “Penyediaan bir adalah suatu kelaziman dalam jamuan internasional”, kenapa waktu “jamuan internasional” yang diadakan TUK di TBS Solo beberapa tahun lalu itu tidak disediakan bir? Saya dan kawan saya terpaksa harus menyediakan sendiri bir kami di malam-malam Solo yang panas itu. Apa karena Temu Sastra di Solo itu memang kurang atau malah tidak “internasional”!

Kalau Chavchay dibilang membuat “fitnah” dan “dusta” dalam reportase jurnalistiknya yang jujur dan berani itu sampai dia harus dipindahtugaskan pimpinannya karena desakan otoriter seorang mogul media massa yang juga merupakan orang pertama TUK – yang cuma mengingatkan saya pada tokoh utama film Citizen Kane karya Orson Welles – sebagai resiko seorang wartawan kecil tapi berani di negeri yang tak menghormati kebebasan berpendapat ini, bagaimana dengan reportase wartawan Der Spiegel di atas? Apakah dia sudah melakukan asas “cover both sides”, mencek-ulang kepada pihak lain, hasil wawancaranya dengan seseorang bernama “Ayu Utami” tentang peranan TUK dalam gerakan pro-demokrasi yang menjatuhkan Suharto itu? “Both sides” mana yang sudah di-cover-nya? Saya yakin orang TUK pasti sudah membaca majalah Jerman yang berisi dongeng tentang mereka itu (saya saja sudah!) dan karena tidak ada protes dari mereka atas isi dongeng itu maka bisa diartikan bahwa, paling tidak, mereka sangat puas dengannya! Juga bagaimana dengan pseudo-reportase majalah Tempo tentang Skandal Solo seperti yang saya singgung di atas! (Skandal Chavchay itu sendiri, menurut kabar terakhir, belum “dianggap selesai” oleh TUK. Alasannya: “Catatan Redaksi” yang ditulis Edy A Effendi untuk menemani bantahan “Empat Dusta” Sitok Srengenge telah membuat “persoalan jadi terbuka lagi”!)

Sebagai penutup, baiklah saya paparkan beberapa “dusta” saya ini sebagai suplemen “dusta” Chavchay Syaifullah:

  • novel Saman Ayu Utami memanipulasi komentar Pramoedya Ananta Toer dalam blurb di sampul belakang novel tersebut dengan cara mengutip secara tidak benar apa yang dinyatakan Pramoedya Ananta Toer.
  • Ayu Utami menang Prince Claus Award dari Negeri Belanda sebelum terjemahan Belanda novelnya itu selesai. Pertanyaan sederhananya: Bagaimana para juri Prince Claus Award bisa mengetahui kehebatan Ayu Utami?
  • tulisan-tulisan akhir tahun Nirwan Dewanto tentang sastra Indonesia di majalah Tempo adalah fitnah dan penghinaan besar terhadap sastra(wan) Indonesia kontemporer.
  • posisi Hasif Amini sebagai redaktur Sajak-sajak Kompas Minggu cuma menguntungkan kawan-kawannya belaka, terutama Goenawan Mohamad, Nirwan Dewanto, dan Sitok Srengenge yang sajak-sajaknya selalu muncul satu halaman penuh sementara para penyair lain dimuat beramai-ramai.
  • gosip beredar tentang pernyataan Sitok Srengenge bahwa “Sastrawan Indonesia” hanyalah “mereka yang diundang ke acara sastra TUK” saja.
  • makanya menjadi “Sastrawan Indonesia”lah orang-orang semacam Laksmi Pamuntjak dan Avi Basuki.