Etnisitas dan Kota

Posted: 11/07/2012 in Esei

oleh Katrin Bandel*

Apa hubungan kota dengan etnisitas? Baik topik kehidupan kota besar/metropolitan, maupun topik etnisitas dan tradisi, bisa dikatakan cukup penting atau bahkan “trendy” dalam sastra Indonesia kontemporer. Namun umumnya kedua trend itu terpisah satu sama lain, karya tentang kota tidak mempersoalkan etnisitas, dan karya tentang etnisitas tidak bersetting kota.

Misalnya, sebagian besar karya-karya pengarang perempuan yang banyak dibicarakan karena “keterbukaan”nya dalam hal seksualitas (misalnya karya Djenar Maesa Ayu atau Ayu Utami), bersetting kota besar. Dengan demikian, asumsi umum bahwa penduduk kota memiliki kebebasan dan “keberanian” yang lebih dalam hal perilaku seks, ditegaskan dan diperkuat. Disamping itu, banyak bacaan populer pun memilih setting kota, bahkan muncul “genre” baru yang disebut “metropop”. Novel remaja yang membanjiri toko buku beberapa tahun belakangan ini pun sebagian besar bercerita tentang kehidupan remaja di kota besar. Novel remaja tersebut bukan hanya menceritakan kegiatan remaja kota seputar café, mal dan diskotek, tapi juga memakai bahasa “gaul” ala Jakarta.

Dalam karya jenis itu latar-belakang etnis tokoh cenderung tidak berperan. Tidak jarang etnisitas sama sekali tidak disebut, tokoh hanya diperkenalkan sebagai penduduk kota tertentu. Kalaupun etnisitas seorang tokoh disebut sambil lalu, umumnya tidak digambarkan sebagai faktor penting bagi konsep diri dan perilaku sehari-harinya, seakan-akan penduduk kota telah menanggalkan identitas etnis mereka dan menjadi “orang metropolitan” semata.

Di sisi lain, etnisitas cukup gencar dipersoalkan dalam karya-karya bersetting kampung/daerah, apalagi sejak berlakunya otonomi daerah. Sastrawan Riau, misalnya, terkenal sangat aktif menulis tentang etnisitas Melayu, budaya dan sejarah lokal. Sebelumnya pun berbagai macam unsur khas budaya etnis seperti kepercayaan dan upacara atau seluk-beluk sistem kekerabatan sering menjadi fokus dalam karya-karya “warna lokal” yang umumnya bersetting kampung, misalnya trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (1982-1986) atau novel Upacara karya Korrie Layun Rampan (1978).

Kalau dalam karya tentang kehidupan metropolitan etnisitas dan budaya pedalaman hampir tidak berperan, sebaliknya dalam karya yang bersetting kampung pengaruh kota justru hampir selalu dihadirkan. Lewat pengusaha, petugas pemerintah, tentara atau orang kampung yang pulang dari rantau, budaya kota meluaskan pengaruhnya sampai ke kampung. Pengaruh tersebut dipersoalkan dalam hampir semua karya “warna lokal”, kadang-kadang dinilai positif sebagai pembawa kemajuan, kadang-kadang negatif sebagai eksploitasi dan perusak nilai dan norma budaya lokal. Artinya, hubungan antara kota dan kampung dipahami sebagai hubungan searah saja: Budaya kota semakin mendesak budaya kampung alias budaya etnis, sedangkan budaya kampung tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap kota.

Dengan latar belakang kecenderungan merepresentasikan kota, kampung/desa dan etnisitas secara stereotipikal tersebut, saya ingin membicarakan dua novel yang sedikit menyimpang dari mainstream, yaitu Dimsum Terakhir karya Clara Ng (2006) dan Negeri Perempuan karya Wisran Hadi (2001). Setting kedua novel itu jauh berbeda satu sama lain, Dimsum Terakhir bersetting Jakarta masa kini (setelah reformasi) dan Negeri Perempuan bersetting pedalaman Minangkabau di masa Orde Baru (novel diselesaikan sebelum berakhirnya Orde Baru, yaitu pada tahun 1997). Namun ada sebuah kesamaan antara kedua novel itu, yaitu keduanya mempersoalkan etnisitas sebagai bagian dari definisi identitas diri orang kota.

Novel Dimsum Terakhir mengisahkan sebuah keluarga Tionghoa di Jakarta yang kembali berkumpul, setelah lama tercerai-berai, karena sang ayah sakit keras. Keluarga itu terdiri dari sang ayah yang bernama Nung dan anak kembar empatnya Siska, Indah, Rosi dan Novera. Istri Nung sudah meninggal. Meskipun mereka kembar, keempat anak Nung berwatak jauh berbeda satu sama lain, demikian pun jalan hidup yang mereka pilih. Disamping itu, kebetulan pada saat mereka dipanggil pulang ke Jakarta karena Nung kena stroke, masing-masing sedang menghadapi persoalan yang cukup berat. Siska menjadi businesswoman yang sukses dan kaya di Singapura, tapi perusahaannya sedang bermasalah sehingga dia terancam bangkrut, dan dirinya sedang digugat karena dituduh melakukan sexual harassment terhadap seorang kliennya. Indah, satu-satunya di antara keempat anak itu yang menetap di Jakarta, adalah pengarang yang sedang frustrasi karena belum mampu menghasilkan karya baru setelah novel pertamanya sukses. Di samping itu dia sedang hamil di luar nikah. Rosi/Roni yang memiliki kebun mawar di Puncak merasa sebagai laki-laki dalam tubuh perempuan (transgender), dan dia telah memilih pasangan perempuan. (Roni adalah nama yang digunakannya dalam identitasnya sebagai laki-laki.) Saudara terakhir, Novera, yang bekerja sebagai guru playgroup di Yogyakarta, mempunyai persoalan yang lain lagi, yaitu dia merasa tidak utuh lagi sebagai perempuan setelah rahimnya diangkat.

Persoalan yang dihadapi mereka masing-masing tidak diketahui anggota keluarga yang lain, dan saat mereka dipanggil pulang lalu berkumpul di rumah masa kecil mereka, awalnya masing-masing mencoba untuk menyembunyikan persoalan pribadi mereka dan berpura-pura menjadi keluarga konvensional. Ketika kemudian sang ayah berpesan: “Sebelum Papa meninggal, […] Papa mau kalian semua menikah” (Dimsum Terakhir, hlm. 102), terbayanglah sebuah konflik keluarga yang sudah klasik (atau bisa dikatakan stereotipikal) dalam sastra Indonesia. Sejak awal abad ke-20 konflik keluarga seputar perjodohan sudah menjadi salah satu motif penting, baik dalam novel-novel Balai Pustaka maupun dalam cerita-cerita Melayu Lingua Franca. Pertentangan antara “tradisi” dengan “cara hidup modern” sering dipersoalkan lewat masalah perjodohan tersebut: Orang tua ingin menikahkan anak dengan pasangan pilihan mereka, tidak jarang sesuai dengan norma tradisi etnis mereka (misalnya dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis tokoh Hanafi dinikahkan dengan anak mamaknya), sedang anak ingin menikah dengan pasangan pilihannya sendiri yang dicintainya. Tentu motif tersebut sudah mengalami pergeseran dalam novel Dimsum Terakhir: Sang ayah tidak berniat menjodohkan anaknya, dia sekadar minta mereka menikah. Dan anak-anaknya keberatan bukan karena mereka tidak diizinkan menikahi laki-laki yang mereka cintai, melainkan karena mereka belum atau tidak berniat menikah. Meskipun demikian, seperti dalam karya-karya terdahulu, bagi mereka pun persoalan yang mereka hadapi berdasar pada pertentangan antara tradisi etnis dengan kepentingan pribadi. Rosi/Roni menjelaskan kepada pacarnya Dharma:

“Ini budaya Cina. Anak-anak keturunan Cina diwajibkan menghormati ibu-bapaknya. Artinya, aku harus membuat papaku tenang dan senang. Itu kewajibanku, yang diajarkan oleh mamaku. Aku tidak boleh menyia-nyiakan papaku. Feng shui jelek. Karma buruk.” (Dimsum Terakhir, hlm. 192-193)

Penjelasan itu dikomentari oleh Dharma dengan cara yang tidak jauh berbeda dari apa yang disampaikan oleh generasi muda atau oleh tokoh “berpikiran modern” dalam sekian banyak novel Indonesia:

“Budaya yang sudah tidak nyambung dengan zaman sekarang.” (Dimsum Terakhir, hlm. 192)

Dengan tujuan menyenangkan hati ayahnya, Novera memperkenalkan seorang laki-laki yang sebetulnya hanya dianggapnya teman biasa, sebagai calon suaminya. Rosi/Roni pun berpikir untuk melakukan hal yang sama (percakapan dengan Dharma di atas terjadi dalam rangka mendiskusikan ide itu).

Namun kemudian lewat pergaulan sehari-hari antara kelima manusia yang tiba-tiba terpaksa hidup serumah itu, pemahaman mereka tentang keluarga dan tradisi etnis mulai berubah. Perlahan-lahan lewat percakapan empat mata, keempat saudara kembar itu mulai saling terbuka, saling menceritakan persoalan masing-masing. Dan ternyata mereka mampu saling menerima dan menghormati, juga saling membantu dalam menentukan sikap. Rosi diterima sebagai Roni. Novera yang telah mengambil keputusan untuk menjadi biarawati, lewat dialognya dengan Rosi/Roni menyadari bahwa keinginan menjadi biarawati itu hanya merupakan pelarian sebab tanpa rahim dia takut ditolak laki-laki. Indah memutuskan untuk melahirkan dan membesarkan anaknya sebagai single parent, dan saudara-saudaranya menerima hal itu tanpa mencela atau mengusiknya. Siska bersifat paling keras dan mandiri sehingga tidak merasa membutuhkan bantuan orang lain, namun tanpa diakuinya dia pun merasa lebih tenang setelah berbagi dengan Indah mengenai persoalan yang dihadapinya.

Meskipun kepada ayah mereka keempat perempuan muda itu tidak bisa seterbuka satu sama lain, ternyata Nung pun lama-lama mengetahui keadaan mereka dan bisa menerimanya. Permintaan agar anak-anaknya menikah tidak diulanginya. Dan kekhawatiran Rosi/Roni bahwa “Papaku bisa mati berdiri” kalau mengetahui identitasnya (Dimsum Terakhir, hlm. 193) tidak terbukti. Nung bahkan mengajak Dharma berbicara dan berpesan padanya agar dia bersungguh-sungguh dalam hubungan cintanya dengan Rosi/Roni.

Meskipun keempat anak semakin terang-terangan menunjukkan bahwa mereka tidak berminat membentuk keluarga konvensional dengan menikah dan mempunyai anak, perubahan yang terjadi dalam keluarga tersebut digambarkan bukan sebagai pembangkangan terhadap tradisi sebab. Sebaliknya, keutuhan keluarga seperti yang dicita-citakan dalam tradisi etnis mereka semakin terealisasikan. Dengan yakin akhirnya Siska bisa berjanji pada ayahnya:

“Saya akan menjaga mereka supaya kita selalu berkumpul bersama-sama seperti layaknya keluarga keturunan Cina di mana pun. Keluarga adalah nomor satu. Bulat sempurna seperti bulan purnama.” (Dimsum Terakhir, hlm. 304)

Betapa pemahaman mereka tentang keluarga Tionghoa yang ideal telah mengalami transformasi yang besar, terlihat pada upacara kematian Nung. Menurut tradisi, dalam upacara kematian ada tugas yang harus dilakukan anak laki-laki, yaitu membawa sebuah bendera berupa kain bertuliskan aksara Cina. Siska, dengan persetujuan Novera dan Indah, menyerahkan tugas itu kepada Roni sebagai anak laki-laki. Dengan sangat terharu Roni menerima. Upacara kematian itu baginya menjelma upacara pengakuan atas identitas gendernya:

“Ini peristiwa istimewa. Ini orkestra tentang pengakuan atas seksualitasnya. Masa bodoh apa kata orang-orang.

Dia anak lelaki Papa. Seutuhnya. Satu-satunya.” (Dimsum Terakhir, hlm. 348)

Penokohan Dimsum Terakhir mengingatkan kita pada beberapa novel pengarang perempuan yang lain. Konstelasi sekelompok tokoh perempuan metropolitan muda yang berbeda-beda watak, pandangan hidup dan orientasi seksual sudah kita kenal antara kain dari novel Clara Ng yang pertama, Tujuh Musim Setahun (2002), juga dari novel Saman/Larung karya Ayu Utami (1998 dan 2001). Terutama lewat novel Ayu Utami konstelasi tokoh tersebut telah menjadi semacam lambang identitas perempuan kota (terutama Jakarta). Empat sekawan Sakuntala, Laila, Cok dan Yasmin mewakili pluralitas perempuan kota, sekaligus pemberontakan terhadap segala macam norma dan konvensi menyangkut identitas perempuan. Dengan mengadopsi pola penokohan tersebut, tapi menjadikan keempat tokoh perempuan muda saudara sekandung dan bukan sahabat seperti dalam ketiga novel yang saya sebut di atas, Clara Ng seakan memberi tanggapan tidak langsung terhadap imaji perempuan metropolitan yang telah dibangun. Siska, Indah, Rosi/Roni dan Novera pun mewakili pluralitas identitas perempuan kota, bahkan perbedaan antara mereka bisa dikatakan lebih berarti daripada dalam novel Ayu Utami sebab yang disoroti bukan hanya pluralitas perilaku seksual, tapi juga keberagaman di wilayah karir, keuangan, tempat tinggal, agama, kesehatan, keturunan, dan lain-lain. Namun kenyataan bahwa mereka dipersatukan oleh tali persaudaraan, oleh cinta pada orang tua mereka dan oleh identitas etnis dan tradisi, memberi warna yang sama sekali baru pada novel tersebut. Yang ada bukan pemberontakan terhadap keluarga dan terhadap norma seperti yang dilakukan tokoh-tokoh Ayu Utami (terutama Sakuntala), tapi sebuah usaha tawar-menawar antara tradisi etnis, nilai-nilai kekerabatan dan kenyataan hidup masing-masing.

Perjumpaan dan tawar-menawar dengan tradisi etnis dalam Dimsum Terakhir digambarkan di satu sisi sebagai masalah yang tidak terhindarkan, di sisi lain sebagai proses positif yang ternyata dibutuhkan keempat tokoh perempuan muda, meskipun awalnya tidak disadari. Perjumpaan dengan tradisi etnis tidak terhindarkan sebab, walaupun keempat saudara itu memiliki kehidupan masing-masing yang seakan tidak terkait lagi satu sama lain, penyakit dan akhirnya kematian sang ayah yang memaksa mereka tiba-tiba berkumpul kembali dan hidup bersama untuk beberapa waktu, dan berurusan dengan berbagai tradisi etnis mereka. Kejadian tersebut mewakili kenyataan hidup mayoritas orang Indonesia: Bagaimanapun “modern” atau “metropolitan”nya kehidupan seseorang, dan betapapun dia merasa tidak membutuhkan “tradisi” lagi, dia tetap memiliki satu atau beberapa akar etnis, dan kemungkinan besar akan berhadapan dengan etnisitas tersebut dalam acara-acara keluarga.

Meskipun keempat saudara dalam Dimsum Terakhir awalnya merasa terganggu dan direpotkan dengan kewajiban mendadak untuk pulang ke Jakarta dan menemani dan merawat ayah mereka, akhirnya keakraban baru dan pengakuan keluarga membawa pengalaman positif bagi mereka masing-masing, sehingga mereka lebih tenang dan percaya diri dengan pilihan hidup masing-masing. Kebutuhan akan pengakuan keluarga disuarakan secara eksplisit dalam kasus Rosi/Roni:

“Ya, Roni telah diakui oleh kalangan komunitas underground lesbian. Roni cukup bahagia dengan eksistensi tersebut. Tapi, dalam hati dia tahu, ada hal lain yang menggelitiki dirinya terus-menerus. Hal lain yang sebenarnya teramat penting. Rahasia besar yang memenjarakan jiwanya yang ‘sebenar-benarnya’.

Sungguh. Roni ingin sekali mendapat pengakuan dari seluruh keluarganya. Kalau bisa, sebelum Papa meninggal….” (Dimsum Terakhir, hlm. 123)

Meskipun yakin dengan pilihan hidupnya, Rosi/Roni tetap terganggu oleh rasa cemas bahwa cara hidupnya yang “menyalahi tradisi” akan mengecewakan harapan keluarga dan membawa karma buruk. Dengan latar belakang itu bisa dipahami betapa pentingnya kesempatan untuk berperan sebagai anak laki-laki pada upacara kematian ayahnya bagi dirinya.

Tapi walaupun adegan tersebut bisa dibaca sebagai contoh betapa tradisi berkemungkinan diinterpretasi ulang dengan meninggalkan konvensi dan imaji gender yang usang, pengakuan Rosi/Roni sebagai laki-laki secara tradisi tidak berjalan tanpa ambivalensi. Pengakuan tersebut hanya dilakukan dalam keluarga-inti saja, kerabat lain yang hadir tetap melihat Roni sebagai Rosi, dan pertanyaan mereka mengapa Rosi yang membawa bendera, dijawab sekadar dengan penjelasan yang dibuat-buat bahwa itulah permintaan Nung sebelum dia meninggal. Disamping itu, ketika Siska, Novera dan Indah memutuskan untuk memberi tugas laki-laki tersebut pada Roni, Novera sempat melontarkan kekhawatiran bahwa hal itu mungkin merupakan kesalahan yang akan membawa karma buruk. Artinya, dalam negosiasi dengan tradisi, pertentangan antara konvensi dan pandangan hidup sebagai perempuan metropolitan kontemporer yang terbuka, tidak terhapus atau terselesaikan begitu saja. Yang terjadi bukanlah sebuah pemaduan tradisi dengan pandangan hidup modern yang mulus dan sempurna, tapi keputusan-keputusan keempat perempuan Jakarta sebagai manusia hibrid kontemporer diambil di tengah keraguan, ambivalensi dan pertentangan antara berbagai sistem nilai.

***

Berbeda dengan novel Clara Ng yang pada dasarnya menciptakan gambaran yang optimis tentang makna etnisitas bagi orang kota, novel Wisran Hadi menyuguhkan imaji yang lebih suram. Negeri Perempuan mempersoalkan betapa orang kota ternyata tetap membutuhkan identitas etnis, namun cara mereka memahami dan memanfaatkan etnisitas tersebut bersifat merusak dan menyesatkan.

Negeri Perempuan bersetting tanah Minangkabau di sebuah nagari yang sekadar disebut “Nagariko” (nagari ini). Cerita berfokus pada keluarga pewaris kerajaan, terutama pada tiga tokoh, yaitu pewaris utama, seorang perempuan yang dipanggil Bundo, saudara laki-lakinya yang dipanggil Engku, dan seorang anak perempuan Bundo, Reno (nama kedua orang pertama tidak disebut, mereka hanya diperkenalkan sebagai “Bundo” dan “Engku”). Meskipun pada zaman sekarang keluarga itu tentu tidak lagi memiliki posisi sebagai penguasa, secara lokal mereka tetap dihormati dan dipandang sebagai pemimpin dan penasehat. Disamping itu, mereka berkuasa atas tanah pusaka yang cukup luas. Walaupun ditekankan berkali-kali bahwa keluarga tersebut tidak berniat mempertahankan feodalisme, mereka tetap merasa pantas mempertahankan sebuah posisi istimewa yang mereka pandang sebagai “amanah” atau “tanggung jawab sosial yang diwariskan oleh orang-orang terdahulu ke dalam keluarga” mereka (Negeri Perempuan, hlm. 31). Peran tersebut dijalani terutama oleh Bundo, satu-satunya anggota keluarga yang menetap di kampung. Reno dan Engku bekerja di kota, namun sering pulang kalau ada urusan keluarga atau ada persoalan di kampung. Cara Bundo menjalankan fungsi istimewanya digambarkan dengan sangat positif:

“Bundo sibuk dengan masyarakat Nagariko. Segala persoalan, mulai dari kekurangan beras untuk dimasak sehari-hari sampai kepada urusan menantu, kawin-cerai, anak lahir dan semua urusan peradatan diladeninya penuh kasih sayang. Bundo tidak mungkin menghindarinya karena dia adalah induk, ibu dari semua penduduk Nagariko.” (Negeri Perempuan, hlm. 17)

Lewat berbagai adegan dalam Negeri Perempuan ditekankan betapa keluarga tersebut membantu masyarakat kampungnya tanpa pamrih. Mereka tidak pernah bersedia menerima uang sebagai imbalan jasa mereka, dan tidak suka menonjolkan diri sebagai keturunan raja. Penduduk kampung digambarkan sebagai masyarakat sederhana yang membutuhkan keluarga Bundo sebagai “pengayom” yang memberi perhatian dan pengarahan. Lewat penokohan tersebut dibangun semacam imaji ideal tentang kehidupan di kampung dan tradisi etnis.

Namun gambaran ideal tersebut dihadirkan bersamaan dengan kisah tentang berbagai gangguan terhadapnya. Gangguan tersebut terjadi lewat interaksi kampung dengan dunia di luarnya, yaitu terutama dengan kota. Novel Negeri Perempuan dibuka dengan deskripsi perubahan yang terjadi pada masyarakat Nagariko akibat dibukanya Puri Alam, sebuah museum berbentuk rumah adat, yang menarik banyak pengunjung. Masyarakat menyambut pembangunan yang dilakukan pemerintah tersebut dengan baik karena dengan adanya Puri Alam, terbuka lapangan pekerjaan yang baru yang mereka pandang lebih tinggi nilainya daripada bekerja sebagai petani yang dilakukan sebelumnya. Tapi perubahan pola perilaku dan pola pikir penduduk yang terjadi akibat masuknya pariwisata tersebut digambarkan sebagai perkembangan yang cenderung negatif:

“[Anak muda Nagariko] tidak lagi bicara dengan bahasa dan dialek Nagariko tetapi memakai dialek anak-anak muda kota besar. Bahkan bahasa sandi atau bahasa prokem pun mereka kuasai dengan baik. Kadang-kadang sulit dibedakan, apakah mereka penduduk asli atau pengunjung dari daerah lain. Bersamaan dengan itu muncul pula kebiasaan mereka yang baru. Berjudi di semak-semak, minum dan mabuk-mabukan lalu mengganggu pengunjung yang datang. Kadang-kadang mereka kedapatan melakukan hubungan seks di tempat-tempat yang lengang di lereng atau di kaki gunung Patah Tujuh, tanpa seorang pun yang berani mencegah.” (Negeri Perempuan, hlm. 8)

Penggambaran masuknya “budaya kota” ke kampung sebagai perusak moral tentu bukan hal baru, tapi bisa dikatakan sudah klise. Begitu juga keluhan tentang penyeragaman yang menghilangkan kekhasan lokal (disamping persoalan bahasa, disebut juga perubahan dalam berpakaian: kain sarung “sekarang sudah diganti dengan celana jean dan jaket”, hlm. 8). Namun perubahan budaya lokal tidak direpresentasikan sebatas sebagai pertentangan antara budaya kampung yang baik, murni, komunalis, dan berdasar pada nilai dan norma tradisi etnis, dan budaya kota atau budaya global yang individualis, amoralis dan konsumeris. Yang dipersoalkan kemudian dalam novel Negeri Perempuan adalah bagaimana etnisitas dan adat ikut didefinisikan dan dirombak oleh pengaruh luar tersebut.

Pihak luar pertama yang digambarkan sepak terjangnya adalah dua orang petugas pemerintah, Pak Sati dan Pak Abu. Pak Sati bertugas mengurus museum Puri Alam, dan Pak Abu memimpin pemugaran sebuah rumah yang dianggap pantas dipelihara sebagai peninggalan sejarah. Dalam tugas mereka, kedua orang itu melakukan pemalsuan sejarah yang disengaja. Pak Sati memasang sebuah silsilah di Puri Alam dimana keluarga Bundo tidak dicantumkan sebagai ahli waris kerajaan. Sedang Pak Abu tanpa bukti yang jelas memugar sebuah rumah sederhana sebagai “rumah ‘awal’ atau rumah ‘mula’ dari semua rumah yang ada” (Negeri Perempuan, hlm. 19). Anak gadis keluarga yang tinggal di rumah tersebut disebutnya “titisan dan ahli waris yang sah dari raja-raja masa lalu” (Negeri Perempuan, hlm. 20), dan untuk “membuktikan” kesaktian keturunan raja tersebut, gadis itu dijadikannya dukun. Hal itu dilakukan lewat berbagai penipuan, antara lain:

“Begitu juga orang lumpuh yang datang, lalu dua hari kemudian sembuh, setelah diselidiki kemudian, ternyata orang itu bawahan Pak Abu sendiri yang sengaja didatangkan dari kota.” (hlm. 22)

Dalam silsilah di Puri Alam nama gadis itu pun tercantum sebagai anggota keluarga ahli waris kerajaan. Pemalsuan sejarah tersebut menimbulkan reaksi yang ambivalen dalam masyarakat Nagariko. Di satu sisi masyarakat mengenal Bundo sebagai ahli waris kerajaan dan tetap menghormatinya dan berkonsultasi padanya seperti sediakala, kecuali beberapa orang yang kebetulan mempunyai dendam pribadi pada keluarga Bundo. Namun di sisi lain orang Nagariko sebagai orang kampung yang sederhana memandang status Pak Sati dan Pak Abu, sebagai petugas negara dan sebagai orang yang berpendidikan lebih tinggi daripada mereka, sebagai jaminan kebenaran keterangan mereka. Meskipun mereka merasa heran mengapa nama gadis Ninikariang yang mereka kenal sebagai gadis miskin yang agak terbelakang perkembangan jiwanya tiba-tiba diperkenalkan sebagai pewaris kerajaan, status Pak Abu dan Pak Sati membuat mereka percaya:

“Pak Abu ditugaskan memugar rumah itu. Kalau tidak punya pengetahuan yang cukup tentang sejarah, bagaimana mungkin pemugaran sebuah rumah tua dapat dibenarkan. Oleh karena itu adanya nama Ninikarariang dalam silsilah berkemungkinan ada benarnya. Mereka anggap sebagai sesuatu hal yang tidak diketahui selama ini.” (Negeri Perempuan, hlm. 28)

Disamping itu, mereka yang tetap merasa ragu terhadap kebenaran versi sejarah ala Pak Sati dan Pak Abu terbungkamkan oleh keengganan untuk bertentangan atau berbentakan dengan petugas pemerintah. Keengganan itu berubah menjadi ketakutan setelah seorang pemuda kampung yang membongkar penipuan Pak Abu seputar kesaktian Ninikariang, dihajar oleh seorang suruhan Pak Abu.

Representasi petugas negara sebagai penipu dan pemalsu sejarah tersebut bisa dibaca sebagai sebuah kritik terhadap pemerintah, dalam hal ini pemerintah Orde Baru. Tapi dua ungkapan Reno mengisyaratkan hal yang berbeda. Reno menyatakan kecurigaannya bahwa mungkin “antara Pak Sati dan Pak Abu punya hubungan lain yang tidak kita ketahui”, yaitu hubungan “ideologi” (Negeri Perempuan, hlm. 45). Apa yang dimaksudkan dengan “ideologi” menjadi lebih jelas dalam ungkapan Reno yang kedua, yaitu spekulasinya tentang kemungkinan adanya “kelompok-kelompok tertentu yang mencoba mengembalikan ideologi yang telah dilarang pemerintah untuk menghancurkan kekuatan dan kesatuan” dan untuk “menggoyahkan, menggerogoti, mengaburkan dan menghancurkan nilai-nilai budaya, agar masyarakat tidak punya rujukan lagi” (Negeri Perempuan, hlm. 74). Dengan ungkapan Reno itu kritik terhadap Orde Baru menjadi lemah, sebab yang dikritik ternyata bukan kebijakan pemerintah sendiri, melainkan “bahaya laten komunis” yang telah kurang diwaspadai sehingga berhasil menyusup lewat petugas pemerintah.

Pihak kedua yang menjadi biang keladi pemalsuan sejarah adalah orang kampung sendiri yang sukses di kota, lalu tiba-tiba menemukan budaya etnis sebagai bagian dari identitas mereka. Secara khusus digambarkan dua kasus, yaitu kasus Diringgiti yang telah menjadi orang kaya di rantau, dan Barajoan, kepala daerah. Diringgiti bersama adik perempuannya Merajuti membangun sebuah rumah adat di kampung, yaitu Rumah Limo Ruang, lalu kemudian mengambil gelar penghulu dan meresmikannya lewat upacara yang meriah. Barajoan pun mencari dan meresmikan gelar penghulu. Disamping itu kedua-duanya meminta pada keluarga Bundo untuk diakui sebagai anggota keluarga pewaris kerajaan. Istri Diringgiti diambil anak-angkat oleh Bundo sebagai syarat agar Diringgiti dapat menjadi penghulu (penghulu harus mempunyai istri sesama etnis Minang), dan Barajoan minta diakui sebagai orang yang masih punya hubungan darah dengan keluarga Bundo.

Menurut pengamatan Reno, keinginan orang yang sukses di rantau untuk melibatkan diri dengan adat etnisnya merupakan gejala baru. Khususnya mengenai gelar penghulu Reno menjelaskan:

“Dua puluh lima tahun lalu, orang-orang tidak mau memakai gelar penghulu. […] Orang-orang yang masih bertahan memakai gelar itu dianggap kuno, sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kemajuan. Mereka yang menyandang gelar penghulu umumnya orang-orang yang menetap di kampung, tingkat pendidikan dan perekonomian rendah. […] Akan tetapi, hanya dalam waktu yang begitu pendek, keadaan dapat berubah. Sekarang semua orang ingin jadi penghulu. Walaupun sudah punya gelar kesarjanaan, pangkat yang tinggi dan kekayaan melimpah, tapi kalau belum mempunyai gelar penghulu, mereka merasakan masih kurang lengkap.” (Negeri Perempuan, hlm. 77-78)

Ketertarikan baru akan etnisitas digambarkan bukan sebagai sebuah minat yang tulus untuk mempelajari seluk-beluk adat, sejarah lokal dan sebagainya. Dalam kedua kasus yang diceritakan secara mendetil itu tampak sikap yang ambivalen terhadap adat: Adat dipandang sebagai “sesuatu yang sudah kuno dan usang” (Negeri Perempuan, hlm. 108), namun sekaligus ingin dimanfaatkan untuk menambah status dengan gelar dan “darah biru”. Ambivalensi tersebut terilustrasikan misalnya dalam ungkapan Barajoan yang menggelikan berikut ini:

“Gelar penghulu untukku sebaiknya yang dapat menimbulkan pengertian yang baik. Jangan terlalu lokal. Harus nasional, kalau perlu internasional.” (Negeri Perempuan, hlm. 106)

Mengenai kasus Diringgiti dan Barajoan diceritakan berbagai detil yang membuat usaha mereka untuk “beradat” terkesan cenderung negatif dan merugikan masyarakat. Kekayaan dan kedudukan disalahgunakan untuk mewujudkan keinginan, misalnya tanah tempat rumah Diringgiti dibangun adalah tanah pusaka kaum lain yang “dibebaskan” secara paksa, dan gelar penghulunya merupakan gelar milik kaum lain yang diperolehnya lewat penyogokan dan ancaman. Disamping itu, ketidaktahuan dan sikap memandang rendah terhadap adat menimbulkan berbagai kesalahan, misalnya rumah adat bernama Rumah Limo Ruang yang seharusnya mempunyai lima ruang sesuai dengan namanya, ternyata dibangun dengan tujuh ruang.

Bundo dan keluarganya bersikap lunak dan menghindari konflik dalam semua kasus tersebut. Misalnya, Reno yang diberi kewenangan untuk mengambil keputusan apakah Rumah Limo Ruang yang menyalahi aturan harus dibongkar, memutuskan untuk memaafkan kesalahan tersebut. Contoh lain, meskipun silsilah yang disusun Barajoan dengan permintaan untuk mengesahkan bahwa dirinya berhubungan darah dengan keluarga pewaris kerajaan tidak membuktikan apa-apa, keluarga Bundo tetap mengesahkannya.

Penyimpangan-penyimpangan adat yang disebabkan ketidaktahuan, penyalahgunaan uang dan kekuasaan, dan sikap lunak keluarga Bundo tersebut kemudian dimanfaatkan sebagai dasar pemalsuan sejarah. Misalnya, kenyataan bahwa Rumah Limo Ruang Diringgiti memiliki tujuh ruang disebut sebagai “bukti” bahwa kaum itu memiliki status yang lebih tinggi daripada kaum lain. Pemalsuan sejarah tersebut sebagian dilakukan bukan oleh pihak Diringgiti dan Barajoan sendiri, melainkan oleh orang lain (termasuk orang kampung Nagariko) dengan mempertimbangkan keuntungan menjadi anak buah orang kaya (Diringgiti) atau orang berkuasa (Barajoan).

Pada akhir novel kecenderungan untuk memalsukan sejarah untuk berbagai tujuan pribadi semakin meningkat, sehingga seorang kerabat Bundo dari nagari lain yang ingin mencari keluarganya tersesat-sesat karena di mana-mana orang mengaku sebagai pewaris kerajaan. Novel Negeri Perempuan ditutup dengan rasa kecewa dan sikap pesimis keluarga Bundo, seperti yang diekspresikan dengan dua baris sajak yang ditulis oleh Reno: “Akankah kita tinggalkan abad ini/ Tanpa suatu titipan” (Negeri Perempuan, hlm. 272).

***

Baik novel Dimsum Terakhir maupun Negeri Perempuan bisa dibaca sebagai usaha untuk membela nilai dan tradisi etnis. Dengan merujuk kepada karya-karya lain yang menggambarkan perempuan muda metropolitan sebagai manusia yang seakan-akan tidak memiliki atau tidak membutuhkan etnisitas lagi, Dimsum Terakhir membela etnisitas dalam arti menunjukkan betapa imaji stereotipikal itu tidak tepat. Keempat perempuan metropolitan dalam novel itu bukan hanya tidak bisa menghindar dari latar belakang etnis mereka, tapi tradisi etnis bahkan kemudian dapat direinterpretasi mereka sehingga tidak menjadi belenggu, melainkan memperkaya hidup mereka. Pembelaan dalam Negeri Perempuan bersifat berbeda. Tradisi etnis dalam novel tersebut digambarkan berada pada posisi yang lemah sehingga mudah direkayasa. Rekayasa tersebut dilakukan terutama oleh orang yang datang dari kota atau dihubungkan dengan kota, namun kemudian juga mempengaruhi perilaku orang kampung. Kedua representasi etnisitas dan kota tersebut bisa dilihat sebagai dua sisi dari persoalan yang sama: Di satu sisi etnisitas perlu selalu diinterpretasi dan diciptakan ulang agar tetap bermakna bagi manusia kontemporer, lebih-lebih di kota, dan negosiasi antara nilai etnis dengan sistem nilai yang lain harus terus-menerus dilakukan. Di sisi lain, reinterpretasi semacam itu bisa bersifat merusak kalau yang terjadi bukan dialog atau negosiasi yang sehat, melainkan pemaksaan dan rekayasa yang dilakukan oleh pihak yang diuntungkan dari segi kekuatan finansial atau kekuasaan politis, yaitu umumnya orang yang hidup di kota.

Perbedaan dalam representasi etnisitas antara kedua novel tersebut tentu juga berhubungan dengan situasi kelompok etnis yang direpresentasikan yang sangat berbeda satu sama lain. Kelompok etnis Tionghoa tidak memiliki “daerah asal” di Indonesia, dan hubungan dengan negeri asal mereka tidak erat lagi. Reinterpretasi tradisi etnis yang dilakukan dalam keluarga Nung, misalnya dengan keputusan memberi peran laki-laki pada Rosi/Roni dalam upacara kematian, hanya bersifat pribadi (dalam keluarga sendiri) dan tidak digambarkan memiliki pengaruh terhadap anggota komunitas etnis Tionghoa yang lain. Situasi kelompok etnis Minang, di sisi lain, tidak bisa dilepaskan dari relasi kekuasaan antara pusat dan daerah dan antara kota dan pedalaman. Nagariko dalam novel Negeri Perempuan di satu sisi digambarkan sebagai pusat adat yang memiliki wewenang untuk mendefinisikan etnisitas Minang, namun di sisi lain sebagai pihak lemah di hadapan kekuatan budaya kota dan kekuasaan negara.

Bila kedua representasi etnisitas yang sangat berbeda satu sama lain dalam novel Dimsum Terakhir dan Negeri Perempuan itu kita baca bersama, tampak betapa rumit persoalan identitas etnis yang dihadapi antara lain di Indonesia. Di satu sisi tradisi etnis perlu disesuaikan dengan kenyataan hidup dan kebutuhan manusia kontemporer, di sisi lain perlu dipertahankan dan dilindungi dari rekayasa yang sewenang-wenang. Menarik batas antara keduanya tentu tidak selalu mudah. Namun disamping itu, dalam Negeri Perempuan masih tampak sebuah persoalan lain yang bersangkutan dengan etnisitas, dan dengan itu menambah kerumitan persoalan seputar etnisitas.

Seperti sudah saya paparkan di atas, keluarga Bundo merupakan semacam personifikasi adat Nagariko yang ideal. Adat tersebut juga tetap dijunjung tinggi oleh para penghulu (kecuali penghulu-penghulu “bikinan” seperti Diringgiti dan Barajoan) dan sebagian masyarakat kampung. Plot novel kemudian berfokus pada kisah betapa kekuatan adat tersebut semakin terpinggirkan, dan betapa tradisi dan sejarah lokal makin lama makin tidak bisa dikenali lagi oleh karena terjadinya rekayasa dan pemalsuan. Tapi kekuatan apa sesungguhnya yang merusak budaya lokal tersebut? Budaya kota? Kota yang mana? Selain “Nagariko” dan beberapa nama tempat serupa yang fiksional, nama lokasi sama sekali tidak disebut. Bahkan nama kelompok etnis “Minang” atau “Minangkabau” tidak bisa ditemukan dalam novel itu. Nama kota pun tidak ada yang disebut, sehingga sering tidak jelas kota mana yang dirujuk apabila kata “kota” digunakan, misalnya sebagai tempat tinggal seorang tokoh atau sebagai tempat yang budayanya mempengaruhi Nagariko. Apakah yang dimaksud adalah Jakarta, atau kota-kota besar di seluruh Indonesia, atau mungkin sebuah kota di daerah itu sendiri, misalnya Padang? Akibatnya, tidak jelas apakah relasi kekuasaan yang ingin disorot adalah relasi antara daerah dan pusat (Jakarta) atau antara budaya lokal (kampung) dan budaya kota. Persoalan dikaburkan lebih lanjut oleh spekulasi Reno mengenai pengaruh “ideologi terlarang”. Dan spekulasi tersebut bertentangan pula dengan deskripsi betapa kekuatan uanglah yang melatarbelakangi sebagian besar rekayasa adat dan pemalsuan sejarah yang dilakukan. Apakah mungkin kekuatan yang merusak budaya lokal Nagariko adalah kapitalisme dan komunisme sekaligus?

Lewat idealisasi tradisi dan ketidakjelasan mengenai kekuatan perusak budaya tersebut tercipta sebuah gambaran yang cenderung hitam-putih: Tradisi etnis yang bersifat mulia perlu dipertahankan dan dilindungi dari segala pengaruh buruk yang datang dari luar. Gambaran hitam-putih tersebut membawa dua kecenderungan yang menurut penilaian saya kurang menguntungkan. Yang pertama adalah bahwa dalam posisi sebagai nilai yang terancam dan perlu dipertahankan, adat Nagariko versi keluarga Bundo tidak dipertanyakan sama sekali. Karena cerita difokuskan kepada pertentangan antara adat yang direkayasa dan adat yang “sesungguhnya”, timbul kesan bahwa ada pemahaman adat yang asli, baku dan tunggal. Keluarga Bundo dicitrakan sebagai orang yang memahami tradisi dan sejarah secara mendalam dan berhak mendefinisikan adat, sedangkan orang-orang yang memberi definisi alternatif semuanya digambarkan sebagai dilettante yang tidak mengerti adat dan tidak mempunyai niat tulus. Meskipun ditekankan berkali-kali betapa keluarga Bundo tidak berkeinginan untuk mempertahankan feodalisme, lewat penokohan tersebut feodalisme pada dasarnya dibenarkan: Ternyata hanya ahli waris kerajaan yang mampu menjalankan tugas adat tanpa pamrih, dan ternyata masyarakat tetap membutuhkan pimpinan seorang keturunan raja sebagai penjaga adat dan nilai moral.

Unsur lain yang berkaitan dengan gambaran hitam-putih tersebut adalah pandangan terhadap “orang luar”. Kalau tidak jelas apa atau siapa sesungguhnya kekuatan yang mengancam budaya etnis, tentu tidak aneh kalau muncul kecurigaan terhadap apa atau siapa saja yang asing atau yang datang dari luar. Reno misalnya mengatakan tentang Pak Sati:

“dia bukan orang negeri ini. Bisa jadi […] tidak punya niat bersih terhadap kemajuan yang telah dicapai selama ini.” (Negeri Perempuan, hlm. 75)

Di tempat lain terdapat dialog antara Reno dan Bundo berikut ini:

“‘Jika pemuda dan gadis kita tidak betah lagi di kampung, lalu kampung didiami oleh orang yang bukan berasal dari negeri ini, betapa tragisnya kehidupan kita. Kampung semakin ramai oleh pendatang tetapi semakin lengang oleh penduduk asli,’ kata Reno.

‘Apa salahnya?,’ Bundo menimpali.

‘Para pendatang itu tentu tidak mau mengikuti adat dan tatacara kita,’ lanjut Reno.” (Negeri Perempuan, hlm. 16)

Pembelaan hak kelompok etnis, terutama kelompok minoritas, untuk mempertahankan dan mempraktekkan adatnya sebagai bagian dari keberagaman etnis, tentu sah dan sangat diperlukan. Namun pembelaan semacam itu dengan relatif mudah dapat bermutasi menjadi fasisme etnis, dalam arti bahwa kecintaan dan kesetiaan pada etnisitas sendiri berubah menjadi sikap curiga dan benci pada anggota kelompok etnis lain. Akan merupakan interpretasi yang berlebihan dan tidak adil kalau kita mengatakan bahwa Negeri Perempuan mengandung rasisme semacam itu. Namun kutipan di atas menunjukkan bahwa paling tidak terdapat gagasan yang berpotensi dikembangkan ke arah rasisime. Kata “pendatang” mungkin saja masih bersifat netral pada waktu Negeri Perempuan ditulis, tapi kini kata itu mempunyai konotasi negatif dengan dipertentangkannya “pendatang” dengan “penduduk asli” di berbagai tempat di Indonesia.

Dibandingkan dengan gambaran yang cenderung hitam-putih tersebut, Dimsum Terakhir bagi saya menawarkan representasi etnisitas yang lebih menarik karena lebih bernuansa. Hal itu misalnya terlihat pada tradisi yang dirujuk oleh judul novel, yaitu semacam tradisi pribadi keluarga Nung (tidak dilakukan keluarga Tionghoa lain) berupa acara makan dimsum bersama pagi-pagi pada hari raya Imlek. Ide untuk melakukan hal itu timbul sebagai respon terhadap kenyataan bahwa pada masa Orde Baru Imlek bukan hari raya nasional dan anak-anak keturunan Tionghoa bahkan diawasi dan diintimidasi secara khusus agar tidak absen di sekolah pada hari itu. Lewat acara makan dimsum pagi-pagi sebelum anak-anak berangkat ke sekolah, Imlek tetap bisa mereka rayakan. Tradisi makan dimsum tersebut merupakan contoh ekspresi etnisitas yang menarik sebab di situ tergabung tradisi etnis Tionghoa secara umum (perayaan Imlek), tradisi individual keluarga, dan sebuah penyesuaian dengan konteks politis dan konteks tempat, yaitu Indonesia masa Orde Baru. Disamping itu, tradisi yang tetap dilanjutkan setelah tumbangnya Orde Baru tersebut bersifat sangat ambivalen, dalam arti bahwa di satu sisi makan dimsum bersama merupakan acara gembira yang melambangkan kekhasan dan keutuhan keluarga mereka, namun pada waktu yang sama acara itu merekam ketidakadilan dan rasisme yang dialami mereka sebagai keluarga Tionghoa di Indonesia, misalnya pengalaman Novera kecil yang dipaksa ayahnya berangkat ke sekolah dalam keadaan sakit pada hari Imlek karena ketidakhadirannya tidak akan ditoleransi pada hari itu.

Identitas seseorang tidak didefinisikan hanya atau terutama lewat etnisitas, tapi etnisitas hanya merupakan salah satu dari sekian banyak aspek identitas. Karena itu, mengangkat dan merepresentasikannya sebagai aspek yang penting dalam sebuah karya sastra merupakan bagian dari politik identitas. Dalam konteks itu, saya menilai kedua novel yang telah saya bahas sebagai karya yang berhasil mempersoalkan etnisitas secara kritis dan membangkitkan kesadaran akan beberapa persoalan yang dihadapi di tengah pluralitas etnis di Indonesia pada masa kini. Meskipun demikian, idealisasi adat dan imaji pengaruh luar sebagai perusak budaya etnis dalam novel Negeri Perempuan saya pandang sebagai langkah yang cenderung mencemaskan dalam konteks politik identitas etnis tersebut. Bagi saya, representasi etnisitas bukan sebagai tradisi yang statis dan kaku, tapi sebagai hasil reinterpretasi nilai yang dilakukan terus-menerus, hasil penyesuaian dengan konteks, dan hasil negosiasi dengan aspek identitas yang lain (misalnya identitas gender) yang saya temukan dalam novel Dimsum Terakhir merupakan tindakan politik identitas yang lebih realistis dan lebih menjanjikan.

*Katrin Bandel, kritikus sastra, tinggal di Jogjakarta

Leave a comment