Oleh: Saut Situmorang

Makin kasihan awak liat orang ini dan makin gak ngerti kok bisa dia jadi Profesor di sebuah universitas Australia ternama!

Membandingkan karya Fiksi dengan Sejarah kembali dilakukan dengan gak ada persoalan sama sekali, seolah isi fiksi tersebut adalah memang sejarah, bukan karang-karangan kayak yang dimaksudkan istilah “fiksi” itu sendiri.

Nyai Ontosoroh adalah tokoh fiksi maka kisah hidupnya terkesan kayak sebuah realisme magis: seorang perempuan biasa yang berubah jadi seorang perempuan luar biasa cumak kerna jadi gundik seorang Belanda! Tak ada ironi sama sekali pada Ariel Heryanto yang konon pembela kaum tertindas itu terutama kaum minoritas tertindas. Betapa dahsyatnya bahwa seorang perempuan biasa Jawa yang dijajah Belanda bisa bermetamorfosa jadi seorang Nyai Ontosoroh kerna perkawinannya dengan orang Belanda yang membelinya dari bapaknya sendiri. Penjajahan Belanda dan Laki-laki Belanda telah membuat seorang perempuan lokal terjajah jadi seseorang yang perempuan Belanda pada waktu itupun gak ada yang bisa menandinginya! Habis gelap terbitlah terang!!!

Ketidakkritisan Ariel Heryanto dalam menganalisis sosok Nyai Ontosoroh (padahal kolom tempat tulisannya itu dimuat bernama “Analisis Budaya”!) akhirnya cumak membuat dia mengulang-ulang, mereproduksi klise tentang Nyai Ontosoroh padahal katanya novel Bumi Manusia itu adalah kritik pascakolonial! Adakah digambarkan bagaimana Nyai Ontosoroh bisa jadi Nyai Ontosoroh? Bukankah dia sudah jadi Nyai Ontosoroh waktu kita membaca novel tersebut? Kita harus menerima begitu saja dongeng narator novel bahwa Nyai Ontosoroh itu adalah perempuan biasa yang dulu bernama Sanikem yang dijual bapaknya sendiri ke seorang laki-laki Belanda yang kemudian mengawininya lalu berubah kerna dididik oleh suami Belandanya itu! Di mana kritik pascakolonialnya itu?

Yang membuat aku kasihan pada Ariel Heryanto adalah klise kolonial Belanda yang masih direpoduksinya di tulisannya tersebut. Yaitu klise tentang apa yang Belanda sebut sebagai masa “Bersiap” di Indonesia. Istilah “bersiap” adalah istilah Belanda, bikinan Belanda dan punya arti yang cumak menguntungkan kepentingan kolonial Belanda. Istilah “bersiap” adalah cara bagaimana Belanda membaca dan menafsir sejarah kolonialismenya di Indonesia! Yaitu sebuah usaha Revisi Sejarah Kolonialismenya tersebut! Kok bisa seorang Ariel Heryanto yang konon Orang Indonesia itu masih terus menerus mereproduksi diskursus kolonial (colonial discourse) Belanda tentang apa yang terjadi di Indonesia di tahun 1940an setelah Indonesia dengan resmi mengumumkan kemerdekaannya ke dunia itu?! Dengan nada mengejek, Ariel Heryanto bahkan bilang: Kemerdekaan RI buru-buru diproklamasikan di depan mikrofon!

Dia bahkan bilang: Jepang kalah Perang Dunia II tahun 1945. Belanda sebagai penguasa terdahulu belum siap kembali menggantikan Jepang! Ariel Heryanto ternyata mengharapkan kembalinya Belanda penguasa terdahulu itu walau Kemerdekaan Indonesia sudah diproklamasikan “di depan mikrofon”!

Makanya dia bersorak: Belanda mulai berubah! Perdana Menteri dan Raja Belanda sudah minta maaf!
Tapi minta maaf atas apa, Ariel?! Kok gak kau sebutkan bahwa mereka minta maaf cumak untuk “kekerasan extrim” (extreme violence) yang dilakukan tentara Belanda waktu mereka berusaha menjajah kembali Indonesia, sebagai penguasa terdahulu, di tahun 1940an itu. Bagaimana dengan kekerasan yang tidak extrim? Bagaimana pulak dengan kolonialisme Belanda selama ratusan tahun itu sendiri plus kekerasan yang dilakukannya mulai dari Banda, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, sampai Bali?

Tapi tentu saja bagi Ariel Heryanto kolonialisme Belanda dan kekerasan kolonialnya ini tidak relevan. Karena tidak dilakukan oleh kaum Pri atas kaum Non-Pri. Lagi pulak kolonialisme yang terus menerus dinista bangsa Indonesia itu kan melahirkan jugak RA Kartini dan… Nyai Ontosoroh!

Oleh: Saut Situmorang

Pramoedya Ananta Toer (Pram) dalam sebuah eseinya yang berjudul “The Book That Killed Colonialism” yang terbit di The New York Times Magazine 18 April 1999 – juga jadi kata pengantar terjemahan bahasa Inggris novel Max Havelaar terbitan NYRB Classics (2019) – mengklaim bahwa Max Havelaar adalah buku yang membunuh kolonialisme. Tulis Pram:

“Buku tersebut menceritakan pengalaman-pengalaman seorang Max Havelaar, seorang pejabat kolonial Belanda di Jawa. Havelaar menyaksikan – dan kemudian memberontak terhadap – sistem tanam paksa yang dibebankan atas para petani Indonesia oleh Pemerintah Belanda.

[…]

Rasa peduli atas akibat kebijakan-kebijakan kolonial atas rakyat Indonesia menandai karier Dekker, yang awalnya bersekolah untuk jadi pendeta.

[…]

Penerbitan “Max Havelaar” pada 1859 [sic] sangat menggemparkan. Sama seperti “Uncle Tom’s Cabin” memberikan amunisi bagi gerakan abolisionis budak di Amerika, “Max Havelaar” menjadi senjata bagi gerakan liberal yang sedang berkembang di Belanda, yang berjuang untuk menciptakan reformasi di Indonesia. Dengan bantuan “Max Havelaar”, gerakan liberal tersebut berhasil memalukan Pemerintah Belanda hingga menciptakan sebuah kebijakan baru yang dikenal sebagai kebijakan etis, yang tujuan utamanya adalah mempromosikan irigasi, migrasi antar-pulau dan pendidikan di Hindia Belanda.”

Yang dijadikan Pram sebagai bukti sejarah bahwa Max Havelaar adalah buku pembunuh kolonialisme adalah dihentikannya kebijakan Cultuurstelsel (sistem tanam paksa) dan digantikan dengan Politik Etis yang salah satu dari programnya adalah diizinkannya pribumi untuk memperoleh pendidikan kolonial, walau hanya pribumi bangsawan yang mendapat hak istimewa ini.

Bagi Pram, faktor “pendidikan” merupakan hal paling penting dan positif dari kebijakan Politik Etis Belanda. Karena “perluasan kesempatan pendidikan mengembalikan kepada bangsa terjajah di dunia sebuah hak mereka yang telah secara paksa dihilangkan oleh kolonialisme Barat – hak untuk menentukan sendiri masa depan mereka.” Walaupun “bangsa terjajah” yang dia maksud hanya “sejumlah kecil orang Indonesia, terutama anak-anak dari penguasa tradisional.”

Kita lihat ada kontradiksi di sini. Novel Max Havelaar pada dasarnya menggambarkan bagaimana korupnya para penguasa pribumi Hindia Belanda di zaman kolonialisme Belanda tapi ketika kebijakan Politik Etis Belanda (yang konon merupakan akibat dari penerbitan Max Havelaar) dalam hal pendidikan justru hanya menguntungkan anak-anak penguasa pribumi malah diklaim Pram sebagai “mengembalikan kepada bangsa terjajah sebuah hak mereka yang telah secara paksa dihilangkan oleh kolonialisme Barat – hak untuk menentukan sendiri masa depan mereka.” Apakah bagi Pram para penguasa pribumi dan anak-anaknya itu sama menderitanya sebagai subjek penjajahan dengan jutaan rakyat biasa? Kalau memang sama lantas kenapa novel Max Havelaar yang menggambarkan bagaimana jahatnya para penguasa pribumi itu malah diklaimnya sebagai “buku yang membunuh kolonialisme”?!

Kontradiksi seperti ini sangat dominan mewarnai klaim terkenal Pram di atas. Klaim asersif Pram yang sangat terkenal dan sering dikutip tersebut terkesan naif dan ahistoris. Karena menyiratkan bahwa Politik Etis adalah memang sangat baik bagi pribumi yang terjajah, tanpa ada konsekuensi historis apapun kecuali “kemerdekaan” bagi Indonesia.

Efek dari klaim Pram tersebut bahkan sampai membuat sebuah organisasi di Indonesia yang mengklaim dirinya sebagai “sebuah inisiatif jurnalisme yang ingin melayani publik dengan mengangkat suara-suara dipinggirkan, komunitas-komunitas yang diabaikan, dan isu-isu mendasar yang disisihkan” memakai nama “Multatuli” sebagai namanya yaitu Project Multatuli. Klimaks ironis dari efek dari pernyataan Pram tersebut adalah berdirinya sebuah komunitas literasi yang fokus utama aktivitasnya adalah membaca dan mengkaji novel Max Havelaar serta berdirinya Museum Multatuli sebagai “museum anti-kolonial pertama di Indonesia”, keduanya di Lebak yang merupakan setting utama tempat terjadinya peristiwa dalam novel Max Havelaar.

Pram lupa atau mungkin tidak tahu bahwa secara ekonomi kebijakan Cultuurstelsel digantikan oleh kebijakan yang memungkinkan dimulainya kapitalisme perkebunan swasta, seperti di Deli, Sumatera Utara, walau Pram sendiri secara tidak sengaja dengan ironis sudah menyentuh isu tersebut waktu menyatakan seperti yang saya kutip di awal esei ini bahwa “dengan bantuan “Max Havelaar”, gerakan liberal … berhasil memalukan Pemerintah Belanda hingga menciptakan sebuah kebijakan baru yang dikenal sebagai kebijakan etis.”  

Partai Liberal di Belanda adalah partai yang sangat keras mengkritik kebijakan Sistem Tanam Paksa Cultuurstelsel di Hindia Belanda di paroh kedua abad 19. Mereka berhasil memaksa pemerintah Belanda menghentikan kebijakan Sistem Tanam Paksa tersebut dan menggantikannya dengan Undang-Undang Agraria pada tahun 1870. Undang-Undang Agraria 1870 ini pada dasarnya menyebabkan terjadinya liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda. Sistem ekonomi Tanam Paksa di mana campur tangan pemerintah begitu dominan akhirnya digantikan oleh sistem ekonomi pasar bebas laissez-faire di mana kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta. Deregulasi yang disebabkan oleh Undang-Undang Agraria 1870 ini akhirnya memungkinkan munculnya perusahaan-perusahaan perkebunan swasta yang diizinkan menyewa lahan-lahan yang luas dengan jangka waktu paling lama 75 tahun untuk ditanami karet, teh, kopi, kelapa sawit, tebu dan tembakau. Cultuurstelsel akhirnya digantikan dengan kapitalisme laissez-faire yang efek negatifnya secara ekonomi dan ekologi jauh lebih parah serta munculnya perbudakan buruh yang disebut Kuli Kontrak seperti yang terjadi di perkebunan tembakau dan karet di Deli, Sumatera Utara.

Lahirnya kebijakan Politik Etis sebagai reaksi atas efek negatif dari kebijakan ekonomi liberal Undang-Undang Agraria 1870 tidak serta merta mengakhiri kebijakan ekonomi pasar bebas ini. Bahkan bisa dikatakan cuma sebagai kebijakan kosmetik agar wajah bengis ekonomi pasar bebas liberal ini bisa dikurangi keburukannya hingga nampak lebih humanis.

Conrad Theodor van Deventer adalah salah seorang tokoh liberal yang sangat berpengaruh atas terciptanya kebijakan Politik Etis di Hindia Belanda. Anggota parlemen dari partai Demokratik Liberal ini menulis sebuah esei berjudul “Een eereschuld” atau Hutang-Budi di jurnal De Gids pada tahun 1899 yang menyatakan bahwa Belanda harus membayar Hutang Budi kepada penduduk pribumi Hindia Belanda karena telah mengeruk kekayaan Hindia Belanda. Van Deventer menekankan pentingnya menaikkan kesejahteraan penduduk pribumi, desentralisasi pemerintahan, dan mempekerjakan lebih banyak lagi pribumi di jabatan-jabatan penting pemerintahan. Ide-ide Van Deventer inilah yang kemudian menjadi apa yang dikenal sebagai Politik Etis itu. Tiga hal penting yang menjadi inti dari kebijakan Politik Etis yang diresmikan pada 17 September 1901 adalah irigasi, transmigrasi dan pendidikan.

Kita lihat betapa tidak sesederhana klaim Pram proses kelahiran kebijakan Politik Etis di Hindia Belanda. Kalaupun mau memasukkan pengaruh novel Max Havelaar atasnya maka pengaruh tersebut tidaklah sedominan seperti yang dikesankan oleh pernyataan Pram di eseinya tersebut. Pengaruh tersebut ada hanya karena kaum Liberal di Belanda memakainya sebagai alat untuk menyerang kebijakan pemerintah Belanda yang disebut sebagai Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa itu dan menggantikannya dengan kebijakan kapitalisme liberal pasar bebas laissez-faire. Dan seperti yang telah dibuktikan sejarah, begitu kebijakan kapitalisme liberal pasar bebas laissez-faire tersebut berhasil mereka realisasikan maka kolonialisme Belanda pun memulai sebuah tahapan baru yang justru lebih beringas ketimbang di era Cultuurstelsel. Dan ironisnya, giliran kaum Konservatif akhirnya yang menggantikan kaum Liberal dalam memanfaatkan novel Max Havelaar untuk propaganda kebijakan politik mereka setelah mereka tidak berkuasa lagi di Belanda! Dan dalam propaganda kedua partai terbesar di Belanda ini, istilah “demi kepentingan orang-orang pribumi”merupakan slogan yang terus menerus dipakai. Max Havelaar dengan isinya yang menggambarkan penderitaan orang-orang pribumi karena kebijakan Cultuurstelsel tentu saja jadi alat propaganda yang tak bisa dilewatkan.

Bukan akhir dari kolonialisme yang diakibatkan oleh penerbitan novel Max Havelaar seperti yang diyakini Pram tapi justru awal dari kolonialisme yang sebenarnya. Maksudnya: Kalau sebelumnya kolonialisme Belanda itu hanya berupa penjajahan fisik semata tapi setelah munculnya Politik Etis yang salah satu program utamanya adalah pengadaan sekolah-sekolah bagi penduduk pribumi maka penjajahan sekarang juga meliputi hal-hal non fisik seperti pemikiran, selera, moralitas, melalui pendidikan kolonial yang diberikan ke kaum elite bangsa yang mereka jajah. Bagi Van Deventer sendiri, kebijakan Politik Etis bertujuan untuk menciptakan elite pribumi yang kebaratan yang merasa berhutang kepada Belanda atas kemakmuran dan kebudayaan tinggi yang dimilikinya. Atau dalam konteks kolonialisme Inggris di India, seperti yang dinyatakan Lord Macaulay, presiden Dewan Pendidikan Kolonial India, dalam  ‘Memo tentang Pendidikan India’ pada tahun 1835:

“Kita sekarang harus berusaha sebaik-baiknya membentuk sebuah kelas yang akan menjadi penerjemah antara kita dan jutaan yang kita perintah; sebuah kelas dari manusia-manusia yang berdarah dan berwarna India tapi Inggris dalam hal selera, opini, moral dan intelek.”

Hibriditas adalah sebuah konsep dalam teori pascakolonial yang dipopulerkan oleh Homi K. Bhabha dalam bukunya The Location of Culture (1994). Hibriditas merujuk ke penciptaan bentuk-bentuk transkultural baru dalam sebuah zona kontak hasil dari kolonialisme yang oleh Bhabha disebut sebagai Ruang Ketiga (third space). Hibriditas terjadi dalam berbagai bentuk: linguistik, budaya, politik, ras, dan lain-lain. Pendidikan kolonial seperti yang dihasilkan oleh Politik Etis Belanda merupakan salah satu zona kontak atau ruang ketiga yang menghasilkan sebuah bentuk transkultural baru yang bersifat hibrid itu yaitu elite terdidik pribumi.

Hibriditas adalah persilangan antara dua ras, tanaman atau budaya yang berbeda. Sebuah hibrid adalah sesuatu yang merupakan hasil dari peristiwa percampuran. Hibriditas sendiri bukanlah sebuah fenomena baru dalam sejarah tapi merupakan sebuah ciri dari semua peradaban. Peradaban kuno dan modern telah meminjam ide, filsafat dan ilmu pengetahuan asing baik melalui perdagangan maupun penaklukan perang dan menghasilkan kebudayaan dan masyarakat hibrid. Kebudayaan Indonesia adalah salah satu contoh dari budaya hibrid yang terjadi dari persilangan budaya India, Cina, Arab dan Eropa dengan budaya-budaya lokal nusantara selama ribuan tahun.

Penggambaran sangat baik tentang proses terjadinya hibriditas ini justru dilakukan Pram sendiri dalam sosok tokoh Minke di novelnya Bumi Manusia. Minke adalah contoh subjek hibrid pascakolonial yang terlahir akibat pendidikan kolonial. Subjek hibrid pascakolonial yang “black skin, white masks” menurut Franz Fanon itu, atau yang “almost the same but not white” kata Homi Bhabha.

Politik Etis Belanda itu sendiri tidak berhasil menghasilkan apa yang semula diharapkan sebagai tujuan pentingnya terutama dalam bidang pendidikan. Berbeda dari Myanmar di bawah kolonialisme Inggris dan Filipina di bawah kekuasaan Spanyol dan Amerika Serikat, Hindia Belanda sangat miskin sekolah dan tingkat melek hurufnya sangat rendah. Hanya terdapat 1500 sekolah dasar di seluruh Hindia Belanda pada tahun 1900 untuk jumlah penduduk yang lebih daripada 36 juta jiwa. Di akhir tahun 1930an hanya terdapat segelintir tamatan sekolah menengah atas dan tingkat melek huruf sedikit di atas 6 persen. Dan pemerintah Belanda menerapkan sistem segregasi dalam semua jenjang sekolah. Menurut Adrian Vickers dalam bukunya A History of Modern Indonesia (2013) , pendidikan Barat baru terbuka untuk penduduk pribumi di awal abad duapuluh. Pada 1900 sejumlah 1500 pribumi terdaftar di sekolah-sekolah Eropa dan 13000 orang Eropa. Sekitar tahun 1928 hampir 75000 pribumi menyelesaikan pendidikan dasar Barat dan sekitar 6500 tamat sekolah menengah, jumlah yang sangat kecil dibandingkan jumlah keseluruhan penduduk Hindia Belanda.

Persoalan utama yang menghambat berhasilnya Politik Etis adalah anggaran pendidikan yang dialokasikan tidak pernah memadai dan krisis finansial akibat Depresi ekonomi global di tahun 1930an akhirnya menjadi lonceng kematian dari kebijakan the white man’s burden pemerintah kolonial Belanda tersebut.

Bagaimana dengan hasil program pendidikan dari kebijakan Politik Etis itu sendiri? Apakah memang seperti yang diklaim Pram bahwa segelintir “pribumi yang berpendidikan Belanda itu mendorong lahirnya gerakan emansipasi dan pembebasan yang akhirnya menghasilkan revolusi besar-besaran di tahun 1940an”?

Politik Etis menghasilkan kaum terdidik awal pribumi yang kongres kedua mereka pada tahun 1928 yang sangat terkenal itu menghasilkan Sumpah Pemuda tapi yang hanya bicara tentang “tanah air, bangsa, dan bahasa” dan tidak ada tentang sebuah negara bernama “Indonesia” yang kelak akan menggantikan negara kolonial Hindia Belanda! Begitu juga dengan perdebatan sangat terkenal di kalangan kaum elite intelektual pribumi awal ini yang disebut sebagai Polemik Kebudayaan di tahun 1930an tidak membicarakan tentang keinginan untuk memiliki sebuah negara baru yang merdeka dari Belanda. Mereka justru sibuk membicarakan apa keunikan dan kehebatan Barat dan Timur yang kedua kelompok masing-masing dukung! Mereka bahkan tidak pernah sekalipun membicarakan kondisi keterjajajahan mereka seolah mereka itu bukan sedang hidup dalam kolonialisme Belanda! (Saya sudah membicarakan hal ini dengan panjang lebar dalam esei saya “Globalitas dan Lokalitas dalam ‘Membayangkan Indonesia’: Sebuah Kritik Pascakolonial”.) Bukankah bahkan pada Augustus 1945 pun Sukarno dan Hatta yang merupakan generasi awal dari kaum elite terdidik kolonial hasil dari Politik Etis itu harus diculik oleh kaum pemuda dan diancam dengan todongan senjata api agar membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia karena keduanya menolak dengan alasan bahwa pemerintah kolonial Jepang telah menjanjikan kemerdekaan Indonesia akan diberikan pada bulan September 1945! Pemberontakan nasionalis berskala nasional pun bukan kaum elite berpendidikan Belanda yang lakukan tapi oleh kaum buruh dan petani di bawah pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1926-1927.

Klaim Pram atas sangat dominannya pengaruh program pendidkan Politik Etis Belanda atas terjadinya gerakan revolusi kemerdekaan yang akhirnya menghasilkan sebuah negara merdeka baru Republik Indonesia telah melupakan banyak peristiwa sejarah besar yang sangat menentukan proses dekolonisasi Hindia Belanda. Salah satunya adalah terjadinya Perang Dunia Kedua dan kolonialisme Jepang atas Hindia Belanda setelah pemerintah kolonial Belanda lari meninggalkannya! Kolonialisme Jepang dan militerisasi penduduk pribumi serta pelarangan segala hal yang berbau Belanda — termasuk pemakaian bahasa Belanda yang memungkinkan makin populernya bahasa Melayu Pasar yang kelak menjadi Bahasa Nasional Indonesia itu – adalah faktor yang lebih dominan ketimbang sekadar pendidikan borjuis kolonial segelintir kaum priyayi pribumi itu. Revolusi di tahun 1940an adalah revolusi fisik bersenjata, bukan revolusi STOVIA dan hal ini mungkin terjadi setelah kaum pribumi dilatih dan dijadikan pasukan militer Jepang yang kita kenal sebagai PETA (Pembela Tanah Air) itu. Terdapat 69 batalion anggota PETA di Jawa (sekitar 37000 pasukan) dan Sumatera (sekitar 20000 pasukan) pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Tidak seperti Belanda, Jepang memfasilitasi politisasi pribumi sampai ke tingkat desa. Jepang mendidik, melatih dan mempersenjatai banyak pemuda pribumi dan memberikan suara kepada para pemimpin nasionalis. Melalui penghancuran rezim kolonial Belanda dan fasilitasi atas nasionalisme Indonesia, pendudukan Jepang menciptakan kondisi bagi proklamasi kemerdekaan Indonesia beberapa hari setelah Jepang menyerah.

Kalau memang benar seperti propaganda kaum Liberal Belanda bahwa salah satu tujuan dari kebijakan hutang budi Politik Etis adalah membangun kesadaran nasionalisme pribumi Hindia Belanda, kenapa Belanda dengan agresif dan kekerasan militer ingin kembali menjajah Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya sebagai sebuah negara baru di tahun 1945 itu? Belanda bahkan baru 4 tahun kemudian yaitu pada 27 Desember 1949 dan setelah melalui perang bersenjata yang memakan begitu banyak korban materi dan jiwa bersedia mengakui “kedaulatan” Indonesia. Belanda sendiri baru mengakui tanggal kemerdekan Indonesia, 17 Agustus 1945, pada 16 Agustus 2005, sehari sebelum peringatan 60 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia!

Esei Pram “The Book That Killed Colonialism” itu sendiri pada dasarnya tidak membahas novel Max Havelaar secara tekstual tapi hanya bercerita secara umum tentang sejarah hubungan antara rempah dan kolonialisme.

Apa benar Max Havelaar adalah buku yang membunuh kolonialisme? Lebih penting lagi: Apa Max Havelaar memang sebuah novel yang anti kolonialisme?

Max Havelaar adalah sebuah teks yang merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai diskursus kolonial (colonial discourse). Istilah “diskursus kolonial” diperkenalkan oleh Edward Said dalam bukunya yang terkenal Orientalism (1978). Istilah ini dipinjamnya dari konsep “discourse” dari pemikir Prancis Michel Foucault dalam bukunya The Archaeology of Knowledge (1969) yaitu sebuah sistem pemikiran, pengetahuan, atau komunikasi yang mengkonstruksi pengalaman. Sebuah sistem pernyataan di mana dunia bisa diketahui. Sebuah sistem yang dipakai kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat untuk menciptakan medan kebenaran dengan memaksakan pengetahuan, disiplin dan nilai tertentu atas kelompok-kelompok yang didominasi. Sebagai sebuah formasi sosial, sistem ini bekerja menciptakan realitas bukan saja bagi objek-objek yang direpresentasikannya tapi juga bagi subjek-subjek yang membentuk komunitas yang jadi sandarannya. Sistem pemikiran yang terdiri dari ide, sikap, aksi, keyakinan, dan praktek yang secara sistematis mengkonstruksi subjek dan dunia yang mereka bicarakan. Fungsi discourse adalah pemberi ligitimasi atas kuasa masyarakat untuk mengkonstruksi kebenaran kontemporer, merawatnya, dan menentukan relasi kuasa di antara kebenaran yang dikonstruksi tersebut;  discourse adalah medium komunikasi di mana relasi kuasa memproduksi laki-laki dan perempuan yang bisa bicara. Bagi Said, diskursus kolonial adalah jalinan rumit dari tanda dan praktek yang mengatur eksistensi dan reproduksi sosial dalam relasi kolonial. Filologi, leksikografi, sejarah, biologi, teori politik dan ekonomi, novel dan puisi lirik termasuk bagian dari apa yang disebut Said sebagai diskursus kolonial Orientalis itu.

Diskursus kolonial adalah sebuah sistem pernyataan yang bisa dibuat tentang koloni dan bangsa-bangsa kolonial, tentang kuasa kolonial dan relasi antara keduanya. Sebuah sistem pengetahuan dan keyakinan tentang dunia di mana kolonisasi terjadi. Merupakan aturan-aturan inklusi dan eksklusi yang beroperasi dengan asumsi tentang superioritas budaya, sejarah, bahasa, seni, struktur politik dan konvensi sosial penjajah serta keyakinan tentang kebutuhan kaum terjajah untuk diangkat melalui persentuhan kolonial. Diskursus kolonial merepresentasikan kaum terjajah sebagai “primitif” dan kaum penjajah sebagai “beradab”.

Coba kita perhatikan bahasa dan diksi yang dipakai dalam pidato Max Havelaar di awal kedatangannya di Lebak di bawah ini:  

“[…]

Terimalah salam takzim saya.

Ketika Gubernur Jenderal memerintahkan saya untuk datang ke tuan-tuan menjadi Asisten Residen di daerah ini, hati saya gembira. Tuan-tuan sekalian tahu saya belum pernah menginjakkan kaki di Banten Kidul; karena itu saya mencari informasi mengenai daerah tuan-tuan, dan saya lihat banyak hal baik di Banten Kidul. Rakyat tuan-tuan memiliki sawah-sawah di lembah-lembah, dan ada pula sawahsawah di gunung-gunung. Dan tuan-tuan ingin hidup damai, dan tidak ingin hidup di daerah-daerah yang dihuni orang lain. Ya, saya tahu banyak hal baik di Banten Kidul.

Tapi bukan karena itu saja hati saya gembira, sebab di tempat lain pun saya akan bisa menemukan banyak hal baik.

Tapi saya lihat bahwa rakyat tuantuan miskin, dan itulah yang menggembirakan jiwa saya.

Karena saya tahu bahwa Allah cinta orang miskin, dan bahwa Dia melimpahkan kekayaan kepada orang yang hendak diujiNya; tetapi kepada orang miskin diutusNya orang menyampaikan firmanNya agar mereka bangkit dari tengah-tengah penderitaan mereka.

Bukankah Dia memberikan hujan saat rumput akan layu, dan embun di mangkuk bunga yang haus?

Dan bukankah sebuah tugas mulia untuk dikirim mencari mereka yang lelah, yang ketinggalan sesudah selesai bekerja dan jatuh kecapaian di jalan, karena lututnya tak kuat lagi untuk berjalan ke tempat menerima upah? Tidakkah saya akan gembira mengulurkan tangan kepada orang yang jatuh ke dalam parit, dan memberi tongkat kepada orang yang mendaki gunung?

Tidakkah hati saya akan melonjak gembira ketika melihat bahwa saya terpilih di antara yang banyak untuk mengubah ratapan menjadi doa dan tangis menjadi rasa syukur?

Ya, saya sangat gembira berada di Banten Kidul.

Saya katakan kepada perempuan yang berbagi derita dan kebahagian bersama saya:

“Berbahagialah karena Allah telah memberikan karuniaNya kepada anak kita! Dia telah mengutusku ke satu tempat di mana ada pekerjaan yang harus dilakukan, dan Dia anggap aku pantas untuk berada di sana sebelum panen tiba. Kita bersukacita bukan karena memotong padi; kita bersukacita karena memotong padi yang kita tanam sendiri. Dan jiwa manusia bergembira bukan karena upah, tapi karena kerja yang membuatnya menerima upah.” Dan saya katakan kepada perempuan itu: “Allah telah memberikan kita anak; dan akan datang waktunya anak itu akan berkata: ‘Tahukah kalian bahwa aku adalah anaknya?’ dan akan ada orang yang akan menyapa anak itu dengan cinta, yang akan meletakkan tangannya di kepalanya dan berkata: ‘Mari makanlah bersama kami, dan tinggallah di rumah kami, dan ambillah bagianmu dari harta milik kami, karena kami mengenal bapakmu.’”

 Karena, tuan-tuan sekalian, banyak yang harus dikerjakan di Lebak

 Katakan kepada saya, bukankah si pekerja miskin? Bukankah padi menguning sering kali untuk mereka yang tidak menanamnya? Bukankah banyak kesalahan di negeri tuan? Bukankah jumlah anak kalian sedikit?

[…]  

Tak adakah kesedihan kalau berjalan dari sini ke pantai selatan, melihat gunung-gunung yang kering tak berair, atau dataran di mana kerbau tidak pernah meluku?

Ya, ya, jiwa kita bersedih karena semua ini; makanya kita berterimakasih kepada Allah, karena Dia telah memberikan kita kekuatan untuk bekerja di sini.

[…]

Saya dikirim ke sini sebagai kawan kalian, saudara tua kalian. Tidakkah kita harus memperingatkan saudara kita yang lebih muda kalau kita melihat harimau di jalan?

Kepala-kepala negeri Lebak, kita sering melakukan kesalahan dan daerah kita miskin, karena kita banyak melakukan kesalahan.

Di Cikande, Bolang dan Krawang dan daerah-daerah sekitar Batavia banyak tinggal orang-orang yang lahir di daerah kita, dan yang meninggalkan daerah kita.

Mengapa mereka mencari kerja jauh dari tempat mereka menguburkan orang tua mereka? Mengapa mereka meninggalkan kampung tempat mereka disunat? Mengapa mereka lebih suka mencari kesejukan pohon yang tumbuh di sana daripada keteduhan hutan-hutan kita?

Bahkan di barat laut sana, di seberang laut, banyak anak kita yang meninggalkan Lebak dan mengembara di daerah-daerah asing membawa keris, kelewang dan senapan. Dan mereka mati menyedihkan karena pemerintah memiliki kekuatan untuk mengalahkan para pemberontak itu.  

[…]

Tuan-tuan kepala negeri Lebak! Kita semua bekerja untuk Raja Belanda. Tapi dia yang adil dan menginginkan kita melaksanakan tugas kita berada jauh dari sini. Tigapuluh kali beribu-ribu jiwa, bahkan lebih, ada di bawah kuasanya tapi dia tidak bisa berada di dekat semua yang tergantung padanya.

Gubernur Jenderal di Buitenzorg [Bogor] adalah seorang yang adil dan menginginkan setiap orang melaksanakan tugas mereka; tapi walaupun dia sangat berkuasa, memerintah semua otoritas di kota-kota dan para tetua di desa-desa dan berkuasa mengirimkan tentara di darat dan kapal di laut, tapi sama seperti raja, dia tidak bisa melihat di mana ketidakadilan telah terjadi karena jauh darinya.

Tuan-tuan kepala negeri Lebak, siapakah yang akan menjalankan keadilan di Banten Kidul?

[…]

Saya ingin punya hubungan yang baik dengan kalian dan karenanya meminta kalian untuk menganggap saya sebagai kawan. Setiap orang yang bersalah bisa mengharapkan hukuman yang ringan dari saya karena saya sering juga berbuat salah, asal hanya kesalahan atau kelalaian biasa. Hanya waktu kelalaian jadi kebiasaaan, baru saya akan menentangnya. Tapi kesalahan yang lebih parah—tirani dan penindasan, hal demikian tidak akan terjadi….

Baiklah, tuan-tuan kepala negeri Banten Kidul! marilah kita bersukacita bahwa daerah kita miskin sekali. Ada tugas mulia di hadapan kita….”

Banyak contoh lain dalam Max Havelaar di mana kaum pribumi dan budayanya direpresentasikan sebagai segala sesuatu yang negatif dan berlawanan dari Barat, sesuatu Yang Lain, the Other, hingga harus diselamatkan oleh Barat melalui kolonialisme. Panggambaran sang Penjajah sebagai Utusan Tuhan/Allah untuk menyelamatkan Yang Dijajah dari dirinya sendiri merupakan ciri khas novel Max Havelaar yang membedakannya dari mayoritas novel kolonial lain.

Disamping sikapnya yang paternalistik dan orientalis terhadap kaum pribumi, Max Havelaar juga menentang aksi perlawanan pribumi atas kolonialisme Belanda. Hal ini bisa kita lihat dalam pengalamannya di Natal, Sumatera Utara dan di Ambon (di mana dia dengan susah payah berhasil meredam semangat perlawanan kaum pribumi Ambon terhadap pemerintah kolonial Belanda dan merasa jengkel kepada pemerintah kolonial Belanda yang sedikit sekali memberikan bantuan kepadanya!). Max Havelaar bahkan menyatakan tak mengerti kenapa Jenderal Van Damme (nama samaran untuk Gubernur Pesisir Barat Sumatra yang berkedudukan di Padang, Andreas Victor Michiels) tidak menaklukkan Sumatera Utara dan Aceh padahal mudah sekali untuk membuat alasan-alasan untuk penaklukan tersebut walaupun dalam Traktat London 1824 dengan Inggris ada dinyatakan larangan untuk aksi seperti itu. “Mencuri sebuah provinsi selalu lebih mudah daripada mencuri sebuah penggilingan,” kata Max Havelaar.

Siapakah Max Havelaar/Multatuli/ Eduard Douwes Dekker sebenarnya? Apakah sosok mitos yang begitu lama dipropagandakan dan direproduksi terus menerus di Indonesia itu yaitu seorang tokoh kolonial pembela pribumi tertindas Hindia Belanda dan seorang anti kolonialisme? Atau seperti dalam kata-kata Pram: Seorang pejabat kolonial Belanda di Jawa [yang] menyaksikan – dan kemudian memberontak terhadap – sistem tanam paksa yang dibebankan atas para petani Indonesia oleh Pemerintah Belanda?

Dekonstruksi atas mitos tentang Max Havelaar/Multatuli/ Eduard Douwes Dekker ini dilakukan dengan baik oleh seorang penulis Indo bernama Rob Nieuwenhuys dalam bukunya Mirror of the Indies: A History of Dutch Colonial Literature (1982) dan terutama dalam Mitos dari Lebak (2019). Dengan memakai dokumen-dokumen sejarah dari saat keberadaan Max Havelaar/Multatuli/ Eduard Douwes Dekker di Lebak, Rob Nieuwenhuys berhasil membuktikan betapa semua kisah heroik tentang sepak terjang Max Havelaar/Multatuli/ Eduard Douwes Dekker selama bertugas sebagai Asisten Residen di Lebak hanyalah dongeng kosong semata.

Beberapa fakta sejarah berikut saya ambil dari kedua buku Rob Nieuwenhuys di atas yang harus dibaca luas di Indonesia itu.

Eduard Douwes Dekker membuat pengaduan kepada residen Brest van Kempen bahwa bupati di daerah pemerintahannya, yaitu Raden Adipati Karta Natanagara, telah menyalahgunakan kekuasaan dengan melakukan pemerasan. Dia meminta agar bupati Lebak ini diperiksa. Waktu residen yang adalah atasannya itu meminta bukti-bukti atas pengaduannya itu, Douwes Dekker menolak memberikannya dan cuma berkata bahwa dia akan bertanggung jawab atas pengaduannya tersebut. Tentu saja jawaban Douwes Dekker ini tidak bisa diterima atasannya itu yang akhirnya melaporkan aduannya itu ke pejabat yang lebih tinggi otoritasnya. Kita tahu hasilnya adalah aduan Douwes Dekker tersebut membuat dia dicopot jabatannya sebagai Asisten Residen Lebak.

Douwes Dekker sendiri tidak dipecat tapi mengundurkan diri padahal ditawari pekerjaan baru yang sama sebagai Asisten Residen di Ngawi, Jawa Timur.  

Douwes Dekker tidak memahami budaya dan masyarakat Banten tapi begitu menjunjung norma dan nilai Eropa dan menjadikannya sebagai standar ukuran. Seperti terlihat pada pidatonya pada penyambutan kedatangannya di Lebak, sikap Douwes Dekker sangat paternalistik dan orientalis terhadap para bupati dan orang-orang pribumi lainnya.

Pembayaran upeti dan kerja bakti oleh penduduk untuk kepala-kepala adat dalam masyarakat Jawa adalah hal yang biasa. Macam dan jumlahnya berbeda-beda sesuai dengan tempatnya, lebih-lebih tergantung pada keadaan-keadaan yang khusus. Bahkan pemerintah Hindia Belanda telah menetapkannya dalam peraturan-peraturan. Dari sini bisa kita lihat betapa Douwes Dekker telah tidak menghiraukan dan tidak toleran terhadap tradisi lokal yang bahkan telah diakui resmi oleh pemerintahan tempat dia bekerja itu dan memfitnah bupati Lebak yang merupakan kepala adat lokal tersebut sebagai telah melakukan pemerasan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Multatuli/ Eduard Douwes Dekker tidak pernah mengkritik kolonialisme Belanda tapi justru mendukungnya makanya dia berkali-kali bekerja untuk pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Kalau dia memang benar anti kolonialisme, dia pasti akan menolak untuk bekerja bagi kepentingan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda. Dia bukan saja tidak menolak tapi bahkan menjadi salah satu pejabat pemerintah kolonial Belanda tersebut sebagai Asisten Residen!

Alasan utama Multatuli menulis novel Max Havelaar adalah rasa sakit hati yang mendalam karena telah dicopot dari jabatannya sebagai Asisten Residen Lebak yang berarti telah menutup kemungkinan bagi dirinya untuk naik ke kelas sosial tertinggi dalam masyarakat kolonial Hindia Belanda. Begitu parahnya rasa sakit hatinya itu hingga dia dikatakan menyelesaikan penulisan novelnya itu hanya dalam kurang dari tiga minggu!

Waktu pemerintah kolonial Hindia Belanda mengetahui rencana penerbitan novel yang didesas-desuskan akan menggemparkan itu, mereka menghubungi Multatuli dan memintanya untuk tidak menerbitkannya. Multatuli menyatakan bersedia untuk tidak menerbitkan novelnya asal dia diberikan jabatan pemerintahan yang baru yaitu posisi Residen lalu anggota Dewan Hindia Belanda, ditambah uang dalam jumlah yang besar dan medali penghargaan atas jasa-jasanya. (Dalam suratnya bertanggal 20 November 1859 kepada istrinya Tine, Multatuli/ Eduard Douwes Dekker menulis: “Aku telah memikirkannya, dan aku mau menerima usulan Rochussen [Menteri Urusan Koloni] tapi aku punya beberapa persyaratan: 1. Posisi residen, terutama di Passaruang biar bisa membayar hutang-hutangku (daerah ini menghasilkan persenan yang tinggi kepada residennya dari keuntungan pertaniannya); 2. Restorasi atas masa tugasku sebelumnya, untuk dihitung waktu pensiun; 3. Pembayaran uang muka yang besar, dan medali Orde Singa Belanda.  Aku tak mau secara terbuka mengumumkan syarat-syarat ini tapi menunggu apa yang akan dilakukannya.”) Tentu saja persyaratan yang gila-gilaan ini ditolak mentah-mentah oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ini kembali membuktikan bahwa Multatuli menulis Max Havelaar bukan untuk melawan ketidakadilan yang terjadi pada orang-orang pribumi Hindia Belanda tapi sebagai protes atas ketidakadilan yang dianggapnya telah dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda kepada dirinya!  

Max Havelaar bukanlah sebuah protes terhadap pemerintah kolonial yang aksi-aksinya sudah kelewatan batas tapi justru sebuah protes terhadap pemerintah kolonial yang dianggap kurang keras dalam menerapkan kebijakan-kebijakannya. Yang dikritik dengan keras adalah lemahnya sikap pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap jajahannya!

Bagi Multatuli, pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak menerapkan nilai-nilai dan norma-norma Belanda yang adiluhung seperti keadilan dan semangat humanitarian tapi justru lembek terhadap orang-orang pribumi dan membiarkan nilai-nilai pribumi yang dianggapnya negatif itu mempengaruhi nilai-nilai dan norma-norma pencerahan Belanda tersebut. Orang-orang pribumi harus diselamatkan dari nilai dan norma mereka yang korup oleh atasan mereka yang bijaksana yaitu para pejabat pemerintah kolonial Hindia Belanda, dalam kasus Lebak adalah Multatuli sendiri.

Max Havelaar memperjuangkan reformasi sistem kolonialisme Belanda di Hindia Belanda, bukan penghapusan kolonialisme itu sendiri. Karena di bagian akhir novel tersebut Multatuli mengklaim bahwa tokoh bernama Max Havelaar adalah dirinya sendiri sementara Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker maka bisa dikatakan pula bahwa memperjuangkan reformasi sistem kolonialisme Belanda di Hindia Belanda adalah segalanya bagi Multatuli/Eduard Douwes Dekker tapi bukan penghapusannya!

Jangankan membunuh kolonialisme, penyebab langsung lahirnya Politik Etis pun bukan. Max Havelaar bukan satu-satunya buku yang “mengkritik” kebijakan kolonial Belanda di Hindia Belanda di abad 19. Sebelum terbitnya Max Havelaar, kritik atas kebijakan Cultuurstelsel sudah ramai di negeri Belanda. Seperti yang disebutkan Pram sendiri, kaum liberal Belanda sangat gencar melakukan kritik tersebut dan Max Havelaar hanyalah salah satu alat yang dengan lihai mereka manfaatkan. Kaum liberal Belanda inilah sebenarnya yang membuat Max Havelaar jadi seolah-olah buku yang menentang kolonialisme Belanda. Dan ironisnya, setelah tujuan mereka tercapai, justru musuh mereka yaitu kaum konservatif Belanda yang kemudian memakai Max Havelaar untuk menyerang kaum liberal yang sedang berkuasa di Belanda di akhir abad 19!

Kalau benar Max Havelaar adalah buku yang membunuh kolonialisme dan membela kaum pribumi yang tertindas akibat kolonialisme tersebut, bukankah sesuatu yang sangat mengherankan dan sangat ironis bahwa novel tersebut justru jadi semacam bacaan wajib bagi para calon pegawai pemerintahan kolonial di Hindia Belanda, ketimbang dilarang dibaca atau diterbitkan! Bukankah luar biasa juga bahwa buku anti kolonial yang membunuh kolonialisme itu bahkan masuk dalam kurikulum sekolah-sekolah kolonial Belanda! Betapa humanis dan anti kolonialnya kolonialisme Belanda itu!

Bukan cuma Pram yang memuji Max Havelaar setinggi langit, kritikus sastra LEKRA Bakri Siregar pun tidak ketinggalan dengan nyanyian puja pujinya. Dalam bukunya Sedjarah Sastera Indonesia Modern (1964) Bakri Siregar menulis bahwa “dengan pedas Multatuli menuduh kolonialisme dan orang-orang Belanda sebagai yang bertanggung jawab atas penghisapan ekonomi dan penindasan politik zaman cultuurstelsel (tanaman paksa)”. Saya benar-benar takjub. Entah novel Max Havelaar versi mana yang dibaca kedua tokoh besar LEKRA ini!

Sangat ironis betapa kedua tokoh “seni untuk rakyat” ini justru tidak pernah menyebut apalagi membicarakan beberapa novel yang mengungkapkan buruknya kondisi kerja dan kehidupan para kuli pribumi di perkebunan-perkebunan tembakau dan karet kolonial di Deli, Sumatera Utara yang disebut sebagai “penjara luar ruang” (outdoor prison) itu. Novel-novel karya pasangan suami isteri Hungaria-Belanda, Ladislao Szekely dan Madelon Szekely-Lulofs, seperti Tropic Fever: The Adventures of a Planter in Sumatra, Rubber, dan Coolie diterbitkan dalam bahasa Hungaria, Belanda dan Inggris di tahun 1930an dan merupakan pengalaman hidup langsung keduanya di perkebunan-perkebunan Deli tersebut. Novel-novel inilah yang pantas untuk disebut sebagai buku-buku yang membela kaum pribumi yang tertindas dan anti kolonialisme!

Daftar Bacaan:

Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia (2013)

Bakri Siregar, Sedjarah Sastera Indonesia Modern (1964)

Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, Helen Tiffin, Post-Colonial Studies: The Key Concepts (3rd Edition, 2013)

Darren C. Zook, Searching for Max Havelaar: Multatuli, Colonial History, and the Confusion of Empire (2006)

Edward Said, Orientalism (1978)

Homi Bhabha, The Location of Culture (1994)

John McLeod, Beginning Postcolonialism (2nd Edition, 2010)

M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1200 (4th Edition, 2008)

Multatuli, Max Havelaar; or, the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company (Terjemahan Baron Alphonse Nahuÿs, 1868)

Pramoedya Ananta Toer, The Book That Killed Colonialism (New York Times Magazine, 18 April 1999)

Rob Nieuwenhuys, Mirror of the Indies: A History of Dutch Colonial Literature (1982)

Rob Nieuwenhuys, Mitos dari Lebak: Telaah Kritis Peran Revolusioner Multatuli (2019)

Saut Situmorang, Politik Sastra (2009)

Syed Hussein Alatas, The Myth of the Lazy Native (1977)

Oleh: Saut Situmorang

Belum pernah ada film asing yang menimbulkan lalulintas komentar dan caci maki pro-dan-kontra seintens film Korea Parasite (2019) di media sosial Indonesia. Mayoritas memuji-muji karya terakhir sutradara Bong Joon-ho ini setinggi langit setelah Parasite berhasil memenangkan 4 Kategori penghargaan dalam Oscar 2020, setelah tahun sebelumnya dianugerahi penghargaan paling bergengsi dalam dunia film Palme d’Or Cannes 2019.

Isu utama yang jadi topik hangat segala komentar dan caci maki itu adalah judul dari film itu sendiri. Siapakah yang dimaksud sebagai “parasit” dalam film tersebut? Dan bingkai “teoritis” yang dipakai untuk menjawab pertanyaan ini, percaya atau tidak, adalah pandangan kaum Kiri tentang kapitalisme, terutama “Marxisme”. Media sosial Indonesia tiba-tiba berubah menjadi forum Kritik Film Marxis di mana semua yang ikut ambil bagian menjadi Pakar Marxisme dan isme sosialis lainnya!

Komentar-komentar seperti “Parasite merupakan contoh bagus kritik terhadap kapitalisme”, “Bong Joon-ho ngomongin ketimpangan kelas”, “Emang kita baunya beda, cuy. Dan justru masalah “bau” ini nunjukin yang sangat jelas kelss menengah atas tuh ngehe [sic]”, “Bong memaparkan realitas yang kejam dan kemudian merevolusi cara pandang yang didominasi kelas penguasa”, “Parasit di fiom Bong bukan orang miskin. Parasitnya justru kaum kaya yang ongkang-ongkang. Kaum miskin justru digambarkan cerdik. Mereka memanfaatkan kebodohan orang kaya untuk bertahan hidup [sic]”, “Dalam Parasite kaum miskin ini digambarkan cerdik tapi sial, orang kaya digambarkan arogan dan tolol, gampang ditipu oleh penampilan”, membuat saya heran apa mereka ini memang menonton film berjudul Parasite (2019) karya sutradara Korea Bong Joon-ho?!

Bahkan resensi film ini di media online mainstream pun tidak lepas dari bau Marxis-marxisan seperti di media sosial.  

Windu Jusuf dalam IndoProgress, 14 Juli 2019, mendongeng panjang lebar tentang “bau” dan “parfum” tapi lupa menganalisis jalan cerita film yang konon sedang dia bicarakan. Dia menulis “Film yang diganjar Palme d’Or di Cannes 2019 itu mempertentangkan kelas apak dan kelas wangi; kelompok manusia yang tinggal di rumah semi-basement dan bunker, serta kelompok lainnya yang hidup di dalam bangunan megah nan steril; keluarga majikan dan keluarga pesuruh.” Tapi tak sekalipun dia menunjukkan di mana dalam film “pertentangan kelas” yang diklaimnya itu. Dia justru seperti yang saya katakan di atas terlalu asyik bercerita tentang “bau” dan “parfum”.

Adegan penikaman Tuan Park oleh Ki-taek ditafsirnya sebagai “Solidaritas kelas memang bisa muncul dari hal-hal tak terduga dan terwujud dalam perilaku yang tak selalu nampak politis. Bela rasa sesama kaum jelata di Parasite terjalin berkat bau yang katanya mirip lobak basi itu.” Tapi dia tidak menyebutkan bagaimana liciknya Keluarga Kim dalam usaha mereka mengenyahkan pembantu rumah tangga asli Keluarga Park yaitu Moon-gwang yang merupakan istri dari Geun-sae yang tiba-tiba muncul di acara pesta ulang tahun anak Keluarga Park di mana penikaman tersebut terjadi. Kemunculan mendadak suami Moon-gwang itu sendiri adalah untuk menghabisi Keluarga Kim yang telah mencelakai istrinya sebelumnya di ruang bawah tanah rumah Keluarga Park! Sebuah solidaritas kelas?!

Klimaks dari fetishisme atas Parasite ini adalah film tersebut “akan ditayangkan di saluran tvN Movies di paket Nomat Transvision, Sabtu 15 Februari 2020” menurut CNN Indonesia, 13/02/2020! Belum pernah ada film Indonesia yang langsung ditayangkan stasiun televisi lokal seperti ini dalam sejarah perfilman di negeri ini!

***

Ada tiga keluarga yang jadi tokoh utama cerita dalam Parasite dan dua orang tokoh minor. Ketiga keluarga tersebut adalah Keluarga Kim yaitu ayah Ki-taek, ibu Chung-sook, putri Ki-jung dan putra Ki-woo, Keluarga Park (ayah Dong-ik, ibu Yeon-gyo, putri Da-hye, dan putra  Da-song) dan Keluarga Pembantu Keluarga Park (istri Moon-gwang dan suaminya Geun-sae). Kedua tokoh minor adalah Min-hyuk teman Ki-woo dan Yoon supir Keluarga Park.

Sebagian besar plot cerita berlangsung di rumah Keluarga Park dengan beberapa adegan terjadi di apartemen semi ruang bawah tanah Keluarga Kim.

Siapakah sebenarnya yang dimaksud sebagai “parasit” dalam film tersebut?

Menurut kamus Merriam-Webster Online, parasit adalah:

“1: a person who exploits the hospitality of the rich and earns welcome by flattery

2: an organism living in, with, or on another organism in parasitism”.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online memberikan definisi:

“parasit/pa·ra·sit/ n 1 benalu; pasilan; 2 organisme yang hidup dan mengisap makanan dari organisme lain yang ditempelinya; 3 ki orang yang hidupnya menjadi beban (membebani) orang lain”.

Menurut Encyclopaedia Britannica, parasitisme adalah “relationship between two species of plants or animals in which one benefits at the expense of the other, sometimes without killing the host organism” sementara menurut Wikipedia “In evolutionary biology, parasitism is a symbiotic relationship between species, where one organism, the parasite, lives on or in another organism, the host, causing it some harm, and is adapted structurally to this way of life.”

Seorang pengamat film Korea Selatan Seo Hee Im menulis tentang film Parasite di Los Angeles Review of Books, 18 September 2019:

“The parasites in question are a family of four who insinuate their way into an affluent family’s mansion as English tutor, art therapist, driver, and housekeeper, a scheme that requires ousting those already in the positions. Bong not only has the family variously crawling, slithering, and scuttling around on all fours or on stomachs; three of the family members — Ki-taek (Song Kang-ho), Ki-woo (Choi Woo-shik), and Ki-jung (Park So-dam) — share the first syllable of their names with Gisaengchung, or parasite in Korean.” 

Bahkan ketiga nama tokoh Keluarga Kim yang miskin itu yaitu Ki-taek, Ki-woo, dan Ki-jung memiliki silabel-pertama yang sama dengan kata “Gisaengchung” alias parasit dalam bahasa Korea!

Sekarang mari kita perhatikan bagaimana tingkah laku Keluarga Kim digambarkan dalam film itu sendiri.

Sejak dari adegan pertama di apartemen Keluarga Kim kita ditunjukkan kelakuan parasit Keluarga Kim yang mencuri-pakai koneksi internet tetangganya dan bagaimana mereka berusaha memaksa agar pesanan kotak kardus pizza yang mereka kerjakan dibayar penuh walau “satu dari empat” kardus tersebut rusak tak dapat dipakai.

Puncak dari aksi parasit mereka ini adalah ketika mereka sekeluarga berhasil dengan segala tipu daya menjadi tutor bahasa Inggris, therapis seni, supir dan pembantu rumah tangga Keluarga Park.

Bahkan Ki-woo menghianati sahabatnya sendiri Min-hyuk yang telah memberinya pekerjaan sebagai tutor bahasa Inggris yang berpesan agar dia menjaga Da-hye selama Min-hyuk sekolah di luar negeri. Min-hyuk jatuh hati pada Da-hye dan bermaksud akan mulai dating dengannya setelah Da-hye tamat sekolah menengah. Min-hyuk memilih Ki-woo untuk menggantikannya sebagai tutor bahasa Inggris Da-hye karena dia mempercayai sahabatnya itu dibanding kawan-kawan kuliahnya yang juga naksir Da-hye. Tanpa sepengetahuan Keluarga Park tapi diketahui oleh keluarganya sendiri, dan mereka restui tentu saja, Ki-woo memacari Da-hye putri Keluarga Park yang masih di bawah umur itu!

Sikap Yeon-gyo, ibu Keluarga Park, waktu pertama kali menerima Ki-woo sebagai tutor bahasa Inggris putrinya pun tidak angkuh atau tinggi hati layaknya stereotipe ibu rumah tangga keluarga kaya raya. Setelah Ki-woo “lulus tes” hari pertama memberikan tutor kepada Da-hye di bawah pengawasan langsung Yeon-gyo, Yeon-gyo malah menaikkan upahnya lebih tinggi daripada yang diberikan kepada tutor sebelumnya Min-hyuk. (Soal kenaikan upah ini, bukan Ki-woo saja yang mengalaminya tapi kemudian juga dialami Ki-taek untuk kerja lembur dan Ki-jung untuk datang ke pesta ulangtahun Da-song di bagian akhir film) Bahkan sikap ramah tamah Yeon-gyo kepada Ki-woo itu ditunjukkan dengan menyatakan kepada Ki-woo untuk meminta apa saja yang dibutuhkannya kepada Moon-gwang pembantu rumah tangga Park!

Betapa kontras sikap ibu rumah tangga Keluarga Park yang kaya raya ini dengan sikap ibu Ki-woo sendiri di awal film waktu sahabatnya Min-hyuk datang berkunjung ke apartemen mereka. Sebelum masuk ke dalam apartemen Keluarga Kim, Min-hyuk malah sempat mengusir seorang pemabuk yang ingin kencing di dekat jendela apartemen mereka. Min-hyuk membawa sebuah hadiah kepada Ki-woo yaitu sebuah karya seni dari batu alam yang disebut suseok (scholar’s rock) buatan kakeknya yang diyakini bisa membawa kekayaan material kepada pemiliknya. Tapi apa reaksi ibu Ki-woo? Ketimbang mengucapkan terima kasih, dia malah menyelutuk bahwa (membawa) makanan jauh lebih baik! Ironisnya lagi, kedatangan Min-hyuk ke apartemen Keluarga Kim itu justru ingin memberikan pekerjaan kepada Ki-woo yang pengangguran!

Yang mengherankan adalah klaim bahwa Keluarga Park yang kaya raya itulah yang “parasit” karena mereka memberikan pekerjaan kepada Keluarga Kim yang miskin! Bahkan ada yang menyatakan bahwa Keluarga Park hidupnya cuma “ongkang-ongkang kaki” saja! Ajaib betul ada keluarga yang kerjanya cuma ongkang-ongkang kaki saja tapi bisa kaya raya! Padahal jelas ditunjukkan dalam film bahwa Dong-ik kepala Keluarga Park bekerja dan Ki-taek menyupirinya ke kantor!

Kalau memang benar bahwa Parasite adalah sebuah “kritik atas kapitalisme”, seperti yang diklaim kebanyakan komentator Indonesia baik di media sosial maupun media online, mengapa tidak pernah sekalipun kapitalisme itu dinampakkan sosoknya? Mengapa kemiskinan Keluarga Kim tidak dijelaskan penyebabnya? Justru apa yang kita lihat digambarkan dengan sangat baik dan detil adalah betapa tidak bermoral dan tidak beretikanya Orang Miskin itu hingga mereka akan melakukan apa saja cuma demi untuk mengubah kondisi hidupnya, untuk menaikkan status kelas sosialnya!

Bagaimana mungkin sebuah film yang dengan sangat detil menggambarkan betapa licik dan jahatnya sebuah Keluarga Miskin dalam usahanya untuk bisa bekerja di rumah sebuah Keluarga Kaya –sementara si Keluarga Kaya yang jadi korban kelicikan dan kejahatan tersebut digambarkan lugu dan “baik” dan tidak pernah sekalipun dijelaskan bagaimana mereka bisa jadi begitu kaya raya– tidak bisa disebut sebagai film yang Menghina Orang Miskin dan Kemiskinan?! Saya bahkan diserang dengan sengit di media sosial karena berani menyatakan hal tersebut! Mungkin saya, seperti Keluarga Kim dalam film, telah “melampai batas” dari apa yang mesti dikatakan dan tidak boleh dikatakan tentang film tersebut!

Apakah mereka yang menganggap film Parasite bukan film yang Menghina Orang Miskin dan Kemiskinan menonton film yang berbeda tapi berjudul sama?!

Dari awal sampai akhir film, Orang Miskin digambarkan sebagai Parasit, bukan cuma sekadar parasit yang merugikan tapi yang juga membunuh sesama Orang Miskin demi bisa hidup! Malah Orang Kaya pun jadi korban pembunuhan Orang Miskin cuma karena Orang Kaya itu terlalu jujur dengan penciumannya atas Bau tubuh si Orang Miskin. Padahal, ironisnya, Orang Kaya itu dianggap “orang baik” oleh si Orang Miskin! Kalau film ini dianggap cuma sebuah Satire Sosial maka inilah satire sosial bikinan kaum Borjuis yang paling buruk dalam sejarah film!

Tentang “realitas Korea” atau Hell Chosun yang diklaim direpresentasikan dalam film, seorang penulis Korea lain Hahna Yoon menulis begini di The Guardian, 5 Februari 2020:

“South Korea’s millennials are some of the most educated in the world – with 70% aged 24 to 35 having some form of tertiary education. (In real life, could Ki-woo have scored so poorly on the exam that he was not accepted into any university whatsoever? Unlikely.) Bong is praised for highlighting Hell Chosun – a term to describe the socioeconomic conditions

that make it a nightmare to get a job even after receiving a degree but, ironically, this term barely applies to the Kims. Without degrees, it is more likely they would look for work in a sector with a huge labour shortage – such as factory production … or housework.”

Seandainyapun kedua anak Keluarga Kim (Ki-woo dan Ki- jeong) tidak memiliki gelar sarjana, sebenarnya bisa saja mereka mencari pekerjaan di sektor yang masih sangat membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar, seperti di pabrik atau pembantu rumah.

Jadi masalahnya bukan ketidakadaan pekerjaan tapi kemalasan. Kemalasan yang diperparah dengan kerakusan. Sudah malas mencari pekerjaan yang sesuai dan tersedia, mereka juga rakus ingin memiliki kemewahan hidup seperti pada keluarga berada, dalam hal ini Keluarga Park yang kaya raya.

Bong Joon-ho bermain dengan stereotipe kelas-pekerja tapi dia gagal menganalisis sistem yang menciptakan Keluarga Kaya dan Keluarga Miskin dalam filmnya itu. Alih-alih jadi kritik atas kapitalisme, Parasite malah jadi peringatan atas bahaya kalau mempercayai kelas pekerja!

Ketimbang membela Orang Miskin, film Parasite justru mendikte mereka. Orang Miskin jadi miskin karena mereka malas dan secara moral tidak bisa dipercaya. Orang Miskin cuma jadi objek rasa kasihan atau lelucon yang menghibur. Sederhananya: Orang Kaya dan Orang Miskin tidak mungkin berintegrasi, tidak mungkin berubah walau dengan kekerasan sekalipun. Keduanya dikutuk untuk menjadi Orang Kaya dan Orang Miskin. Kalau “batas kelas” ini dilewati maka hanya kekerasan dan pembunuhan yang akan terjadi seperti yang dengan sangat detil digambarkan dalam film tapi realitas kelas sosial itu sendiri, keberadaan Orang Kaya dan Orang Miskin, tidak akan berubah.  

Satu hal yang mengherankan tentang reaksi atas film Parasite adalah waktu film tersebut memenangkan Palme d’Or di Cannes 2019 perbincangan tentangnya di media sosial Indonesia bisa dikatakan nyaris tidak ada sama sekali, tapi begitu film tersebut memenangkan 4 kategori penghargaan Oscar tiba-tiba saja media sosial Indonesia penuh dengan perbincangan atasnya yang rata-rata merupakan puja-puji setinggi langit yang belum pernah diterima film manapun sebelumnya. Pertanyaannya sekarang: Apakah publik penonton film Indonesia begitu terbius oleh segala pencitraan glamour Oscar di media massa hingga memenangkan penghargaan di Oscar dianggap segalanya dan mengharamkan kritik atasnya apalagi kalau yang menang itu adalah sebuah film “Asia”?!

Saya akan menjawab tulisan Ariel Heryanto yang muncul di The Conversation, 28 Januari 2022 di bawah. Jawaban-jawaban saya akan langsung saya tuliskan di bawah paragraf-paragraf tulisannya tersebut.

=========

Kapan Siap Menghadapi “Bersiap”?: Mendalami Polemik Periode Kekerasan Pasca-Proklamasi Indonesia

Oleh: Ariel Heryanto

Gara-gara seorang sarjana Indonesia dilaporkan polisi di Belanda, publik Indonesia menengok kembali kekerasan pasca Proklamasi 1945 yang jarang dibahas.

Saut Situmorang (SS):

Publik Indonesia mana yang dimaksud?! Sepengetahuan saya, cumak segelintir kecil Orang Indonesia yang mau repot-repot membicarakannya yaitu beberapa sejarawan Indonesia dan Orang Indonesia Diaspora yang pro Belanda kayak si Ariel Heryanto sendiri. Publik Indonesia di Indonesia secara umum tidak ada yang membicarakannya, peduli pun tidak!

=========  

Kontroversi “Bersiap” dipicu oleh sebuah tulisan di Belanda dengan judul provokatif Hapus Istilah Bersiap, karena Rasis. Penulisnya Bonnie Triyana, satu dari empat kurator sebuah pameran tentang Revolusi Indonesia di Rijkmuseum, Amsterdam, Belanda. Di alinea kedua tertulis tim kurator pameran telah memutuskan tidak akan menggunakan istilah “Bersiap”.

SS:

Kontroversi itu HANYA terjadi di Belanda! Persoalannya adalah (tapi tidak dijelaskan oleh Ariel Heryanto!) bahwa istilah “Bersiap” itu merupakan istilah ciptaan Belanda yang maknanya sangat tendensius membela kepentingan kolonial Belanda dalam periode 1945-1949. Indonesia TIDAK mengenal istilah tersebut! Yang kita kenal adalah istilah “perang kemerdekaan” atau “perang revolusi”. Saya jadi bertanya-tanya kenapa Ariel Heryanto TIDAK menjelaskan arti sebenarnya dari istilah bikinan Belanda itu!

=========

Untuk memahami duduk persoalan ini secara jernih, kita perlu bebas dari perangkap dikotomi Belanda/Indonesia yang berpuluh tahun menjerat diskusi publik tentang kolonialisme Hindia Belanda.

SS:

Pernyataan lucu dan ahistoris ini! Kenapa kita perlu bebas dari perangkap dikotomi Belanda/Indonesia sementara isunya adalah Sejarah Kolonialisme Belanda di Indonesia?! Apakah bagi Ariel Heryanto fakta penjajahan yang berusia ratusan tahun itu TIDAK penting sama sekali?! Penjajahan Belanda itu bisa begitu saja dikesampingkan untuk “memahami duduk persoalan secara jernih”?! Secara jernih bagi dan untuk siapa?!

=========  

“Bersiap” sering dipahami secara sempit sebagai kekerasan “antikolonial” pasca-proklamasi oleh warga terjajah terhadap orang Belanda atau warga lain yang dianggap sekutunya. Sejumlah kesaksian, misalnya jurnalis Indonesia Kwee Thiam Tjing dalam bukunya Indonesia dalem Api dan Bara, juga beberapa saksi-mata yang berkisah secara lisan kepada saya memberikan gambaran lebih luas.

SS:

Kenapa dibilang “secara sempit”?! Apa periode yang disebut Belanda sebagai “Bersiap” itu BUKAN periode di mana Belanda masuk kembali ke Indonesia yang sudah memproklamasikan kemerdekaannya itu untuk menjajahnya kembali?! Hello, Ariel! Jadi bagi Ariel Heryanto Perang Melawan Kembalinya Belanda itu BUKAN perang anti-kolonal!

=========  

Pelaku, korban dan motivasinya beraneka macam. Ada faktor politik, ada dendam rasial, ada kekerasan seksual, ada berbagai penjarahan harta tanpa muatan politik atau rasisme tapi kelas sosial.

SS:

Karena Ariel Heryanto MENOLAK mempertimbangkan latarbelakang Kolonialisme Belanda sebagai Konteks maka cuma kayak di ataslah yang mampu dia katakan! Intinya: Bagi Ariel Heryanto, apa yang disebutnya sebagai “kekerasan” itu adalah disebabkan oleh semua hal KECUALI penjajahan Belanda! Orang Indonesia memang udah dari sononya sukak bikin kekerasan baik politik, rasial dan seksual!

=========  

Banyak pihak meyakini keturunan Indo (Eropa-Indonesia) menjadi korban utama, walau ada kemungkinan korban orang Indonesia justru lebih besar.

Bonnie menolak istilah “Bersiap” karena menurutnya istilah itu “selalu menampilkan pelaku kekerasan semata hanya orang Indonesia yang dipersepsikan biadab”.

Selalu? Beberapa orang heran dengan tuduhan itu. Sayang, Bonnie tidak memberikan satu pun contoh atas tuduhan berat ini.

SS:

Lha, Ariel Hertanto sendiri kok gak ngasih satu pun contoh untuk membantah apa yang dikatakan si Bonnie Triyana di atas! Bantah jugak dong dengan bukti bahwa itu salah!

=========  

Kontroversi “Bersiap” meledak, bukan semata-mata karena sebuah artikel opini atau pameran tahun ini. Sumber masalahnya: sudah beberapa dekade peristiwa itu tak masuk dalam wacana resmi sejarah nasional di Belanda maupun di Indonesia. Ia hanya dibahas dengan pedih oleh beberapa warga pinggiran yang tersebar di berbagai kawasan dunia. Baru belakangan bertambah kaum muda yang mulai tahu.

SS:

Kenapa peristiwa “Bersiap” yang adalah diskursus kolonial bikinan Belanda itu harus masuk dalam wacana resmi sejarah nasional Indonesia?! Kenapa perspektif kolonial Belanda tentang aksi kolonialnya di Indonesia harus jadi wacana resmi Sejarah Nasional Indonesia?! Kembali dia tidak mampu menjelaskannya.

=========  

Hingga kini, hal yang menonjol dalam debat mutakhir adalah dikotomi Indonesia lawan Belanda. Seakan-akan ada dua kubu yang secara mutlak bertolak belakang, masing-masing seragam bersatu-padu di kubunya.

SS:

Memang begitulah Sejarah Kolonialisme itu di mana-mana, Mister Ariel! Cobak tunjukkan apa ada yang tidak demikian!

=========  

Untung, tidak semua warga di Belanda maupun Indonesia termakan pandangan hitam-putih demikian. Namun seperti biasa, suara yang paling ekstrem dalam sebuah kontroversi terdengar paling nyaring di ruang publik.

SS:

Seperti biasa, kembali dia gagal menunjukkan bukti.

=========  

Tidak Hitam Putih

Masyarakat Belanda maupun Indonesia tidak seragam menanggapi “Bersiap”. Buktinya Rijkmuseum dijepit dua tuduhan hukum yang bertolak-belakang. Ia digugat Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda bila tetap menggunakan istilah “Bersiap”. Sebelumnya museum itu (selain Bonnie) diancam akan digugat oleh Federatie Indische Nederlanders (FIN) atau Federasi Indo Belanda bila tidak menggunakan istilah yang sama.

SS:

Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) itu BUKAN masyarakat Indonesia, Ariel! Fokus, bro, fokus, ckckck…

=========  

Para penggugat dan tergugat sama-sama warga Belanda. Tapi tak satu pun di antara mereka mewakili masyarakat Belanda secara umum.

Maka aneh jika ada tuduhan bahwa istilah “Bersiap” dimaknai secara tunggal di sana dan “selalu menampilkan pelaku kekerasan semata hanya orang Indonesia yang dipersepsikan biadab”.

SS:

Makna istilah “Bersiap” itu bagi Belanda kan memang “tunggal di sana” dan “selalu menampilkan pelaku kekerasan semata hanya orang Indonesia yang dipersepsikan biadab”! Liat aja isi artikel-artikel di media massa Belanda yang menulis tentang hal tersebut. Dan kenapa kembali Ariel tidak menunjukkan bukti yang sebaliknya?! KUKB adalah suara sangat minoritas di Belanda dan merekalah yang pertama kali secara serius dan aktif menyuarakan penolakan atas pemakaian istilah “Bersiap” di Belanda hingga mereka berhasil menuntut pemerintah Belanda atas kejahatan perang yang dilakukan Belanda di Indonesia dalam periode yang disebut “Bersiap” tersebut! Kemenangan para Korban Indonesia atas kejahatan perang Belanda di Rawa Gede dan Sulawesi Selatan adalah hasil kerja KUKB!

=========  

Seandainya masyarakat Belanda masa kini secara umum serasis yang dibayangkan dalam debat itu, mungkin tak akan ada pameran tentang revolusi Indonesia di sana tahun ini. Tidak ada orang Indonesia diundang jadi anggota tim kuratornya. Tak ada debat tentang “Bersiap” yang sekarang marak.

SS:

Ngakak awak baca kenaifan diskursus ini! Emangnya pameran tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk bersuara tentang periode “Bersiap” ya?! Emangnya pameran itu inisiatif Indonesia ya?! Lantas kenapa begitu salah seorang dari kedua kurator Indonesianya menulis memprotes tentang pemakaian istilah “Bersiap” dalam pameran tersebut reaksinya di Belanda begitu norak?! Bahkan direktur museum dan salah seorang kurator Belanda tidak mendukung isi tulisan Bonnie Triyana tersebut dan menyebutnya d media sebagai “pendapat pribadi Bonnie Triyana”! Bukankah debat tentang “Bersiap” itu marak setelah tulisan Bonnie Triyana itu muncul di sebuah media di Belanda?! Hello, anybody home?!

=========  

Tuduhan bahwa Indonesia menyangkal “Bersiap” sama sesatnya dengan tuduhan Belanda menyangkal kejahatan kolonialisme Belanda. Sudah beberapa tahun orang Indonesia membahas topik Bersiap, walau topik itu diabaikan dalam wacana kenegaraan resmi. Bahkan majalah historia yang dipimpin Bonnie sendiri ikut menggunakan istilah itu.

SS:

Kok kembali gak ditunjukkan bukti bahwa “sudah beberapa tahun orang Indonesia membahas topik Bersiap”?! Majalah Historia ikut menggunakan istilah tersebut apa dengan pengertian kayak yang Bonnie Triyana tuliskan di artikelnya yang menimbulkan reaksi norak kaum kolonial itu atau dengan pengertian lain? Profesor kok ke gini nulis ya, ckckck…

=========  

Kejahatan tentara Belanda (di bawah komandan pasukan Belanda Raymond Westerling yang terkenal dengan Pembantaian Westerling (1946-1947) di Sulawesi Selatan) semasa Revolusi Indonesia dibongkar habis-habisan dalam film De Oost, produksi Belanda sendiri.

SS:

Trus kenapa?! Bukankah udah memang wajar dan udah waktunya bagi Orang Belanda untuk mulai mendekonstruksi sejarah kolonialisme mereka kayak yang terus menerus dipropagandakan pemerintah mereka itu baik di sekolah-sekolah maupun media massa? Film ini BUKAN suara mayoritas Orang Belanda apalagi suara pemerintah Belanda makanya film ini diserang habis-habisan termasuk oleh putri Westerling yang membuat klaim bahwa film tersebut adalah produksi Indonesia!

=========  

Wacana resmi sejarah nasional disusun dengan kerangka dikotomis penjajah/terjajah, kawan/lawan, baik/jahat. Nyaris tak ada ruang di antara atau di luar dua kubu yang dipertentangkan secara mutlak-mutlakan itu. Pemikiran resmi itu berkembang-biak dalam kehidupan sosial sehari-hari dalam berbagai bentuk, dari pidato, poster, film, sampai komik dan lawakan.

SS:

Bagi Ariel Heryanto, sejarah kolonialsme itu adalah abu-abu makanya pihak penjajah tidak bersalah seratus persen. Orang Indonesia dijajah Belanda beratus tahun adalah kerna kesalahan Orang Indonesia jugak, bukan cumak kesalahan Belanda, walau yang beruntung dari penjajahan tersebut cumak Belanda!

=========  

Warga Keturunan Jadi Korban Lagi

Dalam debat “Bersiap” yang terkurung sangkar dikotomi Belanda/Indonesia, identitas Indo secara global sekali lagi menjadi korban, setelah mereka jadi korban pada tahun 1940-1950an. Identitas Indo ini merujuk pada orang keturunan campuran Eropa dan Indonesia.

SS:

Mestinya kan Ariel Heryanto jelaskan di sini kenapa. Kenapa orang Indo-Belanda jadi korban? Bagaimana posisi dan status sosial, ekonomi, politik kaum Indo ini selama penjajahan Belanda? Apa mereka menganggap diri mereka bagian dari Indonesia atau Belanda? Bukankah hal-hal elementer tentang latarbelakang historis kaum Indo kayak gini harus dibicarakan kalok kita memang serius mau menciptakan wacana sejarah yang jernih? Dari awal tulisannya Ariel Heryanto kan cumak menuduh Orang Indonesia doang, malah cenderung memfitnah! Sangat hitam-putih walo pretensinya sejarah itu harus dimaknai secara abu-abu!

=========  

Sosok dan suara mereka tersisih karena tak mudah masuk dari salah satu kubu Belanda/Indonesia dalam perdebatan.

Di Belanda, mereka bukan Indonesia. Tapi mereka dianggap “kurang Belanda” karena “tercemar” unsur “Indonesia”. Sedangkan di Indonesia, mereka di-Belanda-kan dan diposisikan di kubu musuh, karena tidak sepenuhnya “pribumi”. Dikotomi Belanda/Indonesia masih dipelihara sebagian warga di kedua negara yang punya sejarah panjang memuliakan fiksi “kemurnian” etnis atau ras.

SS:

Di zaman Hindia Belanda, bagaimana status para Indo itu dalam hierarki sosial masyarakat kolonial? Yang memposisikan mereka sebagai “tidak sepenuhnya pribumi” itu Orang Indonesia ato diri mereka sendiri?! Indonesia punya sejarah panjang “memuliakan fiksi “kemurnian” etnis atau ras”?! Mana contohnya?! Keberadaan Orang India, Cina dan Arab dan kebudayaan mereka yang sudah beratus tahun itu di Indonesia apakah contoh dari “sejarah panjang memuliakan fiksi “kemurnian” etnis atau ras” itu?! Apakah genosida rasial pertama yang terjadi di Indonesia pada tahun 1740 di Batavia dilakukan Orang Indonesia? Apa pernah terjadi genosida rasial sebelumnya di Indonesia? Bagaimana, Ariel?

=========  

Gara-gara “Bersiap”, ribuan warga Indo berusaha menyelamatkan diri dengan mengungsi ke berbagai kawasan dunia.

SS:

Kalok Belanda tidak berusaha untuk kembali menjajah Indonesia dan didukung oleh mayoritas kaum Indo itu apa eksodus ini akan terjadi? Hello, Ariel!

=========  

Banyak yang menetap di tanah air sendiri (Indonesia), entah karena memilih atau tertinggal.

Mereka yang mengungsi merasa terasing di tempat yang baru, termasuk Belanda. Di sebagian negara, hingga hari ini mereka membuat perkumpulan sambil bernostalgia tentang Tempo Doeloe. Tempoe Doelole merujuk pada istilah populer yang biasa digunakan berbagai perkumpulan untuk merujuk sebuah masa di Hindia Belanda sebelum dinamakan Indonesia.

SS:

Nostalgia kaum kolonial atas negeri yang pernah mereka jajah. Orientalisme kaum penjajah yang udah jadi pecundang. Dan tragisnya, hal ini dianggap penting bagi seorang Intelektual Indonesia!

=========  

Yang di Belanda tidak hanya berkumpul untuk nostalgia. Mereka aktif terlibat dalam masalah politik setempat, misalnya aktif di FIN

Agaknya hanya warga Indo di Indonesia yang tidak terhimpun secara organisasi formal. Mereka berbeda tidak hanya dari warga Indo di benua lain. Mereka juga berbeda dari komunitas Peranakan Tionghoa, Arab dan India di tanah air, maupun negara tetangga yang terhimpun dalam berbagai organisasi dan tampil publik merayakan warisan leluhurnya.

Sebelum pandemi, saya mewawancarai sejumlah warga Indo di Jawa sebagai bagian dari sebuah riset yang terhambat pandemi. Kesan awal saya, trauma dari masa “Bersiap” masih berat bagi mereka. Seakan-akan mereka rela membiarkan identitas dan sejarah leluhurnya punah dan membiarkan generasi mudanya tak tahu-menahu.

SS:

Bagaimana dengan trauma Orang Indonesia atas penjajahan Belanda yang beratus tahun itu, Ariel? Saya kehilangan kampung nenek moyang saya di Tanah Batak kerna Belanda kimaknya itu membakarnya dan melarangnya untuk dihuni kembali kerna penghuni kampung membantu Sisingamangaraja XII melawan Belanda. Kenapa kau tidak tertarik untuk menulis tentang ini, Ariel? Kenapa kau tidak wawancarai para Korban Westerling di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, Ariel? Masih banyak loh mereka yang masih hidup dibanding para Indo pujaan hati kau itu!

=========  

Pertanyaan Untuk Generasi Muda

Masa depan adalah milik generasi muda dari semua latar belakang etnis. Untuk memahami masa depan, mereka layak memahami masa kini. Untuk memahami masa kini, mereka perlu memahami masa lampau.

Mereka bebas bertanya: setelah berpuluh tahun dibicarakan tanpa mendapat banyak perhatian publik, mengapa baru sekarang “Bersiap” mendadak ribut diperdebatkan. Mengapa masih cenderung diperdebatkan dengan kerangka dikotomi yang hitam putih ala abad lalu? Jawabnya tak perlu ditunggu dari generasi tua semacam saya.

SS:

Saran saya bagi generasi muda Indonesia: Pelajarilah sejarah dengan benar, dengan jujur, bukan kerna ingin dapat dana dari luar Indonesia dan demi karier akademik yang biasa-biasa aja pencapaiannya. Jangan lupa baca buku-buku Teori Pascakolonial dan Dekolonial biar gak norak kayak para “intelektual” Dunia Ketiga yang numpang hidup di Barat tapi purak-purak gak tau apa yang terjadi atas kaum Aboriginal Australia, apa yang terjadi atas kaum imigran Dunia Ketiga di Belanda tapi sok bicara tentang nasib kaum minoritas!

Catatan:

Tulisan Ariel Heryanto bisa dibaca di https://theconversation.com/kapan-siap-menghadapi-bersiap-mendalami-polemik-periode-kekerasan-pasca-proklamasi-indonesia-175836

            Jakarta, 25 Januari 2022

            Anggota Komite Nobel Sastra yang terhormat,

            Kami yang bertanda tangan di bawah ini (total 536 penulis, editor, penerjemah, penggiat sastra, dan anggota masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Anti Manipulasi Sastra Indonesia) menulis surat ini untuk menolak usulan Komunitas Puisi Esai untuk mengajukan pendirinya, Denny Januar Ali, atau lebih dikenal dengan Denny JA, sebagai calon penerima Nobel Sastra.

               Sejak 20 Desember 2021, siaran pers Komunitas Puisi Esai telah menyebar ke sejumlah media di Indonesia, yang memuat informasi bahwa komunitas tersebut telah menerima surat undangan dari Anda untuk mengajukan nama agar dipertimbangkan sebagai calon penerima Hadiah Nobel Sastra tahun 2022. Disebutkan pula bahwa komunitas tersebut telah memutuskan mengajukan nama Denny JA untuk dipertimbangkan oleh Akademi Swedia.

               Dalam sebuah pernyataan kepada Jawapos.com, sebuah media daring nasional, Koordinator Pelaksana Komunitas Puisi Esai, Irsyad Muhammad, menyatakan bahwa “Denny JA menjadi sastrawan Indonesia kedua yang pernah secara resmi dicalonkan dengan prosedur resmi melalui undangan Panitia Nobel, setelah Pramudya [sic] Ananta Toer,”

               Sejak itu, Denny melalui halaman Facebook-nya menerbitkan setidaknya 16 esai, ditulis oleh pengikutnya, untuk mendukung berita tersebut, dengan penekanan bahwa komunitasnya telah menerima surat undangan dari Komite Nobel (meski tidak pernah benar-benar menunjukkan salinannya), termasuk menerbitkan berbagai postingan untuk menegaskan kembali klaim bahwa Denny merupakan penulis Indonesia kedua yang telah jadi nominee — alih-alih baru nama yang diajukan untuk dipertimbangkan sebagai nominee — untuk Hadiah Nobel Sastra, setelah penulis besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer (yang nominasinya telah dikabarkan selama bertahun-tahun tetapi belum dapat dikonfirmasi karena, sebagaimana tercantum dalam situs resmi Hadiah Nobel, nama-nama nominee Nobel tidak dapat diumumkan hingga 50 tahun setelah pencalonan).

               Dalam unggahan Facebook pada 15 Januari 2022, Denny bahkan menerbitkan mockup prangko bergambar ilustrasinya dan tulisan “The Nobel Prize Nominee”.

               Upaya penyesatan publik ini makin menambah daftar panjang manipulasi sastra yang dilancarkan Denny sejak tahun 2012. Taktiknya yang sering licik demi melambungkan namanya sendiri, termasuk dengan menyebarkan berita palsu tentang statusnya sebagai nominee Nobel Sastra, meyakinkan kami bahwa dia bukan calon yang cocok sebagai nominee, apalagi untuk menjadi pemenangnya.

               Sebagai bahan pertimbangan, berikut ini kami uraikan aktivitas manipulatif Denny JA di kancah sastra Indonesia dari tahun 2012 hingga saat ini.

Denny JA dan Pseudo-Invensi “Puisi Esai”nya

               Denny, seorang pengusaha dan konsultan politik, tidak dikenal oleh pembaca Indonesia sampai diterbitkannya kumpulan “puisi esai” Atas Nama Cinta, pada April 2012. Buku itu diberi label “Genre Baru Sastra Indonesia”.

               Klaim Denny bahwa ia telah menemukan genre sastra baru “puisi esai” di Indonesia langsung menuai kritik, baik dari pembaca maupun kritikus sastra, sebab:

  1. Puisi esai atau esai bersajak terbukti telah menjadi bagian dari kanon sastra di banyak negara, termasuk Indonesia. Seorang kritikus menyatakan “puisi esai” yang diproklamirkan sendiri oleh Denny sebagai “pseudo-invensi”.
  2. Denny mendefinisikan “puisi esai”nya sebagai puisi bercita rasa esai, namun faktanya sebagian besar puisinya hanya merupakan puisi naratif dengan taburan catatan kaki. Catatan kaki — yang jelas bukan ciri khas esai, apalagi karya sastra — diklaim sebagai sine qua non definisinya tentang ke-esai-an. Definisi ini, karena tidak memiliki basis sejarah atau (ke)sastra(an), tentu saja menipu.

               Dalam kata pengantar kumpulan “puisi esai” di atas, Denny menulis:

“Sebuah genre baru di dunia seni atau paradigma baru di dunia pemikiran hanya ditentukan oleh satu hukum sosial saja. Yaitu apakah hal baru itu diterima oleh sebuah komunitas? Itu cukup  dengan  melihat  banyaknya  pengikut atau  pengarang  yang  mengulangi   medium atau ekspresi baru itu.

Sebuah genre pada dasarnya adalah konstruksi sosial. Ia tidak lahir hanya karena titah seorang otoritas sastra, tapi terutama karena diterima oleh publik.

Genre atau paradigma tidak diukur dari kualitas internal karya itu atau kedalaman  cara berpikir baru yang ditawarkan. Ia semata diukur oleh daya terima publik terhadap ekspresi baru itu. Ia ditentukan oleh popularitas ekspresi baru itu.”

               Bertahun-tahun sejak itu, Denny memfokuskan upayanya untuk mempromosikan pseudo-invensi bernama “puisi esai” ini.

Upaya Legitimasi Melalui Propaganda

               Jurnal Sajak, yang dipimpin dan didanai Denny sejak 2012, menjadi senjata utama propaganda. Antara tahun 2012 dan 2013, majalah ini menggelar lomba penulisan “puisi esai” dengan hadiah uang 50 juta rupiah (sekitar 32.000 Krona). 10 antologi berisi karya para pemenang diterbitkan kemudian oleh penerbit bernama sama. Kegiatan-kegiatan ini tidak diragukan lagi merupakan upaya untuk membuktikan bahwa genre “puisi esai” telah: (1) menghasilkan banyak pengikut atau  pengarang  yang  mengulangi   medium atau ekspresi baru itu; (2) diterima oleh publik; dan (3) mencapai popularitas.

               Upaya legitimasi dilanjutkan dengan diterbitkannya buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh pada 3 Januari 2014, hanya 21 bulan setelah terbitnya kumpulan “puisi esai” pertama Denny. Daftar 33 nama tersebut disusun oleh 8 penulis senior bernama Tim Delapan — yang enam anggotanya merupakan redaktur Jurnal Sajak. Denny JA menduduki urutan ke-30 dalam daftar tersebut, sebuah pencapaian luar biasa bagi seseorang yang dua tahun sebelumnya nyaris tidak dikenal di kalangan sastrawan.

               Buku itu segera mendapat kritik keras. Tanggal 7 Januari 2014, sebuah petisi yang ditandatangani 756 penulis, kritikus, guru sastra, dan pegiat sastra Indonesia diluncurkan untuk menolak penerbitan buku tersebut, termasuk imbauan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar menarik buku tersebut dari peredaran karena menyesatkan masyarakat luas dan sarat dengan konflik kepentingan dalam publikasinya. Seperti yang dikemukakan oleh Maman S. Mahayana, anggota Tim Delapan yang kemudian mengundurkan diri dari posisinya — serta menuntut lima esai yang telah ditulisnya dalam buku itu (dengan bayaran Rp 25 juta) untuk dihapus— Denny membiayai penerbitan buku tersebut dan tim memasukkan namanya ke dalam daftar meskipun dia belum memenuhi kriteria yang ditetapkan.

               Namun gelombang besar penolakan itu seolah tak menyurutkan Denny. Upayanya untuk memperkuat citranya sebagai penemu genre sastra baru (walaupun palsu) terus berlanjut. Antara 2015 dan 2016, Denny menghabiskan miliaran rupiah untuk merekrut salah satu sutradara film terkemuka, Hanung Bramantyo, yang terkenal dengan melodramanya, untuk membuat beberapa film adaptasi dari “puisi esai”nya.

               Antara 2019 dan 2021, lima buku berisi 35 naskah film yang diadaptasi dari 35 “puisi esai” Denny terbit.

               Sejak pertengahan 2017 hingga pertengahan 2018, Denny juga meluncurkan program penulisan “puisi esai” nasional, menghabiskan 850 juta rupiah sebagai imbalan bagi 170 kontributor dari 34 provinsi. Dalam kontrak, penugasan digambarkan sebagai “Pekerjaan Kontrak”.

               Program ini pun mendapat kecaman luas dan berujung pada penandatangan petisi yang lain.  Sebanyak 3.072 penandatangan, yang menyebut diri mereka “Penyair Muda Indonesia”, tercatat menyatakan penolakan, antara lain karena; (1) program tersebut dianggap sebagai bagian dari manipulasi sastra Denny untuk, dengan kekuatan uang, mendapatkan legitimasi sebagai tokoh sastra nasional dan (2) kuat dugaan Denny memanipulasi lembaga-lembaga negara, termasuk Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan Kantor/Balai Bahasa daerah, untuk membantu memuluskan program penulisan “puisi esai”nya.

               Pada tahun 2018, Denny juga meluncurkan lomba resensi “puisi esai” dengan total hadiah uang 200 juta rupiah. Karya pemenang kemudian diterbitkan dalam antologi. Pada 2018 dan 2019, ia juga menyelenggarakan lomba penulisan “puisi esai” tingkat Asean dengan hadiah ratusan jutaan rupiah.

               Denny juga menerbitkan serangkaian buku yang mencoba menyoroti fenomena “puisi esai” antara tahun 2017 dan 2019. Tahun 2017, salah satu buku berjudul Membaca Puisi ke Tengah Gelanggang: Jejak dan Karya Denny JA— yang tidak lebih hanya propaganda langsung untuk “puisi esai” — dikirim tanpa diminta ke puluhan penulis di Indonesia. Namun sebagian besar para penerimanya kemudian mengembalikan buku tersebut begitu mengetahui bahwa buku gratis itu merupakan upaya lain untuk mengkooptasi mereka untuk tujuan Denny.

Mengapa Denny JA Tidak Layak Dinominasikan Sebagai Penerima Hadiah Nobel Sastra?

               Kami menyoroti empat poin pentingmengenai upaya Denny JAmemproklamasikan dirinyasebagai calon resmi penerima Nobel Sastra:

  1. Penggiringan opini publik yang dilakukan Denny dan Komunitas Puisi Esainya, dengan pesan utama bahwa Denny telah merupakan nominee untuk Hadiah Nobel Sastra tahun 2022 (sementara nama para nominee tidak akan pernah benar-benar diumumkan sampai 50 tahun ke depan), telah melanggar Rules of Nomination dari Akademi Swedia, yang menyatakan bahwa “Mengumumkan pencalonan dilarang, demikian pula mencalonkan diri sendiri”;
  2. Koordinator Pelaksana Komunitas Puisi Esai, Irsyad Muhammad, mengatakan dalam sebuah pengumuman resmi bahwa “Anggota masyarakat tidak dapat menominasikan kandidat untuk Hadiah Nobel Sastra. Pengajuan nama ke Akademi oleh anggota masyarakat atau individu akan secara otomatis didiskualifikasi; hanya mereka yang telah diundang secara resmi oleh Komite Nobel yang dapat mengajukan nama untuk dicalonkan.”

Pernyataan ini jelas merupakan disinformasi. Sebab situs resmi Hadiah Nobel mencantumkan empat kategori “Nominator yang Memenuhi Syarat”, tetapi tak satu pun dalam empat kategori itu menyebutkan bahwa surat undangan adalah persyaratan bagi para nominator. Situs resmi Hadiah Nobel hanya menyatakan bahwa “Komite Nobel Sastra mengirimkan surat undangan kepada orang-orang yang memenuhi syarat untuk menominasikan penerima Nobel Sastra”.

  • Poin-poin di atas telah dikonfirmasi oleh Magnus Halldin dari Komite Nobel dalam email menanggapi pertanyaan dari Kompas.com, sebuah surat kabar nasional, yang diterbitkan pada 11 Januari 2022. Dalam tanggapan emailnya, Halldin mengatakan bahwa pencalonan untuk Hadiah Nobel Sastra tidak boleh diungkapkan kepada publik dan bahwa usulan pencalonan tidak memerlukan surat undangan.
  • Namun dalam berbagai unggahan di media sosial, Denny dan Komunitas Puisi Esai secara konsisten memberikan kesan bahwa dirinya telah menjadi nominee penghargaan (yakni, telah lulus proses evaluasi oleh Komite Nobel). Padahal sebagaimana dinyatakan dalam situs Hadiah Nobel, “batas waktu pengiriman calon nominasi” adalah 31 Januari 2022, masih beberapa minggu lagi pada saat ia dan komunitasnya mulai mengampanyekan dirinya sebagai nominee.

               Maka berdasarkan alasan di atas — terutama seperti yang ditunjukkan dalam daftar panjang upaya Denny untuk menyesatkan dan memanipulasi publik sastra di Indonesia (seringkali dengan kekuatan finansialnya) dan kerusakan yang ditimbulkan oleh tindakannya terhadap komunitas sastra—kami yang bertanda tangan di bawah ini, anggota Aliansi Anti Manipulasi Sastra, menolak dengan keras usulan pencalonan Denny Januar Ali alias Denny JA sebagai penerima Nobel Sastra 2022 dan tahun-tahun mendatang.

               Terima kasih banyak atas pertimbangan dan kebijaksanaan Anda.

               Semoga sukses,

               Aliansi Anti-Manipulasi Sastra

*Catatan Kaki:

Surat ini ditandatangani 536 sastrawan, editor, jurnalis dll yang bernaung di bawah nama Aliansi Anti Manipulasi Sastra dan sudah dikirimkan versi bahasa Inggrisnya ke Komite Nobel Sastra di Swedia. Daftar para penandatangan bisa dilihat di https://drive.google.com/…/1Lv5LJFruPuEdISzlETFyDt…/view

Cerpen Koran Indonesia

Posted: 07/06/2021 in Esei

Oleh: Saut Situmorang

          Anggaplah “cerpen koran Indonesia” itu ada. Yaitu cerpen-cerpen berbahasa Indonesia yang muncul di koran-koran edisi Minggu di seluruh Indonesia, yang panjangnya berkisar antara 6-8 halaman kuarto (spasi ganda), dan yang bercerita tentang “peristiwa aktual”, atau tentang “realitas koran”, dari kehidupan sehari-hari di Indonesia. Bukankah biasanya tiga hal di ataslah yang dijadikan alasan bagi relevannya pemakaian istilah “cerpen koran” dalam perbincangan tentang sastra (cerpen) kontemporer Indonesia? 

          Anggaplah juga ketiga karakteristik teks di atas memang merupakan representasi sosok sub-genre sastra “cerpen koran Indonesia”. Lantas, semua cerpen yang berbahasa Indonesia juga, yang muncul di koran-koran edisi Minggu di Indonesia juga, yang panjangnya antara 6-8 halaman kuarto (spasi ganda) juga, tapi tidak mengangkat cerita “peristiwa aktual” atau “realitas koran” kehidupan sehari-hari di Indonesia, apakah cerpen-cerpen seperti ini juga termasuk “sastra (cerpen) koran”? Kalau tidak, karena tidak semua kriteria karakteristik teks seperti saya sebutkan di awal esei ini terdapat padanya, misalnya, maka ke dalam kategori sub-genre cerpen apa cerpen-cerpen jenis terakhir itu mesti dimasukkan? Lalu apakah sebenarnya “cerpen koran Indonesia” itu? Apakah “cerpen koran Indonesia” itu, dalam arti sebuah sub-genre spesifik dari bentuk fiksi bernama cerpen,  memang benar-benar ada, seperti yang luas diyakini dalam dunia sastra kontemporer Indonesia?

          Seperti kebiasaan khas dalam budaya pop, dunia sastra modern Indonesia juga tidak luput dari euforia keterpesonaan pembuatan dan pemakaian istilah-istilah baru tapi yang terkesan jauh lebih asal-asalan, tidak bertanggung jawab, dibanding yang biasa terjadi di dunia budaya pop. Dalam budaya pop sebuah istilah baru memiliki rujukan objek yang jelas yang membedakannya dari objek-objek istilah lain. Ambil contoh “sinetron”. Penonton awam yang tidak mengerti bahwa sinetron itu adalah akronim dari “sinema elektronik” bisa membedakan sebuah sinetron dari sebuah film lepas. Pembagian naratif plot sinetron dalam episode merupakan ciri khas utama yang membedakannya dari film “bioskop”, misalnya. Dan ceritanya biasanya pasti tentang “kehidupan tragis orang-orang kaya raya yang tidak bahagia”. Tapi bagaimana dengan istilah “cerpen koran Indonesia”? Apakah memang terdapat karakteristik teks yang unik pada karya-karya yang disebut sebagai “cerpen koran Indonesia” yang segera akan membedakannya dari “cerpen bukan-koran Indonesia”, misalnya? Apakah ketiga faktor yang saya sebutkan di awal esei ini memang benar-benar sudah bisa menjelaskan apa itu yang dimaksud dengan “cerpen koran Indonesia”, kalau makhluk ini memang ada? Sayang, saya belum mendapatkan jawaban yang memuaskan dari para “kritikus” sastra Indonesia yang merayakan keberadaan apa yang mereka sebut sebagai “cerpen koran Indonesia” itu dalam tulisan-tulisan mereka, di koran-koran Indonesia, tentu saja.

          Problemalitas pengertian istilah seperti “cerpen koran Indonesia”, misalnya, kayaknya tidak dianggap terlalu penting untuk dibicarakan oleh para “pengamat/pemerhati/kritikus” sastra Indonesia. Ada terkesan semacam kemalasan untuk berusaha menerang-jelaskan maksud dari istilah-istilah yang kerap kali dipakai, padahal kejelasan definisi merupakan sebuah syarat awal bagi terjadinya pembicaraan yang kritis dan bertanggung jawab. Malah saya melihat ada kecenderungan akhir-akhir ini di kalangan penulis artikel tentang sastra di koran-koran Indonesia untuk saling berlomba menciptakan istilah-istilah “aneh” yang hanya menunjukkan betapa penulisnya ingin sekali dianggap “berisi” walau isi tulisan dan judulnya biasanya tidak punya relasi tekstual seperti yang diharapkan, mirip gejala “sajak-sajak gelap” di puisi kontemporer Indonesia. Ambisi besar untuk menulis ala kaum pascastrukturalis di Eropa dan Amerika Serikat ini ternyata hanya sebuah fenomena epigonisme Afrizalian lokal belaka!

          Yang pasti adalah bahwa istilah “cerpen koran Indonesia” selalu merujuk ke cerpen-cerpen yang memang dipublikasikan di koran-koran, khususnya edisi hari Minggu, di seluruh Indonesia. Medium tempat cerpen dipublikasikan merupakan faktor utama dalam pemberian istilah “cerpen koran” dimaksud. Tapi lantas kenapa cerpen-cerpen yang muncul di koran mesti disebut sebagai “cerpen koran”, yang secara konotatif seolah-olah ingin dibedakan dari cerpen-cerpen yang tidak muncul di koran? Apakah memang ada nilai khusus tertentu yang ingin dibuktikan dengan pemberian kategori pembeda seperti ini, sebuah “estetika koran” misalnya?

          Anggaplah apa yang disebut sebagai “realitas koran”, walaupun istilah ini sendiri masih juga sangat problematis pengertiannya, merupakan unsur tematis yang khas mewarnai “cerpen koran Indonesia”. Apakah cerpen-cerpen yang tidak muncul di koran Indonesia tidak memiliki tema-tema cerita yang juga diangkat dari “realitas koran” atau “peristiwa aktual” kehidupan sosial sehari-hari di Indonesia? Seandainya pun tema “realitas koran” adalah sah juga untuk diceritakan dalam cerpen-cerpen yang tidak muncul dalam koran Indonesia, dalam hal apakah terdapat keunikan yang khas hingga “cerpen koran Indonesia” memang bisa dibedakan sebagai sebuah sub-genre yang otonom dan istimewa? Juga, bukankah ukuran panjang-pendek sebuah cerpen yang 6-8 halaman kuarto (spasi ganda) itu merupakan ciri umum cerpen-cerpen Indonesia yang muncul di majalah, buku dan Internet, jadi bukan hak prerogatif “cerpen koran Indonesia”?

          Antologi pertanyaan seperti yang saya susun ini, saya pikir, sangat penting dilakukan kalau kita ingin bicara serius dan kritis tentang pemakaian istilah “cerpen koran Indonesia” bagi cerpen-cerpen yang muncul di koran-koran di Indonesia. Kejelasan makna definisi mesti diciptakan agar pembicaraan tidak berkesan tergantung pada kata hati masing-masing pembicara saja sedangkan isi pembicaraan sudah mengelantur ke sana ke mari. Pembicaraan atas cerpen Indonesia, bahkan cerpen yang muncul di koran sekalipun, adalah pembicaraan yang bersifat kritik sastra dan sebuah kritik sastra mesti dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah yang ilmiah dan universal. Kejelasan pengertian definisi sebuah istilah yang dipakai, seperti “cerpen koran Indonesia”, merupakan syarat awal yang utama agar pembicaraan bisa menukik ke dalam isu topikal yang dibicarakan dan menghasilkan solusi-solusi kritis yang selanjutnya bisa dikembangkan kepada persoalan-persoalan relevan lainnya hingga sebuah kritik sastra Indonesia tidak menjadi sebuah kemustahilan, sebuah mimpi di siang bolong.

***

          Dalam seri dua tulisan bersambung yang memiliki dua judul berbeda walau konon topik pembicaraannya satu, yaitu tentang “cerpen koran Indonesia” (Republika, 6 dan 13 Oktober 2002), Binhad Nurrohmad berusaha untuk “menggapai puncak kanon cerpen koran Indonesia” melalui usaha “menemukan generasi terbaru cerpen koran Indonesia”, tanpa terlebih dahulu menyatakan kepada kita apa sebenarnya yang dia maksudkan dengan “cerpen koran Indonesia” itu. Padahal kedua tulisannya itu “dimaksudkan untuk membuka (mengawali) diskusi (kecil) tentang fenomena cerpen koran (dalam pertumbuhan cerpen Indonesia)”, seperti yang dinyatakan dua catatan kecil dari Redaksi Sastra Republika pada kedua tulisannya tersebut. 

          Pada tulisan pertamanya, Binhad Nurrohmad bercerita panjang tentang “cerpen” tapi tidak tentang apa itu “cerpen koran Indonesia”, yang merupakan isu pokok dari kedua tulisannya itu. Apakah telah terjadi sebuah peristiwa amnesia tekstual dalam usaha penulisnya untuk “menggapai puncak kanon cerpen koran Indonesia”? Saya sebagai pembaca yang tertarik ingin tahu apa itu “cerpen koran Indonesia” dan cerpenis-cerpenis mana yang sudah “menggapai puncak kanon cerpen koran Indonesia” tidak menemukan pemuasan rasa tertarik saya itu setelah selesai membaca tulisannya. Keingintahuan saya atas apa yang sudah “dicapai” para cerpenis-yang-absen-dalam-tulisannya itu hingga mereka dikatakan sebagai “puncak kanon cerpen koran Indonesia” juga tidak mengalami satori-teks atau tekstasi oleh aktivitas pembacaan yang saya lakukan atas tulisan Binhad Nurrohmad tersebut. Mungkin minggu depan pada “bagian kedua dari dua tulisan”nya itu, harapan saya dalam hati, karena di akhir cerita panjangnya tentang “cerpen koran Indonesia” tersebut dia mulai menyinggung point entry/entry point (?!) dari diskusi tentang “fenomena cerpen koran dalam pertumbuhan cerpen Indonesia”, yaitu buku kumpulan cerpen Pembisik (Penerbit Republika, 2002) “yang kini sudah beredar di toko-toko buku seperti Gunung Agung dan Gramedia” itu.

          Dalam “bagian terakhir (kedua) dari dua tulisan” Binhad Nurrohmad tentang “fenomena cerpen koran dalam pertumbuhan cerpen Indonesia” saya segera mengerti bahwa apa yang dimaksudkan Binhad tentang “cerpen koran Indonesia” itu dianggapnya sudah saya mengerti dan dia tidak perlu lagi repot-repot untuk menjelaskannya dalam kedua tulisannya itu. Dia punya sesuatu yang jauh lebih penting untuk dibicarakan, yaitu tentang “generasi terbaru cerpen koran” Indonesia. Dan para cerpenis yang dianggap Binhad merupakan “generasi terbaru cerpen(is) koran” Indonesia ini adalah “kanon tersendiri” setelah “generasi lama seangkatan Umar Kayam… Budi Darma… Danarto… Seno Gumira Ajidarma”. Mereka disebut “kanon tersendiri” karena, menurut Binhad, mereka telah “melakoni praktik literer yang menempuh jalan lain, bahkan gigih ingin menyempal dari tradisi generasi cerpenis sebelumnya”. Sementara untuk pengertian definisi istilah “kanon sastra” itu sendiri Binhad “meminjam” pendapat seorang Dekonstruksionis Yale, Harold Bloom, yaitu bahwa “kanon sastra membuat kita terasing di tengah lingkungannya sendiri, atau sebaliknya, membuat kita kerasan dan intim di tengah keterasingan”.

          Apa yang saya mengerti dari antologi kutipan pernyataan Binhad Nurrohmad di atas adalah bahwa dia telah “menemukan generasi terbaru cerpen koran” Indonesia, tapi tidak menjelaskan apa maksudnya dengan istilah “cerpen koran” itu sendiri, dan “generasi terbaru cerpen koran” ini adalah “kanon tersendiri”, kanon terbaru dalam sejarah “cerpen koran Indonesia”. Dan mereka menjadi “kanon tersendiri” karena telah “membuat kita terasing di tengah lingkungannya sendiri, atau sebaliknya, membuat kita kerasan dan intim di tengah keterasingan” yang kita alami waktu bertemu muka dengan “generasi terbaru cerpen koran” Indonesia ini.

          Menurut Binhad Nurrohmad ada dua mainstream atau “tradisi cerpen (koran)” dari sub-genre cerpen Indonesia yang dia sebut sebagai “cerpen koran Indonesia” itu, yaitu tradisi “cerpen koran” Republika dan Kompas yang sosial-realis (dengan Seno Gumira Ajidarma, Joni Ariadinata dan Agus Noor sebagai “tokoh-tokoh atau tonggak-tonggak”nya) dan tradisi Media Indonesia dan Koran Tempo yang “alternatif” dalam “keliaran gagasan naratif” dan “segi penceritaan dan eksplorasi bahasa” cerpen-cerpen korannya (Hudan Hidayat dan Puthut EA adalah “generasi terbaru”nya di sini).

          Pertanyaan-pertanyaan yang timbul di kepala saya setelah membaca pernyataan Binhad Nurrohmad di atas adalah apakah “cerpen koran Indonesia” itu adalah cerpen-cerpen yang hanya muncul di “Republika, Kompas, Media Indonesia dan Koran Tempo” saja, karena keempatnya merupakan “medium utama dan representasi pertumbuhan cerpen Indonesia mutakhir dan (yang bahkan telah) melahirkan sebuah tradisi cerpen tersendiri”, katanya? Atas dasar apakah Binhad membuat kesimpulan bahwa di luar keempat koran Jakarta ini tidak ada apa-apa yang bisa dikatakan sebagai “medium utama dan representasi pertumbuhan cerpen Indonesia mutakhir”? Kalau memang keempat koran Jakarta ini telah “melahirkan sebuah tradisi cerpen tersendiri”, sebuah gaya penulisan yang mungkin bisa disebut sebagai sebuah “gerakan sastra”, di manakah saya bisa membaca karya-karya representatif yang pasti hebat-hebat itu? Dan apakah dengan pencantuman nama-nama pengarang tertentu sebagai representasi dari dua “mainstream” dalam “tradisi cerpen tersendiri” yang dilahirkan keempat koran terbitan Jakarta itu berarti bahwa “gaya penulisan” seperti yang dilakukan “generasi terbaru” tersebut yang mendominasi, yang merupakan ciri khas “gaya penulisan” para cerpenis lain di keempat koran tersebut?

          Begitu panjangnya antologi pertanyaan yang bisa dilontarkan kepada Binhad Nurrohmad karena dia lebih banyak membuat pernyataan-pernyataan asersif yang konklusif ketimbang menjelaskan persoalan. Kesimpulan-kesimpulan umum yang banyak sekali dibuatnya dalam kedua tulisannya itu telah membuat Binhad terjebak dalam labirin permainan istilah yang telah, paling tidak, membuatnya membicarakan “cerpen” secara umum padahal yang menjadi isu tulisannya adalah “cerpen koran” Indonesia. Dia juga tidak mampu membuktikan apa yang diklaimnya sebagai ciri-khas dari kedua gaya penulisan (estetika) dari dua “tradisi cerpen koran” yang direpresentasikan keempat koran Jakarta tersebut. Dan pemakaian istilah “kanon sastra” dalam kedua tulisannya itu, walau dia berpretensi mengerti apa maksud istilah tersebut dalam karya kritik seorang Harold Bloom, begitu tidak bertanggung jawab dan sama sekali tidak mampu dijelaskannya dengan contoh-contoh dari dunia “cerpen koran Indonesia” yang ingin dibaptisnya ada itu.

          Menurut kritikus sastra Amerika MH Abrams, istilah canon dalam dunia sastra selalu merujuk kepada pengertian: para pengarang yang karya-karyanya, melalui konsensus kumulatif dari kritikus-kritikus dan pakar-pakar penting, dan juga melalui pengaruh karya-karya tersebut yang luas dan nyata pada para pengarang sesudah mereka, memang diakui secara umum sebagai pengarang-pengarang “major”, pengarang-pengarang utama, serta yang sudah pasti akan selalu dibicarakan oleh para kritikus dan sejarawan sastra dan paling sering ikut dalam antologi-antologi dan mata kuliah penting seperti “Karya Besar Dunia”, “Sastrawan Utama Indonesia” atau yang semacamnya itu. Bisa dilihat bahwa ada dua hal penting yang mendasari kenapa seorang sastrawan itu disebut sebagai “kanon sastra”, yaitu pengakuan dari para “kritikus” dan “pakar” sastra melalui studi-studi yang disebut “kritik sastra” dan pengaruhnya atas karya-karya para sastrawan sesudahnya. Dari nama-nama cerpenis yang disebutkan oleh Binhad Nurrohmad sebagai “puncak kanon cerpen koran Indonesia” dan “generasi terbaru cerpen koran” itu, apakah kedua “pengakuan” ini memang sudah ada? Karya-karya “kritik sastra” manakah dan pengaruh atas sastrawan-sastrawan manakah yang bisa membuktikan asersinya bahwa nama-nama yang dikatakannya mewakili “mainstream” keempat koran Jakarta itu memang merupakan “kanon sastra” bahkan dalam apa yang disebut sebagai “cerpen koran Indonesia” itu?

          Kegenitan untuk menjadi seseorang yang “menemukan generasi terbaru”, sebuah angkatan penulis terbaru, dalam dunia kang-ouw sastra kontemporer Indonesia tanpa disertai dengan pembuktian yang bisa dipertanggungjawabkan kayaknya sudah menjadi kebiasaan dalam “pseudo-kritik-sastra” Indonesia. Saya katakan “pseudo-kritik-sastra” Indonesia karena banyak sekali penulis Indonesia ingin menjadi “kritikus sastra” tanpa melakukan apa-apa, kecuali membuat antologi-antologi pernyataan asersif yang konklusif tapi dangkal. Dan ketakmampuan untuk melakukan “kritik sastra” ini diusahakan untuk ditutup-tutupi dengan permainan istilah yang diharapkan bisa menimbulkan kesan “kecerdasan berbahasa” atau “keluasan bacaan” pada para pembacanya. Kecerdasan atau keluasaan bacaan yang superfisial dianggap lebih heboh ketimbang sebuah kesederhanaan pehamaman yang mendalam. Ini memang merupakan ciri umum tulisan tentang sastra yang muncul di koran-koran Indonesia. Mungkinkah ini disebabkan oleh keyakinan besar di kalangan sastrawan Indonesia bahwa sastra modern Indonesia itu identik dengan “sastra koran Indonesia” hingga isinya pun tak lebih dari sekedar “realitas koran” yang merupakan ideologi medium tempatnya disosialisasikan, aktual tapi sekali dibaca mati?

  1. Kartu Identitas

Catat!
Aku orang Arab
Dan nomor kartu identitasku limapuluh ribu
Aku punya delapan anak
Dan yang kesembilan akan lahir setelah musim panas
Apa kau akan marah?

Catat!
Aku orang Arab
Bekerja dengan sesamaku di sebuah tambang batu
Aku punya delapan anak
Aku beri mereka roti
Pakaian dan buku
dari batu…
Aku tidak mengemis bantuan dengan mengetuk pintu rumahmu
Atau merendahkan diriku di tangga kamarmu
Jadi apa kau akan marah?
Catat!
Aku orang Arab
Namaku tanpa gelar
Bersabar di negeri
Yang penuh orang-orang marah
Akarku
Tertanam di sini sebelum lahirnya waktu
Dan sebelum dimulainya zaman
Sebelum pohon-pohon pinus dan pohon-pohon zaitun
Dan sebelum rumput-rumput tumbuh.
Bapakku… keturunan keluarga pembajak tanah
Bukan dari kelas priyayi
Dan kakekku… seorang petani
Bukan orang kaya ataupun orang sekolahan!
Diajarkannya aku tentang harga diri matahari
Sebelum mengajariku membaca
Dan rumahku seperti gubuk penjaga malam
Terbuat dari ranting pohon dan tebu
Apa kau sudah puas dengan statusku sekarang?
Aku punya nama tanpa gelar!

Catat!
Aku orang Arab
Telah kau curi kebun-kebun buah nenek moyangku
Dan tanah yang kugarap
Bersama anak-anakku
Dan tak ada lagi sisa bagi kami
Kecuali batu-batu ini…
Apa Negara pun akan mengambilnya juga
Seperti kata orang?!

Jadi
Catat di bagian atas halaman pertama:
Aku tidak benci
Atau akan menyerang orang
Tapi kalau aku kelaparan
Daging penindasku akan jadi makananku
Hati-hatilah…
Hati-hatilah…
Dengan lapar
Dan marahku!

1964

  1. Aku Milik Tempat Itu

Aku milik tempat itu. Aku memiliki banyak kenangan. Aku dilahirkan seperti setiap orang dilahirkan.

Aku memiliki seorang ibu, sebuah rumah dengan banyak jendela, saudara-saudara laki-laki, kawan-kawan, dan sebuah sel penjara

dengan sebuah jendela yang dingin menggigilkan! Aku memiliki ombak yang direbut oleh burung-burung camar dan panorama milikku sendiri.

Aku memiliki padang rumput yang basah embun. Di horison kataku, aku memiliki sebuah bulan,

makanan untuk burung, dan sebuah pohon zaitun yang tak mati-mati.

Aku sudah tinggal di negeri itu lama sebelum pedang membuat manusia jadi mangsa.

Aku milik tempat itu. Waktu sorga meratapi ibunya, kukembalikan sorga

ke ibunya.

Dan aku menangis biar awan yang pulang ke sana akan membawa airmataku.

Untuk melanggar aturan, aku pelajari semua kata yang dibutuhkan bagi pengadilan darah.

Telah kupelajari dan bongkar semua kata agar bisa kudapatkan

satu kata tunggal: Rumah.

  1. Di Jerusalem

Di Jerusalem, dan maksudku di antara tembok-tembok tuanya,
aku berjalan dari zaman ke zaman tanpa ada ingatan
memanduku. Para nabi di sana memiliki
sejarah yang sama tentang yang suci . . . naik ke surga
dan kembali dengan lebih berani dan melankoli, karena cinta
dan damai adalah suci dan kembali ke kota.
Aku berjalan menuruni lereng bukit dan berpikir: Bagaimanakah
para tukang cerita bisa saling tidak akur tentang apa yang dikatakan cahaya kepada batu?
Apakah dari sebuah batu yang bersinar suram terpercik perang?
Aku berjalan dalam tidur. Aku memandang dalam tidur. Tak
ada orang di belakangku. Tak ada orang di depanku.
Semua cahaya ini untukku. Aku jalan. Aku menjadi ringan. Aku terbang
lalu menjadi orang lain. Berubah. Kata-kata
muncul seperti rumputan dari mulut
nabi Yesaya: “Kalau kau tidak percaya maka kau tidak akan percaya.”
Aku berjalan seolah aku ini orang lain. Dan lukaku
seperti bunga mawar biblikal. Dan kedua tanganku seperti dua ekor merpati
di salib melayang-layang dan membawa bumi.
Aku tidak berjalan, aku terbang, aku menjadi orang lain,
berubah. Tanpa tempat dan waktu. Jadi siapakah aku ini?
Aku bukan aku dalam peristiwa kenaikan ke surga. Tapi aku
berpikir: Sendiri, nabi Muhammad
bicara dalam bahasa Arab klasik. “Lalu apa?”
Lalu apa? Seorang serdadu perempuan berteriak:
Kau lagi? Bukankah aku telah membunuhmu?
Kataku: Kau membunuhku . . . dan seperti kau, aku lupa mati.

  1. Aku Tidak Minta Maaf Kepada Sumur Itu

Aku tidak minta maaf kepada sumur itu waktu aku melewatinya,
Aku pinjam dari pohon cemara tua itu sebuah awan
dan meremasnya seperti jeruk, lalu menunggu seekor gazel
putih dan legendaris. Dan kuperintahkan hatiku untuk bersabar:
Bersikap netrallah seolah kau bukan bagian diriku! Di sini
para penggembala baik itu berdiri dan mengeluarkan
suling mereka, lalu membujuk burung puyuh gunung masuk
ke dalam jerat. Dan di sini aku pasang pelana ke kuda untuk terbang menuju
planet-planetku, lalu terbang. Dan di sini para pendeta perempuan
mengingatkanku: Hati-hatilah dengan jalan aspal dan mobil
dan melangkahlah dalam hembusan nafasmu. Di sini
kusantaikan bayanganku dan menunggu, kuambil batu terkecil
dan berjaga sampai larut. Kupecahkan mitos dan kupecahkan.
Dan kukelilingi sumur itu sampai aku terbang dari diriku
ke sesuatu yang bukan bagian diriku. Sebuah suara rendah berteriak kepadaku:
Kuburan ini bukan kuburanmu. Jadi aku minta maaf.
Kubaca ayat-ayat dari kita suci yang bijaksana, dan kukatakan
kepada yang tak dikenal di dalam sumur itu: Salam bagimu di hari
kau terbunuh di negeri damai, dan di hari kau bangkit hidup
dari kegelapan sumur!

  1. Sebuah Kalimat Kata Benda

Sebuah kalimat kata benda, tanpa kata kerja:
bagi laut bau tempat tidur
setelah bercinta … parfum asin
atau masam. Sebuah kalimat kata benda: rasa riangku yang terluka
seperti matahari tenggelam di jendelamu yang aneh.
Bungaku hijau seperti burung phoenix. Hatiku melebihi
kebutuhanku, ragu-ragu antara dua pintu:
masuk lelucon, dan keluar
labirin. Di mana bayanganku–pemanduku di tengah
kerumunan di jalan menuju hari kiamat? Dan aku
seperti sebuah batu kuno dengan dua warna hitam di tembok kota,
coklat kemerahan dan hitam, sebuah tonjolan ketakpekaan
terhadap para pengunjungku dan tafsir bayang-bayang. Menginginkan
untuk kala sekarang sebuah pijakan kaki untuk berjalan di belakang
atau di depanku, telanjang kaki. Di mana
jalan keduaku menuju tangga luas itu? Di mana
kesia-siaan? Di mana jalan menuju jalan?
Dan di manakah kita, berjalan di jalan setapak kala
sekarang, di manakah kita? Percakapan kita adalah predikat
dan subjek di hadapan laut, dan buih
ujaran yang licin adalah titik-titik di huruf,
menginginkan sebuah pijakan kaki bagi kala sekarang
di trotoar …

  1. Soneta V

Aku menyentuhmu seperti sebuah biola yang kesepian menyentuh daerah suburbia kota tempat yang jauh itu
dengan sabar sungai meminta bagian gerimisnya
dan, sedikit demi sedikit, sebuah esok yang berlalu di puisi-puisiku mendekati
maka kubawa negeri yang jauh dan aku dibawanya di jalan perjalanan

Di atas kuda betina kebajikanmu, jiwaku menenun
langit alami dari bayang-bayangmu, satu kepompong demi satu kepompong.
Aku adalah anak laki-laki dari apa yang kau lakukan di bumi, anak laki-laki luka-lukaku
yang menerangi mekar delima di tamanmu yang tertutup

Dari melati darah malam mengalir putih. Parfummu,
kelemahanku dan rahasiamu, mengikutiku seperti sebuah gigitan ular. Dan rambutmu
adalah tenda angin musim gugur berwarna. Aku berjalan bersama ujaran
sampai ke kata terakhir yang diceritakan seorang beduin ke sepasang merpati

Aku membelaimu seperti sebuah biola membelai sutra dari waktu yang jauh itu
dan di sekitarku dan kau tumbuh rumput dari sebuah tempat kuno–baru

Catatan:
Keenam puisi di atas diterjemahkan dari berbagai sumber terjemahan bahasa Inggris

Mahmoud Darwish (1941–2008) adalah penyair terbesar Palestina. Darwish memakai Palestina sebagai metafor hilangnya Taman Firdaus, kelahiran dan kelahiran-kembali, dan derita kehilangan dan eksil. Dia digambarkan sebagai inkarnasi dan refleksi dari “tradisi penyair politik dalam Islam, manusia aksi yang memakai puisi sebagai aksinya”. Dia juga pernah jadi editor beberapa majalah sastra di Palestina.

Darwish menerbitkan kumpulan puisi pertamanya Daun-daun Zaitun pada 1964, waktu berusia 22 tahun. Sejak itu, dia telah menerbitkan tigapuluh buku puisi dan prosa yang telah diterjemahkan ke lebih daripada duapuluh dua bahasa. Buku-buku puisinya antara lain Beban Kupu-kupu (2006), Sayangnya, Sorga: Seleksi Puisi (2003), Pengepungan (2002), Adam dari Dua Firdaus (2001), Mural (2000), Tempat Tidur Orang Asing (1999), Kenapa Kau Biarkan Kuda Itu Sendiri? (1994), dan Musik Daging Manusia (1980).

Mahmoud Darwish juga penerima berbagai penghargaan internasional, antara lain Lannan Cultural Freedom Prize dari Lannan Foundation, Lenin Peace Prize, and the Knight of Arts and Belles Lettres Medal dari Prancis.

Oleh: Saut Situmorang

Polisi Siber atau yang lebih tepat disebut sebagai Polisi Internet adalah salah satu bentuk dari konsep yang disebut sebagai Pengawasan Massal (mass surveilance) yaitu sebuah aksi pengawasan atas penduduk yang biasanya dilakukan oleh negara walau pihak swasta pun seperti korporasi bisa juga melakukannya baik dengan bekerjasama dengan negara ataupun untuk kepentingannya sendiri. Biasanya alasan yang diberikan untuk aksi pengawasan massal ini mulai dari pencegahan terjadinya kejahatan, kerusuhan sosial, terorisme sampai keamanan nasional.

Tentu saja ada kritik atas pengadaan pengawasan massal oleh negara ini. Kritik atasnya terpusat pada isu pelanggaran hak-hak privasi (privacy rights) dan pembatasan kebebasan dan hak-hak sipil dan politik warganegara.  

Kalau kita telusuri sejarahnya maka konsep pengawasan massal adalah perwujudan dari ide tentang panopticon yang dicetuskan filsuf Inggris Jeremy Bentham di abad 18. Panopticon adalah sebuah tipe bangunan penjara dan sistem pengawasan di mana seorang penjaga penjara mengawasi para narapidana dalam sebuah penjara tanpa para narapidana tersebut menyadari bahwa mereka sedang diawasi. Karena para narapidana tersebut tidak bisa memastikan apa mereka sedang diawasi atau tidak maka mereka akan bersikap seolah mereka sedang diawasi sepanjang waktu. Akhirnya mereka akan berhati-hati dengan kelakuan mereka; mereka sendiri mengawasi kelakuan mereka sendiri sebagai akibatnya. Bentuk bangunan penjara panopticon itu bundar dengan ruang pengawasan berada di tengahnya. Dari ruang inilah para narapidana diawasi.

Konsep panopticon ini menjadi terkenal setelah pemikir Prancis Michel Foucault memakainya sebagai metafor atas masyarakat disiplin modern dalam bukunya Discipline and Punish yang terbit pada tahun 1975. Konsep “masyarakat disiplin” (disciplinary society) adalah istilah Foucault yang menurutnya muncul di abad 18 Eropa di mana disiplin menjadi teknik untuk mengatur kehidupan yang kompleks dengan tujuan untuk menciptakan kepatuhan dan kegunaan bagi sistem. Terciptanya masyarakat yang patuh dan berguna adalah tujuan utama dari konsep “masyarakat disiplin”.

Bagi Foucault, masyarakat disiplin menggantikan masyarakat raja pra-modern dan panopticon sendiri bukanlah sebuah bangunan fisik tapi merupakan sebuah mekanisme kekuasaan dan diagram teknologi politik.

Pada tahun 1990 pemikir Prancis lain bernama Gilles Deleuze menulis sebuah esei yang sangat berpengaruh berjudul Postscript on the Societies of Control di mana dia menyatakan bahwa masyarakat disiplin seperti yang diungkapkan Foucault telah digantikan oleh masyarakat baru yaitu masyarakat kontrol (society of control). Eseinya ini mengakibatkan munculnya bidang studi baru yang disebut Surveillance Studies.

Dalam masyarakat disiplin, individu bergerak dari sebuah lingkungan tertutup ke lingkungan tertutup lainnya: keluarga, sekolah, barak, pabrik. Sekarang masyarakat kontrol yang beroperasi dengan komputer menggantikan masyarakat disiplin.

Bahasa angka dari kontrol tercipta dari code yang mengizinkan atau tidak mengizinkan akses ke informasi. Masyarakat kontrol diatur dengan code. Code merupakan sistem penangkapan (systems of capture) yang fleksibel, tidak seperti lingkungan tertutup pada masyarakat disiplin. Bisa dengan cepat dan mudah direkonfigurasi untuk mengatur akses ke jaringan (networks). Kita tidak lagi berurusan dengan massa/individu. Individu telah menjadi “dividual”, sampel, data, pasar atau “bank”, demikian tulis Deleuze.

Dalam masyarakat kontrol kita diizinkan untuk melakukan apapun. Karena tidak lagi terkungkung dalam lingkungan tertutup seperti sekolah atau pabrik, kita bisa bersekolah secara online atau kerja dari rumah, misalnya. Semua ini nampak seperti kebebasan. Menyenangkan memang kerja dari rumah tapi sekarang kita juga diharapkan untuk terus siap bekerja kapan saja walau tidak di kantor. Walau terbebas dari kungkungan lingkungan kerja yang tertutup tapi tanggung jawab atas pekerjaan membebani keseluruhan waktu kita. Walau kebebasan kita seolah bertambah tapi kontrol atas aktivitas kita pun bertambah besar. Segala aktivitas kita diikuti dan dikodifikasi, diterjemahkan dalam pola-pola yang bisa diterima ataupun tidak. Ketimbang diawasi oleh panopticon, sekarang kita diawasi oleh matrix terpadu dari algoritma pengumpul informasi.

Dalam konteks inilah kebutuhan atas polisi internet muncul.  

Polisi internet adalah istilah umum untuk polisi dan institusi-institusi pemerintah lain yang bertugas untuk mengawasi internet. Fungsi utamanya untuk memerangi kejahatan siber (cybercrime) dan sensor serta propaganda. Walaupun biasanya diklaim bertujuan untuk menjaga keamanan nasional dari kejahatan siber atau aksi terorisme, polisi internet juga selalu berfungsi untuk membungkam kritik dan oposisi atas pemerintah.

Seperti dalam kasus Indonesia, polisi internet yang konon diciptakan karena pemerintah menyadari adanya kelemahan mendasar pada UU ITE dan bermaksud untuk mengurangi efek negatif undang-undang tersebut tapi kenyataannya keberadaan polisi internet justru menjadi alat kontrol negara atas aktivitas warganegara di internet. Sudah banyak terjadi kasus di mana kritik atas negara begitu cepat direspon dengan pembungkaman oleh polisi internet baik melalui peringatan maupun penahanan langsung. Ironis kerna justru dengan UU ITE, polisi baru bisa melakukan penyidikan, bukan peringatan apalagi penahanan, setelah polisi menerima laporan tertulis dari anggota masyarakat yang merasa dirugikan, bukan dari laporan pemerintah! Yang lebih parah lagi, polisi internet Indonesia yang menyebut dirinya polisi siber itu malah membuat pengumuman publik bahwa siapa saja anggota masyarakat yang melaporkan apa yang mereka kategorikan sebagai “dugaan tindak pidana di media sosial” akan dianugrahi Badge Awards oleh polisi siber Indonesia!

Badge Awards ini merupakan perwujudan berikutnya dari politik sensor negara yaitu sebuah usaha adu domba antar-anggota masyarakat dalam bentuk aksi saling mengawasi. Sekarang bukan lagi sensor diri (self-cencorship) yang sedang terjadi tapi sensor massal dan dilakukan oleh keseluruhan masyarakat. Menciptakan ketakutan di masyarakat tidak lagi cukup, sekarang masyarakat dipecah belah antara yang melakukan “dugaan tindak pidana di media sosial” dan yang melakukan dugaan demi mendapat penghargaan dari negara!

Akibat dari penciptaan masyarakat kontrol yang sudah keterlaluan ini adalah kekawatiran akan munculnya apa yang disebut sebagai negara polisi elektronik yaitu negara yang dengan agresif memakai teknologi elektronik untuk merekam, mengumpulkan, menyimpan, mengorganisasi, menganalisis, melakukan riset dan mendistribusi informasi tentang warganegaranya secara rahasia untuk tujuan pengawasan seperti yang diungkapkan oleh Edward Snowden tentang Amerika pada tahun 2013 lalu.

Judul: Kotbah Hari Minggu
Penulis: Saut Situmorang
Kategori: Cerpen
Ukuran: 13×19 cm
Tebal: 94.000
Penerbit: Penerbit JBS
Harga: 50.000
Harga PO: 42.500
Pemesanan: 0818-0271-7528 (WA)

Preorder berlangsung hingga 6 Maret 2021.

Kembali hadir kumpulan cerpen Kotbah Hari Minggu karya Saut Situmorang. Di dalamnya termuat 10 cerita yang membawa kita, pembaca, tertawa sekaligus merenung.

Sebagian besar cerita-cerita yang ditulis Saut Situmorang dalam buku ini adalah cerita-cerita dengan permainan alur cerita yang dramatis. Dramatisasi yang dibangun dalam cerita-cerita, baik lewat gaya detektif maupun lewat permainan psikologis tokoh-tokohnya, memang bukan sesuatu yang baru. Namun di luar ketidakbaruan secara teknis bercerita, cerpen-cerpen Saut Situmorang bisa menjadi cermin yang memantulkan posisi serta tanggapan pengarang di dalam dan terhadap masyarakat atau lingkungannya. Dengan penuh ketelitian Saut Situmorang mengekstrapolasikan petualangan-petualangan riil dan literernya selama hidup di tanah Batak, Selandia Baru, Bali, hingga Yogyakarta.

Membaca cerita-cerita yang terkompilasi dalam buku ini, pembaca bisa menemukan cara Saut Situmorang melontarkan kritik terhadap terorisme, feminisme, operasi kekuasaan yang culas, dan ketumpulan akalbudi masyarakat kita yang tidak memiliki kemampuan untuk mengontekstualisasikan ajaran-ajaran agama dalam praktek sosial mereka.

Amsal Merah Marah

Posted: 13/05/2020 in Puisi

        

         “berikanlah kepada kaisar

         apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar

         dan kepada Allah

         apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”

 

tapi bagaimana

kalau kaisar itu bukan kaisar

dan menganggap dirinya sama dengan Allah?

 

orang orang kurus

yang bayangannya juga kurus

menengadahkan tangan mereka

ke langit

dengan desah napas tertahan

 

doa doa melambung ke udara

bagai ribuan balon kosong menghambur ke cakrawala

mengetuk ngetuk pintu langit

menggetarkan awan awan yang kering hujan

 

“sampai kapankah kami

mesti terus memberi

kering tulang kami

susut perut kami

sementara bumi sudah lama tak akrab lagi?”

 

di laut

sebuah pedal sepeda

tersangkut di celah karang

bau keringat mengerubunginya

bagai lalat lalat di tumpukan sampah di kota

 

orang orang kurus

dengan bayangan kurus

masih mengangkat tangan mereka

wajah wajah suram tergores kering airmata

 

“berikanlah kepada kaisar…”

 

ya burung tak bernama

yang mengerti bahasa cakrawala

terdengarkah detak jantung kami yang lemah

dari atas sana? adakah…?

 

padi tumbuh tapi layu jadi debu

keringat mengalir kering jadi debu

angin musim cuma membawa hujan debu

dalam tidur pun mimpi kami

tak bisa lari dari debu, debu, debu…

tapi di kota kota

yang cuma penuh serdadu serdadu tak berwajah

suara asing itu tak henti henti menyiksa

         “berikanlah kepada kaisar…”

 

orang orang kurus

bernasib kurus, sekarang tak sabar lagi

dengan langit.

bagai kerbau luka napas mereka mendengus – kota kota membara

terbakar hangus

di mata mereka yang merah marah!

 

(Saut Situmorang)