Apakah Bahasa Indonesia “Seksis”?

Posted: 24/07/2012 in Esei

oleh Katrin Bandel*

Kalau kita perhatikan beberapa trend dalam penggunaan bahasa Indonesia akhir-akhir ini, timbul kesan bahwa bahasa Indonesia mempunyai persoalan dengan gender. Berbagai istilah “khusus perempuan” bermunculan, misalnya istilah sejenis “perempuan pengarang” atau kata-kata dengan akhiran “-wati”; saya bahkan pernah mendengar pengumuman dari loudspeaker sebuah masjid dekat rumah saya yang mengajak para “santri dan santriwati” untuk menghadiri sebuah pengajian. Fenomena apakah ini? Secara sekilas, euforia pembentukan berbagai istilah baru untuk merujuk pada perempuan dalam berbagai profesi dan kegiatan ini mirip dengan politik bahasa yang dilakukan para feminis di negara-negara Barat. Apakah bahasa Indonesia bersifat seksis sehingga berbagai perubahan untuk menghilangkan bias gender perlu diadakan? Dan apakah kecenderunganbaru ini memang berhasil menghapus atau melawan seksisme?

Di negara-negara Barat politik bahasa adalah sebuah persoalan yang sangat penting bagi gerakan perempuan – sebuah persoalan rumit yang sampai saat ini sering menimbulkan perdebatan. Sebagai contoh saya akan menggambarkan situasi di negara asal saya, yaitu Jerman. Dalam bahasa Jerman, gendermerupakan salah satu kategori gramatikal yang utama, dan karena itu tidak terelakkan dalam penggunaan bahasa. Setiap kata-benda memiliki genderatau “genus” yang ditandai oleh artikel di depan kata itu: “der” (maskulin), “die” (feminin) atau “das” (netral). Meskipun demikian akan agak berlebihan kalau kita menyimpulkan bahwa orang Jerman membayangkan setiap kata-benda sebagai sesuatu yang “berkelamin”. Kata “die Sonne” (matahari) misalnya bergenus feminin, sedang “der Tisch” (meja) bergenus maskulin, tapi dalam menggunakan kata dengan artikelnya itu orang tidak membayangkan “matahari” sebagai sesuatu yang memiliki sifat feminin dan “meja” sebagai sesuatu yang bersifat maskulin. Genus itu sekedar menjadi bagian dari tata-bahasa (grammar).

Namun khususnya pada kata-benda yang merujuk pada manusia, genus biasanya sesuai dengan gendermanusia yang dibicarakan: feminin (artikel “die”) untuk perempuan, maskulin (artikel “der”) untuk laki-laki. Karena itu, misalnya, banyak kata-benda yang dalam bahasa Indonesia hanya satu bentuk, dalam bahasa Jerman memikili dua bentuk, tergantung gendernya: Kata “dokter” misalnya diterjemahkan “der Arzt” kalau sang dokter itu laki-laki, dan “die Ärztin” kalau dia perempuan. Dalam bentuk plural pun perbedaan genderitu tetap ada: “die Ärzte” berarti “para dokter laki-laki”, dan “die Ärztinnen” berarti “para dokter perempuan”.

Kalau kita membicarakan dokter tertentu, tentu tidak sulit memilih bentuk yang sesuai (kecuali mungkin kalau dokter itu transgender!). Namun kerumitan mulai terasa kalau kita berbicara tentang dokter secara umum atau tentang kelompok dokter yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Bagaimana akan kita terjemahkan kalimat semacam ini: “Seorang dokter sebaiknya memeriksa pasiennya dengan teliti”? Secara spontan dan tanpa memikirkan political correctness,orang cenderung akan menerjemahkannya menjadi “Ein Arzt sollte seine Patienten gründlich untersuchen”, menggunakan bentuk maskulin untuk menyebut dokter dan pasien. Begitu juga kalau membicarakan sebuah kelompok dokter yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, orang akan cenderung menyebutnya “die Ärzte” saja, daripada “die Ärzte und Ärztinnen” yang lebih panjang dan merepotkan.

Jadi meskipun dalam bahasa Jerman sudah ada kata-benda dalam bentuk maskulin dan feminin untuk menyebut profesi, jabatan dan sebagainya (“nomina agentis”), kedua bentuk itu tidak berstatus sama dalam penggunaan. Bentuk feminin hanya digunakan untuk menyebut perempuan secara spesifik, sedang bentuk maskulin digunakan sebagai standar. Contohnya, kalimat “Ein Arzt sollte seine Patienten gründlich untersuchen” di atas akan diterima orang sebagai pernyataan umum tentang dokter, sedang kalau kata “Arzt” diganti dengan bentuk femininnya sehingga kalimatnya menjadi “Eine Ärztin sollte ihre Patienten gründlich untersuchen”, orang akan membacanya sebagai pernyataan khusus tentang dokter perempuan, sehingga mungkin akan menimbulkan keheranan: “Lho, mengapa hanya dokter perempuan yang diwajibkan memeriksa pasiennya dengan teliti?” Hanya beberapa profesi yang akan cenderung disebut dalam bentuk feminin, yaitu profesi yang secara tradisional lebih banyak diminati perempuan, misalnya “Stewardess” (pramugari) atau “Kindergärtnerin” (guru TK).

Penggunaan bahasa semacam inilah yang dikritik dan ingin diubah para feminis. Argumennya adalah bahwa pemakaian bentuk maskulin sebagai standar bukan saja tidak adil, melainkan juga memiliki pengaruh buruk terhadap pandangan pemakai bahasa mengenai peran gender. Misalnya, meskipun kalimat “Ein Arzt sollte seine Patienten gründlich untersuchen” dipahami sebagai pernyataan tentang dokter secara umum (laki-laki dan perempuan), bentuk maskulin “Arzt” membuat orang secara spontan akan membayangkan seorang dokter laki-laki. Dalam diri seseorang yang sehari-hari sering membaca atau mendengar pernyataan semacam itu, secara tidak sadar akan terbentuk anggapan bahwa dokter itu merupakan profesi laki-laki. Kekuatan bahasa dalam membentuk kesadaran itu dapat bersifat reaksioner: Meskipun seseorang sudah sering bertemu dengan dokter perempuan, kalau bahasa menyampaikan kesan bahwa dokter itu umumnya laki-laki, para dokter perempuan itu akan dianggapnya sebagai perkecualian saja.

Namun solusi tidak mudah dicari. Yang paling sering dilakukan adalah menggunakan kedua bentuk – feminin dan maskulin – dalam pernyataan-pernyataan umum atau kalau berbicara tentang kelompok yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Tapi terutama untuk tulisan/ungkapan yang agak panjang, cara itu terasa cukup merepotkan. Kalimat-kalimat membengkak sehingga tidak enak dibaca. Dalam kalimat mengenai dokter di atas misalnya, “ein Arzt” akan diganti “ein Arzt oder eine Ärztin” (“seorang dokter laki-laki atau seorang dokter perempuan”) atau “ein Arzt/eine Ärztin” (“seorang dokter laki-laki/perempuan”), dan kata “Patienten” akan diganti “Patienten und Patientinnen” (“pasien laki-laki dan pasien perempuan”), sehingga kalimatnya berbunyi “Ein Arzt/eine Ärztin sollte seine/ihre Patienten und Patientinnen gründlich untersuchen” Hampir tidak terbayangkan membuat atau membaca sebuah tulisan panjang tentang hubungan dokter dengan pasien yang mematuhi aturan political correctness semacam ini.

Cara lain yang dikembangkan adalah neologisme semacam “PatientInnen” – huruf besar di tengah kata dimaksudkan sebagai tanda bahwa yang dimaksudkan adalah perempuan dan laki-laki, tanpa harus menulis “Patienten und Patientinnen” yang lebih panjang. Tapi kata semacam itu tentu hanya dapat digunakan secara tertulis, kalau dibaca kita tetap harus menggantinya dengan “Patientinnen und Patienten” atau “Patienten und Patientinnen”.

Kerumitan-kerumitan itu membuat banyak penulis segan menggunakan bahasa yang “tanpa bias gender” tersebut. Tidak jarang pada awal sebuah tulisan kita menemukan keterangan yang berbunyi kira-kira seperti ini: “Untuk membuat tulisan ini lebih nyaman dibaca saya akan menggunakan bentuk maskulin saja, namun bukan berarti saya mengecualikan perempuan.” Solusi lain yang mulai digunakan adalah memakai bentuk maskulin dan feminin secara bergantian dengan kreatif dan dengan mempertimbangkan konteks. Namun cara terakhir ini tidak mudah dilakukan, dibutuhkan sensitifitas bahasa yang cukup tinggi agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Meskipun ada kerumitan-kerumitan tersebut, bukan berarti intervensi feminis terhadap bahasa Jerman tidak ada hasil positifnya. Khususnya dalam perjuangan demi keadilan gender di bidang tenaga kerja, politik bahasa feminis cukup berpengaruh. Iklan lowongan kerja di Jerman sekarang wajib menyebut pekerjaan yang diiklankan dalam bentuk feminin dan maskulin sehingga tidak timbul kesan bahwa pekerjaan tertentu hanya layak dilakukan laki-laki atau hanya layak dilakukan perempuan. Hal yang sama juga berlaku untuk deskripsi profesi, misalnya untuk orang yang mengikuti pendidikan atau training tertentu.

Disamping persoalan nomina agentis yang mendapat perhatian khusus karena berhubungan erat dengan keadilan genderdi dunia kerja, masih banyak detil penggunaan bahasa yang lain yang dikritik dari perspektif feminisme. Salah satu adalah kata “Fräulein” yang dulu digunakan sebagai panggilan untuk perempuan yang belum menikah (kira-kira seperti “Nona” dalam bahasa Indonesia atau “Miss” dalam bahasa Inggris). Panggilan itu dikritik karena dianggap tidak adil: Untuk laki-laki hanya ada satu panggilan, yaitu “Herr”, mengapa untuk perempuan kita mesti membedakan antara “yang sudah menikah” (dipanggil “Frau”) dan “yang belum menikah” (“Fräulein”), seakan-akan yang paling penting pada identitas seorang perempuan adalah apakah dia punya suami atau tidak? Kata “Fräulein” sekarang sudah hampir terhapus sama sekali dari kosa-kata bahasa Jerman, semua perempuan dewasa dipanggil “Frau” saja.

Bahasa-bahasa Eropa yang lain pun menghadapi persoalan-persoalan yang serupa, meski setiap bahasa tentu memiliki ciri yang berbeda dan reaksi terhadapnya pun tidak seragam. Dalam bahasa Inggris misalnya kebanyakan kata-benda tidak bergenus seperti dalam bahasa Jerman, namun lewat penggunaan kata-ganti “he”, tetap saja laki-laki selalu dianggap standar. Misalnya dalam sebuah tulisan yang tidak politically correct tentang sang pembaca (“the reader”), kata “the reader” akan diganti dengan “he”, bukan dengan “she”, seakan-akan sang pembaca itu sudah pasti seorang laki-laki. Di samping itu terdapat nomina agentis seperti “salesman” atau “chairman” yang awalnya tidak memiliki bentuk feminin. Politik bahasa feminis kini telah mempopulerkan kata seperti “saleswoman” dan “chairwoman”, serta “salesperson” dan “chairperson” yang bisa digunakan baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan.

Yang terjadi di Perancis lebih unik lagi. Walaupun pada tahun 1986 pemerintah Perancis telah membuat peraturan panduan penggunaan dan pembentukan kata-benda untuk menyebut profesi atau jabatan sesuai dengan gender, bentuk feminin jarang digunakan, terutama untuk profesi dan jabatan yang bergengsi tinggi. Anehnya, justru banyak perempuan segan menggunakan bentuk feminin untuk menyebut posisi diri mereka, misalnya perempuan yang menjabat sebagai menteri memilih menggunakan kata “le ministre” daripada “la ministre” (“le” adalah artikel maskulin, “la” artikel feminin). Alasannya adalah bahwa bentuk feminin terasa “kurang bergengsi”. Hal itu baru mulai berubah setelah sekali lagi ada keputusan pemerintah soal penggunaan bentuk feminin untuk perempuan pada tahun 1997, disusul dengan pemberian jabatan pada beberapa perempuan dengan bentuk feminin yang kemudian benar-benar digunakan mereka sebagai aksi demonstratif. Namun apakah pembaruan itu kemudian diadopsi secara luas, terutama oleh media massa, masih belum bisa dipastikan.

***

Apa hubungan persoalan-persoalan politik bahasa feminis di negara-negara Eropa dengan Indonesia? Untuk apa saya menceritakan detil-detil dan kerumitan yang terjadi di negeri asal saya dan negara-negara tetangganya dengan demikian rinci?

Yang ingin saya sampaikan terutama betapa ruwet dan sulitnya politik bahasa feminis di negara-negara tersebut, disebabkan oleh sifat bahasanya yang berbias gender. Kerumitan yang dihadapi tersebut perlu disadari kalau kita berbicara tentang bahasa Indonesia yang sifatnya sama sekali berbeda. Secara umum feminisme yang berkembang di Barat tidak dapat begitu saja diaplikasikan di bagian dunia yang lain tanpa menyesuaikannya dengan konteks. Hal itu lebih-lebih berlaku di bidang politik bahasa. Politik bahasa feminis merupakan reaksi terhadap seksisme yang terdapat dalam bahasa tertentu. Karena itu, berbicara tentang bahasa Indonesia kita mesti memulai dengan bertanya: Apakah bahasa Indonesia itu seksis, dan kalau ya, ciri bahasa yang mana yang seksis?

Mari kita mulai dengan persoalan nominia agentis yang saya bicarakan di atas. Dalam bahasa Indonesia umumnya nomina agentis tidak bergender: dari “buruh” sampai “direktur”, “tukang kebun” sampai “dosen”, “ketua OSIS” sampai “presiden”, kata-kata yang mendeskripsikan profesi atau jabatan seseorang tidak memberi informasi tentang genderorang yang dimaksud. Hanya ada beberapa perkecualian, yaitu kata yang berasal dari bahasa Sanskerta seperti “mahasiswa” dan “mahasiswi”, “karyawan” dan “karyawati”, “pramugara” dan “pramugari”, “peragawan” dan “peragawati”. Dari kata sejenis itu pun hanya sebagian yang benar-benar digunakan sebagai bentuk maskulin dan feminin secara eksklusif: Kata “mahasiswi” misalnya hanya merujuk pada perempuan, tapi “mahasiswa” digunakan bukan hanya untuk laki-laki, tapi juga untuk perempuan, sehingga kalau misalnya kita sedang membicarakan sekelompok mahasiswa yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, tidak perlu kita menyebutnya “mahasiswa dan mahasiswi” seperti kita akan menggunakan “Studenten und Studentinnen” dalam bahasa Jerman. Hanya “pramugari” dan “peragawati” yang jarang kedengaran bentuk maskulinnya, mungkin karena kedua profesi itu lebih banyak digeluti perempuan – paling tidak begitulah stereotipenya.

Dalam bahasa-bahasa Eropa yang saya bicarakan di atas, ada dua strategi yang digunakan untuk menghilangkan bias gender dalam penggunaan nomina agentis:

1. selalu menyebut bentuk maskulin dan feminin (misalnya “Studenten und Studentinnen”),

2. menggunakan nomina agentis yang netral (tanpa gender), kadang-kadang dengan menciptakan kata baru (misalnya “salesperson”).

Strategi yang mana dipilih tergantung terutama dari sifat dan kekhasan masing-masing bahasa: Dalam bahasa Jerman dan Perancis, strategi yang pertama lebih sering digunakan sebab hanya dalam beberapa kasus saja nomina agentis yang netral dapat dicari, sedangkan dalam bahasa Inggris strategi kedua lebih sering digunakan.

Melihat sifat bahasa Indonesia dengan nomina agentisnya yang umumnya tidak bergender, tentu strategi untuk menghilangkan bias genderpada nomina agentis tidak dibutuhkan. Nomina agentis dalam bahasa Indonesia sudah netral, artinya sudah sesuai dengan strategi kedua, tanpa perlunya pembentukan istilah-istilah baru seperti dalam bahasa Inggris. Dan bahkan persoalan dengan kata-ganti-orang-ketiga seperti yang selalu saja muncul dalam bahasa Inggris (meskipun orang membentuk kata baru semacam “chairperson”, tetap saja pada saat menggantinya dengan kata-ganti orang harus memilih antara “he” atau “she”, atau menyebut keduanya), tidak terjadi dalam bahasa Indonesia: Kata-ganti-orang-ketiga hanya “dia”, sama untuk laki-laki dan perempuan. Maka mungkin tidak terlalu berlebihan kalau kita menyimpulkan bahwa paling tidak menyangkut nomina agentis dan kata-ganti-orang-ketiga, bahasa Indonesia sebetulnya sangat sesuai dengan impian para politikus bahasa feminis di negara-negara Barat.

Apakah gender mungkin berperan dalam unsur struktur, kosa-kata dan tata-bahasa Indonesia yang lain, mungkin unsur yang justru tidak ada hubungannya dengan gender dalam bahasa-bahasa Eropa? Dalam bahasa Thai misalnya tidak terdapat perbedaan gender pada kata-ganti-orang-ketiga, tapi pada kata-ganti-orang-pertama (artinya, perempuan menggunakan kata yang berbeda untuk mengatakan “saya”/”aku” dari laki-laki). Dalam bahasa Indonesia saya tidak menemukan unsur semacam itu. Tampaknya dalam bahasa Indonesia gender sama sekali tidak hadir sebagai kategori gramatikal. Tentu saja ada kata yang merujuk pada manusia dengan gender tertentu – misalnya “perempuan”, “laki-laki”, “ibu”, “ayah”, “abang”, “bibi”, “suami”, “suster” – tapi kata itu tidak diperlakukan berbeda secara gramatikal. Maka kata seperti “bencong” atau “transeksual” pun tidak menimbulkan persoalan apapun secara gramatikal, sebab orang tidak perlu mengambil pilihan antara bentuk gramatikal yang maskulin atau yang feminin (seperti misalnya kata-ganti atau artikel).

Satu-satunya ciri bahasa yang mungkin dapat dikatakan berbias gender adalah panggilan. Perbedaan seperti antara “Frau” dan “Fräulein” dalam bahasa Jerman tidak begitu berarti dalam bahasa Indonesia (memang terdapat kata “Nyonya” dan “Nona”, tapi jarang digunakan dalam bahasa Indonesia masa kini). Panggilan antara sepasang suami-istri atau kekasih, khususnya panggilan si perempuan untuk pasangan laki-lakinya, biasanya dipinjam dari istilah kekerabatan (sering dari bahasa daerah), seperti “Mas”, “Kang”, “Abang”. Panggilan semacam itu mungkin dapat dikatakan seksis sebab mengisyaratkan adanya hubungan hierarkis antara laki-laki dan perempuan seperti antara kakak dan adik. Saya katakan “mungkin”, sebab makna dan kandungan panggilan-panggilan tersebut sangat tergantung pada budaya setempat (budaya daerah/etnis). Kalau kita tidak ingin melakukan generalisasi yang berlebihan, ada atau tidak adanya seksisme dalam panggilan semacam itu perlu diselidiki lebih lanjut untuk setiap budaya nusantara.

Disamping itu penggunaan nama suami sebagai panggilan untuk perempuan yang sudah menikah (misalnya istri seorang laki-laki bernama Pardi dipanggil “Bu Pardi”) telah semakin dipopulerkan selama Orde Baru, sesuai dengan filsafat Dharma Wanita bahwa peran utama perempuan adalah menjadi “pendamping” suaminya. Ironis memang, di saat negara-negara Barat mulai menghapus aturan sejenis itu – di Jerman misalnya pasangan yang menikah kini dapat memilih apakah mereka ingin menggunakan nama keluarga suami, nama keluarga istri, atau mempertahankan nama keluarga masing-masing – di Indonesia kebiasaan yang semula tidak ada itu justru ditumbuhkan.

Bahasa Indonesia pada dasarnya tidak mengenal genus/gender, tapi itu tidak berarti bahwa di Indonesia seksisme tidak ada hubungannya dengan bahasa. Bahasa apa pun dapat menjadi seksis kalau digunakan secara seksis, tidak terkecuali bahasa Indonesia. Contohnya, katakanlah seseorang berbicara tentang sebuah pesta yang dihadiri oleh pejabat-pejabat yang bekerja pada sebuah instansi pemerintahan dengan mengucapkan kalimat berikut: “Para pejabat menghadiri pesta didampingi istri masing-masing.” Meskipun kata “pejabat” tidak bergender, artinya bisa digunakan baik untuk pejabat laki-laki maupun untuk pejabat perempuan, dengan adanya kata “istri”, dalam kalimat ini terdapat asumsi bahwa pejabat itu semuanya laki-laki. Kecuali kalau di antara pejabat yang hadir di pesta tersebut tidak ada satu pun perempuan, ucapan di atas jelas-jelas bersifat seksis.

Contoh lain, kata “kepala” pada istilah “kepala keluarga” tidak bergender, namun karena menurut nilai masyarakat seorang kepala keluarga selalu laki-laki, kata itu tidak biasa digunakan untuk seorang perempuan, meskipun secara de facto tidak sedikit rumah tangga yang dikepalai seorang perempuan.

Melihat gejala-gejala semacam itu, nyata bahwa politik bahasa feminis di Indonesia bukan tidak perlu. Untuk menghilangkan bias gender dalam penggunaan bahasa, kalimat-kalimat ala Orde Baru seperti kalimat tentang pejabat di atas perlu dihindari. Atau misalnya kritik feminis dapat dilakukan dengan menggunakan kata “kepala keluarga” untuk seorang perempuan dalam konteks-konteks tertentu untuk menyadarkan orang akan seksisme dalam penggunaan kata itu.

Tapi, anehnya, apa yang dilakukan atas nama feminisme atau mungkin lebih tepat political correctness di Indonesia malah sama sekali berbeda. Seperti sudah saya sebut di awal tulisan ini, berbagai nomina agentis yang khusus perempuan tiba-tiba banyak bermunculan akhir-akhir ini. “Pengarang perempuan”, “perempuan pengarang”, “sastrawati”, untuk sekedar menyebut satu contoh profesi saja. Tentu saja dalam sebuah bahasa dengan nomina agentis yang tidak bergender seperti bahasa Indonesia, kadang-kadang spesifikasi gender dibutuhkan. Dalam konteks tertentu mungkin gender seorang pengarang perlu ditekankan, atau kita merasa perlu berbicara secara khusus tentang pengarang yang perempuan. Untuk itu menurut pandangan saya penggunaan kata “perempuan” dan “laki-laki” sebagai kata-sifat di belakang nomina agentis utama (“pengarang perempuan”) cukup sesuai untuk mempertahankan sifat bahasa yang bebas bias gender.

Tapi kata seperti “sastrawati” dan “perempuan pengarang” bagi saya justru terkesan seksis. “Sastrawati” sebagai pasangan atau lawan kata “sastrawan” menyalahi logika bahasa Indonesia: “sastrawan” sudah menjadi nomina agentis yang netral (mencakupi sastrawan laki-laki dan perempuan), sehingga kalau kita berbicara tentang “sastrawan dan sastrawati”, sastrawan perempuan telah disebut dua kali. Dalam konteks ini kita seakan-akan dipaksa memahami kata “sastrawan” sebagai bentuk maskulin – bias gender yang awalnya tidak terdapat dalam bahasa Indonesia malah diciptakan!

Istilah “perempuan pengarang” yang akhir-akhir ini sangat populer di berbagai media pun menyalahi aturan yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia berlaku aturan bahwa “yang-diterangkan” disebut lebih dahulu, barulah “yang-menerangkan” dicantumkan di belakangnya, berbeda misalnya dengan bahasa Inggris di mana aturan yang sebaliknya berlaku. Misalnya, “baju biru” menjadi “blue shirt” dalam bahasa Inggris, “dokter perempuan” menjadi “woman doctor” dan sebagainya. Jadi, menurut tata-bahasa yang berlaku, yang benar adalah “pengarang perempuan”, bukan “perempuan pengarang”.

Mungkin istilah “perempuan pengarang” muncul awal-awal sebagai terjemahan yang keliru dari istilah bahasa Inggris “woman writer”. Tapi hal itu belum menjelaskan mengapa istilah itu bisa menjadi begitu populer dan banyak digunakan oleh ahli-ahli sastra yang seharusnya memahami tata-bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Menurut struktur bahasa Indonesia yang disebut di atas, kata-benda yang utama disebut/ditulis lebih dulu, lalu kata yang menyusul di belakangnya merupakan keterangan tentang kata utama itu. Sebuah “baju” disebut, kemudian kita diberi keterangan bahwa baju itu berwarna “biru”. Seorang “dokter” dibicarakan, dengan keterangan bahwa dokter itu berjenis kelamin “perempuan”. Menggunakan logika ini, dalam istilah “perempuan pengarang”, kata utama adalah “perempuan”, sedangkan “pengarang” merupakan keterangannya. “Perempuan pengarang” bukanlah seorang pengarang yang berjenis kelamin perempuan, melainkan seorang perempuan yang menjadi pengarang. Yang utama adalah keperempuanannya, kepengarangannya sekunder. Bukankah ini yang disebut bahasa yang seksis itu?

Tapi sekalipun yang digunakan bukan istilah sejenis “sastrawati” atau “perempuan pengarang”, melainkan sekadar kata sifat “perempuan” (seperti dalam “pengarang perempuan”), bias gender tetap saja dapat terjadi. Saya tidak jarang membaca tulisan di mana keterangan gendercenderung diberikan setiap kali berbicara tentang seorang perempuan, seakan-akan dengan cara itu sebuah ungkapan menjadi semakin politically correct. Padahal hanya dalam konteks tertentu keterangan gender akan benar-benar dibutuhkan. Kalau misalnya kita membicarakan seseorang yang gendernya sudah diketahui, atau kalau apa yang ingin disampaikan tidak ada sangkut pautnya dengan gender orang yang sedang dibicarakan, kesan yang timbul justru janggal. Mengapa perempuan mesti terus-menerus disebut secara khusus, seakan-akan kalau tidak disebut, perempuan akan dikecualikan? Bukankah sifat mengecualikan perempuan semacam itu hanya ada pada bahasa-bahasa Barat dan tidak ada pada bahasa Indonesia?

Politik bahasa feminis di Indonesia seharusnya memanfaatkan sifat bahasa Indonesia yang bebas bias gender dengan maksimal. Feminis Indonesia tidak perlu repot-repot menciptakan istilah-istilah baru dan bergelut dengan berbagai keruwetan gramatikal seperti rekan mereka di negara-negara Barat. Mereka tinggal menggunakan bahasa yang sudah ada, dan berusaha selalu menjaga sifat bebas bias gendernya dengan sebaik-baiknya lewat penggunaan bahasa yang cermat. Tugas mereka selanjutnya adalah mengawasi, mengkritik, dan kalau bisa menghapus kecenderungan-kecenderungan seksis yang terdapat dalam penggunaan bahasa (yaitu penggunaan bahasa yang meniadakan atau menyempitkan sifat bebas bias gender yang sudah ada pada bahasa Indonesia), misalnya di media massa atau dalam bahasa pergaulan sehari-hari.

Salah satu bentuk politik bahasa yang saya anggap cukup tepat adalah pilihan untuk menghindari kata “wanita” dan menggantinya dengan “perempuan”. Kata “wanita” terlalu erat kaitannya dengan Dharma Wanita dan segala macam bentuk politik gender Orde Baru yang sangat seksis itu. Artinya, menghindari kata “wanita” adalah sebuah strategi bahasa yang kontekstual, terkait dengan sejarah dan situasi sosial-politik di Indonesia saat ini. Kontekstualitas semacam itu justru tidak ada dalam kasus penggunaan istilah seperti “perempuan pengarang” dan sejenisnya. Tampaknya beberapa bentuk politik bahasa feminis dari negara-negara Barat diaplikasikan begitu saja tanpa memperhatikan perbedaan konteks, dalam hal ini perbedaan sifat bahasa. Hasilnya, bahasa bukannya menjadi semakin bebas bias gender, melainkan sebaliknya malah menjadi seksis!

*Katrin Bandel, kritikus sastra, tinggal di Jogjakarta

Comments
  1. mashambal says:

    🙂 so sweet, dear.

  2. Bukankah frasa “pengarang perempuan” menjadi ambigu dengan makna “orang yang mengarang tentang perempuan”, seperti halnya “pelukis perempuan” cenderung bermakna “orang yang melukis perempuan”?

  3. […] dengan bahasa Indonesia? Uraian dari Katrin Bandel, dosen IRB Sanata Dharma Yogyakarta, dalam “Apakah Bahasa Indonesia itu Seksis” setidaknya bisa memberikan gambaran mengenai kekuatan Bahasa Indonesia yang bebas bias gender […]

Leave a comment