Archive for 18/10/2011

oleh Wawan

Minimal, sekali atau dua kali seorang pembaca sastra Indonesia (yang tidak hidup membaca dan berkarya secara soliter tentu saja) pasti pernah mendapati nama Saut Situmorang dan Goenawan Mohamad muncul nyaris bersamaan, bahkan dalam satu hela nafas atau dalam satu kalimat. Entah itu dalam esai, perbincangan, postingan blog, atau status facebook. Mungkin memang itu tugas mereka dalam sejarah sastra Indonesia: yang satu di awang-awang dengan komunitasnya yang terbilang mapan dan satunya lagi blusukan bersama penulis-penulis muda, mengobarkan semangat anti kemapanan sastra. Dampak ekstremnya, mungkin seorang pembaca sastra akan beranggapan Saut itu benci karya Goen (saya sebut Goen, demi bersikap adil karena memanggil saut juga dengan hanya 4 huruf, tanpa mengabaikan hormat kepada orang yang lebih tua ) dan begitu pula sebaliknya. Tapi, buat saya, sulit rasanya membawa pertikaian “politik sastra” mereka ke ranah kreatif. Saya tidak akan sebutkan sebabnya dalam sebuah pernyataan positif. Saya akan ajak Anda ke satu pembacaan saya atas masing-masing satu karya dari kedua penyair tersebut, yang pada tataran tertentu, menunjukkan kepada saya “kehandaitolanan kreatif” antara kedua penyair itu.

Saya menikmati puisi secara swasta, dan ada kalanya, dalam proses itu saya benar-benar menemukan kenikmatan. Kenikmatannya sih sederhana saja: hati senang, pikiran seperti menjadi berpacu dan ngelayap ke sana-sini, dan dalam pikiran yang ngelayap itu, segala yang tak akur tampak seperti karib yang berdesak-desakan. Terkait bunyi, saya tentu juga bisa merasakan kenikmatan saat bunyi bersaut-sautan dengan kuat. Tapi, karena saya lebih banyak memutar puisi untuk mendapatkan sensasi imaji, dan karena memang saya bukan seorang deklamator yang baik, maka seringkali elemen bunyi dari sebuah puisi berhenti begitu saya menemukan bahwa rima, aliterasi dan asosiasi bunyi sebuah puisi cukup menghibur–saya tidak pernah sampai mengeksplorasi kekuatan bunyi lewat deklamasi.

Salah satu buku sajak yang sering saja jenguk di malam-malam yang dingin, di remang lampu 5 watt (saatnya menidurkan anak, tapi sekaligus saya pingin napak tilas Malcolm X yang membaca suntuk dengan tempias cahaya dari luar selnya), adalah buku Otobiografi karya penyair protes Saut Situmorang. Sajak-sajaknya selalu memancing saya mereka-reka jejak sajak atau karya sastra lain terdahulu–apalagi Saut juga menjelaskan dengan tegas di esainya adanya ketegangan abadi antara “tradisi” atau intertekstualitas dan bakat murni seorang penyair. Sekilas saja akan terlihat berbagai jejak, mulai jejak peringatan bungkus rokok, novela Hemingway, Sapardi Hudjan Damono, Goenawan Kundang, dll.

Tadi malam, sajak dari buku Otobiografi yang kebagian tugas memberi saja kenikmatan adalah sajak “Kepada P” yang begini bunyinya:

di kotaku
yang pernah merasakan
panas bibirmu, malam turun
memperkelam segala.
jalanan
cuma aspal hitam
kerontang kehilangan basah
hujan birahi musim.
kata kata pun
menghilang ke bukit tandus

tempat dikubur segala yang mati.

bayang bulan
menambah sunyi malam. tak ada
gonggong anjing yang dulu
mencoba menyesatkan
langkahku dari hangat hitam rambutmu.
cinta dan penyair keduanya
matikah? atau cuma
sekedar rindu?
2007

(Situmorang, 160)

Saat membaca lagi puisi ini tadi malam itu (entah mengapa saya tiba-tiba sadar tidak pernah benar-benar menyuntuki puisi Saut yang satu ini) saya merasa seperti pernah merasakan sensasi yang saya rasakan saat membaca saat ini. Seperti ada Deja Vu yang tidak sempurna. Saya merasa pernah berpapasan dengan sajak serupa ini, entah sekuat atau selemah apapun kemiripannya?

Setelah membaca beberapa kali, perhatian saya terfokus pada “malam turun memperkelam segala” yang tentu saja di mata ingatan saya terdengar seperti gema terdistorsi dari “gerimis mempercepat senja” dari “Senja di Pelabuhan Kecil” sang binatang jalang. Saut tidak langsung saja menerima dan mengulangi gagasan bahwa gerimis bisa membuat senja semakin kelam. Dia membawanya ke level yang lebih jauh: malam, yang merupakan wujud matang dari senja, menyempurnakan segala bentuk kekelaman. Bahkan, buat aku lirik dalam sajak ini, “segalanya” (yang notabene tidak terbatas pada sesuatu yang sejak awalnya sudah muram) bisa dibikin kelam oleh malam. Kalau dalam pembacaan saya, tentu saja bukan kebetulan eksplorasi ini muncul dari Saut Situmorang. Di suatu kesempatan, dia pernah mengaku melakukan penelitian terhadap karya-karya Chairil Anwar ketika menjalani kuliah S2 di Selandia Baru.

Yang kedua menarik-narik saya adalah “jalanan cuma aspal hitam kerontang kehilangan basah hujan birahi musim.” Konstruksi kalimat “bla-bla-bla HANYA bla-bla-bla” ditambah dengan adanya imaji tentang “basah” di sini tak urung menyeret ke sebuah sajak yang buat saya mampu menghadirkan imajinasi yang kuat: Dingin Tak Tercatat. Betul, sajak Dingin Tak Tercatat karya Goenawan Mohamad, yang bisa disamakan dengan musuh terbesar yang pengaruhnya ingin Saut obrak-abrik, andaikan jagad sastra Indonesia ini adalah “dunia kang ouw” istilah jagad persilatan yang lazim dipakai di karya-karya Kho Ping Ho (cerita silat kegemaran Saut). Bagaimana bisa imaji saya terbawa ke Dingin Tak Tercatat? Mari kita baca lagi selengkapnya sajak Dingin Tak Tercatat:

Dingin tak tercatat
pada termometer

Kota hanya basah

Angin sepanjang sungai
mengusir, tapi kita tetap saja

disana. Seakan akan

gerimis raib
dan cahaya berenang

mempermainkan warna

Tuhan, kenapa kita bisa
bahagia?
1971

(Mohamad, 47)

Baris ketiga yang hanya terdiri dari tiga kata itu ternyata sangat kuat tertancap di kesadaran saya. Struktur sintaksisnya sangat sederhana tapi khas: kata benda + hanya + kata sifat. Jalan hanya basah, kira-kira sepadan dengan: saya hanya ngeri, tapi dalam artian “yang saya rasakan hanya kengerian,” bukan “saya sekadar ngeri (tapi tidak takjub atau dll).” Sepertinya itulah yang membuat struktur itu khas, atau paling tidak jarang saya temui dalam perbincangan sehari-hari. Maka, ketika saya membaca kalimat yang agak-agak mirip secara sintaksis agak berbeda, yaitu “jalanan hanya aspal hitam kerontang kehilangan basah hujan birahi musim,” saya pun terbawa kepada Dingin Tak Tercatat (mohon maaf kepada Saut yang, andai bisa, pasti akan memarahi kalimat ciptaannya ini karena telah menghadirkan Goen–tapi, Saut tahu pasti, setelah tertulis, penulis sama sekali tidak punya otoritas atas pemaknaan karyanya).

Tapi, lagi-lagi, dalam puisi “Kepada P” ini, imaji dari “Dingin Tak Tercatat” itu tidak digunakan secara siap-pakai. Imaji tentang “Jalan hanya basah” itu justru dibalik menjadi “Jalanan hanya aspal hitam yang KERONTANG KERONTANG KEHILANGAN BASAH hujan birahi musim.” Imaji yang dihadirkan Saut mengesankan sesuatu yang “keras.” Jalanan basah yang terkesan sendu itu diporak-porandakan dengan imaji tentang jalan dengan aspal yang kerontang. Pada titik ini, saya mulai curiga, jangan-jangan “Kepada P” ini benar-benar bisa “menghancurkan” imaji sendu bin muram al-romantis dalam “Dingin Tak Tercatat”?

Maka mulailah saya baca keduanya secara berdampingan. Tapi, mohon maaf, saat pembacaan puisi sudah diiringi dengan hipotesa-hipotesa seperti ini, bisa jadi segala hal bisa terjadi. Apa yang mungkin tidak ada dalam sebuah puisi bisa jadi benar-benar ada. Seringkali, saat bertindak ekstra kritis, kita tidak mampu lagi membedakan antara apa yang benar-benar terlihat dan apa yang ingin kita lihat. Tapi sudahlah, toh yang saya kejar adalah kenikmatan. Begini ceritanya:

Oh ya, karena kecurigaan saya adalah “Kepada P” berpotensi menghancurkan imaji yang dibangun “Dingin Tak Tercatat,” maka pembacaan saya akan cenderung berangkat dari bangunan yang citranya akan dihancurkan, yaitu “Dingin Tak Tercatat,” dan kemudian dilanjutkan dengan bangunan penghancur citra, “Kepada P.” Teknisnya, saya akan mengiris kedua puisi itu masing-masing ke dalam lima bagian. Karena kedua penyair ini adalah pengguna kalimat yang setia, yang puisi-puisinya terlihat jelas terdiri dari kalimat-kalimat lengkap, maka pembagiannya pun berdasarkan kalimat, bukan baris. Anda boleh saja menuduh saya orang yang suka memutilasi puisi dan memperlakukannya sebagai objek. Boleh saja. Tapi saya tegaskan di sini, saya mengiris-iris puisi itu demi melihat anatomi yang mungkin bisa tercermin pada tiap irisannya. Dan saya juga tidak berhak memisahkan antara irisan satu dengan lainnya.

Baiklah, mari kita mulai:

Irisan pertama:

Dua baris pertama “Dingin tak tercatat” langsung membentuk suasana dingin yang luar biasa, yang tak terbaca pada termometer (oh ya, sebenarnya termometer bukan untuk “mencatat” temperatur, Oom Goen, tapi untuk MENGUKUR temperatur ). Sepertinya, puisi ini berlatarkan sebuah musim dingin di sebuah tempat yang kemungkinan besar bukan Indonesia. Lazimnya, cekaman hawa musim dingin dan gersangnya pasca musim gugur memberikan kesan kemurungan, kehilangharapanan. Sementara itu, pada “Kepada P,” tidak dijelaskan seperti apa latar suhunya. Yang jelas, imajinasi yang ditawarkan oleh aku lirik adalah sebuah tempat “yang pernah merasakan panas bibirmu.” Tidak dijelaskan/ditentukan apakah sekarang masih panas atau malah sebaliknya sangat dingin, yang pasti saat ini si kota tidak lagi merasakan BIBIR itu. Kota ini sekarang dalam keadaan telah “kehilangan.” Ada yang berkurang dari kota ini. Tak hanya ada suasana kehilangan, aku lirik menambahkan dengan “malam memperkelam segalanya”: hadirnya malam itu membuat segalanya semakin suram. Bukan suhu yang jadi masalah, tapi “kehilangan” dan “kemuraman.” Selain itu, bukan kelembutan bibir atau kehangatan bibir yang membantu membentuk suasana, tapi “panas” atau gairah yang membara yang ikut membentuk suasana itu.

Irisan kedua:

Di baris “Kota hanya basah,” kalau kita sudah membaca tentang dingin yang luar biasa pada dua baris selanjutnya, kita akan semakin mendapatkan cekaman kemurungan yang terasa lembut. Tapi, yang terjadi di sektor Saut semakin liar. “Jalanan cuma aspal hitam,” tidak ada apa-apa di sana; cuma aspal hitam biasa. Selain itu, aspal tersebut sudah kerontang tanpa hujan. Untuk semakin memperkuat hujan, maka dipadankanlah ia dengan “birahi musim:” hujan adalah puncak gairah musim. Tapi, di sini yang seperti itu tidak ada. Maka, yang kita dapatkan adalah jalanan yang hanya aspal hitam biasa tanpa hasil keliaran nafsu musim. Lagi-lagi, kita diajak untuk membicarakan sesuatu yang lebih dari sekadar ruang; “Kepada P” mengajak kita membicarakan tentang perasaan.

Irisan ketiga:

Pada kalimat selanjutnya, “Dingin Tak Tercatat” menghadirkan “Angin sepanjang sungai mengusir.” Tentu, dalam dingin tak bahkan di termometer pun tak terbaca, hembusan angin akan menghasilkan “wind chill,” yang artinya semakin menurunkan suhu. Dari yang normalnya, katankanlah, -10 derajat Celsius, bisa-bisa suhu menjadi -12 hingga -15. Inilah yang mengusir aku lirik. Tapi, si aku dan seorang lirik lainnya tak juga mau meninggalkan TKP. Mereka terus bertahan di cekaman dingin. Di akhir kalimat ini, kita sudah tahu bahwa puisi berbelok arah, dari dingin yang sangat dan mengesankan suasana yang tidak menyenangkan, menjadi kebersamaan yang dinikmati.

Sementara itu, dalam “Kepada P,” melanjutkan baris-baris yang sebelumnya memberikan imaji tentang hilangnya panas bibirmu, tidak adanya lagi gairah, kini aku lirik bertutur tentang “kata-kata yang menghilang ke bukit tandus, tempat dikubur segala yang mati.” Di sini, aku sudah benar-benar sendiri, dan tidak ada lagi yang namanya berkata-kata. Imaji kehilangan demi kehilangan yang dibangun pada baris-baris sebelumnya semangkin dilengkapi di sini: kata-kata sudah kabur, dan kaburnya ke tempat segala yang mati. Seolah-olah, yang tersisa hanya sunyi, sunyi yang semakin intens.

Ah, turut berduka atas kemurunganmu wahai aku-lirik. Betapa senjangnya: sementara di tempat Oom Goen sana si aku lirik tetap bertahap bersama dengan seorang lainnya (saya bayangkan dia seorang kekasih), abai pada dingin yang mengiris-iris daun kuping.

Irisan keempat:

Di baris-baris selanjutnya dalam “Dingin Tak Tercatat”, si aku lirik semakin membanggakan diri (meskipun wujud kebanggaannya sangat tersamar): Seakan-akan gerimis raib dan cahaya mempermainkan warna. Kalimat ini mulai mendukung pernyataan si aku lirik yang sebelumnya, yaitu meskipun dingin angin di sepanjang sungai mestinya mengusir dia, mereka tetap saja bertahan. Kini, gerimis bahkan seakan raib, seakan tak terasa, dan cahaya yang ada mempermainkan warna. Mestinya, warna yang dipermainkan menghasilkan efek yang menyenangkan, atau setidaknya tidak menambah kemurungan, atau mendukung seakan raibnya gerimis. Sekali lagi, dijelaskan di sini bahkan si aku lirik dan kau lirik tidak terlalu merasakan kesusahan meski dingin luar biasa.

Dari “Kepada P”, saya ingin mengambil empat baris (dua kalimat) sekaligus, yang berbunyi “bayang bulan menambah sunyi malam. tak ada gonggong anjing yang dulu mencoba menyesatkan langkahku dari hangat hitam rambutmu.” Di kalimat pertama terlihat jelas bahwa bayang bulan–apakah yang dimaksud di sini bayang-bayang dari segala hal yang tercipta karena cahaya bulan? ataukah bayangan bulan di atas air? ataukah bulan yang membayang atau terlihat samar-samar karena tertutup sesuatu?–malah menambah kesunyia malam. Bulan atau cahaya minim yang ada hanya membuat malam yang, kalau dirasakan sejak awal puisi tadi, dipenuhi dengan rasa kehilangan kini menjadi semakin sunyi. Ah, kalau sudah sunyi, cahaya pun hanya menambah sunyi. Kalau sedang susah, dikasih hiburan sedikit pun tambah membuat kita merasa bahwa kita sebenarnya sedang kesusahan. Bahkan, di malam yang sunyi ini, “tak ada gonggong anjing yang dulu mencoba menyesatkan langkahku dari hangat hitam rambutmu.” Kalimat ini juga cukup menonjol dalam pembacaan saya, karena, terus terang, saya tidak begitu saja memahami apa yang dimauinya. Ketika saya coba urai, kesan yang muncul adalah: suatu kali, si aku lirik pernah mencoba menikmati “hangat hitam rambutmu.” Penikmatan atas rambut hangat hitam itu seolah sebuah perjalanan yang mempunyai tujuan tertentu. Tapi, lagi enak-enaknya menikmati perjalanan di hangat hitam rambut itu, ada gongggongan anjing yang mengganggunya, yang membuatnya hilang konsentrasi dalam perjalanan tersebut, hingga akhirnya sempat tersesat. Puisi “Kepada P ini ternyata tidak berbelok arah. Dia berjalan lurus: dari kota yang hampa, adanya sesuatu/sesosok yang hilang, dan adanya suasana kesepian, berlanjut terus hingga di titik ini kembali dikuatkan dengan ingatan tentang sesuatu yang pernah ada tapi kini tak ada lagi.

Maka,

Irisan kelima:

ketika aku lirik bertanya “Tuhan kenapa kita bahagia?”, yang dia tanyakan adalah kok bisa ya dalam suasana sedingin ini, setidak nyaman ini, yang dia rasakan hanya bahagia? Ketika membaca puisi ini untuk pertama kalinya dulu, saya cenderung melepaskan pertanyaan ini dari keseluruhan puisi. Saya cenderung kata “kita” di sini mengacu pada aku lirik dan saya sendiri sebagai pembaca. Kayaknya, kegenitan saya lah yang membuat pertanyaan-pertanyaan seperti ini menjadi pertanyaan-pertanyaan eksistensial. Padahal, kini, setelah membaca baris-per-baris, yang terasa adalah, “kita” di sini mengacu kepada si aku lirik dan kamu lirik dalam puisi ini. Siapa kamu liriknya? Ya, tentu saja sosok yang bersama dengan si aku lirik menikmati jalanan ketika suhu dingin luar biasa dan bahkan ada wind-chill di sepanjang sungai yang membuat dingin semakin intens. Jadi, si aku lirik ini sebenarnya mengajak berbicara aku lirik (dan saya pembaca jelata ini hanya seperti orang menguping!): ya Tuhan, kok bisa ya, dingin-dingin kayak begini kita merasa bahagia? (Oh ya, saya sela sebentar, kata “Tuhan” di sini juga–dalam pembacaan saya ini–bukan sapaan kepada tuhan, tapi sebuah ungkapan seru, seperti saat kita bilang “masya allah, kamu ini kok ya repot-repot datang dari Jakarta ke Surabaya cuma untuk ngembalikan buku tulis anakku yang terbawa di kopermu?”) Kembali lagi, kok bisa ya bahagia? Mungkin jawabnya ada pada Jamal Mirdad: “kalau cinta sudah melekat, gula jawa (jadi ter)rasa cokelat.”

Sebaliknya, “Kepada P” diakhiri dengan dua pertanyaan sekaligus yang, ah, lebih to the point: “cinta dan penyair keduanya matikah? atau cuma sekedar rindu?” Kenapa si aku menanyakan apakah cinta dan penyair sudah sama-sama mati? Apakah dia mempertanyakan dirinya sendiri yang tidak bisa “menikmati” kesunyian ini selain sebagai ketidaknyamanan? bukan sesuatu yang bisa dinikmati? Mungkin. Yang pasti, dia berbeda dengan aku lirik dalam “Dingin Tak Tercatat” yang 1) memiliki cinta dan 2) mampu bertahan atau bahkan menemukan sesuatu untuk dinikmati di tengah ketidaknyamanan (misalnya ya permainan cahaya itu tadi). Aku lirik yang mempersembahkan lirisismenya blak-blakannya “Kepada P” ini jadi bertanya-tanya tentang keadaannya sendiri: apakah dia bukan lagi penyair yang bisa mempuitisasi ketaknyamanan? Ataukah memang tidak ada lagi cinta itu, dus tidak ada lagi yang perlu diindah-indahkan? Atau, jangan-jangan, sebenarnya keduanya masih ada tapi dia saja yang “cuma sekedar” merasakan “rindu”? Dia memaklumi kalau saja perasaan kosongnya yang intens itu mungkin saja ada karena dia dibius kerinduan (sehingga masih menginginkan kebersamaan, panas bibir, penikmatan atas hangat hitam rambutmu).

Dari kelima irisan “Dingin Tak Tercatat” dan “Kepada P” yang saya patut-patutkan itu, saya menemukan sejumlah poin mencolok untuk membandingkan estetika Goen dan Saut dalam kedua sajak ini.

Yang pertama adalah adanya perbedaan struktur. “Dingin Tak Tercatat” menggunakan ciri mendasar soneta: pembelokan isi. Dalam tradisi soneta, biasanya delapan baris pertama, atau oktet, berisikan tentang satu hal dan enam baris sisanya (sekstet) berisikan tentang hal yang bertolak belakang atau berbeda arah dengan yang disampaikan pada oktet. Dalam “Dingin Tak Tercatat” meskipun secara fisik tidak ada yang namanya oktet dan sekstet (karena jumlah baris puisi ini sendiri cuma 11), kita bisa merasakan pembelokan tersebut pada baris ke enam, ketika ternyata aku dan kamu lirik tetap berada di sana meskipun udara dingin digambarkan semencekam itu. Sejak baris keenam itu, dingin yang mencekam dikalahkan oleh kekukuhan para tokoh lirik bertahan di sana, hingga bahkan pada dua baris terakhir diindikasikan bahwa mereka berdua bahagia dalam kondisi begitu.

“Kepada P” tidak menerapkan pembelokan bergaya soneta. Bahkan, kalaupun memang dianggap belokan, itu hanya terjadi pada baris terakhir. Saut di sini tampak membangun puisi ini seperti sebuah tanjakan yang dimulai di kedudukan agak tinggi dan kemudian terus menanjak hingga ke puncak. Dan ketika si aku lirik betanya “ataukah cuma sekedar rindu?” kita seperti dijatuhkan dan kita pun berpikir: kalau cuma rindu kan berarti “ngglethek”, cuma segitu doang. Saut tidak membelokkan asosiasi pembaca. Dia membawa pembaca naik ke puncak sajak, dan dari puncak dia memberi pembaca pilihan untuk terus naik sendiri atau menjatuhkan diri ke gigir tebing.

Poin kedua adalah adanya sikap terhadap hubungan manusia dan kosmos yang beda-beda mirip. Dalam puisi “Dingin Tak Tercatat”, terlihat Goen menyajikan ruang fisik yang mestinya dapat memberikan kesan bagi pembacanya dan memantik imajinasi. Dikisahkannya dingin yang bahkan tidak terukur di termometer, angin yang dinginnya semestinya mengusir orang dari jalan, jalan yang basah oleh gerimis, dan permainan cahaya malam. Semua itu belakangan mengarah pada aku dan kamu lirik yang bertahan di luar dan terheran-heran kenapa mereka bisa bahagia dengan keadaan seperti itu. Sajian-sajian deskripsi fisik ini, baik dalam bentuk ruang (jalan, sungai), warna (cahaya), inderaan kulit (suhu dan angin dan gerimis), semua seakan mengajak kita untuk ikut serta merasakan dunia yang serba tidak nyaman dalam dunia itu. Dan ketika pada akhirnya aku dan kamu lirik tetap bahagia, maka kita akan tersugesti bahwa seganas apapun alam, manusia dengan perasaan di dalam hatinya mampu bertahan dan bahkan abai dengan cekaman alam itu.

Sementara itu, pada level yang sama ini, Saut memilih menunjukkan alam secukupnya dan menyelipkan komentarnya sendiri. Dia sajikan alam, tapi dia bandingkan alam itu dengan memorinya. Lingkungan di sekelilingnya saat ini dibandingkan dengan dulu ketika masih ada panas “bibirmu”. Aspal yang kini kerontang dia komentari: karena tidak ada basah hujan berahi musim. Saut memakai majas personifikasi “berahi musim” untuk hujan (wah, ada gunanya juga akhirnya belajar majas-majas di SMP dulu, hehehe), yang menurut saya adalah salah satu cara “mengomentari” alam. Di agak akhir, Saut menunjukkan sunyinya malam ini dengan membandingkan dengan dulu, ketika masih ada suara anjing yang mengganggunya menikmati tenggelam menjelajahi rambut hitamnya yang hangat. “Kepada P” memilih untuk tidak membiarkan alam berbicara dengan sendirinya, harus ada manusia dan aktivitasnya untuk mendefinisikan alam.

Meski menggunakan pendekatan yang berbeda (Goen membiarkan alam berbicara sendiri dan Saut turut campur mengomentari alam), mereka berdua sama-sama mengunggulkan manusia atas alam. Mungkin ini yang membedakan mereka berdua dari para penyair romantik, yang melihat manusia sebagai sosok yang terpengaruh oleh alam. Goen melihat manusia dan alam bisa menunjukkan kekuatannya sendiri-sendiri tapi masing-masing (setidaknya manusianya) tidak bisa terpengaruh oleh yang lain. Sedingin apapun alam, mereka tetap bahagia dan tak terusir. Sementara, Saut membawa ketegaran manusia ini ke sisi yang lebih jauh: alam hanya berarti dalam puisinya saat dijajarkan dengan manusia.

Poin ketiga adalah perbedaan kesan yang tercipta saat membaca kedua puisi ini. Pada “Dingin Tak Tercatat”, pembaca puisi bisa dengan mudah mendapatkan kesan kelembutan, kesenduan dan kesantunan. Saking kuatnya kesan ini, saya pribadi membayangkan seorang deklamator membacakan puisi ini dengan biasa saja, seperti seorang kakek yang berkata kepada istrinya yang telah menua bersamanya. “Dingin tak tercatat pada termometer” kata si kakek sambil tatapannya kosong. “Jalan hanya basah” kata si kakek sambil mulai memandang nenek. “Angin sepanjang sungai mengusir, tapi kita tetap saja di sana,” kata si kakek sambil mulai memegang tangan nenek. Begitulah seterusnya. Kata-kata dan asosiasi dari bunyi yang dihasilkan mendukung pembacaan seperti itu.

Sedangkan untuk puisi “Kepada P” saya bayangkan si aku lirik di sedang berada di sebuah telepon umum dan berbicara kepada P yang berada di ujung entah. Dan sambungan telpon sedang tidak terlalu jernih, sehingga aku lirik harus berbicara dengan agak keras dan mengartikulasikan kata demi kata dengan tegas. “di kotaku yang pernah merasakan panas bibirmu, malam turun memperkelam segala,” begitulah si aku lirik membuka percakapan di telepon umum. Kata-kata semacam “panas bibirmu”, “aspal hitam kerontang”, “bukit tandus” dan gonggong anjing” membantu menciptakan kesan kasar itu. Dan kesan kasar itu seperti menuntut adanya ekspresi yang tidak lembut saat dideklamasikan.

Poin terakhir adalah adanya potensi kedua sajak ini untuk dibaca secara serial. “Dingin Tak Tercatat” adalah sajak tentang sebuah kebersamaan di tengah dingin, pada suatu musim dingin, di suatu kota sub-tropika. Di latar ini, aku dan kamu lirik bersama memadu kebersamaan yang mengatasi segala bentuk ketidaknyamanan lingkungan. Dan kalau boleh kita ambil tahun penulisannya sebagai latar waktu penulisnya, maka musim dingin atau akhir musim guugr ini terjadi di tahun 1971. Di manakah? Kita bisa tanyakan pada Goen: Di mana Anda waktu itu, Oom Goen? Untuk “Kepada P”, kisah terjadi di sebuah kota dalam suatu jenis suhu yang tak didefinisikan, tapi yang pasti si aku dan kamu lirik tidak lagi bersama dan kota dipenuhi suasana kehilangan. Untuk kesenangan saya sendiri, saya bayangkan saja aku dan kamu lirik di kedua sajak ini adalah orang yang sama. Bedanya, “Dingin Tak Tercatat” terjadi pada suatu masa ketika aku dan kamu lirik bersama merajut kebersamaan yang membuat windchill serasa anget-anget kuku dan “Kepada P” terjadi beberapa saat sesudahnya, ketika aku dan kamu tak lagi bersama dan si aku mengunjungi TKP (Tempat Kejadian Percintaan[?]) dan mengingat-ingat kembali, menapaktilasi yang dulu-dulu, tapi kali ini dengan lebih blak-blakan, tidak ada sentimentalisme, hanya kekosongan, kehilangan yang memuakkan, tapi dia sadar mungkin juga dia rindu. Maka, bisa saja kedua sajak ini kita beri judul Dingin Tak Tercatat (I) dan Dingin Tak Tercatat (II) atau Kepada P (I) dan Kepada P (II). Maaf Oom Saut dan Oom Goen, yang terakhir ini hanya guyonan.

Dari keempat poin yang saya sodorkan di atas, dan dengan kelima irisan pembacaan saya atas kedua puisi yang sama diawali dengan adanya sensasi suhu dan diakhiri dengan pertanyaan tersebut, saya dengan tegas berani mengatakan bahwa ada kedekatan di antara kedua sajak ini. Tidak perlu dibahas apakah Saut ingin memberikan komentar kreatif atas sajak Goen, atau apakah Saut ingin menunjukkan sikapnya yang berbeda dengan Goen saat menulis puisi atas inspirasi yang berhubungan dengan itu, atau apakah Saut sempat terlintas sedikit pun tentang Goen ketika tersambar inspirasi untuk menulis sajak ini.

Untuk mengetahui hal-hal itu, hanya Saut dan Goen yang bisa menjawabnya. Saya sendiri sebenarnya juga merasa agak gimana juga menulis sebuah posting telaah atas sajak-sajak tanpa sedikit pun melibatkan penulisnya, padahal sebelumnya saya pernah bilang di suatu kesempatan bahwa kalau niat sebuah upaya kritik adalah untuk mencapai pencerahan, maka mau tidak mau penulis karya harus dilibatkan (ah, tentang pandangan ini sebenarnya harus ada postingan tersendiri, semoga nanti ada kesempatan). Tapi, saya tidak bisa mengingkari adanya sebuah kekuatan yang dimiliki teks, yang membuat dirinya bisa terbaca lebih lantang daripada maksud penulisnya sendiri. Dan sepertinya waktu saya membaca Otobiografi malam itu, suara inilah yang terdengar dari sajak Kepada P ini. Jadi, haram dimaklumi, ada kalanya saya ingin bersenang-senang dengan teks-teks yang saya senangi.

Kembali lagi ke poin-poin pembanding kedua sajak tersebut, saya jadi menyadari: meskipun kedua penyair menunjukkan gaya yang berbeda dalam bersastra, kecenderungan berbeda dalam ber”politik sastra”, dalam kedua puisi tak berdosa ini, mau tak mau mereka jadi terasa begitu “intim,” intim dalam artian hubungan antara saudara kandung. Ada kalanya mereka saling menentang, tapi ada kalanya mereka sejalan dan saling melanjutkan. Seperti kata orang jawa, “sing jenenge dulur, tego larane gak tego patine,” yang namanya saudara kandung, kalau melihat saudaranya kesakitan mungkin masih tega (di sini bisa diartikan saling bertolak belakang gaya dan pandangan adalah “menyakiti”) tapi gak tego patine (maksud saya adalah tiga tega untuk benar-benar meninggalkannya). Jadi, apakah Anda memperbolehkan saya menyebut kedua puisi ini sebagai wujud “kehandaitolanan kreatif Saut dan Goen”? Silakan rasakan…

*Draf kasar dan kurang santun dari tulisan yang direncanakan ilmiah

 

Sumber Acuan

Situmorang, Saut. Otobiografi. Yogyakarta: [sic]. 2007. Cetak

Mohamad, Goenawan. Sajak-sajak Lengkap 1961-2001. Jakarta: Metafor. 2001. Cetak.

 

Sumber:

http://berbagi-mimpi.info/2011/07/13/kepada-dingin-yang-tak-tercatat-p-kehandaitolanan-kreatif-goenawan-mohamad-dan-saut-situmorang/

Tradisi dan Bakat Individu

Posted: 18/10/2011 in Esei

oleh Saut Situmorang

 

Seorang komentator sastra dari Jakarta, Nirwan Dewanto, pernah membuat sebuah klaim asersif bahwa novelis Ayu Utami tidak terlahir dari sejarah sastra Indonesia. Latar-belakang pembuatan klaim ini, mudah kita duga, adalah reaksi luar biasa yang timbul dalam sastra Indonesia setelah publikasi novel pertama Ayu, Saman, dari kalangan “kritikus” sastra di Indonesia, yang dalam komentar mereka rata-rata memakai istilah-istilah superlatif seperti “dahsyat”, “kata-kata…bercahaya seperti kristal”, “tak ada novel yang sekaya novel ini”, “superb, splendid”, dan “susah ditandingi penulis-penulis muda sekarang”, dalam mempromosikan apa yang mereka anggap sebagai “pencapaian” artistik Saman, seperti yang dicantumkan pada blurb di sampul belakang novel tersebut. Klaim-klaim asersif semacam ini memang cukup sering kita temui dalam sastra Indonesia kontemporer karena apa yang dianggap sebagai “kritik” sastra itu rata-rata cuma sekedar esei-lepas-semi-resensi di koran-koran belaka. Kritik jurnalistik semacam ini bisa begitu mendominasi, bahkan sampai saat ini, karena posisi koran memang sudah menggantikan posisi majalah atau jurnal sastra sebagai media penulisan studi sastra yang kritis. Ruang kolom koran yang terbatas telah “membebaskan” seorang “kritikus” sastra untuk tidak harus bertanggungjawab membuktikan/mengelaborasi isi pernyataannya semendetil kalau dia menulis di sebuah majalah atau jurnal sastra.

Untuk menanggapi klaim Nirwan Dewanto di atas maka isu yang ingin saya persoalkan dalam esei ini adalah: Mungkinkah seorang sastrawan tidak terlahir dari sejarah sastra nasionalnya sendiri sementara dia memakai bahasa nasionalnya sebagai media ekspresi sastranya? Bisakah seorang sastrawan memasabodohkan sejarah sastra nasionalnya sendiri? Kalau benar Ayu Utami terlahir bukan dari sejarah sastra Indonesia, lantas dari mana dia berasal? Dan kenapa dia (masih menganggap perlu) menulis dalam bahasa Indonesia yang merupakan bahasa ekspresi dari sastra Indonesia itu, bukan dalam bahasa Inggris misalnya?

Dalam sejarah sastra Indonesia rasanya tidak berlebihan kalau saya mengklaim Chairil Anwar adalah bapak puisi modern dalam bahasa Indonesia. Reputasi Chairil ini didapatnya bukan semata-mata karena apa yang dilakukan oleh sang paus sastra Indonesia HB Jassin terhadapnya, seperti yang umum diyakini di kalangan sastrawan Indonesia, tapi karena besarnya pengaruh Chairil atas para penyair yang menjadi penyair setelah dia. Dengan memakai konsep pengaruh intertekstual kritikus Dekonstruksionis Amerika Harold Bloom maka bisa dilihat betapa the anxiety of influence yang ditimbulkan puisi Chairil atas para penyair sesudahnya – yang mencapai klimaks resistensi tekstual pada apa yang disebut sebagai puisi-mantra Sutardji Calzoum Bachri itu – memiliki arti yang jauh lebih signifikan, menurut saya, ketimbang pernyataan-pernyataan mitologis Jassin, dalam membentuk reputasi Chairil sebagai pencipta puisi modern Indonesia.

Sudah berabad-abad para kritikus dan sejarawan sastra di Barat membahas apa yang disebut sebagai “pengaruh” seorang sastrawan atau tradisi sastra atas sastrawan sesudahnya, yang dianggap mengadopsi, dan pada saat yang sama mengubah, aspek-aspek dari tema, bentuk, atau gaya dari penulis sebelumnya. “Kecemasan (atas) pengaruh” atau “the anxiety of influence” merupakan sebuah istilah yang dipakai Harold Bloom untuk teori yang diciptakannya yang merevisi secara radikal teori lama di atas yang menganggap pengaruh hanya terjadi sebagai sebuah “peminjaman” langsung, atau asimilasi, dari material dan unsur-unsur penting sastrawan sebelumnya. Bagi Bloom, dalam penciptaan sebuah puisi, pengaruh tak mungkin dielakkan, tapi pengaruh tersebut menimbulkan dalam diri penyairnya sebuah kecemasan yang memaksanya untuk membuat distorsi drastis atas karya pendahulunya itu. Seorang penyair tergerak untuk menulis puisi setelah imajinasinya terpesona oleh puisi “pendahulu”nya. Tapi reaksinya atas pendahulunya itu ambivalen, mirip dengan hubungan Oedipal antara anak laki-laki dengan bapaknya dalam teori psikoanalisis Sigmund Freud: bukan hanya rasa pesona yang timbul tapi juga (karena seorang penyair yang kuat memiliki keinginan besar untuk bebas dan orisinal) rasa benci, cemburu, dan takut atas penguasaan ruang imajinatifnya oleh pendahulunya tersebut. Karena itulah dia membaca puisi pendahulunya secara “bela diri” sehingga mendistorsinya sampai tak dikenalinya lagi. Meskipun demikian tetap saja “puisi-induk” (parent-poem) yang sudah terdistorsi itu terkandung dalam puisi yang kemudian dituliskannya itu. Apa yang paling mungkin dicapai oleh seorang penyair terbaik sekalipun adalah menulis puisi yang begitu “kuat” sehingga menimbulkan efek ilusi “prioritas”, yaitu sebuah ilusi ganda bahwa puisinya sudah mendahului puisi pendahulunya itu dalam waktu, dan sudah melampauinya dalam kebesarannya. Menurut Bloom lagi, konsep “kecemasan pengaruh” ini tidak hanya terjadi pada sastrawan saja tapi juga pada para pembaca sastra. Dalam konteks inilah, meminjam istilah Sapardi Djoko Damono waktu memuji Saman Ayu Utami, sepanjang pengetahuan saya belum ada pengarang lain di Indonesia, baik sebelum maupun sesudah Chairil, yang memiliki efek-sejarah (kreatif maupun biografis), atau “kecemasan pengaruh”, atas sesama pengarang seperti yang disebabkan oleh Chairil.

Berdasarkan alasan historis-tekstual tentang Chairil sebagai pencipta puisi modern Indonesia, paling tidak bagi para penyair sesudahnya, seperti yang saya tuliskan di atas, lantas apakah kita bisa mengklaim bahwa Chairil tidak terlahir dari sejarah sastra “berbahasa Indonesia”? Sudah banyak tulisan yang membuktikan, dan susah untuk dibantah, betapa kuatnya pengaruh puisi Barat pada puisi Chairil, yang diterimanya lewat pendidikan dan terutama bacaannya. Juga terjemahan yang dilakukannya atas karya sastra Barat – baik puisi, cerpen, maupun surat pribadi, dan dari berbagai latar-bahasa – misalnya, merupakan salah satu bukti akrabnya dia dengan dunia sastra tersebut. Keakrabannya yang intens dengan sastra Barat ini malah sampai membuat dia pernah dianggap sebagai plagiator satu-dua puisi penyair Barat, atau puisinya dianggap bukan ditulis untuk pembaca Indonesia karena idiom-idiomnya yang kebarat-baratan seperti yang pernah dinyatakan Subagio Sastrowardoyo. Terlepas dari tuduhan-tuduhan yang saya pikir lebih bersifat cemburu-antar-sesama-seniman ketimbang studi komparatif sastra itu, intensitas pergaulan Chairil dengan dunia sastra Barat tersebut apakah lantas membuat dia (pernah) diklaim sebagai terlahir bukan dari sastra Indonesia yang cuma beberapa tahun saja usianya waktu dia hidup sebagai “binatang jalang” itu? Sepanjang pengetahuan saya belum ada yang pernah mengklaim Chairil Anwar tidak terlahir dari sastra Indonesia seperti Nirwan Dewanto mengklaim Ayu Utami, bahkan tidak oleh Subagio Sastrowardoyo sekalipun.

Bagaimanapun intensnya pengaruh puisi Barat pada puisi Chairil, kita tetap tidak bisa menutup mata pada kemungkinan bahwa Chairil pun tidak akan terlepas dari persoalan “kecemasan pengaruh” dari penyair Indonesia sebelum dia, atau dari puitika tradisional dalam khazanah sastra lokal yang ada. Adanya relasi intertekstual antara puisi Chairil dan puisi Amir Hamzah, misalnya, pernah dibuktikan dengan sangat baik oleh peneliti sastra Indonesia Sylvia Tiwon dalam eseinya yang berjudul “Ordinary Songs: Chairil Anwar and Traditional Poetics” di majalah Indonesia Circle, No 58, June 92, terbitan School of Oriental and African Studies, London, Inggris. Dengan membaca Chairil dalam konteks “puitika tradisional” Pujangga Baru yang direpresentasikan oleh Amir Hamzah, Tiwon berhasil menunjukkan betapa besar “hutang” Chairil pada Amir Hamzah dalam beberapa sajaknya yang terkenal, seperti “Jangan Kita di Sini Berhenti”, “Sia-sia”, “Sajak Putih”, dan terutama pada “Sorga” dan “Di Mesjid”. Bukti-bukti pergumulan Chairil dengan puitika tradisional dari khazanah sastra lokal yang begitu banyak terdapat pada puisinya yang dianggap “kebarat-baratan” itu (pengucapan Pantun pada puisinya, misalnya), seperti yang ditunjukkan Sylvia Tiwon tersebut, tidak bisa disepelekan begitu saja, demi sebuah resepsi yang lebih kritis atas puisinya, ketimbang sekedar daur-ulang mitos binatang jalangnya yang masih terus dilakukan para “kritikus” sastra di Indonesia sampai sekarang. Dan juga untuk menghindari euforia pembuatan klaim-klaim bombastis yang tak sanggup dibuktikan seperti pada kasus Ayu Utami di atas, yang pada dasarnya hanya bertujuan untuk membuat mitologi-mitologi dalam sastra Indonesia, dan yang pada akhirnya cuma menghambat kemajuan pemikiran kritis dalam sastra kontemporer kita.

Penyair Inggris asal Amerika TS Eliot pernah menyatakan dalam sebuah eseinya yang terkenal tentang pentingnya bagi seorang pengarang untuk menyadari posisinya dalam sejarah sastranya, “Tradition and Individual Talent” (1919), bahwa “Tak ada penyair, tak ada seniman dalam bidang apapun, yang memiliki maknanya sendiri. Penting tidaknya dia, apresiasi atasnya, dilihat berdasarkan relasinya dengan para penyair dan seniman yang sudah mati. Kita tidak bisa menilainya hanya berdasarkan dirinya sendiri; kita mesti menempatkannya, untuk kontras dan perbandingan, di antara yang sudah mati. Ini adalah prinsip kritik estetik, tidak sekedar kritik historis”. Karena, disukainya atau tidak, seorang penyair/seniman itu akan dinilai berdasarkan ukuran-ukuran standar dari masa yang sudah lewat, bukan yang akan datang. Dan penyair yang menyadari ini akan sadar pula betapa besar kesukaran dan tanggung-jawab sejarah yang dipikulnya sebagai sastrawan sastra nasionalnya. Ini menunjukkan juga bahwa sejarah sastra, atau tradisi, itu adalah sebuah organisme hidup, dinamis, dan berkembang.

Konsep Eliot ini sangat mirip dengan konsep “intertekstualitas” dalam teori pascastrukturalis Prancis. “Intertekstualitas” adalah konsep yang diperkenalkan oleh pemikir Feminis Prancis Julia Kristeva berdasarkan konsep-konsep teoritikus Marxis Rusia Mikhail Bakhtin tentang beragamnya suara sebuah teks: polifoni, dialogisme, dan heteroglosia. Menurut Kristeva, intertekstualitas adalah pluralitas teks yang tak tereduksi di dalam dan di balik setiap teks, di mana fokus pembicaraan tidak lagi pada subjek (pengarang) tapi pada produktivitas tekstual. Bersama rekan-rekannya penulis dan kritikus di majalah sastra Tel Quel di akhir 1960an dan awal 1970an, Kristeva gencar melakukan kritik atas konsep “subjek pembuat” (the founding subject) yaitu konsep humanis tentang pengarang sebagai sumber-asli-dan-asal dari makna-tetap dan makna-fetish dalam sebuah teks. Bagi Kristeva, setiap teks dari awalnya sudah berada di bawah jurisdiksi wacana-wacana lainnya yang memaksakan sebuah “universe of discourse” atasnya. Dan ketimbang memusatkan perhatian pada struktur teks, kita mestinya mengkaji “strukturasinya”, yaitu bagaimana proses struktur menjadi ada, dengan antara lain menempatkan teks di dalam totalitas teks-teks sebelumnya sebagai sebuah “transformasi”. Menurut Kristeva, ada dua aksis teks, yaitu aksis horisontal yang menghubungkan pengarang dan pembaca teks, dan aksis vertikal yang menghubungkan teks dengan teks(-teks) lainnya. Yang menyatukan kedua aksis ini adalah “kode”, alat interpretasi (interpretative devices) konvensional, sebuah framework yang memungkinkan tanda untuk memiliki makna, yang sama-sama dimiliki oleh kedua aksis tersebut. Sebuah teks dan sebuah pembacaan selalu tergantung pada kode-kode yang ada.

Setiap teks adalah sebuah penulisan kembali atas teks-teks lainnya. Tak ada teks yang tidak memiliki interteksnya. Sebuah teks tak dapat berfungsi dalam kesendiriannya, terkucil dari teks-teks lainnya. Semua teks hidup dalam komunitas teks yang luas, dalam apa yang disebut sebagai sistem interteks. Semua teks hidup dalam sistem intertekstual antara teks dengan teks, bahkan antara genre dengan genre maupun antara media dengan media. Relasi intertekstual antar-teks akan menghasilkan hibriditas teks, teks-indo, teks blasteran, campuran antara teks-teks. “Subjektivitas” masing-masing teks di-destabilisasi, sentralitas “kepengarangan” masing-masing teks diambrukkan, dan “kemurnian” diskursif keduanya dinodai. Intertekstualitas adalah pengulangan (repetisi), bukan representasi. Dan dalam peristiwa repetisi intertekstual ini, “orisinalitas” masing-masing teks hilang. Kaligrafi dan puisi-konkret, misalnya, adalah dua contoh “puisi-rupa” yang tercipta lewat peristiwa intertekstual antara sastra dan seni rupa.

Untuk mendapatkan ekstasi tekstual, atau tekstasi, dari sebuah teks intertekstual, seorang pembaca diharapkan memiliki pengetahuan sejarah teks dan glossari kode teks yang juga bersifat intertekstual. Karena kesatuan (unity) sebuah teks tidak terletak pada asalnya (pengarangnya, misalnya) tapi pada tujuannya, yaitu Sang Pembaca, dan seorang pembaca merupakan ruang di mana semua “kutipan” dituliskan, seperti yang diyakini Roland Barthes dalam eseinya yang terkenal “The Death of the Author” (1968), maka kesadaran seorang pembaca akan konteks di mana teks direproduksi, dialusi, diparodi, dan sebagainya, merupakan kerangka utama dalam menginterpretasi teks. Karena, mengikuti apa yang dikatakan pemikir Marxis Amerika Fredric Jameson, teks hadir di depan kita sebagai yang-selalu-sudah-dibaca dan kita memahaminya melalui lapisan-lapisan interpretasi (yang pernah dilakukan atasnya) sebelumnya, atau, kalau teksnya benar-benar baru, melalui lapisan-lapisan kebiasaan pembacaan dan kategori-kategori yang dikembangkan dalam tradisi interpretasi yang kita warisi. Sama seperti tanda (sign) yang hanya bisa berfungsi memberikan makna (generating meanings) karena hubungannya dengan tanda-tanda lainnya dalam sebuah teks, maka relasi intertekstual antar-teks inilah yang memberikan konteks bagi proses pemaknaan dari peristiwa pembacaan atau pengalaman atas teks. Termasuk juga penciptaan teks-teks lainnya. Konteks mempengaruhi respons terhadap teks.

Penyair Sutardji Calzoum Bachri dalam sebuah esei pendek berjudul “Sajak-sajak Cerah” yang mengantar beberapa sajak yang dipilihnya untuk suplemen Bentara, Kompas 5 Mei 2000, menyatakan, “. . . di tahun 1990-an para penyair kembali menulis puisi dengan memperhatikan kata dan tidak melulu menekankan kehadiran kebebasan imaji sebagai yang utama. Kata-kata diupayakan menciptakan keutuhan sajak. Dan sajak menjadi transparan”.

Transparansi sajak yang menjadi ciri-utama dari apa yang Sutardji namakan sebagai “sajak terang” para penyair 1990an terjadi karena para penyair ini mulai jenuh dengan apa yang dilakukan para penyair sebelumnya: para penyair di tahun 1970an terlalu sibuk dengan estetika pembebasan kata dari beban makna leksikal-gramatikal, sementara penyair periode 1980an terobsesi untuk membebaskan imaji visual pada sajak sebagai estetika puisi mereka. Walaupun mesti dibuktikan lagi kebenaran pendapatnya ini atas mayoritas puisi, tidak hanya berdasarkan puisi satu-dua penyair belaka, yang ditulis pada kedua periode yang disebutkannya itu, demi konteks tema esei ini secara umum saya bisa setuju dengan apa yang diungkapkan Sutardji di atas, tapi saya perlu menambahkan bahwa apa yang menjadi ciri-khas penyair 1970an (musikalitas puisi) dan penyair 1980an (visualitas imaji) tidak ditinggalkan pada “sajak terang” para penyair 1990an. Sebaliknya, kedua unsur puitis utama dari puisi itu digabungkan dalam bingkai kesederhanaan bahasa sehari-hari untuk, meminjam kata-kata Sutardji kembali, mengungkapkan realitas yang dialami penyair. Dalam kata lain, penyair 1990an tidak lagi berusaha untuk menjadi pemusik atau pelukis waktu menulis puisi, tapi hanya untuk menjadi penyair. Memilih kesederhanaan bahasa sehari-hari, kesederhanaan bahasa leksikal-gramatikal sehari-hari yang lugas tidak rumit, dengan tidak mengorbankan musikalitas dan visualitas bahasa, untuk mengungkapkan realitas puitis, adalah ciri berpuisi para penyair yang mulai dikenal luas di dunia puisi kontemporer Indonesia pada periode 1990an.

Sebuah motif dominan lain pada puisi para penyair 1990an adalah politik. Para penyair 1990an tidak lagi tabu atau malu-malu untuk mempuisikan politik, mempolitikkan puisi, malah justru pada periode inilah puisi politik mencapai puncak ekspresi artistiknya yang melampaui apa yang sebelumnya dikenal sebagai sajak-protes dan pamflet-penyair seperti pada puisi Wiji Thukul. Pada puisi politik penyair seperti Wiji Thukul kita melihat betapa kemiskinan tidak lagi diromantiskan sebagai semacam “hidup alternatif” dari “materialisme kota” atau diabstrakkan menjadi sekedar “teori pembangunan yang tidak membumi” tapi merupakan pengalaman hidup sehari-hari yang harus dihidupi sang penyairnya sendiri. Subjektivitas pengalaman adalah realisme baru dalam puisi politik penyair 1990an.

Inilah cara para penyair 1990an menjadi bagian dari tradisi/sejarah sastra Indonesia, inilah relasi intertekstual puisi 1990an dengan puisi-puisi sebelumnya.