Laskar Pelangi: Terjemahan atau Saduran?

Posted: 10/03/2013 in Esei

cover Laskar Pelangi_Indonesiaoleh Katrin Bandel*

Andrea Hirata sedang heboh dibicarakan. Lewat tulisan pendek ini, saya tidak ingin ikut menanggapi kasus tersebut secara keseluruhan. Saya hanya akan berfokus pada satu unsur yang cukup penting dalam kisah kesuksesan Andrea Hirata di luar Indonesia, yaitu “terjemahan” Laskar Pelangi ke dalam bahasa asing. Kata “terjemahan” sengaja saya tempatkan dalam tanda kutip karena setelah membandingkan versi Inggris dan Jerman dengan versi Indonesia, saya berkesimpulan bahwa apa yang dihadirkan sebagai “terjemahan” tersebut sama sekali tidak layak disebut sebuah terjemahan. Kedua versi itu begitu jauh berbeda satu sama lain sehingga The Rainbow Troops (demikian judul versi Inggrisnya) lebih tepat disebut saduran atau adaptasi daripada terjemahan.

Versi Inggris yang dikerjakan oleh Angie Kilbane (sebagai “penerjemah”) pada awalnya diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada tahun 2009, kemudian tahun ini (2013) diterbitkan ulang oleh Sarah Crichton Books, yang merupakan bagian dari Farrar, Strauss and Giroux. Pada tahun ini pula versi Jerman diterbitkan dengan judul Die Regenbogentruppe (penerbit Carl Hanser Verlag).

Saat ini akses yang saya miliki terhadap versi-versi asing tersebut sangat terbatas. Versi Inggris terbitan Bentang hanya bisa sayacover Laskar Pelangi_Inggris_Bentang akses lewat Google Books, beberapa halaman pertama versi terbitkan Sarah Crinchton Books serta versi Jerman bisa saya akses lewat amazon, dan informasi lainnya tentang versi Jerman saya dapatkan lewat komunikasi dengan seorang teman di Jerman yang sudah membaca versi Indonesia dan versi Jerman. Namun dengan akses yang demikian terbatas sekalipun sudah tampak dengan sangat jelas betapa jauh perbedaan antara versi asli dengan versi Inggris dan Jerman (mengenai versi dalam bahasa asing lain saya tidak memiliki informasi). Maka dalam tulisan ini saya akan memaparkan hasil pembacaan saya terhadap sumber yang relatif terbatas tersebut. Hal itu saya lakukan sebab mencari sumber yang lebih lengkap akan memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit, sedangkan pembaca Indonesia berhak segera mengetahui fakta seputar versi berbahasa asing tersebut agar tidak keliru menilai “sukses” Andrea Hirata di luar negeri.

Seperti lazimnya dalam buku terjemahan, di halaman awal The Rainbow Troops terbitan Sarah Crichton Books kita menemukan keterangan tentang judul asli dan penerjemah. Selain menyebutkan Angie Kilbane sebagai penerjemah, di situ tertulis:

“Originally published in Indonesian in 2005 by Bentang Pustaka, Indonesia, as Laskar Pelangi

English translation originally published, in slightly different form, in 2009 by Bentang Pustaka, Indonesia”

cover Laskar Pelangi_InggrisDengan demikian, tampak bahwa versi Inggris tersebut memang diterbitkan sebagai terjemahan atas novel Laskar Pelangi. Meskipun kerja penerjemahan selalu merupakan interpretasi yang tidak mungkin 100% “sama” dengan aslinya, tetap saja ada batas yang cukup jelas mengenai apa yang pantas disebut sebuah terjemahan. Kerja penerjemahan adalah usaha mereproduksi sebuah karya dalam bahasa yang berbeda dengan sebisa mungkin mempertahankan segala unsur karya aslinya, termasuk gaya bahasa, kronologi penceritaan, pembagian bab, dan sebagainya. Lebih-lebih lagi, versi terjemahan tidak mungkin mengubah plot dan penokohan sebuah karya. Namun rupanya etika dasar mengenai terjemahan tersebut dilanggar dengan sangat mencolok dalam versi Inggris dan Jerman Laskar Pelangi.

Berikut saya akan memberikan beberapa contoh pelanggaran untuk menunjukkan betapa jauh berbedanya versi Inggris dan Jerman dari versi aslinya. Mengingat terbatasnya akses saya terhadap kedua versi itu (atau sebetulnya ketiga versi – sebab sesuai dengan keterangan yang saya kutip di atas, versi Inggris terbitan Bentang sedikit berbeda daripada versi Sarah Crichton Books), tentu sangat mungkin masih ada banyak pelanggaran lain yang tidak saya ketahui saat ini. Namun kiranya apa yang bisa saya amati ini saja sudah cukup mengagetkan.cover Laskar Pelangi_Jerman

Contoh 1: Gaya Bahasa

Salah satu ciri khas gaya bahasa dalam versi asli Laskar Pelangi adalah banyaknya penggunaan istilah asing, rujukan pada teori ilmiah, nama Latin, dan sebagainya. Tampaknya, gaya khas tersebut hampir sepenuhnya dihilangkan dalam versi Inggris dan Jerman. Berikut salah satu contoh sebagai ilustrasi. Bab 2 Laskar Pelangi dalam versi asli berjudul “Antediluvium” dan berawal dengan kalimat berikut:

“Ibu Muslimah yang beberapa menit lalu sembab, gelisah, dan coreng-moreng kini menjelma menjadi sekuntum Crinum giganteum.” (Laskar Pelangi, hlm. 9)

Dalam bahasa Inggris bab 2 berjudul “The Pine Tree Man”, dan berawal dengan:

“Bu Mus, who, a few minutes earlier, had been on edge with a puffy, smudged face, now transformed into a budding Giant Himalayan Lily.” (versi Bentang, hlm. 9)

“Bu Mus looked like a budding giant Himalayan lily” (versi Sarah Crichton Books, hlm. 8)

Di bab yang sama, pada halaman berikut, terdapat pilihan kata yang cukup ganjil dalam versi aslinya, yaitu ayah Lintang, seorang nelayan, dideskripsikan seperti berikut: “pembukaan wajahnya yang mirip seorang Bushman…” (Laskar Pelangi, hlm. 10). Dalam versi Inggris kata “bushman” yang terkesan aneh dan tidak sesuai konteks itu tidak muncul. Kalimat tersebut diterjemahkan sebagai “his face was like that of a kind shepherd” (versi Bentang, hlm. 10).

Contoh 2: Usia dan Pengalaman Mengajar Bu Mus

Dalam versi asli Laskar Pelangi saya tidak menemukan informasi mengenai usia Ibu Muslimah (Bu Mus), guru yang menjadi salah satu tokoh penting dalam novel tersebut. Namun di bab 1 disebut bahwa dia sudah 5 tahun mengajar di “sekolah melarat yang amat ia cintai” itu (Laskar Pelangi, hlm. 5).

Dalam bab 1 versi Inggris diceritakan:

“Today was her first day as a teacher, a moment she had been dreaming of for a very long time. She had just graduated from Sekolah Kepandaian Putri (Vocational Girls’ School), a junior high school in the capital of the regency, Tanjong Pandan. She was only fifteen.” (versi Crichton Books, hlm. 5-6)

Ini sama sekali bukan terjemahan, sebab semua kalimat tersebut tidak terdapat dalam bab 1 versi Indonesia! Bahwa Bu Mus “hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri)” disebut di bab 4 versi asli (Laskar Pelangi, hlm. 29), namun bahwa dia baru berusia 15 tahun dan baru mulai mengajar bertentangan dengan versi aslinya! Disamping itu, seandainya tidak bertentangan pun, tentu tidak bisa diterima kalau sebuah terjemahan begitu saja memindahkan informasi dari bab 4 ke bab 1. Dalam versi Jerman pun terdapat kalimat-kalimat yang hampir serupa, hanya dengan tambahan bahwa Bu Mus baru saja tamat dari sekolah tersebut seminggu sebelumnya (Die Regenbogentruppe, hlm. 9).

Menariknya, Andrea Hirata tampaknya sangat menyadari betapa perubahan penokohan tersebut memiliki potensi dalam mengiklankan versi Inggris novel tersebut. Dalam keterangan singkat mengenai novel itu di website-nya sendiri, Andrea Hirata memperkenalkan tokoh Bu Mus sebagai “the neglected 15 year old teacher” (andrea-hirata.com). Mungkin usia muda tersebut dipandang lebih ampuh untuk menimbulkan rasa iba dan simpati.

Contoh 3: Adegan Pengisian Formulir di Bab 2

Setelah memperkenalkan Lintang dan ayahnya di bab 2 seperti yang sudah saya sebut di atas, dalam versi Inggris terdapat adegan di mana Bu Mus membagikan formulir untuk diisi masing-masing orangtua murid. Hanya ayah Lintang yang tidak mengisi formulir tersebut, menjadi gelisah, dan akhirnya menerangkan bahwa dirinya tidak bisa baca-tulis, dan bahkan tidak tahu tahun kelahirannya sendiri. Dengan heroik kemudian Lintang bangkit, mengambil formulir itu, dan mengatakan: “I will be the one to fill out this form later, Ibunda Guru, after I have learned how to read and write!” (versi Bentang, hlm. 13)

Seluruh adegan tersebut sama sekali tidak ada dalam versi aslinya. Satu-satunya keterangan dari adegan itu terdapat dalam sebuah renungan narator yang sambil lalu menyebutkan bahwa ayah Lintang “tak tahu tanggal dan bulan kelahirannya” (Laskar Pelangi, hlm. 13). Pengisian formulir sama sekali tidak diceritakan dalam versi asli Laskar Pelangi.

Contoh 4: Tokoh “Mister Samadikun”

Dalam versi Inggris dan Jerman terdapat seorang tokoh bernama Samadikun, pengawas sekolah yang berniat menutup sekolah itu. Tokoh itu tidak ada dalam versi aslinya. Mungkin karena tokoh itu ditambahkan dalam proses penerjemahan, berbeda dengan tokoh asli yang dalam versi terjemahan pun dipanggil Pak (Pak Harfan) dan Bu (Mu Mus), pengawas tersebut disebut “Mister Samadikun” (dalam versi Bentang – untuk versi Crichton Books dan versi Jerman saya tidak memiliki akses untuk memeriksa penulisan nama tersebut, namun berdasarkan informasi dari teman yang saya sebut di atas, saya tahu bahwa tokoh Samadikun juga terdapat dalam versi itu).

Dalam salah satu bab di pertengahan novel – entah bab ke berapa dalam versi aslinya, sulit dinilai sebab plot begitu jauh berbeda – tokoh pengawas sekolah (school superintendent – entah jabatan apa tepatnya dimaksudkan, dan apakah memang dikarang berdasarkan pengetahuan tentang struktur sistem pendidikan di Indonesia) bernama “Mister Samadikun” itu muncul sebagai figur yang amat ditakuti sebab dia ingin menutup sekolah itu. Antara lain kita berjumpa dengan adegan berikut:

“The truth is, Mister Samadikun had wanted to shut down our school for quite some time now – it was troublesome extra work for the officials in the administration office of the Department of Education and Culture. Those officials repeatedly pushed for our school to be banished from the face of this earth. Mister Samadikun himself once bragged to his superior, ‘Ah, let me take care of the Muhammadiyah school problem. With one kick I could bring them down.[…]’

In my fantasy, after those arrogant statements, Mister Samadikun and the high-level education authorities made a toast, clinking each other’s glasses filled with sugar palm milk. Sugar palm milk usually came as a bribe from teachers who wanted to be promoted to principal or transferred out of isolated areas, or for their school to be deemed a model school.” (versi Bentang, hlm. 87)

Tidak perlu diterangkan lagi bahwa adegan tersebut, juga berhalaman-halaman lain yang berkisah seputar Mister Samadikun, sama sekali tidak terdapat dalam versi Indonesia. Menarik diperhatikan betapa lewat penciptaan tokoh tambahan tersebut, ancaman terhadap sekolah kecil itu terpersonifikasikan dan menjadi lebih dramatis. Kalau versi asli dengan relatif realistis menceritakan betapa sekolah tersebut terancam tutup disebabkan kemiskinan, kekurangan murid, dan kurangnya perhatian pemerintah, dalam versi Inggris justru pemerintah seakan-akan memiliki perhatian khusus pada sekolah itu dan dengan sengaja ingin menutupnya. Bahkan syarat bahwa sekolah hanya bisa beroperasi kalau jumlah murid minimal 10 orang pun dalam versi tersebut (versi Bentang, hlm. 87) hanyalah alasan yang sengaja diciptakan oleh Mister Samadikun untuk menyelesaikan apa yang dalam kutipan di atas disebut “the Muhammadiyah school problem” – pilihan kata yang ganjil, seakan-akan sekolah miskin yang diceritakan dalam novel itulah satu-satunya sekolah Muhammadiyah di Indonesia!

Disamping itu, adegan minum “sugar palm milk” tentu luar biasa aneh. Orang menyuap dengan “sugar palm milk”? Apa “sugar palm milk” itu? Rupanya korupsi pun bisa dieksotiskan!

Contoh 5: Akhir Novel

Menurut cerita teman saya, menjelang akhir novel versi Jerman dan Inggris makin jauh dari versi asli. Maka saya pun membaca bab terakhir versi Inggris, meski sayangnya hanya sebagian dari bab tersebut, sebab tidak semua halaman bab terakhir dapat diakses lewat Google Books. Namun dengan akses terbatas itu pun sudah sangat jelas bagi saya bahwa cerita teman saya tidak berlebihan.

Seperti dalam versi asli, beberapa bab terakhir mengisahkan jalan hidup anggota Laskar Pelangi setelah dewasa. Bab terakhir yang berjudul “Don’t Give Up” merupakan bab ke-48 dalam versi Inggris, sedangkan versi asli hanya terdiri dari 34 bab, dan di antaranya tidak ada yang memiliki judul serupa itu (yaitu “Jangan Menyerah”). Isi bab itu pun sangat sulit ditemukan dalam versi aslinya. Ada beberapa kalimat yang dapat ditemukan di sana-sini, meskipun bukan dalam urutan seperti di versi Inggris, dan bukan di bab terakhir. Bagian-bagian lain tampak disusun baru, terkadang berangkat dari plot seperti yang ditemukan dalam versi Indonesia, terkadang berbeda dengan plot tersebut. Misalnya, disebutkan secara singkat bahwa A Kiong telah menikah dengan Sahara, seperti yang diceritakan di bab 32 dalam versi Indonesianya. Namun seluruh kisah seputar pernikahan itu, termasuk bahwa sebelumnya A Kiong masuk Islam dan namanya diganti menjadi Nur Zaman, tidak diceritakan dalam versi Inggris. (Dalam versi Indonesia, di bab-bab akhir nama Nur Zaman digunakan untuk merujuk pada tokoh tersebut, tapi dalam versi Inggris nama Nur Zaman sama sekali tidak muncul.) Dan tokoh Syahdan – untuk sekadar menyebut satu contoh lagi – dalam versi Inggris diceritakan “hilang” setelah merantau ke Jakarta untuk menjadi aktor – “We never heard anything about him anymore” (versi Bentang, hlm. 457). Padahal, dalam versi asli Syahdan menjadi narator bab terakhir, dan di situ dia menjadi panelis dalam sebuah acara peluncuran buku di Belitung di mana teman-teman dan kedua bekas gurunya juga hadir.

Saya rasa contoh-contoh di atas sudah cukup untuk mengilustrasikan bahwa versi Inggris dan Jerman novel Laskar Pelangi sangat jauh berbeda daripada versi Indonesia. Lalu bagaimana kita mesti menilai hal tersebut?

Novel pop memang sudah selazimnya bertujuan untuk menghibur, dan ditulis sesuai dengan perkiraan mengenai selera populer, agar laku di pasar. Dapat diperkirakan bahwa sebuah terjemahan yang benar-benar murni terjemahan atas novel Laskar Pelangi tidak akan sukses di luar Indonesia. Oleh sebab itu, cukup masuk akal (sesuai dengan logika pemasaran bacaan pop) bahwa versi berbahasa asing disesuaikan agar novel tersebut tetap laku dijual. Tampak dengan sangat jelas bahwa hal itu dengan ekstensif dilakukan terhadap Laskar Pelangi. Namun “penyesuaian” itu membawa berbagai persoalan, khususnya berkaitan dengan reputasi dan pengakuan-pengakuan Andrea Hirata sendiri, baik di Indonesia maupun di luar negeri:

  1. Penyesuaian itu tidak dilakukan secara terbuka. Versi asing diterbitkan sebagai “terjemahan”, dan baik pembaca asing maupun pembaca Indonesia tidak diberitahu mengenai adanya perbedaan yang sangat jauh antara versi-versi itu. Di Indonesia, sukses versi asing tersebut dibanggakan sebagai sukses Laskar Pelangi, dan edisi-edisi baru versi Indonesia pun diberi label “International Bestseller”. Padahal yang laku di luar negeri bukanlah novel Laskar Pelangi tersebut, tapi sebuah novel lain yang paling-paling dapat disebut saduran dari Laskar Pelangi.
  2. Andrea Hirata kini memposisikan diri sebagai penulis Indonesia yang sukses di luar negeri. Namun siapa sebetulnya yang menulis novel yang sukses di luar Indonesia tersebut? Apakah The Rainbow Troops merupakan karya Andrea Hirata, atau kolaborasi antara dirinya dan Angie Kilbane?
  3. Andrea Hirata diposisikan dan memposisikan diri bukan sekadar sebagai penghibur lewat novel popnya, tapi juga sebagai sejenis pembela keadilan. Namun dengan adanya eksotisasi penderitaan dan kemiskinan seperti yang terlihat dalam beberapa contoh dari versi Inggris di atas, juga informasi yang menyesatkan mengenai kebudayaan Indonesia, sistem pendidikan Indonesia dan lain-lain, apakah kita masih dapat percaya pada cita-cita luhur Andrea Hirata tersebut?
  4. Di atas saya mengkategorikan Laskar Pelangi sebagai novel populer, sehingga logika pemasarannya pun berbeda daripada yang berlaku untuk karya sastra. Namun Andrea Hirata sendiri tidak tegas dalam merepresentasikan diri, apakah dirinya ingin dipandang sebagai sastrawan atau sebagai penulis populer. Dia sempat membandingkan dirinya dengan penulis Indonesia lain yang konon tidak pernah mencapai apa yang dicapai dirinya. Selain mempertanyakan penilaian tersebut, kita juga dapat bertanya: Bukankah karya penulis Indonesia lain yang hadir di pasar internasional semuanya merupakan terjemahan, bukan saduran yang sudah dieksotis-eksotiskan seperti The Rainbow Troops? Jadi bagaimana kita dapat membandingkan suksesnya?

*Katrin Bandel, kritikus sastra, tinggal di Jogjakarta

Comments
  1. Saya penasaran apakah bab yang berjudul “Tuk Bayan Tula” masih dipertahankan ada dalam versi luar terjemahannya. Menurut saya bab itu sama sekali tidak pantas dipertahankan. Bab itu yang pertama-tama harus dibuang karena memalukan jika tetap dipertahankan dalam versi terjemahannya….

  2. […] pada akhirnya, pagi ini membaca tulisan Katrin Bandel ini. Banyak hal yang menurut saya perlu diluruskan karena cukup mengusik batin saya. Kira-kira berikut […]

  3. Mmm, saya bukan teman Andrea Hirata. Saya hanya kenal dari pemberitaan, dan menonton filmnya. Yang jelas dari pemberintaan saya tahu, dan saya lihat sosoknya. Saya bukan teman Katrin Bandel, saya hany membaca tulisan kritik di atas. Dan saya tidak pernah tahu bahwa Katrin Bandel adalah kritikus sastra. Siapakah yang mengangkat dia menjadi kritikus sastra? Maaf, saya pun tak tahu apakah Katrin Bandel nama asli atau nama samaran.
    Jika pada terjemhanan versi Belanda ataupun Jerman berbeda dengan versi Indonesia, berapa besar bedanya? Jika “Katrin Bandel” menyebut bukan terjemahan melainkan saduran atau pun adaptasi, silakan saja.Bukankah para “penerjemah”, para “penyadur”, para “adaptor” juga memiliki hak untuk menuturkan dengan gaya dan cara masing-masing? Dan, buktinya penerbit tak ada yang “complaint,” penerbit – yang tentu saja sangat faham ihwal copyright, dll – toh tetap mencetak dan mempromosi maupun mendistribusikan di luar negeri. Juga, tentu saja, sudah minta ijin pada Andrea. (Saya kenal dengan beberapa pengarang Indonesia yang karya2nya diterjemahkan ke berbagai bahasa di luar negeri. Jika alasan dan uborampe-nya jelas, para pengarang tersebut dengan senang hati mengijinkan). Dari gaya telaah “Katrin Bandel” maaf ada semacam iri hati, jealous, dan mengkritisi karya maupun Andrea Hirata “himself.” Maka, sekali lagi, siapakah yang menabalkannya sehingga layak disebut “kritikus sastra?” Maaf, jika saya terkesan membela Andrea Hirata dan karyanya, serta mengkritisi “Katrin Bandel.” Minimal untuk menyampaikan kepada pembaca bahwa saling mengingatkan penting, sebab termaktub dalam Al Asr,”..wa tawassaw bilhaq..” Wassalam.

    • yusrizal says:

      Sebenarnya sedikit disesalkan.
      Kritik mbak Katrin Bandel ini tidak berdasarkan data yang valid dan lengkap.
      Datanya setengah-setengah, tapi Katrin Bandel sudah terlanjur me-judge secara keseluruhan Laskar Pelangi dan Andrea Hirata.
      Poor you Katrin.
      Jangan ngaku kritikus sastra klo konsep kritik mengkritik karya sastra aja belum mengerti benar.

      • boemipoetra says:

        Eh, Yusrizal, emangnya data-data yang tidak lengkap itu membuat hasilnya buruk? Cobak kau tunjukkan keburukan tsb? Kedua, aturan dari mana mengharuskan data-data harus “lengkap”? Cobak kau berikan referensimu! Ketiga, cobak buktikan bahwa data-data tulisan Katrin yang tidak lengkap itu tidak “valid”?

        Jangan cumak ngarang-ngarang aja, silahkan bikin argumentasi seperti yang dilakukan Katrin dalam membuktikan dusta Andrea Hirata yang kau telan mentah-mentah itu, apalagi lagakmu kan paham apa itu “kritik Sastra”! Kami tunggu yaaa!!!

      • yusrizal says:

        Anda koq kelihatan emosi banget.
        Sayang sekali, padahal isi blog ini bagus, tapi bloggernya anti-kritik, tak beda jauh dengan yang sedang diperbincangkan, Andrea Hirata.

        Coba baca artikel ini: http://teysaja.wordpress.com/2013/03/10/data-data-data-menanggapi-kritik-tentang-karya-andrea-hirata/

        Ada penjelasan tentang pentingnya data yang lengkap.

        Lalu, tentang validitas? Saya baca kalimat ini:

        “Menurut cerita teman saya, menjelang akhir novel versi Jerman dan Inggris makin jauh dari versi asli. Maka saya pun membaca bab terakhir versi Inggris, meski sayangnya hanya sebagian dari bab tersebut, sebab tidak semua halaman bab terakhir dapat diakses lewat Google Books. Namun dengan akses terbatas itu pun sudah sangat jelas bagi saya bahwa cerita teman saya tidak berlebihan.”

        Menurut cerita teman? Siapa temannya? Lalu, tidak semua halaman bab terakhir dapat diakses lewat Google Books. Langsung berani mengambil kesimpulan? Sudah jelas disitu Katrin menulis klo aksesnya terbatas, tapi kenapa langsung mengambil kesimpulan secara keseluruhan karya Laskar Pelangi?

        Sorry, saya ga berlagak paham kritik Sastra. Saya masih amatir.
        Tapi saya masih berpikir. Hal-hal seperti di atas harusnya bisa dicerna secara logika, kawan.
        Emosi membuat logika tak bekerja secara lurus.
        Dari kalimat-kalimat Anda, Anda seperti benci sekali terhadap Andrea Hirata.

        Silakan tanya saja langsung ke para kritikus, apakah boleh mengkritik karya seseorang dengan data yang tak lengkap?

        Saya bukan pemuja Andrea Hirata koq.
        Saya cuma berpikir objektif.

      • boemipoetra says:

        Hey, yusrizal, siapa yang emosi?! Bukannya isi komentar pertamamu yang sampah banget!!! Kacian deh lu!

        Jadi bahan referensimu tentang “Kritik Sastra” cumak tulisan buruk di situs gak jelas itu! LOL Udah baca kan komentar-komentarku di situ?

        Kau berani ngomentari esei Katrin Bandel bahkan menilainya “gak valid” dan sebagainya cumak berdasarkan kalimat “menurut cerita teman” dari Katrin dan pengakuan jujur Katrin bahwa dia memakek data-data yang terbatas! Kau sendiri, dan si blogger yang kau jagokan itu, apa sudah baca “data-data terbatas” yang Katrin pakek itu?! Kalian sudah baca apa yang disebut “terjemahan” dari novel pop si Andrea Hirata itu?! Bukannya kalian sendiri sedang menertawai diri sendiri di sini!

        Cobak baca dulu ya minimum “data-data terbatas” Katrin itu langsung di sumbernya, kalok gak bisa baca “terjemahan” yang dia maksud, lalu bandingkan dengan isi esei Katrin tsb (benar-nggak seperti yang dikatakan Katrin), barulah kalian pantas ngomentari eseinya itu! Ini kan logika kalian sendiri toh, jadi lakukanlah biar gak dianggap orang kalian itu lagi demam!!!

        Kalok mau tahu esei-esei Katrin lainnya di situs ini, silahkan cari aja di Archives. Minimum kalian bisa belajar bagaimana menulis (BUKAN CUMAK MENULIS KRITIK SASTRA LOH!) dengan baik sehingga gak sia-sia ada teknologi internet seperti blog disediakan untuk dipakek orang mengutarakan ide-ide intelektualnya. Kalok internet cumak ajang tempat kalian pamer ketotolan, wah laknat itu namanya loh! LOL

    • boemipoetra says:

      Uki Bayu Sedjati, anda kok malu-malu sih bela si pendusta besar bernama Andrea Hirata itu?! Mulailah belajar jujur sebelum kita mulai menilai orang lain yaaa! Oh iya, cobak anda google nama “Katrin Bandel” biar pertanyaan-pertanyaan tolol anda tentang identitas dia terjawab dan makin luas wawasan berpikir anda! Tentang apa itu “Sastra”, pengetahuan anda ternyata masih sangat amatiran dan mestinya anda malu pamerkan di sini!!! Oh iya lagi, nama saya Saut Situmorang dan kalok anda belum pernah dengar tentang saya, silahkan digoogle jugak. Bisa jugak anda cari tahu tentang saya di TIM!

      • boemipoetra says:

        Woi, Uki Bayu Sedjati, BACA NIH! >>> Katrin Bandel: ‘Yang Perlu Dibongkar Justru Ideologi Yang Menempatkan Sastra Sebagai Seni Tinggi.’ http://indoprogress.com/2014/04/katrin-bandel-yang-perlu-dibongkar-justru-ideologi-yang-menempatkan-sastra-sebagai-seni-tinggi/

        “Dalam konteks kritik sastra inilah nama Katrin Bandel penting untuk dimunculkan. Katrin yang berwarga Negara Jerman namun tinggal lama di Indonesia, banyak memusatkan perhatian serta tenaga intelektualnya pada kritik sastra, khususnya kritik sastra di Indonesia. Katrin telah menulis beberapa buku antara lain, Sastra, Perempuan, Seks (2006) dan yang terbaru adalah Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas Bagi Katrin, pengajar magister (S2) di program Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini, sastra terlalu penting untuk tidak dikritik mengingat relasinya yang didaktis bagi perkembangan suatu masyarakat secara luas.”

  4. boemipoetra says:

    Bagi para Fundamentalis Pembela Dusta Andrea Hirata, BACA NIH!!!

    One novel; two very different versions
    http://en.qantara.de/content/andrea-hiratas-novel-the-rainbow-troops-one-novel-two-very-different-versions

    “The first English version was brought out by an Indonesian publisher in 2010. Andrea Hirata worked with his translator, Angie Kilbane, and, as he mentions on his website, changed a number of sections for cultural reasons. Interestingly, no mention is made of the fact that extra protagonists and a central plot strand (a heroic struggle against the mining company) were added to the English version.

    These additions make the story more socially critical, but by no means more realistic. What motivated the writer and translator, for instance, to reduce the female teacher’s age from her early twenties in the original to only 15 in the international version? The German translation also leans more closely on the English version than on the Indonesian original in most places.

    In this reworking for the international market, many of the elements that made the Indonesian version so characteristic have been removed. Buoyed by a fantasy of greatness frustrated only by dire poverty, the children are presented as autodidactic geniuses.”

  5. ivanasangadji says:

    aku ma no commend,,,,,,yang jelas karya aslinya ngga di interfensi. persoalan terjemahan saya kira wajar-wajar aja. pling tidak bsa jadi bahan untuk croscek kembli kesusastraan kita.

    • boemipoetra says:

      Karya asli gak diintervensi? Kalok terjemahan sangat beda dari aslinya, lantas yang “terjemahan” itu datang dari mana? Ckckck…

  6. juanda riski says:

    saya menikmati esai nya, dan lebih menikmati lagi membaca komentar-komentar orang-orang yang seakan tahu banyak tentang sastra.. Hidup om Saut!!

Leave a comment