Aek Raisan, Di Sini Ada Ribuan Tangis Yang Tak Terdengar

Posted: 26/12/2013 in Reportase
Jembatan Aek Raisan di Jalinsum Sibolga-Tarutung, Sumut (Foto: metrosiantar.com)

Jembatan Aek Raisan di Jalinsum Sibolga-Tarutung, Sumut (Foto: metrosiantar.com)

oleh Suhunan Situmorang*

 

Seorang lelaki seumuranku, orang Batak, sekitar setahun lalu menyuratiku lewat surat elektronik. Sebelumnya kami tak saling kenal, tetapi pengakuannya dia mengetahuiku dari catatan-catatanku di media internet. Dia berdomisili di sebuah negara bagian AS, tetapi tak saya tanyakan pekerjaannya, juga, apakah sdh berkeluarga atau belum, menikah dng orang Indonesia atau dng perempuan Batak, atau tidak. Itu salah satu ciri saya dlm pergaulan sosial, termasuk agama, saya enggan menanyakan.

Entah kenapa dia begitu ingin bercerita pada saya, cerita yg panjang, menyamai naskah cerpen. Dan saya percaya sepenuhnya, malah jadi terhanyut dng “penuturannya.” Dia, pengakuannya, begitu percaya dan ingin “curhat” pada saya krn satu statusku di FB ttg pengalamanku memiliki kawan SMA, putri seorang perwira menengah militer, yg mengalami tekanan bathin akibat status ayahnya yg digolongkan “orang kiri.” Saya sendiri tak mendokumentasikan catatan sehalaman atau dua halaman itu, sebagaimana catatan-catatan lain di status yg begitu saja muncul, kutuliskan, dan…menghilang (krn facebook tak memungkinkan mencari semua status, apalagi yg sudah lama).

Lelaki yg menyuratiku itu mengisahkan penderitaan, kesedihan, sekaligus amarahnya pada mereka yg telah menghabisi ayahnya dan ribuan orang yg digolongkan seperti ayahnya, orang kiri, terlibat atau anggota PKI. Saat ayahnya ditangkap dan tak pernah dipulangkan tentara yg menciduk pada suatu sore di tahun 1966, ia berusia empat tahun. Ibu dan ketiga saudaranya hanya bisa menangis sambil ketakutan, tak berani sekadar melihat truk yg membawa bapaknya dng suara mesin yg berderum kuat. Tapi ia masih terbayang suara mesin truk dan suara keras puluhan militer yg menghardik bapaknya dng keras saat digelandang ke atas bak truk yg dipenuhi orang-orang, para “tangkapan” dari berbagai kampung.

Truk-truk militer itu kemudian melaju ke arah Balige, menghilang ditelan senja yg mulai gelap. Sejak itu, ia dan ibu serta sanak saudaranya, tak lagi pernah melihat ayah mereka, hingga dewasa dan merantau ke Amerika.

Tetapi sebelum meninggalkan Indonesia dan pemerintahan Soeharto ditumbangkan gerakan Reformasi, dia mulai giat menelusuri jejak ayahnya. Cukup panjang investigasi yg dia lakukan, hingga kemudian dari berbagai keterangan, lebih banyak verbal, dia tahu ke mana ayahnya dibawa oleh tentara pasca G 30 S yg secara massif, sistematis dan berkelanjutan memburu orang-orang yg dituduh PKI.

Di antara tentara yg memburu orang-orang kiri itu, ada seorang yg kemudian bertetangga dng pamannya (Tulang) di pinggiran kota Pematang Siantar. Sang tentara, beberapa tahun kemudian, acap bercerita–terutama saat atau menjelang peringatan 30 September yg oleh pemerintah Orde Baru dibuat film yg wajib ditonton masyarakat, disutradarai Arifin C. Noor, diputar TVRI tiap malam 30 September-1 Oktober–pada orang-orang yg biasa “kombur” sambil minum tuak di kedai langganannya ikhwal peristiwa tsb dan peranannya sbg anggota pemburu, penangkap, sekaligus algojo yg ikut mengeksekusi para “buruan” yg dituduh “orang merah.” Dia, kata Tulang-nya pria yg menyuratiku itu, selalu menceritakan dng bangga, seolah yg dilakukannya adalah prestasi besar bagi negara.

Tulang-nya lelaki yg menyuratiku itu, rupanya, diam-diam mengusut pria eks tentara itu, di daerah mana saja dulu dia beroperasi, dan wilayah iparnya ternyata yg ikut digaruk. Kemudian ditanyakan lebih rinci di mana atau ke mana para tawanan itu dibawa dan dieksekusi. Sang tentara menceritakan dng bangga, seperti biasa, seraya menyebut lokasi pembantaian dan cara mereka (para eksekutor) menghabisi nyawa orang-orang kiri atau dituduh kiri itu.

Sang tentara mengaku ada ribuan yg dibawa dan dieksekusi, dijemput dari berbagai wilayah antara Simalungun-Tapanuli Utara-Tapanuli Tengah, juga sebagian dari Pahae dan Sipirok. Semua yg ditangkap dibawa ke sebuah kampung yg sunyi, persisnya tepi sungai, bernama Aek Raisan. Wilayah ini berada di lintasan Tarutung-Sibolga, dikitari hutan lebat, minim penduduk, dan satu sungai berarus kuat yg berhulu dari hutan Humbang (dulu masuk wilayah Tapanuli Utara), bermuara di pantai Kolang, pantai barat Sumatera Utara. Aek Raisan, sampai kini masih daerah yg sepi, berada di antara kelokan jalan antara Tarutung-Sibolga yg terkenal puluhan jumlahnya dan cukup menegangkan bagi pengemudi dan penumpang. Kiri kanannya diapit dinding bukit curam, hutan lebat masih dominan, dan air sungai mengalir deras walau debitnya kian berkurang akibat pembabatan hutan di wilayah hulu (terutama oleh PT TPL/ Indorayon).

Tahun 1966, lokasi yg terletak di ketinggian dan kelokan jalan menuju Sibolga itu, ternyata menjadi lokasi pembantaian bagi ribuan orang. Siang malam para tawanan dibawa puluhan truk yg datang dan pergi. Selanjutnya para tawanan itu, tanpa penyelidikan atau pengecekan yg akurat mengenai terlibat tidaknya di organisasi “onderbow” atau aktivis atau kader parpol bernama PKI, langsung dijejerkan di sisi jembatan–peninggalan Belanda–dan kemudian ditembaki secara massal. Orang-orang malang yg disuruh berbaris membelakangi sungai itupun berjatuhan, selanjutnya dihanyutkan air sungai yg mengalir deras menuju pantai barat Sumut.

Mengapa Aek Raisan dipilih militer pro Soeharto jd “killing field” ? Ternyata, pertimbangannya, krn lokasinya amat sunyi dan air sungai mengalir deras, hingga tak banyak orang (penduduk) menyaksikan dan mayat korban pembunuhan militer cepat hanyut ke lautan!

Dari keterangan atau investigasi yg dilakukan lelaki yg menyuratiku itu, ia amat yakin, ayahnya pun dihabisi di Aek Raisan. Lima tahun sejak Soeharto digulingkan, setiap hari Natal, ia selalu mendatangi sungai yg kemudian disebut orang-orang sekitar (Adiankoting, Sitahuis) dan orang Sibolga yg tahu peristiwa keji tsb, daerah angker, dipenuhi hantu yg sering menangis dan minta tolong pada malam tertentu.

“Aku selalu membawa bunga dan makanan khas Natal setiap berziarah ke sana,” tulis lelaki yg sebaiknya tak kusebut nama dan marganya serta kampungnya itu. “Setelah berdoa dan memanggil bapak, aku lemparkan bunga dan kue-kue serta minuman yg kubawa ke tengah sungai. Pernah juga kuberi baju dan celana dan sepatu baru, semoga bapak kami senang menerimanya. Hanya itu kado Natal yg bisa kuberi saat itu…”

Masih panjang cerita atau pengakuan lelaki sebayaku yg hanya mengenalku di dunia maya itu. Hanya dua kali dia berkirim email padaku, yg diketahuinya dari cover dalam novel SORDAM, sementara akun tsb tak lagi bisa kubuka krn, konyol sekali, lupa password-nya. Mungkin dia pernah menyuratiku namun tak berbalas sebab aku tak lagi bisa menengok. Barangkali dia kecewa, semenatara di jejaring sosial facebook, tak kutemukan namanya–atau dia memaki nama lain yg juga “lazim” bagi pengguna media sosial.

Sebetulnya saya ingin terus menjalin komunikasi dng dirinya, ingin menjadi atau dia jadikan temannya, meskipun mungkin tak dikehendakinya–sebab dia, tulisnya, hanya ingin menambahi kisah yg amat menyedihkan akibat peristiwa terkelam di Indonesia itu bagiku, yg diyakininya, saya tak sama dng orang-orang yg selalu menatap sinis pada mereka yg dituduh anak/keturunan PKI.


****

Kemarin siang, seperti tahun lalu, saat melintasi Aek Raisan dlm perjalanan menuju Sibolga bersama keluarga, saya sengaja berhenti sejenak di dekat jembatan, memandangi sungai dan sekitar beberapa jenak. Air sungai mengalir deras menerjang batu-batu besar, mendung menggelayut di langit, gerimis membasahi muka dan tanganku. Kubayangkan “adegan” pembantaian ribuan orang di tepi jembatan itu, tubuh mereka membelakangi sungai, mata mereka menatap hampa sepenuh harap agar tak ditembak para militer dan paramiliter yg dng beringas menyuruh mereka berbariss eraya mengokang senjata laras panjang. Lalu…dor-dor-dor….! Tubuh-tubuh yg tak berdaya itu berjatuhan ke permukaaan sungai yg mengalir deras, kemudian mengambang dan hanyut terbawa arus ke lautan luas.

Dalam perjalanan sisa menempuh 12 km menuju Sibolga, kepada ketiga anak dan istri, kembali kukisahkan peristiwa yg amat kejam dan memilukan itu. Juga saat kami berehat sejenak di kedai kopi KokTong. Mereka perlu tahu sejarah negeri ini dari berbagai versi, termasuk manipulasi yg dilakukan para sejarawan krn pesanan dan kepentingan.

Saat mengikuti kebaktian malam Natal, tiba-tiba saya teringat lelaki yg menyuratiku itu. Kubayangkan dia menangis mengingat ayahnya, di suatu kota di Amerika yg tengah dipenuhi salju, diiringi musik dan lagu Natal yg mengalun syahdu. Sementara di sekitar Aek Raisan, hanya kesunyian yg membekap, dicekam suara air sungai yg membentur bebatuan, meredam tangisan ribuan orang yg tak pernah terdengar.***

(Sibolga, tengah malam menuju 26 Desember. 2013)

*Suhunan Situmorang, novelis, tinggal di Jakarta 

 

Sumber:

https://www.facebook.com/suhunan.situmorang/posts/10151941908369915?comment_id=29267017&offset=0&total_comments=13&notif_t=mentions_comment

 

Comments
  1. Mata saya serasa lembab membaca tulisan ini ,
    Kiranya Bagi tulang Suhunan Situmorang , dapat menulis akan pembataian G/30/S yang ada di Aek sibundong tap-teng juga dan masih banyak kisah lainnya juga , yakni sampai ke daerah ujung tapteng Barus hingga manduamas.

  2. Jadi inget The Act of Killing. http://www.youtube.com/watch?v=3tILiqotj7Y

    Sungai Ular juga tempat pembunuhan massal dan pembuangan mayat.

  3. labanblogger says:

    Ah seru, terimakasih tulisannya lae..
    bisa ku bayangkan, ngeri sekali…

    —————————
    http://www.eventbagus.com

  4. Seandainya ada nama nama korban dan bukti bukti lainnya,ini sudah bisa dibuku kan ke dalam sejarah .

  5. Sandy Kataja says:

    Ada film dokumentasinya ttg ini. Judulnya The Look of Silence. Pelaku-pelakunya bercerita. Intinya semua itu propaganda untuk membenci para komunis dgn doktrin2 tertentu sehingga yg diduga anggotanya, harus dienyahkan.

Leave a comment