Jakarta, 25 Januari 2022

            Anggota Komite Nobel Sastra yang terhormat,

            Kami yang bertanda tangan di bawah ini (total 536 penulis, editor, penerjemah, penggiat sastra, dan anggota masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Anti Manipulasi Sastra Indonesia) menulis surat ini untuk menolak usulan Komunitas Puisi Esai untuk mengajukan pendirinya, Denny Januar Ali, atau lebih dikenal dengan Denny JA, sebagai calon penerima Nobel Sastra.

               Sejak 20 Desember 2021, siaran pers Komunitas Puisi Esai telah menyebar ke sejumlah media di Indonesia, yang memuat informasi bahwa komunitas tersebut telah menerima surat undangan dari Anda untuk mengajukan nama agar dipertimbangkan sebagai calon penerima Hadiah Nobel Sastra tahun 2022. Disebutkan pula bahwa komunitas tersebut telah memutuskan mengajukan nama Denny JA untuk dipertimbangkan oleh Akademi Swedia.

               Dalam sebuah pernyataan kepada Jawapos.com, sebuah media daring nasional, Koordinator Pelaksana Komunitas Puisi Esai, Irsyad Muhammad, menyatakan bahwa “Denny JA menjadi sastrawan Indonesia kedua yang pernah secara resmi dicalonkan dengan prosedur resmi melalui undangan Panitia Nobel, setelah Pramudya [sic] Ananta Toer,”

               Sejak itu, Denny melalui halaman Facebook-nya menerbitkan setidaknya 16 esai, ditulis oleh pengikutnya, untuk mendukung berita tersebut, dengan penekanan bahwa komunitasnya telah menerima surat undangan dari Komite Nobel (meski tidak pernah benar-benar menunjukkan salinannya), termasuk menerbitkan berbagai postingan untuk menegaskan kembali klaim bahwa Denny merupakan penulis Indonesia kedua yang telah jadi nominee — alih-alih baru nama yang diajukan untuk dipertimbangkan sebagai nominee — untuk Hadiah Nobel Sastra, setelah penulis besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer (yang nominasinya telah dikabarkan selama bertahun-tahun tetapi belum dapat dikonfirmasi karena, sebagaimana tercantum dalam situs resmi Hadiah Nobel, nama-nama nominee Nobel tidak dapat diumumkan hingga 50 tahun setelah pencalonan).

               Dalam unggahan Facebook pada 15 Januari 2022, Denny bahkan menerbitkan mockup prangko bergambar ilustrasinya dan tulisan “The Nobel Prize Nominee”.

               Upaya penyesatan publik ini makin menambah daftar panjang manipulasi sastra yang dilancarkan Denny sejak tahun 2012. Taktiknya yang sering licik demi melambungkan namanya sendiri, termasuk dengan menyebarkan berita palsu tentang statusnya sebagai nominee Nobel Sastra, meyakinkan kami bahwa dia bukan calon yang cocok sebagai nominee, apalagi untuk menjadi pemenangnya.

               Sebagai bahan pertimbangan, berikut ini kami uraikan aktivitas manipulatif Denny JA di kancah sastra Indonesia dari tahun 2012 hingga saat ini.

Denny JA dan Pseudo-Invensi “Puisi Esai”nya

               Denny, seorang pengusaha dan konsultan politik, tidak dikenal oleh pembaca Indonesia sampai diterbitkannya kumpulan “puisi esai” Atas Nama Cinta, pada April 2012. Buku itu diberi label “Genre Baru Sastra Indonesia”.

               Klaim Denny bahwa ia telah menemukan genre sastra baru “puisi esai” di Indonesia langsung menuai kritik, baik dari pembaca maupun kritikus sastra, sebab:

  1. Puisi esai atau esai bersajak terbukti telah menjadi bagian dari kanon sastra di banyak negara, termasuk Indonesia. Seorang kritikus menyatakan “puisi esai” yang diproklamirkan sendiri oleh Denny sebagai “pseudo-invensi”.
  2. Denny mendefinisikan “puisi esai”nya sebagai puisi bercita rasa esai, namun faktanya sebagian besar puisinya hanya merupakan puisi naratif dengan taburan catatan kaki. Catatan kaki — yang jelas bukan ciri khas esai, apalagi karya sastra — diklaim sebagai sine qua non definisinya tentang ke-esai-an. Definisi ini, karena tidak memiliki basis sejarah atau (ke)sastra(an), tentu saja menipu.

               Dalam kata pengantar kumpulan “puisi esai” di atas, Denny menulis:

“Sebuah genre baru di dunia seni atau paradigma baru di dunia pemikiran hanya ditentukan oleh satu hukum sosial saja. Yaitu apakah hal baru itu diterima oleh sebuah komunitas? Itu cukup  dengan  melihat  banyaknya  pengikut atau  pengarang  yang  mengulangi   medium atau ekspresi baru itu.

Sebuah genre pada dasarnya adalah konstruksi sosial. Ia tidak lahir hanya karena titah seorang otoritas sastra, tapi terutama karena diterima oleh publik.

Genre atau paradigma tidak diukur dari kualitas internal karya itu atau kedalaman  cara berpikir baru yang ditawarkan. Ia semata diukur oleh daya terima publik terhadap ekspresi baru itu. Ia ditentukan oleh popularitas ekspresi baru itu.”

               Bertahun-tahun sejak itu, Denny memfokuskan upayanya untuk mempromosikan pseudo-invensi bernama “puisi esai” ini.

Upaya Legitimasi Melalui Propaganda

               Jurnal Sajak, yang dipimpin dan didanai Denny sejak 2012, menjadi senjata utama propaganda. Antara tahun 2012 dan 2013, majalah ini menggelar lomba penulisan “puisi esai” dengan hadiah uang 50 juta rupiah (sekitar 32.000 Krona). 10 antologi berisi karya para pemenang diterbitkan kemudian oleh penerbit bernama sama. Kegiatan-kegiatan ini tidak diragukan lagi merupakan upaya untuk membuktikan bahwa genre “puisi esai” telah: (1) menghasilkan banyak pengikut atau  pengarang  yang  mengulangi   medium atau ekspresi baru itu; (2) diterima oleh publik; dan (3) mencapai popularitas.

               Upaya legitimasi dilanjutkan dengan diterbitkannya buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh pada 3 Januari 2014, hanya 21 bulan setelah terbitnya kumpulan “puisi esai” pertama Denny. Daftar 33 nama tersebut disusun oleh 8 penulis senior bernama Tim Delapan — yang enam anggotanya merupakan redaktur Jurnal Sajak. Denny JA menduduki urutan ke-30 dalam daftar tersebut, sebuah pencapaian luar biasa bagi seseorang yang dua tahun sebelumnya nyaris tidak dikenal di kalangan sastrawan.

               Buku itu segera mendapat kritik keras. Tanggal 7 Januari 2014, sebuah petisi yang ditandatangani 756 penulis, kritikus, guru sastra, dan pegiat sastra Indonesia diluncurkan untuk menolak penerbitan buku tersebut, termasuk imbauan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar menarik buku tersebut dari peredaran karena menyesatkan masyarakat luas dan sarat dengan konflik kepentingan dalam publikasinya. Seperti yang dikemukakan oleh Maman S. Mahayana, anggota Tim Delapan yang kemudian mengundurkan diri dari posisinya — serta menuntut lima esai yang telah ditulisnya dalam buku itu (dengan bayaran Rp 25 juta) untuk dihapus— Denny membiayai penerbitan buku tersebut dan tim memasukkan namanya ke dalam daftar meskipun dia belum memenuhi kriteria yang ditetapkan.

               Namun gelombang besar penolakan itu seolah tak menyurutkan Denny. Upayanya untuk memperkuat citranya sebagai penemu genre sastra baru (walaupun palsu) terus berlanjut. Antara 2015 dan 2016, Denny menghabiskan miliaran rupiah untuk merekrut salah satu sutradara film terkemuka, Hanung Bramantyo, yang terkenal dengan melodramanya, untuk membuat beberapa film adaptasi dari “puisi esai”nya.

               Antara 2019 dan 2021, lima buku berisi 35 naskah film yang diadaptasi dari 35 “puisi esai” Denny terbit.

               Sejak pertengahan 2017 hingga pertengahan 2018, Denny juga meluncurkan program penulisan “puisi esai” nasional, menghabiskan 850 juta rupiah sebagai imbalan bagi 170 kontributor dari 34 provinsi. Dalam kontrak, penugasan digambarkan sebagai “Pekerjaan Kontrak”.

               Program ini pun mendapat kecaman luas dan berujung pada penandatangan petisi yang lain.  Sebanyak 3.072 penandatangan, yang menyebut diri mereka “Penyair Muda Indonesia”, tercatat menyatakan penolakan, antara lain karena; (1) program tersebut dianggap sebagai bagian dari manipulasi sastra Denny untuk, dengan kekuatan uang, mendapatkan legitimasi sebagai tokoh sastra nasional dan (2) kuat dugaan Denny memanipulasi lembaga-lembaga negara, termasuk Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan Kantor/Balai Bahasa daerah, untuk membantu memuluskan program penulisan “puisi esai”nya.

               Pada tahun 2018, Denny juga meluncurkan lomba resensi “puisi esai” dengan total hadiah uang 200 juta rupiah. Karya pemenang kemudian diterbitkan dalam antologi. Pada 2018 dan 2019, ia juga menyelenggarakan lomba penulisan “puisi esai” tingkat Asean dengan hadiah ratusan jutaan rupiah.

               Denny juga menerbitkan serangkaian buku yang mencoba menyoroti fenomena “puisi esai” antara tahun 2017 dan 2019. Tahun 2017, salah satu buku berjudul Membaca Puisi ke Tengah Gelanggang: Jejak dan Karya Denny JA— yang tidak lebih hanya propaganda langsung untuk “puisi esai” — dikirim tanpa diminta ke puluhan penulis di Indonesia. Namun sebagian besar para penerimanya kemudian mengembalikan buku tersebut begitu mengetahui bahwa buku gratis itu merupakan upaya lain untuk mengkooptasi mereka untuk tujuan Denny.

Mengapa Denny JA Tidak Layak Dinominasikan Sebagai Penerima Hadiah Nobel Sastra?

               Kami menyoroti empat poin pentingmengenai upaya Denny JAmemproklamasikan dirinyasebagai calon resmi penerima Nobel Sastra:

  1. Penggiringan opini publik yang dilakukan Denny dan Komunitas Puisi Esainya, dengan pesan utama bahwa Denny telah merupakan nominee untuk Hadiah Nobel Sastra tahun 2022 (sementara nama para nominee tidak akan pernah benar-benar diumumkan sampai 50 tahun ke depan), telah melanggar Rules of Nomination dari Akademi Swedia, yang menyatakan bahwa “Mengumumkan pencalonan dilarang, demikian pula mencalonkan diri sendiri”;
  2. Koordinator Pelaksana Komunitas Puisi Esai, Irsyad Muhammad, mengatakan dalam sebuah pengumuman resmi bahwa “Anggota masyarakat tidak dapat menominasikan kandidat untuk Hadiah Nobel Sastra. Pengajuan nama ke Akademi oleh anggota masyarakat atau individu akan secara otomatis didiskualifikasi; hanya mereka yang telah diundang secara resmi oleh Komite Nobel yang dapat mengajukan nama untuk dicalonkan.”

Pernyataan ini jelas merupakan disinformasi. Sebab situs resmi Hadiah Nobel mencantumkan empat kategori “Nominator yang Memenuhi Syarat”, tetapi tak satu pun dalam empat kategori itu menyebutkan bahwa surat undangan adalah persyaratan bagi para nominator. Situs resmi Hadiah Nobel hanya menyatakan bahwa “Komite Nobel Sastra mengirimkan surat undangan kepada orang-orang yang memenuhi syarat untuk menominasikan penerima Nobel Sastra”.

  • Poin-poin di atas telah dikonfirmasi oleh Magnus Halldin dari Komite Nobel dalam email menanggapi pertanyaan dari Kompas.com, sebuah surat kabar nasional, yang diterbitkan pada 11 Januari 2022. Dalam tanggapan emailnya, Halldin mengatakan bahwa pencalonan untuk Hadiah Nobel Sastra tidak boleh diungkapkan kepada publik dan bahwa usulan pencalonan tidak memerlukan surat undangan.
  • Namun dalam berbagai unggahan di media sosial, Denny dan Komunitas Puisi Esai secara konsisten memberikan kesan bahwa dirinya telah menjadi nominee penghargaan (yakni, telah lulus proses evaluasi oleh Komite Nobel). Padahal sebagaimana dinyatakan dalam situs Hadiah Nobel, “batas waktu pengiriman calon nominasi” adalah 31 Januari 2022, masih beberapa minggu lagi pada saat ia dan komunitasnya mulai mengampanyekan dirinya sebagai nominee.

               Maka berdasarkan alasan di atas — terutama seperti yang ditunjukkan dalam daftar panjang upaya Denny untuk menyesatkan dan memanipulasi publik sastra di Indonesia (seringkali dengan kekuatan finansialnya) dan kerusakan yang ditimbulkan oleh tindakannya terhadap komunitas sastra—kami yang bertanda tangan di bawah ini, anggota Aliansi Anti Manipulasi Sastra, menolak dengan keras usulan pencalonan Denny Januar Ali alias Denny JA sebagai penerima Nobel Sastra 2022 dan tahun-tahun mendatang.

               Terima kasih banyak atas pertimbangan dan kebijaksanaan Anda.

               Semoga sukses,

               Aliansi Anti-Manipulasi Sastra

*Catatan Kaki:

Surat ini ditandatangani 536 sastrawan, editor, jurnalis dll yang bernaung di bawah nama Aliansi Anti Manipulasi Sastra dan sudah dikirimkan versi bahasa Inggrisnya ke Komite Nobel Sastra di Swedia. Daftar para penandatangan bisa dilihat di https://drive.google.com/…/1Lv5LJFruPuEdISzlETFyDt…/view

Leave a comment